melakukan pelanggaran, kesalahan dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati atau ia keluar dari
ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung
jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zhalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya di luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa
kehadiran atau sepengetahuan shahibul mal sehingga shahibul mal dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalah character risk.
Maka, untuk menghindari adanya moral hazard dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahib al-mal dibolehkan
meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-mal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan
kesalahan, yakni lalai danatau ingkar janji. Tegasnya, bila kerugian yang timbul disebabkan karena risiko bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita
oleh shahib al-mal. d. Menentukan Besarnya Nisbah
Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil
tawar-menawar antara shahib al-mal dengan mudharib. Dengan demikian,
angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50, 60:40, 70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan.
e. Cara Menyelesaikan Kerugian Jika terjadi kerugian, cara penyelesaiannya adalah:
1 Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan
merupakan pelindung modal. 2 Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal.
6. Bentuk – Bentuk Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
17
a. Mudharabah Muthlaqah Yang dimkasud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah
bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah
bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta lakukanlah sesukamu dari shahibul maal
ke mudharib yang memberikan kekuasaan sangat besar. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, mudharabah harus berbentuk muthlaqah mutlak
dan tanpa batasan, maka tidak sah mudharabah muqayyadah bersyarat dan
17 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, h. 97
memiliki batasan dengan jenis perdagangan tertentu, orang tertentu, dan negeri tertentu.
18
b. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted
mudharabahspecified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau
tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan
kecendrungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
B. Kontrak Bisnis Syariah 1. Pengertian Konrak dan Aqad
Kontrak atau contracts dalam bahasa Inggris dan overeenkomst dalam bahasa belanda dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga
dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan
tertentu, biasanya secara tertulis.
19
Para pihak bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya,
sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan verbintenis.
18 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani. cet. I, Jilid V, Jakarta: Gema Insani Press, 2011, h. 25.
19
Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif Hukum Islam, cet.I, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 42.
Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam.
20
Lafal akad berasal dari lafal Arab, al-‘aqd, yang secara etimologis berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Secara terminologis akad
memiliki arti umum al-ma’na al-am dan khusus al-ma’na al-khas. Adapun arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk
dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak dan sumpah, maupun yang membutuhkan
pada kehendak dua pihak dalam melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai atau jaminan. Sedangkan arti khusus al-ma’na
al-khas akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah Allah dan Rasul-Nya yang menimbulkan akibat
hukum pada obyek akad.
21
2. Rukun dan Syarat Akad
Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: a. Shighat pernyataan ijab dan qabul, b.’aqidan dua pihak yang melakukan akad dan c. ma’qud
‘alaih obyek akad. Menurut madzhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas ijab dan kabul shighat. Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut
mayoritas ulama:
22
20
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, h. 68.
21
Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif Hukum Islam, h. 65.
22
Ah. Azharudin Latif, Fiqh Muamalat, cet. I Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, h.64-67.