Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
subjektif. Sedangkan syarat ke tiga dan ke empat disebut syarat objektif.
3
Keempat syarat inilah yang menjadi syarat syahnya suatu kontrak yang ada di dalam hukum
positif. Sedangkan syarat umum akad, ulama fikh menetapkan beberapa syarat umum suatu akad. Pertama, pihak-pihak yang berakad itu telah cakap bertindak
hukum mukallaf atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Kedua, obyek
akad itu diakui oleh syara’. Ketiga, akad itu tidak dilarang oleh nash ayat atau hadits syara’. Keempat, akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus
yang terkait dengan akad itu. Kelima, akad dapat memberikan faidah. Keenam, ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya qabul. Ketujuh, ijab dan
qabul mesti langsung dijawab sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
4
Oleh karena itu yang membedakan syarat sah hukum perjanjian Islam dengan hukum perjanjian positif adalah jika perjanjian menurut hukum syariat
meski tidak bertentangan dengan syara’. Sedangkan dalam perjanjian menurut hukum positif yaitu tidak bertentangan pada perundang-undangan.
Di dalam kontrak yang terdapat pada 2 BMT yang penulis teliti terdapat beberapa kontrak pembiayaan, salah satunya adalah kontrak pembiayaan
mudharabah.
3
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, cet.I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, h.8.
4
M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Materi Dakwah Ekonomi Syariah Jakarta: PKES, 2008, h.83-84.
Mudharabah adalah penyerahan harta dari shahib al-mal pemilik modaldana kepada mudharib pengelola dana sebagai modal usaha, sedangkan
keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah perbandingan laba rugi yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila
dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, maka mudharib peneglola dana tidak berhak diberi upah atas usahanya,
dan shahib al-mal pemilik dana tidak berhak menuntut kerugian kepada mudharib, demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihak
mudharib.
5
Kontrak atau akad yang dibuat oleh pihak BMT tentunya berbeda-beda isinya. Apalagi berdasarkan data yang diperoleh, di DKI Jakarta terdapat 43 BMT
dengan rincian di Jakarta Timur terdapat 16 BMT, di Jakarta Selatan terdapat 17 BMT, di Jakarta Utara terdapat 4 BMT, di Jakarta Barat 4 BMT dan di Jakarta
pusat terdapat 2 BMT.
6
Oleh karena itu, pasti di setiap BMT memiliki perbedaan dalam isi kontrak yang dibuat, salah satunya seperti ada pihak BMT yang
membuat kontrak dengan amat singkat, pendek dan bahasa yang sederhana. Ada juga pihak BMT yang membuat kontrak dengan amat detail dan bahasa yang sulit
dipahami. Namun dari kontrak yang dibuat masih terdapat beberpa kekurangan baik seperti dalam hal ketidaksesuaiaan terhadap konsep.
5
HMM.Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, cet.II, Jawa Timur: Pustaka Sidogiri,2008, h.9.
6
”Daftar BMT se-Jabodetabek sumber data: Dhuha Nusantara”, artikel diakses pada 16 Maret 2011 dari www.mail.yahoo.com
Oleh karena itu karena berbeda-bedanya isi kontrak di setiap BMT, penulis di sini mengambil dua BMT di Jakarta yaitu BMT Bina Ummat Sejahtera BUS
dan BMT Husnayain. BMT BUS terletak di JL. Raya Pondok Gede No. 1 RTRW61 Lb. Buaya
Cipayung Jak-Tim. BMT BUS memiliki budaya kerja shidiq, amanah, fathonah, dan tablig.
BMT Husnayain terletak di Pondok Pesantren Husnayain Jl. Lapan No. 25, Kalisari Jakarta Timur. BMT ini didirikan pada tanggal 8 September 1999 dan di
bawah naungan Pimpinan Pesantren Husnayain KH. A. Cholil Ridwan, Lc. BMT Husnayan mempunyai motto “Menepis Riba Menggapai Berkah”.
Kontrak pembiayaan mudharabah yang ada di kedua BMT ini memiliki ragam, bentuk dan peraturan yang berbeda seperti ada yang menggunakan bahasa
yang sulit dimengerti dan aturan yang detail di dalam kontrak seperti di BMT BUS dan ada juga BMT yang memiliki ragam bahasa yang mudah dimengerti oleh
nasabah seperti BMT Husnayain. Sehingga penulis di sini ingin menganalisa dari setiap isi kontrak yang berbeda-beda yang dibuat oleh kedua BMT tersebut
apakah sesuai dengan konsep yang ada atau masih belum mendekati konsep tersebut.
