2 Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan
mutaqawwam. 3 Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti
harus dapat diserahkan seketika. 4 Ia harus jelas dapat ditentukan, mu’ayyan dan dapat diketahui kedua
belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad-selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai obyek akad-mudah menimbulkan
persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini, adat kebiasaan ‘urf
memunyai peranan penting. Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad:
salam, istishna’, ijarah dan musaqah. Artinya, keempat macam akad ini tetap dinyatakan sah walaupun obyek akad belum ada ketika terjadi akad.
Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat, ’aqid,
dan ma’qud ‘alaih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya adalah bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum bahwa
akad tersebut harus menimbulkan manfaat kegunaan, mufid. d. Maudhu ‘al-‘aqad atau tujuan akad merupakan salah satu bagian penting
yang mesti ada pada setiap akad. Yang dimaksud dengan maudhu’ al- ‘aqad adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan al-maqshad al-
ashli alladzi syuri’a al-‘aqad min ajlih. Menurut hukum Islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah al-Musyarri’ yang menetapkan
syariat, yaitu Allah. Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui melalui syara’dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas
dasar itu, semua bentuk akad yang tujuannya bertentangan syara’ hukum islam adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum;
misalnya, menjual barang yang diharamkan seperti minuman keras khamr. Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat
hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan
kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang kepada penjual.
3. Asas-asas Perjanjian atau Akad dalam Islam
Secara terminologis, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat.
23
Muhammad Daud Ali, mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan
sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
24
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, h. 60.
24
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, h. 30.
Oleh karena itu, Asas-asas yang ada dalam perjanjian dalam hukum Islam terdapat beberapa point yaitu:
25
a. Asas ibahah Mabda’ al-Ibahah Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang
muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan
ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk- bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syariah. Orang tidak dapat
membuat-buat baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi SAW. Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas
sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan
hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus
mengenai perjanjian tersebut. b. Asas kebebasan berakad Mabda’ Hurriyah at-Ta’aqud
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis
25
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h. 87.
apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukkan klausul apa saja ke dalam aad
yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil. Nas-nas Al-qur’an dan sunnah
Nabi SAW serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad.
Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada beberapa dalil salah satunya adalah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. yang demikian itu dengan tidak menghalalkan apa saja baik bernama maupun yang berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” QS. Al-Ma`idah:1
Kebebasan berakad dari ayat yang dikutip di atas adalah perintah dalam ayat ini menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya
wajib. c. Asas konsensualisme Mabda’ ar-Radha’iyyah
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa