Kontak bisnis dalam pembiayaan mudharabah pada BMT bina ummat sejahtera ( BUS ) dan BMT husnayain

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD SYAFIQ UMAM NIM: 107046101813

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011


(2)

(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 Mei 2011


(5)

v

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun masih terdapat kekurangan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya menuju kehidupan bahagia fiddun yaa wal aakhirat.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghanturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak Mu’min Rauf, M.Ag, selaku ketua dan sekretaris Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

3. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH,MH., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu luang, motivasi serta pikiran untuk memberikan


(6)

vi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis, yang telah memberikan pemikirannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Kukuh Setiawan selaku Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS dan juga Bapak Komarudin selaku Direktur BMT Husnayain dan seluruh jajaran stafnya, yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

7. Kedua orang tua saya, Bapak Drs. H. Zakaria Anshary dan Ibu Hj. Ati Fatimah S.PdI yang telah memberikan motifasi dan dukungannya baik dalam bentuk materil dan immateril, dan juga nasihat yang disampaikan selalu memberikan cahaya inspirasi dalam melewati setiap langkah kehidupanku. Tak lupa kepada kakak tersayang Fauziyatul Muna S.PdI, kakak iparku Anta Wijaya S.Pd I dan juga bibiku Ucu Nuraeni.


(7)

vii

9. Teman-teman seperjungan di UIN khususnya mahasiswa Perbankan Syariah kelas D angkatan 2007 yang telah membantu dalam skripsi ini, meraka adalah Darto, Gufron, Deny, Fajri , Ismi, Risa, Fery, Riyan, Faiz, Ade Ikhwan, Ade Qomar, Patah, Eki . Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas semua bantuan dan masukannya kepada penulis. Terima kasih atas semua bantuan yang tak akan penulis lupakan, semoga silaturahmi kita dapat terus terjalin.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Jakarta, 17 Mei 2011


(8)

viii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

D. Review Studi Terdahulu ... 9

E. Kerangka Teori ... 13

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 16

G. Sistematika Penulisan... 20

BAB II KERANGKA TEORI KONTRAK PEMBIAYAAN MUDHARABAH A. Pembiayaan Mudharabah ... 22

1. Pengertian Pembiayaan ... 22

2. Pengertian Mudharabah... 23

3. Landasan Syariah Mudharabah ... 25

4. Rukun dan Syarat Mudharabah ... 28

5. Nisbah Keuntungan Mudharabah ... 30

6. Bentuk-Bentuk Mudharabah ... 33

B. Kontrak Bisnis Syariah... 34

1. Pengertian Kontrak dan Akad ... 34


(9)

ix

6. Berakhirnya Akad... 48

BAB III GAMBARAN UMUM BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN

A. Sejarah Berdirinya BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain ... 52

1. Sejarah Singkat BMT Bina Ummat Sejahtera... 52 2. Sejarah Singkat BMT Husnayain ... 53 B. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain... 55 1. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera ... 55 2. Visi dan Misi BMT Husnayain ... 56 C. Struktur Organisasi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT

Husnayain ... 57 1. Struktur Organisasi BMT Bina Ummat Sejahtera... 57 2. Struktur Organisasi BMT Husnayain... 58 D. Produk-Produk BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 60 1. Produk-Produk BMT Bina Ummat Sejahtera ... 60 2. Produk-Produk BMT Husnayain... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN KONTRAK BISNIS DALAM

PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN

A. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT

Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain ... 67 1. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT


(10)

x

Sejahtera dan BMT Husnayain ... 71

1. Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera ... 71

2. Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Husnayain ... 77

C. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain terhadap Perjanjian Syariah ... 81

1. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera ... 81

2. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Husnayain ... 90

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 94

B. Saran-saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA... 97


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan usaha atau bisnis merupakan hal yang pokok bagi setiap manusia, terutama bagi seseorang yang memiliki kegiatan usaha dengan cara berwiraswasta pasti mereka akan membutuhkan suatu modal untuk menjalankan usahanya agar kegiatan usaha mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai yang mereka harapkan. Kegiatan bisnis dilakukan oleh seseorang bertujuan agar mereka dapat bertahan dalam menghadapi hidup karena sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak maka mereka berfikir untuk menjalankan bisnis, dengan bertujuan agar kebutuhan mereka yang paling mendasar yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder mereka terpenuhi. Hal itu dilakukan karena, pada prinsipnya manusia memiliki sifat yang tidak puas maka mereka berusaha hingga kebutuhan tersier mereka terpenuhi pula.

Oleh karena itu agar mereka dapat mencapai kebutuhan baik primer, sekunder dan tersier mereka melakukan pembiayaan kepada lembaga keuangan salah satunya kepada BMT. Pembiayaan ini dilakukan karena modal yang mereka punya kurang untuk memulai usaha atau pun untuk mengembangkan usaha mereka. Sehingga pihak BMT pun ketika melakukan pencairan, BMT akan memulainya salah satunya dengan melakukan kontrak yang memuat aturan-aturan yang harus dipahami dan disepakati oleh kedua belah pihak.


(12)

Menurut A. Gani Abdullah dalam sebuah wawancara tanggal 12 Februari 2005, menyatakan bahwa titik tolak perbedaan dengan KUH Perdata adalah pada tahap unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan dilajutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah‘aqdu(perikatan)1.

Pada dasarnya hukum perikatan Islam menganut kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan suka sama suka yaitu dalam ijab dan qabul. Adanya kedua aqad tersebut yaitu ijab dan qabul menandakan bahwa transaksi tersebut telah sah yang dilandasi oleh dasar suka sama suka. Selain itu pula berdasarkan hukum positif syarat syah kontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW yaitu:2

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat

1

Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kenca Prenada Media Group), h 47.

2

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.13.


(13)

subjektif. Sedangkan syarat ke tiga dan ke empat disebut syarat objektif.3Keempat syarat inilah yang menjadi syarat syahnya suatu kontrak yang ada di dalam hukum positif. Sedangkan syarat umum akad, ulama fikh menetapkan beberapa syarat umum suatu akad. Pertama, pihak-pihak yang berakad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya.Kedua,obyek akad itu diakui oleh syara’. Ketiga, akad itu tidak dilarang oleh nash (ayat atau hadits) syara’. Keempat, akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. Kelima, akad dapat memberikan faidah. Keenam, ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya qabul. Ketujuh, ijab dan qabul mesti langsung dijawab sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.4

Oleh karena itu yang membedakan syarat sah hukum perjanjian Islam dengan hukum perjanjian positif adalah jika perjanjian menurut hukum syariat meski tidak bertentangan dengan syara’. Sedangkan dalam perjanjian menurut hukum positif yaitu tidak bertentangan pada perundang-undangan.

Di dalam kontrak yang terdapat pada 2 BMT yang penulis teliti terdapat beberapa kontrak pembiayaan, salah satunya adalah kontrak pembiayaan mudharabah.

3

Hasanuddin Rahman, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,

cet.I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.8.

4

M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Materi Dakwah Ekonomi Syariah (Jakarta: PKES, 2008), h.83-84.


(14)

Mudharabah adalah penyerahan harta dari shahib al-mal (pemilik modal/dana) kepada mudharib (pengelola dana) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, makamudharib(peneglola dana) tidak berhak diberi upah atas usahanya, dan shahib al-mal (pemilik dana )tidak berhak menuntut kerugian kepada mudharib, demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihak mudharib.5

Kontrak atau akad yang dibuat oleh pihak BMT tentunya berbeda-beda isinya. Apalagi berdasarkan data yang diperoleh, di DKI Jakarta terdapat 43 BMT dengan rincian di Jakarta Timur terdapat 16 BMT, di Jakarta Selatan terdapat 17 BMT, di Jakarta Utara terdapat 4 BMT, di Jakarta Barat 4 BMT dan di Jakarta pusat terdapat 2 BMT.6 Oleh karena itu, pasti di setiap BMT memiliki perbedaan dalam isi kontrak yang dibuat, salah satunya seperti ada pihak BMT yang membuat kontrak dengan amat singkat, pendek dan bahasa yang sederhana. Ada juga pihak BMT yang membuat kontrak dengan amat detail dan bahasa yang sulit dipahami. Namun dari kontrak yang dibuat masih terdapat beberpa kekurangan baik seperti dalam hal ketidaksesuaiaan terhadap konsep.

5

HMM.Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, cet.II, (Jawa Timur: Pustaka Sidogiri,2008), h.9.

6

”Daftar BMT se-Jabodetabek (sumber data: Dhuha Nusantara)”, artikel diakses pada 16


(15)

Oleh karena itu karena berbeda-bedanya isi kontrak di setiap BMT, penulis di sini mengambil dua BMT di Jakarta yaitu BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain.

BMT BUS terletak di JL. Raya Pondok Gede No. 1 RT/RW6/1 Lb. Buaya Cipayung Jak-Tim. BMT BUS memiliki budaya kerja shidiq, amanah, fathonah, dan tablig.

BMT Husnayain terletak di Pondok Pesantren Husnayain Jl. Lapan No. 25, Kalisari Jakarta Timur. BMT ini didirikan pada tanggal 8 September 1999 dan di bawah naungan Pimpinan Pesantren Husnayain KH. A. Cholil Ridwan, Lc. BMT Husnayan mempunyai motto “Menepis Riba Menggapai Berkah”.

Kontrak pembiayaan mudharabah yang ada di kedua BMT ini memiliki ragam, bentuk dan peraturan yang berbeda seperti ada yang menggunakan bahasa yang sulit dimengerti dan aturan yang detail di dalam kontrak seperti di BMT BUS dan ada juga BMT yang memiliki ragam bahasa yang mudah dimengerti oleh nasabah seperti BMT Husnayain. Sehingga penulis di sini ingin menganalisa dari setiap isi kontrak yang berbeda-beda yang dibuat oleh kedua BMT tersebut apakah sesuai dengan konsep yang ada atau masih belum mendekati konsep tersebut.

Sebagai contoh, isi kontrak yang ada pada pembiayaan mudharabah di BMT BUS, dalam hal nisbah yang disebutkan oleh bagianfront liner bahwa tidak memakai sistem nisbah melainkan menggunakan sistem tawar-menawar antara mudharibdanshahibul maal,mengenai besarnya keuntungan tiap bulan yang telah


(16)

disetujui maka pemberian keuntungan dibayarkan secara flat nominalnya hingga akhir kotrak/akad. Sedangkan berdasarkan wawancara dengan Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS, Bapak Kukuh Setiawan, penentuan keuntungan berdasarkan nisbah telah ditentukan di awal. Namun, untuk pembayaran keuntungan setiap bulannya dibayarkan dengan nominal yang tetap sampai akhir kontrak/akad, alasan dibayarkan keuntungan secara tetap karena nasabah malas dan tidak mengerti membuat laporan keuangan bulanan, dikarenakan nasabahnya adalah orang pasar. Selain itu alasan yang dikemukakan oleh Kasi Marketing BMT BUS adalah pengembalian pokok yang ada di BMT BUS disebut dengan kata “titipan”, sehingga jumlah uang/modal pokok yang dipinjamkan oleh BMT BUS terhadap nasabah tidak berkurang sehingga keuntungan yang dibayarkan tetap. Oleh karena itu menurut penulis ada perbedaan pendapat antara Kasi Marketing dan front liner tentang masalah tersebut. Sedangkan yang terjadi di BMT Husnayain hampir sana dengan yang ada di BMT BUS yaitu BMT Husnayain mematok keuntungan secara flat juga.

Selain itu masih ada juga contoh di dalam kontrak yang telah dibuat berbagai pihak yang ada di BMT mengenakan biaya administrasi. Pengenaan biaya administrasi pada dasarnya sebagai biaya pengganti seperti kertas, tinta print dan perlengkapan operasional lainnya yang diemban oleh perbankan syariah ataupun oleh BMT. Cara perhitungan biaya administrasi baik yang dilakukan perbankan syariah ataupun BMT berbeda-beda ada yang ditentukan dengan menggunakan persentasi dikalikan dengan total pembiayaan ataupun ada juga


(17)

yang menggunakan nominal. Oleh karena itu penulis ingin menelaah apakah pengenaan biaya administrasi di BMT tersebut menggunakan sistem presentasi dikalikan dengan total pembiayaan atau menggunakan sistem pengenaan biaya administrasi dengan menggunakan nominal yang ditetapkan bersama.

Dari kedua contoh yang dipaparkan di atas merupakan hanya contoh sebagian dari bagian dari kontrak pembiayaan mudharabah yang terjadi di BMT saat ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis lebih lanjut dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh BMT BUS dan BMT Husnayain.

Sehingga, di sini penulis menganalisis kontrak mudharabah yang dibuat oleh BMT BUS dan BMT HUSNAYAIN, apakah aplikasi kontrak yang ada di dua BMT tersebut sudah sesuai dengan perjanjian syariah atau belum mendekati perjanjian syariah. Sehingga penulis ingin mengangkat judul penelitian yaitu

“KONTRAK BISNIS DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA

BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembatasan masalah merupakan hal yang cukup penting dalam sebuah penelitian. Hal ini berguna agar penelitian tidak melompat terlalu jauh dari suatu masalah yang ada, sehingga di sinilah peran penting dari pembatasan masalah. Sehingga, penulis membuat pembatasan masalah yaitu pada bagian kontrak pembiayaan mudharabah di kedua BMT tersebut dan juga Penulis melakukan analisis dari kontrak mudharabah tersebut apakah sudah sesuai dengan perjanjian syariah atau belum.


(18)

Adapun perumusan masalah yang penulis buat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur dan anatomi kontrak pembiayaan mudharabah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain?

2. Bagaimanakah kesesuaian materi kontrak pembiayaan mudharabah terhadap perjanjian syariah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan dari penelitian yang penulis buat adalah :

a. Bagaimana mengetahui struktur dan anatomi kontrak pembiayaan mudharabah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain.

b. Bagaimana kesesuaian materi kontrak pembiayaan mudharabah terhadap perjanjian syariah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain.

2. Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai akad/kontrak mudharabah yang sesuai dengan konsep perjanjian syariah. Di samping itu peneliti dapat menambah wawasan mengenai struktur dan anatomi kontrak yang ada di kedua BMT ini.


(19)

b. Bagi BMT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi kedua BMT dalam menentukan langkah selanjutnya berkaitan dengan pengembangan dan penelitian (research and development) mengenai kontrak/akad mudharabah.

c. Bagi Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang lingkup karya-karya penelitian lapangan.

d. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat apakah kontrak mudharabah yang dibuat oleh suatu BMT telah sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak.

D. Review Studi Terdahulu

Penulis disini melakukan penelitian dengan menganalisis kontrak pembiayaan mudharabah pada BMT BUS dan BMT Husnayain. Pada penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang mengkaji analisis kontrak pembiayaan mudharabah pada dua BMT. Akan tetapi penulis disini tetap berpacu pada review terdahulu, berikut matrik review terdahulu yang penulis buat:


(20)

No Aspek Perbandingan Studi Terdahulu Rencana Skripsi 1. a.Judul b.Fokus c.Objek Penelitian d.Metode Penelitian e.Hasil f.Waktu/tempat

Tinjauan Kontrak Bagi Hasil Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.Penulis: Diah Pitaloka ( Prodi Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) . Skripsi ini membahas tentang kesesuaian kontrak mudharabah dilihat dari hukum positif dan hukum islam.

Di database skripsi terdahulu dan di kajian review yang di tulis oleh Abdul Hafid Nur objek penelitian Diah Pitaloka tidak disebutkan apakah di Bank Syariah atau di BMT.

Metode penelitian yang digunakan adalah library research dan deskriptif analitis.

-Kontrak bagi hasil baik ditinjau dari hukum positif maupun islam umumnya berisi hal-hal yang mengatur tentang ketentuan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkontrak

-Bagi hasil menurut hukum positif hanya mengenal perhitungan aman dan untung dalam setiap transaksi yang dilakukan sedangkan dalam islam mengandung unsur keadilan kedua belah pihak.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 dan tempat penelitian tidak disebutkan

Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan

Mudharabah Pada BMT BUS dan BMT Husnayain.

Skripsi ini terfokus

pada kontrak

pembiayaan

mudharabah di dua BMT

Objek penelitian terfokus pada BMT BUS dan BMT Husnayain.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analitis dengan studi library research dan field research.