Sebagai contoh, isi kontrak yang ada pada pembiayaan mudharabah di BMT BUS, dalam hal nisbah yang disebutkan oleh bagian front liner bahwa tidak
memakai sistem nisbah melainkan menggunakan sistem tawar-menawar antara mudharib dan shahibul maal, mengenai besarnya keuntungan tiap bulan yang telah
disetujui maka pemberian keuntungan dibayarkan secara flat nominalnya hingga akhir kotrakakad. Sedangkan berdasarkan wawancara dengan Kasi Marketing
Wilayah I BMT BUS, Bapak Kukuh Setiawan, penentuan keuntungan berdasarkan nisbah telah ditentukan di awal. Namun, untuk pembayaran keuntungan setiap
bulannya dibayarkan dengan nominal yang tetap sampai akhir kontrakakad, alasan dibayarkan keuntungan secara tetap karena nasabah malas dan tidak mengerti
membuat laporan keuangan bulanan, dikarenakan nasabahnya adalah orang pasar. Selain itu alasan yang dikemukakan oleh Kasi Marketing BMT BUS adalah
pengembalian pokok yang ada di BMT BUS disebut dengan kata “titipan”, sehingga jumlah uangmodal pokok yang dipinjamkan oleh BMT BUS terhadap
nasabah tidak berkurang sehingga keuntungan yang dibayarkan tetap. Oleh karena itu menurut penulis ada perbedaan pendapat antara Kasi Marketing dan front liner
tentang masalah tersebut. Sedangkan yang terjadi di BMT Husnayain hampir sana dengan yang ada di BMT BUS yaitu BMT Husnayain mematok keuntungan secara
flat juga. Selain itu masih ada juga contoh di dalam kontrak yang telah dibuat
berbagai pihak yang ada di BMT mengenakan biaya administrasi. Pengenaan biaya administrasi pada dasarnya sebagai biaya pengganti seperti kertas, tinta print
dan perlengkapan operasional lainnya yang diemban oleh perbankan syariah ataupun oleh BMT. Cara perhitungan biaya administrasi baik yang dilakukan
perbankan syariah ataupun BMT berbeda-beda ada yang ditentukan dengan menggunakan persentasi dikalikan dengan total pembiayaan ataupun ada juga
yang menggunakan nominal. Oleh karena itu penulis ingin menelaah apakah pengenaan biaya administrasi di BMT tersebut menggunakan sistem presentasi
dikalikan dengan total pembiayaan atau menggunakan sistem pengenaan biaya administrasi dengan menggunakan nominal yang ditetapkan bersama.
Dari kedua contoh yang dipaparkan di atas merupakan hanya contoh sebagian dari bagian dari kontrak pembiayaan mudharabah yang terjadi di BMT
saat ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis lebih lanjut dari kontrak- kontrak yang dibuat oleh BMT BUS dan BMT Husnayain.
Sehingga, di sini penulis menganalisis kontrak mudharabah yang dibuat oleh BMT BUS dan BMT HUSNAYAIN, apakah aplikasi kontrak yang ada di dua
BMT tersebut sudah sesuai dengan perjanjian syariah atau belum mendekati perjanjian syariah. Sehingga penulis ingin mengangkat judul penelitian yaitu
“KONTRAK BISNIS DALAM PEMBIAYAAN MUDHAR ABAH PADA
BMT BINA UMMAT SEJAHTERA BUS DAN BMT HUSNAYAIN ” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah merupakan hal yang cukup penting dalam sebuah penelitian. Hal ini berguna agar penelitian tidak melompat terlalu jauh dari suatu
masalah yang ada, sehingga di sinilah peran penting dari pembatasan masalah. Sehingga, penulis membuat pembatasan masalah yaitu pada bagian kontrak
pembiayaan mudharabah di kedua BMT tersebut dan juga Penulis melakukan analisis dari kontrak mudharabah tersebut apakah sudah sesuai dengan perjanjian
syariah atau belum.
Adapun perumusan masalah yang penulis buat adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur dan anatomi kontrak pembiayaan mudharabah pada
BMT Bina Ummat Sejahtera BUS dan BMT Husnayain? 2. Bagaimanakah kesesuaian materi kontrak pembiayaan mudharabah terhadap
perjanjian syariah pada BMT Bina Ummat Sejahtera BUS dan BMT Husnayain?