b. Empati Empathy
Hasil penelitian tentang aspek empati dari kepala ruang perawatan dirasakan masih lemah oleh perawat pelaksana karena hanya 24,6 responden yang
menyatakan kepala ruangan sering dapat merasakan apa yang dirasakan perawat pelaksana dalam melaksanakan pengkajian keperawatan, aspek tersebut merupakan
yang positif dan paling dominan dilakukan dari seluruh item pertanyaan. Sedangkan 57,9 responden menyatakan kepala ruangan tidak pernah dapat merasakan apa yang
dirasakan perawat pelaksana dalam mengevaluasi asuhan keperawatan. Fungsi empati dalam komunikasi antara kepala ruangan dengan perawat
pelaksana sesuai dengan konsep komunikasi interpersonal yang efektif merupakan suatu kemampuan merasakan orang lain, artinya sejauhmana kepala ruangan
merasakan apa yang dirasakan oleh perawat pelaksana. Jika kepala ruangan mampu berempati kepada perawat pelaksana maka perawat pelaksana tersebut akan berada
dalam posisi yang lebih baik serta dapat mendorong dirinya melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik.
Kurangnya aspek empati dalam proses komunikasi keperawatan di RSUD Padangsidimpuan merupakan salah satu dampak dari model fungsional, dimana
koordinasi antar perawat sangat kurang sehingga seringkali pasien harus mengulang berbagai pertanyaan atau permintaan kepada semua petugas yang datang kepadanya,
dan kepala ruanganlah yang memikirkan setiap kebutuhan pasien secara komprehensif. Informasi yang disampaikan bersifat verbal, yang seringkali
terlupakan karena tidak didokumentasikan dan tidak diketahui oleh staf lain yang memberikan asuhan keperawatan
Penelitian tentang komunikasi yang efektif yang dapat membangun hubungan antar pribadi perawat di rumah sakit seperti dilakukan Egia 2011 di Rumah sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung, menemukan bahwa keterbukaan openness, empati empathy, sikap mendukung supportiveness, sikap positif positiveness, kesetaraan
equality berperan dalam membangun hubungan antarpribadi perawat di rumah sakit.
c. Sikap Mendukung Supportiveness
Hasil penelitian tentang aspek sikap mendukung dari kepala ruang perawatan dirasakan masih lemah oleh perawat pelaksana karena hanya 28,1 responden yang
menyatakan kepala ruangan sering mendukung perawat pelaksana dalam melaksanakan pengkajian keperawatan hanya dinyatakan, aspek merupakan yang
positif dan paling dominan dilakukan dari seluruh item pertanyaan. Sedangkan 47,4 responden menyatakan kepala ruangan tidak pernah mendukung perawat pelaksana
dalam melaksanakan mengevaluasi asuhan keperawatan. Model tim yang dilaksanakan dalam pelayanan keperawatan di RSUD
Padangsidimpuan didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota tim perawat pelaksana mempunyai kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan
keperawatan sehingga timbul motivasi dan rasa tanggung jawab perawat yang tinggi, sehingga setiap anggota tim merasakan kepuasan karena diakui kontribusinya di
dalam mencapai tujuan bersama yaitu mencapai kualitas asuhan keperawatan yang bermutu. Potensi setiap anggota tim saling komplementer menjadi satu kekuatan
yang dapat meningkatkan kemampuan kepemimpinan serta timbul rasa kebersamaan dalam setiap upaya pemberian asuhan keperawatan, sehingga dapat menghasilkan
sikap moral yang tinggi. Komunikasi supportif mengandung landasan orientasi pada masalah,
diberikan secara verbal dan non-verbal yang sinkron, menekankan pada pembenaran sehingga orang yang sedang berkomunikasi merasa nyaman karena berarti telah
memberi pengakuan akan kehadiran, keunikan dan arti penting dari orang lain yang diajak berkomunikasi. Komunikasi suportif juga bersifat spesifik, terkait logis dengan
informasi sebelumnya, dan diakui secara nyata, serta mengandung sikap mau mendengar dan memberi informasi.
Pimpinan yang sadar bahwa pengembangan potensi orang lain terletak sebagian besar pada dirinya sebagai pemimpin, maka pimpinan juga harus bersedia
untuk memberi umpan balik dan dorongan positif. Salah satu tugas dasar seorang pemimpin adalah memberi umpan balik tentang kinerja dan perilaku yang
diperlihatkan bawahan. Umpan balik baik yang positif maupun negatif harus diberikan dengan tepat, sesuai tempat, dan waktu sehingga dapat membantu bawahan
untuk tumbuh dan berkembang serta menjadi kekuatan untuk memotivasinya dalam berkinerja dan berperilaku lebih baik. Umpan balik yang diberikan sebaiknya pada
akhir peristiwa, bersifat spesifik, memberi kesempatan pada bawahan untuk menjelaskan, dan berfokus pada perilaku bukan personal bawahan.
Dalam keperawatan, tidak banyak pemimpin perawat yang mau memberikan umpan balik secara terbuka karena takut dipersepsikan salah oleh yang menerima
umpan balik. Sebaliknya perawat dibawah kepemimpinannya juga belum siap menerima umpan balik terbuka terutama yang bersifat negatif. Hal ini karena mereka
tidak terbiasa untuk menerima kinerja dan perilaku mereka dikritik, dikomentari atau ditanggapi. Pada umumnya, mereka dinilai tidak berdasarkan keterbukaan sehingga
obyektifitas penilaian menjadi minimal. Dengan demikian agak sulit bagi pemimpin perawat untuk menjalankan tugas pembinaannya dalam rangka menumbuhkan-
kembangkan potensi seseorang bawahan melalui pemberian umpan balik namun bersifat suportif.
Sesuai pendapat Daft 1999 mengemukakan bahwa dalam teori path goal menyarankan beberapa klasifikasi perilaku pemimpin, salah satunya adalah
supportive leadership kepemimpinan suportif yang menunjukkan perhatian pada karyawan dan kebutuhan personal mereka. Perilaku pemimpin yang terbuka, ramah,
dan mudah ditemui, dan kemudian pemimpin yang mampu menciptakan iklim kelompok dan memperlakukan karyawan dengan adil.
d. Sikap Positif Positiveness