-Mengetahui

prosedur pembuatan kontrak.

-Mengetahui struktur dan anatomi kontrak di ke dua BMT. -Mendapatkan hasil

berupa kontrak pada

BMT yang

mempunyai kontrak sesuai perjanjian syariah.

Penelitian ini dilakukan pada awal Maret sampai dengan Juni 2011 dengan tempat peneltian di BMT BUS dan BMT Husnayain.


(21)

2. a.Judul

b.Fokus

c.Objek Penelitian

d.Metode Penulisan

e.Hasil

Pola Pembiayaan Mudharabah Pada 3 Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Jakarta Selata.Penulis: Abing Adul Kabir (Prodi Muamalah UIN Jakarta)

-Skripsi ini membahas mengenai pola pembiayaan pada tiga BMT. mencakup tentang prosedur-prosedur seperti proses pembiayaan mulai dari proses persyaratan colon nasabah, penyelidikan dan analisis pembiayaan, berupa layak atau tidaknya nasabah, sidang komite yang berupa persetujuan atau penolakan atas permohonan, pengikatan pembiayaan, proses pencairan pembiayaan sampai proses pegawasan. Semua hal di atas dilakukan dengan membandingkan prosedurnya pada tiga BMT.

-Selain itu skripsi ini membahas mengenai analisis pola pembiayaan mudarabah antara teori dan aplikasinya di ketiga BMT.

BMT Al-Karim, BMT El-Syifa, BMT Ta’awun.

Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitif dengan menggunakan metode lapangan dan dengan menggunakan metode kepustakaan.

Skripsi ini menghasilkan bahwa pola pembiayaan mudharabah antara teori dan aplikasinya di ketiga BMT adalah sesuai.

Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan

Mudharabah Pada BMT BUS dan BMT Husnayain.

Skripsi ini terfokus pada kontrak pembiayaan

mudharabah di dua BMT

Objek penelitian terfokus pada BMT BUS dan BMT Husnayain.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analitis dengn studi library research dan field research.

-Mengetahui prosedur pembuatan kontrak. -Mengetahui struktur

dan anatomi kontrak di ke dua BMT.


(22)

f.Waktu/Tempat Proses penelitian dilakukan sejak awal November 2009

sampai dengan Februari 2010.

-Mendapatkan hasil berupa kontrak pada

BMT yang

mempunyai kontrak sesuai perjanjian syariah.

Penelitian ini dilakukan pada awal Maret sampai dengan Juni 2011 dengan tempat di BMT BUS dan BMT Husnayain. 3. a.Judul

b.Fokus

c. Objek Penelitian

d.Metode Penulisan

Atribut Proyek dan Mudharib dalam Pembiayaan mudharabah pada Bank Syari’ah di Indonesia.Penulis:Muhammad (Jurnal ekonomi dan bisnis Vol.21,No.3,2006,221-235).

Jurnal ini terfokus pada pertimbangan praktisi pelaku bank syariah atas proyek yang akan dibiayai dengan kotrak mudharabah.jurnal ini hanya membahas isi yang ada di dalam kontrak mudharabah saja,dan tidak menganalisis isi kontrak tersebut apa sudah sesuai syariah atau belum.

Perbankan syariah di Indonesia

Metode penelitian ini adalah penelitian eksploratif yang merupakan penelitian awal untuk mencari dan mengidentifikasikan aspek–aspek yang dipertimbangkan bank syariah dalam memilih proyek dan mudharib dalam pembiayaan mudharabah. Selain itu data diperoleh dengan wawancara dan angket. Tekhnik pengambialan

Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan

Mudharabah Pada BMT BUS dan BMT Husnayain.

Skripsi ini terfokus pada kontrak pembiayaan

mudharabah di dua BMT.

Objek penelitian terfokus pada BMT BUS dan BMT Husnayain.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analitis dengn studi library research dan field research.


(23)

e.Hasil Penelitian

sampel dilakukan secara purposive random sampling.

Di dalam kontrak mudharabah

perbankan syariah

mengkatagorikan nasabah pembiayaan mudharabah harus memiliki tingkat kesehatan proyek, jaminan kesepakatan pembayaran, prospek yang baik, laporan keuangan proyek, kejelasan persyaratan kontrak, dan ketegasan waktu kontrak. Selain itu pertimbangan praktisi pelaku perbankan syariah atas mudharib yang akan dibiayai oleh kontrak mudharabah adalah bahwa mudharib harus memiliki kemampuan bisnis, jaminan, reputasi mudharib, asal-usul mudharib dan komitmen usaha. Sehingga atribut-atribut inilah yang tersirat di dalam pembiayaan mudharabah pada bank syariah sebagai penilaian atribut proyek mudharabah pada mudharib.

- Mengetahui prosedur pembuatan kontrak. - Mengetahui struktur

dan anatomi kontrak di ke dua BMT. - Mendapatkan hasil

berupa kontrak pada

BMT yang

mempunyai kontrak sesuai perjanjian syariah.

Oleh karena itu berdasarkan tiga data review studi terdahulu yang telah dicantumkan di atas maka peneliti menulis tentang “Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan Mudharabah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain”. Karena menurut peneliti, penelitian yang dilakukan belum pernah ada yang mengangkat terutama yang terfokus pada kontrak mudharabah yang mengambil objek penelitian di dua BMT sebagai bahan perbandingan isi kontrak. E. Kerangka Teori

Kerangka teori atau landasan teori penulisan ini adalah masalah tentang kontrak bisnis yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain di sini penulis


(24)

menganalisis isi kontrak tersebut apakah sesuai dengan perjanjian syariah atau tidak. Oleh karena itu, penulis mengambil referensi dari berbagai buku di antaranya adalah buku Fikih Islam Wa’adiliatuhu dengan penulis Wahbah Az -Zuhaili, buku Fikih Muamalah, buku Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, buku Hukum Perikatan Islam, buku Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan dengan penulis Adiwarman Karim, dan kumpulan fatwa DSN-MUI. Akan tetapi penulis di sini penulis menitikberatkan pada Fatwa DSN MUI ketika menganalisisnya disamping hal yang tertulis di atas.

