sehubungan pemberian pembiayaan ini diberikan Hak Substitusi sehingga tidak dapat ditarik kembali atau diakhiri baik oleh ketentuan Undang-Undang
yang mengakhiri pemberi kuasa sebagaimana ditentukan dalam pasal yang 1813 KUH Perdata maupun oleh sebab apapun juga, dan kuasa tersebut
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemberian pinjaman ini tanpa adanya kuasa-kuasa tersebut akad pembiayaan ini tidak akan dibuat”.
Di sini nasabah dengan ditutupnya isi pasal 1813 maka nasabah tidak dapat menarik kuasa yang diberikan kepadanya dengan cara apapun, dan di
sinilah menurut penulis isi dari pasal ini bisa disebut perjanjian yang sepihak. Hal ini telah berlawanan pada asas kebebasan yang tertera dalam hukum
perjanjian syariah. Di karenakan harta yang telah di kuasakan tidak bisa ditarik kembali disebabkan telah adanya hak substitusi.
g. Tidak Adanya Klausula Definisi
Hal tersebut bertujuan agar nasabah dapat mengerti dari istilah-istilah kunci di dalam kontrak mudharabah ini. Klausula ini bertujuan agar nasabah
tidak terjadi salah paham atau salah penafsiran. Dan hal ini perlu dicantumkan agar pihak BMT tidak dapat mengelabui nasabah, seperti nasabah tidak
mengerti bahwa pada pembiayaan mudharabah seharusnya keuntungan yang dibayarkan setiap bulan berfluktuatif sesuai besarnya laba yang diperoleh,
bukan dengan flat. Selain itu mengenai pengertian hari kerja yang bisa dikaitkan dengan prosedur pembayaran.
h. Bahasa yang Digunakan Sulit untuk Dipahami dan Tidak Sederhana
Target dari pembiayaan yang ada di BMT BUS ini adalah masyarakat menengah ke bawah yang erat kaitannya dengan pendidikan yang tidak tinggi.
Oleh karena itu demi kemaslahatan bersama dan agar tidak terjadi penyesalan terutama di pihak nasabah, sebaiknya isi kontrak dirubah dengan penyataan
yang mudah dicerna golongan menengah ke bawah. Selain itu mengenai ketidaksederhanaan kata seperti di dalam kontrak
disebutkan Pihak II mudharib atau penerima pembiayaan, sebaiknya dari ketiga makna tersebut dipilih satu saja.
i. Kontrak Ini Tidak Tertulis Jangka Waktu Nasabah Dianggap Cedera Janjinya.
Dalam kontrak mudharabah yang dibuat, tidak ditentukan jangka waktu berapa hari setelah jatuh tempo nasabah pembiayaan belum
mengembalikan modal berikut bagi hasil dan dapat dianggap cedera janji apakah kena setelah satu hari, dua hari atau tiga hari akan dianggap cedera
janji. Hal ini diperlukan agar tidak terjadinya penyelewengan aturan di salah satu pihak.
j. Saksi Istri Tidak Menandatangani Kontrak Padahal pada Bagian Komparasi Disebutkan
Hal ini bertujuan agar jika nasabah wanprestasi dan BMT mengambil alih objek jaminan maka tidak ada permasalahan dari pihak istri.
k. Tidak Adanya Ketentuan Mengenai Denda Ta’zir dan Ganti Rugi Ta’widh
Denda ta’zir adalah sanksi yang diberikan kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja bukan
karena force majeur. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial Fatwa DSN-MUI No. 17DSN-MUIIX2000
Ganti Rugi Ta’widh adalah menutup kerugian yang diakibatkan pelanggaran atau kekeliruan. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah
kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas Fatwa DSN No.43DSN-MUIVIII2004 mengenai ganti rugi ta’widh
Oleh Karena itu pasal mengenai denda ta’zir dan ganti rugi ta’widh boleh dicantumkan asalkan ketentuan mengenai denda dan ganti
rugi sesuai dengan Fatwa DSN-MUI.
l. Pernyataan Pengakuan Hutang Oleh Nasabah
Dalam kontrak yang tertulis bahwa di dalam kontrak mudharabah tertera bahwa nasabah menanggung hutang, padahal dalam Fatwa DSN MUI
NO: 07DSN-MUIIV2000
mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama malik, shahib al-mal, LKS
menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua ‘amil, mudharib, nasabah bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.