persetujuan dari nasabah lagi. Arti kata bersama-sama di pasal 13 ini bahwa pelelangan di hadiri oleh manajer, pejabat BMT dan pejabat lelang.
Sedangkan maksud sendiri-sendiri adalah pejabat BMT mengkuasakan kepada pejabat lelang. Sehingga pelelangan di sini bisa di artikan sepihak. Oleh
karena itu, di sini nasabah bisa dirugikan. Selain itu, jika dilihat dari pasal 14 bahwa apabila pelelangan belum tercukupi sisa angsuran maka BMT berhak
melakukan proses hukum seperti yang tertuang pada pasal 1131 KUHP perdata. Yang intinya nasabah wajib mengembalikan modal secara utuh
ditambah dengan bagi hasil. Di sinilah terjadi ketidaksesuaian dengan asas perikatan dan perjanjian dalam Islam yaitu pada asas keadilan dan pada asas
kerelaan, karena bisa saja nasabah tidak rela dengan besar harga penjualan objek jaminan yang ditetapkan secara sepihak oleh BMT. Seperti yang tertera
dalam surat an-Nisa: 29 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. Di sinilah asas kerelaan perlu diterapkan dan juga keadilan.
e. Pihak BMT Tidak Mau Kalah Mengenai Cara Penyelesaian Sengketa dan Lokasi Tempat Berperkara Hukum
Pada pasal 16 disebutkan bahwa “ Konsekwensi dan segala akibat hukum dari akad pembiayaan Mudharabah ini kedua belah pihak sepakat
memilih domisili hukum dan berpekara di Kantor Paniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Dengan tidak mengurangi hak wewenang Pihak I
Shohibul Maal untuk menuntut pelaksanaaneksekusi atau mengajukan tuntutn hukum terhadap Pihak II Mudharibpenerima pembiayaan ini
melalui atau di hadapan Pengadilan lainnya di manapun juga di dalam wilayah Republik Indonesia”.
Pada isi kontrak ini penyelesaiaan perselisihan tidak diselesaikan dengan musyawarah terlebih dahulu. Melainkan langsung ke Pengadilan
Negeri, sedangkan saran DSN-MUI adalah musyawarah terlebih dahulu. Selain itu BMT mempunyai wewenang untuk mengajukan tuntutan hukum di
pengadilan lainnya, padahal tempat lokasi berperkara hukum sudah ditetapkan dalam kontrak ini di Pengadilan Jakarta Timur, dan di sinilah dikawatirkan
terjadinya penyalahgunaan wewenang BMT untuk memenangkan perkara. Sebaiknya untuk kasus persengketaan diselesaikan di BASYARNAS saja.
Berdasarkan permasalahan di atas DSN-MUI yang memfatwakan dalam No.7DSN-MUIIV2000 bahwa “Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah
tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah”.
f. Nasabah Tidak Bisa Berkutik dengan Dibatasi Ruang Gerak Nasabah Atas Pengambilan Kuasanya dengan Ditutupnya Pasal 1813 KUH
Perdata
Pada pasal 17 ayat 1 dijelaskan “Kuasa-kuasa yang diberikan oleh Pihak II mudharibpenerima pembiayaan kepada Pihak I Shohibul Maal
sehubungan pemberian pembiayaan ini diberikan Hak Substitusi sehingga tidak dapat ditarik kembali atau diakhiri baik oleh ketentuan Undang-Undang
yang mengakhiri pemberi kuasa sebagaimana ditentukan dalam pasal yang 1813 KUH Perdata maupun oleh sebab apapun juga, dan kuasa tersebut
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemberian pinjaman ini tanpa adanya kuasa-kuasa tersebut akad pembiayaan ini tidak akan dibuat”.
Di sini nasabah dengan ditutupnya isi pasal 1813 maka nasabah tidak dapat menarik kuasa yang diberikan kepadanya dengan cara apapun, dan di
sinilah menurut penulis isi dari pasal ini bisa disebut perjanjian yang sepihak. Hal ini telah berlawanan pada asas kebebasan yang tertera dalam hukum
perjanjian syariah. Di karenakan harta yang telah di kuasakan tidak bisa ditarik kembali disebabkan telah adanya hak substitusi.
g. Tidak Adanya Klausula Definisi
Hal tersebut bertujuan agar nasabah dapat mengerti dari istilah-istilah kunci di dalam kontrak mudharabah ini. Klausula ini bertujuan agar nasabah
tidak terjadi salah paham atau salah penafsiran. Dan hal ini perlu dicantumkan agar pihak BMT tidak dapat mengelabui nasabah, seperti nasabah tidak
mengerti bahwa pada pembiayaan mudharabah seharusnya keuntungan yang dibayarkan setiap bulan berfluktuatif sesuai besarnya laba yang diperoleh,
bukan dengan flat. Selain itu mengenai pengertian hari kerja yang bisa dikaitkan dengan prosedur pembayaran.