Setiap institusi keuangan termasuk BMT di sini pasti membuat suatu perjanjian kontrak/akad, dikarenakan kedudukan kontrak merupakan hal yang amat penting dalam suatu pembiayaan karena didalamnya memuat mengenai pasal-pasal yang didalamnya menjelaskan aturan yang harus ditaati kedua belah pihak dan juga memuat konsekuensi bila salah satu pihak melanggarnya.

Kontrak di dalam syariah diperbolehkan karena bertujuan untuk menjaga rasa kepercayaan kedua belah pihak, terutama bagi BMT. BMT harus membuat suatu kontrak yang jelas sehingga mereka tidak akan kecolongan uang oleh nasabah pembiayaan. Sebenarnya banyak cara yang digunakan oleh BMT untuk mendapatkan keuntungan dari pembiayaan mudharabah seperti menggunakan nisbah dan juga menggunakan pembagian keuntungan yang ditetapkan di muka atau cara-cara lainya. Pembagian bagi hasil dengan sistem flat atau ditetapkan di muka menurut penulis bermasalah karena dengan sistem ini pihak mudharib diharuskan membayar bagi hasil secara tetap padahal proses bagi hasil harus


(25)

berdasarkan nisbah seperti dengan prosentase keuntungan7 40 % untuk BMT dan 60% untukmudharib.

Pengertian mudharabah itu sendiri adalah penyerahan harta darishahib al-mal (pemilik modal/dana) kepada mudharib (pengelola dana) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, maka mudharib (pengelola dana) tidak berhak diberi upah atas usahanya danshahib al-mal(pemilik dana) tidak berhak menuntut kerugian kepadamudharib. Demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihak mudharib.8 Oleh karena itu berdasarkan dari pengertian diatas bahwa pembagian keuntungan harus dilakukan dengan bagi hasil.

Selain itu definisi dari kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.9 Oleh karena itu setiap institusi khususnya baitul maal wat tamwil harus menuliskan kontrak/aqad pembiayaan mudharabah ketika menyalurkan pembiayaan tersebut.

Definisi Baitul Mal wa Tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikanbayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan

7

Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh & Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2007),h.206-207.

8

Ibid., h.9

9

Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam,cet.I, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.42.


(26)

usaha – usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan menengah dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mal wa Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya.10

Dari kedua isi kontrak BMT yang penulis kaji mempunyai ragam isi kontrak yang berbeda. Sehingga penulis memunyai keinginan kuat untuk mengetahui bagaimana isi dari kontrak pembiayaan mudharabah di kedua BMT ini, apakah isi kontrak tersebut sudah sesuai konsep yang ada dalam syariat Islam. F. Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan disini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Travers (1978), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat susuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.11 sedangkan metode kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri.12

10

A.Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2002), h.183

11

Husein Umar,Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, cet. IV, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.22.

12

Robert Bogdan dan steven J. Taylor, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Penerjemah Arief Furchan, cet. I, (Surabaya: Usana Offset Printing, 1992), h.21-22.


(27)

Oleh karena itu penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang berupaya menghimpun data, mengolah dan menganalisis data secara kualitatif dan menafsirkannya secara kualitatif pula dari sumber yang didapat. Sehingga penulis dapat menganalisis bagian yang ada dalam kontrak mudharabah di ke dua BMT ini.

2. Objek Penelitian

Penulis di sini melakukan objek penelitian di dua tempat yaitu di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain, dengan cara menganalisis isi kontrak yang ada di kedua BMT tersebut, apakah kontrak yang dibuat telah sesuai dengan perjanjian syariah atau hanya cuma label syariah saja.

3. Sumber Data a. Data Primer

Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumbernya. Salah satunya dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait seperti dengan Kasi Marketing BMT BUS dan Direktur BMT Husnayain, mengenai prihal yang diwawancarai adalah seputar akad kontrak pembiayaan mudharabah di BMT tersebut.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari literature-literatur kepustakaan seperti dari buku, internet serta sumber-sember lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini.


(28)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsep-konsep yang akan dikaji. Bahan yang digunakan untuk studi pustaka ini, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, majalah, surat kabar, website, serta beberapa artikel atau jurnal yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang penulis angkat yaitu yang berkaitan dengan kontrak pada pembiayaan mudharabah.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung pada ke dua BMT tersebut dengan menggunakan teknik pengumpulan sebagai berikut:

1) Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).13 Wawancara/interview dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data

13


(29)

dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.14

2) Studi Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada subjek penelitian. Studi ini dilakukan dengan cara melihat dokumen serta arsip seperti kontrak pembiayaan mudharabah yang ada pada ke dua BMT tersebut.

5. Teknik Analisa Data

Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengunakan metode analisis dokumen yaitu penyelidikan meliputi informasi melalui pengujian arsip dokumen.15 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini melakukan pengujian terhadap data informasi yang berdasarkan pada fakta di lapangan.

