Landasan Syariah Mudharabah Pembiayaan Mudharabah 1. Pengertian Pembiayaan

Disampaikanlah syarat-syarat tersebut pada Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun membolehkannya. 2 HR Ibnu majah No. 2280, kitab at-Tijarah, yang artinya: “Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual. 13 c. Ijma’ Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya. d. Qiyas Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah menyuruh seseorang untuk mengelola kebun. Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya, namun di sisi lain, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua 13 Ibnu Hajar Al- Asqalany, Syarah Bulughul Marram. Penerjemah Ahmad Sunarto, cet. I, Surabaya: Halim Jaya, 2001, h. 437. golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. 14

4. Rukun dan Syarat Mudharabah

15 Faktor-faktor yang harus ada rukun dalam akad muharabah adalah: a. Pelaku pemilik modal maupun pelaksana usaha b. Objek mudharabah modal dan kerja c. Persetujuan kedua belah pihak ijab-qabul d. Nisbah Keuntungan Pelaku. Jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama pelaku kiranya sudah jelas. Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal shahib al-mal, sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha mudharib atau ‘amil. Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada. Objek. Faktor kedua objek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaku usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbetuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang 14 Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, h. 226. 15 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh Keuangan, h. 206-210. diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada. Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian gharar besarnya modal mudharabah. Namun para ulama madzhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal. Modal mudharabah bukan merupakan modal yang belum disetorkan. Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apa pun padahal mudharib yang telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad. Persetujuan. Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari an-taradhin minkum sama-sama rela. Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. Nisbah Keuntungan. Faktor yang keempat yakni nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

5. Nisbah Keuntungan Mudharabah

16 a. Prosentase Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungn itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1. Namun nisbah ini tidak boleh 100:0, karena para ahli fiqih sepakat berpendapat bahwa mudharabah tidak sah apabila shahib al-mal dan mudharib membuat syarat agar keuntungan hanya satu pihak saja. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal; tentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal Rp tertentu, misalnya shahib al-maal mendapat Rp 50 ribu, mudharib mendapat Rp 50 ribu. b. Bagi Untung dan Bagi Rugi Ketentuan di atas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi natural uncertainty contracts. Dalam kontrak ini, return dan timing cash 16 Ibid., h. 206-210