Oleh karena dalam tekhnik analisis data ini dapat dihasilkan berupa interpretasi atau menggambarkan seluruh hasil analisis yang diperoleh dari berbagai data yang telah diperoleh baik dari data primer ataupun sekunder dengan prioritas tanpa mementingkan kualitas datanya, akan tetapi lebih mementingkan pada kesesuaian dalam perjanjian syariah.

14

Sutrisno Hadi,Metodologi Research: jilid 2, ( Yogyakarta: Andi, 2004), h.218.

15

Consuelo G. Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah Alimuddin Tuwu, (Jakarta: UI-Press, 2006) h.85.


(30)

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat sistematika sesuai dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi lima bab yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORI KONTRAK PEMBIAYAAN

MUDHARABAH

Bab ini membahas mengenai. Pertama, pembiayaan mudhaabah yang di dalamnya terdapat pengertian pembiayaan, pengertian mudharabah, landasan syariah mudharabah, rukun dan syarat mudharabah, nisbah keuntungan mudharabah, bentuk mudharabah. Kedua, kontrak bisnis syariah yang di dalamnya membahas pengertian kontrak bisnis dan akad, rukun dan syarat akad, asas-asas perjanjian/akad dalan Islam,


(31)

hal-hal yang dapat merusak akad, macam-macam akad, dan berakhirnya akad.

BAB III GAMBARAN UMUM BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN

Bab ini menjelaskan tentang sejarah berdirinya BMT BUS dan Husnayain, visi dan misi, struktur organisasi dan produk-produk pada ke dua BMT tersebut.

BAB IV HASIL PENELITIAN KONTRAK BISNIS DALAM

PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN

Bab ini menjelaskan mengenai prosedur pembuatan kontrak pada BMT BUS dan BMT Husnayain, struktur dan anatomi kontrak mudharabah, serta analisis materi kontrak mudharabah pada ke dua BMT tersebut terhadap perjanjian syariah.

BAB V PENUTUP

Bab terakhir ini memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran yang didapat dari hasil penelitian di bab-bab sebelumnya yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(32)

22 A. Pembiayaan Mudharabah

1. Pengertian Pembiayaan

Suatu pembiayaan – dalam pengertian memberikan modal usaha –

tidaklah dilakukan melainkan atas dasar kepercayaan. Dasar inilah yang membuat Veitzal Rivai menyatakan bahwa istilah pembiayaan pada intinya berarti I believe, I trust, ’saya percaya’ atau ‘saya menaruh kepercayaan’.1

Selanjutnya dia menyatakan bahwa perkataan pembiayaan yang artinya kepercayaan (trust), berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Sehingga pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara lembaga keuangan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu.2

Sedangkan menurut M. Nur Rianto Al Arif, pembiayaan adalah pendanaan yangdiberikanoleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga.

1

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal,Islamic Financial Management(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 4.

2


(33)

Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendekatan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.3

Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan bab I pasal I No. 12, yang dimaksud pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah:

“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.4

Menurut Antonio, pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.5 Oleh karena itu pembiayaan bisa dikaitkan dengan pembiayaan mudharabah. 2. Pengertian Mudharabah

Dari beberapa pengertian mengenai pembiayaan, maka pembiayaan erat kaitannya dengan kata mudharabah. Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal modal, sedangkan pihak lainnya

3

M. Nur Rianto Al Arif,Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 42.

4

“Undang-undang No. 10 tahun 1998”, artikel diakses pada tanggal 29 Maret 2011 dari http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/uu-bank-10-1998.pdf.

5Muhammad Syafi’i Antonio

, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press,2001), h.160.


(34)

menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.6

Mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.7

Selain itu mudharabah adalah penyerahan harta dari shahib al-mal (pemilik modal/dana) kepada mudharib(pengelola dana) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, maka mudharib(peneglola dana) tidak berhak diberi upah atas usahanya, dan shahib al-mal (pemilik dana) tidak berhak menuntut

6

Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, h.95

7

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah Soeroyo dan Nastangin, Jilid 4, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996), h. 380.


(35)

kerugian kepada mudharib, demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihakmudharib.8

Selain itu menurut Adiwarman Karim, mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian dari mudharib.9

3. Landasan Syariah Mudharabah

Secara umum, landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini:

a. Al-Qur’an

…             …

Artinya: “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…”(QS. Al-Muzammil: 20)

Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al-Muzammil ayat 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata

8

HMM.Dumairi Nor.dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, cet-II, (Jawa Timur : Pustaka Sidogiri,2008), h. 9.

9

Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh & Keuangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2007), h. 206-207.


(36)

mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.10 Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Jumu’ah ayat10 yang berbunyi:

                         

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.(QS. Al-Jumu’ah:10)11

               ...

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu...”(QS. Al-Baqarah: 198)12

Surah al-Jumu’ah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.

b. Al-Hadits

Sumber yang berasal dari hadits mengenai mudharabah terdapat dua buah sumber yaitu:

1) HR Thabrani, yang artinya: "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.

10

M. Syafi’i Antonio,Bank Syari’ah Teori dan Praktek, h. 95-96.

11

Ibid.,h. 95-96.

12 Rachmat Syafi’i,

Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum (Bandung: Pustaka Setia 2001), h. 225.


(37)

Disampaikanlah syarat-syarat tersebut pada Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun membolehkannya".

2) HR Ibnu majah No. 2280, kitab at-Tijarah, yang artinya: “Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.13

c.Ijma’

Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.

d. Qiyas

Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya, namun di sisi lain, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua

13

Ibnu Hajar Al- Asqalany,Syarah Bulughul Marram. Penerjemah Ahmad Sunarto, cet. I, (Surabaya: Halim Jaya, 2001), h. 437.


(38)

golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.14

4. Rukun dan Syarat Mudharabah15

Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad muharabah adalah: a. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)

b. Objek mudharabah (modal dan kerja) c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul) d. Nisbah Keuntungan

Pelaku. Jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama (pelaku) kiranya sudah jelas. Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai

pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad

mudharabah tidak ada.

Objek. Faktor kedua (objek mudharabah) merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaku usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbetuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang

14Rachmat Syafi’i,

Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, h. 226.

15


(39)

diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada. Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Namun para ulama madzhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal. Modal mudharabah bukan merupakan modal yang belum disetorkan. Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apa pun padahal mudharib yangtelah bekerja. Para ulama Syafi’i dan

Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad.

Persetujuan. Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari an-taradhin minkum (sama-sama rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

Nisbah Keuntungan. Faktor yang keempat (yakni nisbah) adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan


(40)

shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

5. Nisbah Keuntungan Mudharabah16 a. Prosentase

Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungn itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1. Namun nisbah ini tidak boleh 100:0, karena para ahli fiqih sepakat berpendapat bahwa mudharabah tidak sah apabila shahib al-mal dan mudharib membuat syarat agar keuntungan hanya satu pihak saja. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal; tentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal Rp tertentu, misalnya shahib al-maal mendapat Rp 50 ribu,mudharibmendapat Rp 50 ribu.

b. Bagi Untung dan Bagi Rugi

Ketentuan di atas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing cash

16


(41)

flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu. Bila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan berdasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi masing-masing pihak. Ituah alasan mengapa nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja, yakni karena nisbah 50:50 atau 99:1 itu, hanya ditetapkan bila bisnisnya untung. Bila bisnis rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah.

c. Jaminan

Ketentuan pembagian kerugian seperti di atas itu hanya berlaku bila kerugian yang terjadi benar-benar murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena risiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misal karena mudharib lalai dan/atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, makashahib al-maltidak perlu menanggung kerugian seperti itu.

Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahibul mal dalam mengelola dana dengan seizin shahib mal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu


(42)

melakukan pelanggaran, kesalahan dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zhalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul mal sehingga shahibul mal dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalahcharacter risk.

Maka, untuk menghindari adanya moral hazard dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahib al-mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-mal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai dan/atau ingkar janji. Tegasnya, bila kerugian yang timbul disebabkan karena risiko bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita olehshahib al-mal.

d. Menentukan Besarnya Nisbah

Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-mal dengan mudharib. Dengan demikian,


(43)

angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50, 60:40, 70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan. e. Cara Menyelesaikan Kerugian

Jika terjadi kerugian, cara penyelesaiannya adalah:

1) Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal.

2) Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal. 6. Bentuk–Bentuk Mudharabah

Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqahdanmudharabah muqayyadah.17

a. Mudharabah Muthlaqah

Yang dimkasud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberikan kekuasaan sangat besar. Menurut ulama

Syafi’iyah dan Malikiyah, mudharabah harus berbentuk muthlaqah (mutlak dan tanpa batasan), maka tidak sah mudharabah muqayyadah (bersyarat dan


(44)

memiliki batasan) dengan jenis perdagangan tertentu, orang tertentu, dan negeri tertentu.18

b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecendrungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. B. Kontrak Bisnis Syariah

1. Pengertian Konrak dan Aqad

Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.19 Para pihak bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan (verbintenis).

18 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani. cet. I, Jilid V, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), h. 25.

19

Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam,cet.I, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 42.


(45)

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum

Islam.20 Lafal akad berasal dari lafal Arab, al-‘aqd, yang secara etimologis berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Secara terminologis akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai atau jaminan. Sedangkan arti khusus (al-ma’na al-khas) akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai

dengan kehendak syari’ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.21

2. Rukun dan Syarat Akad

Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: a. Shighat(pernyataan ijab dan qabul), b.’aqidan (dua pihak yang melakukan akad) dan c. ma’qud ‘alaih (obyek akad). Menurut madzhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas ijab dan kabul (shighat). Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas ulama:22

20

Syamsul Anwar,Hukum Perjanjian Syariah(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.

68.

21

Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam, h. 65.

22


(46)

a. Shighat (formulasi) ijab dan kabul dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis, sarana komunikasi modern, bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan, tulisan, maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan suatu akad yang umumnya dikenal denganal-mu’athah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan kabul dipandang sah yaitu:

1) Ijab dan kabul harus secara jelas menunjukan maksud kedua belah pihak,

2) Antara ijab dan kabul harus selaras, dan

3) Antara ijab dan kabul harus muttashil (bersambung, connect), yakni dilakukan dalam satumajlis ‘aqad (tempat kontak).

b. Pelaku akad disyaratkan harus orang mukallaf (‘aqil-baligh, berakal sehat dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk keabsahan akad diserahkan kepada ‘urf atau peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kemaslahatan para pihak.

c. Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuhi 4 (empat) syarat:

1) Ia harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan; atau diperkirakan akan ada pada masa mendatang dalam akad-akad tertentu seperti dalam akadsalam,istishna’,ijarahdanmudharabah.


(47)

2) Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan (mutaqawwam).

3) Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika.

4) Ia harus jelas (dapat ditentukan, mu’ayyan) dan dapat diketahui kedua belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad-selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai obyek akad-mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini, adat kebiasaan (‘urf) memunyai peranan penting.

Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad: salam, istishna’, ijarah dan musaqah. Artinya, keempat macam akad ini tetap dinyatakan sah walaupun obyek akad belum ada ketika terjadi akad.

Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat,’aqid, dan ma’qud ‘alaih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya adalah bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat (kegunaan,mufid).

d. Maudhu ‘al-‘aqad atau tujuan akad merupakan salah satu bagian penting yang mesti ada pada setiap akad. Yang dimaksud dengan maudhu’ al-‘aqad adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan (maqshad


(48)

al-ashli alladzi syuri’a al-‘aqad min ajlih). Menurut hukum Islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah al-Musyarri’ (yang menetapkan syariat, yaitu Allah). Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya

diketahui melalui syara’dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, semua bentuk akad yang tujuannya bertentangan syara’ (hukum

islam) adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum; misalnya, menjual barang yang diharamkan seperti minuman keras (khamr). Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang kepada penjual.

3. Asas-asas Perjanjian atau Akad dalam Islam

Secara terminologis, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat.23 Muhammad Daud Ali, mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.24

23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 60.

24

Gemala Dewi, dkk,Hukum Perikatan Islam di Indonesia(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 30.


(49)

Oleh karena itu, Asas-asas yang ada dalam perjanjian dalam hukum Islam terdapat beberapa point yaitu:25

a. Asas ibahah (Mabda’al-Ibahah)

Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syariah. Orang tidak dapat membuat-buat baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi SAW.

Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut.

b. Asas kebebasan berakad (Mabda’ Hurriyah at-Ta’aqud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis

25


(50)

apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukkan klausul apa saja ke dalam aad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil. Nas-nas Al-qur’an dan sunnah

Nabi SAW serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad.

Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada beberapa dalil salah satunya adalah:

                                           

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan apa saja baik bernama maupun yang berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(QS. Al-Ma`idah:1)

Kebebasan berakad dari ayat yang dikutip di atas adalah perintah dalam ayat ini menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib.

c. Asas konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa


(51)

perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsual.

Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari dalil-dalil hukum yaitu:

                                          

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara tukar-menukar berdasarkan periinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu”. (QS. An-Nisa: 29)

Kutipan ayat di atas menunjukkan antara lain bahwa setiap pertukaran secara timbal balik diperbolehkan dan sah selama didasarkan kesepakatan.

d. Asas janji itu mengikat

Dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak perintah memenuhi

janji. Dalam kaidah usul fikih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Di antara ayat dan Hadits dimaksud adalah,

                                  

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’: 34)


(52)

e. Asas keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah)

Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memenuhi risiko. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditur bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.

f. Asas kemaslahatan (Tidak memberatkan)

Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk kemaslahatan bagi mereka dan tidak menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah).

g. Asas amanah

Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup


(53)

perjanjian bersangkutan. Di antara ketentuannya adalah bahwa bohong atau penyembunyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila di kemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian.

h. Asas keadilan (Al-‘Adalah)

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah

Al-Qur’an yang menegaskan , “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Ma`idah: 8). Sering kali di zaman modern ini akad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad tersebut, karena klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.

Selain itu, istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan. Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materill, antara


(54)

individu dan masyarakat dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariat Islam.26

4. Hal-hal yang Dapat Merusak Akad

Akad yang dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat dibatalkan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:

a. Keterpaksaan atau dures (al-Ikrah)

Salah satu asas akad menurut hukum Islam adalah kerelaan (al-ridha) dari para pihak yang melakukan akad. Implementasi asas ini diwujudkan dalam bentuk ijab-kabul yang merupakan unsur terpenting dalam akad. Jika sebuah akad dilakukan tanpa adanya kerelaan, berarti akad tersbut dibuat dengan secara terpaksa.

Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, para ulama membagi ikrah menjadi dua macam, yaitu:

1) Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada hilangnya jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa mengakibatkan cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya.

2) Pemaksaan tidak sempurna (ikrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa sakit yang ringan atau berupa pukulan yang ringan.

Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh pada akad adalah pemaksaan yang tidak disyariatkan (tidak dibenarkan secara

26

Yusuf Qardhawi,Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin Hafidhuddin, dkk, cet.I, (Jakarta:Robbani Press,1997), h.396


(55)

hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum, maka pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim terhadap seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya (dari kebutuhan) untuk membayar utang.

b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath)

Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad dalam menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang membeli perhiasan yang diduganya adalah emas, namun ternyata tembaga. Akad seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal, karena obyek akad yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada. c. Penipuan (Tadlis) atau ketidak pastian (Taghrir) pada obyek akad

Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannnya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. Upaya ini disebut juga dengantaghrir(penipuan).

Tadlis ada tiga macam:

1) Tadlis perbuatan, yakni menyebutkan sifat yang tidak nyata pada obyek akad.

2) Tadlis ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang yang berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan


(56)

akad. Tadlis kadang terjadi juga pada harga barang yang dijual, atau menipu dengan memberi penjelasan yang menyesatkan.

3) Tadlis dengan menyembunyikan cacat pada obyek akad padahal ia sudah mengetahui kecacatan tersebut.

Akad yang mengandung tipuan (tadlis) dilarang oleh hukum Islam, tetapi tidak berpengaruh pada akad, kecuali jika disertai tipuan besar. Dalam hal disertai tipuan besar, maka pihak yang ditipu berhak membatalkan akad, untuk menyelamatkan dirinya dari kerugian, artinya ia sebagai pihak yang ditipu diberi hak khiyar mem-fasakh akad jual belinya, disebabkan adanya tipu daya yang disertai rayuan.

d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (Taghrir)

Pengertian ghaban di kalangan ulama adalah tidak terwujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, seperti harganya lebih rendah atau lebih tinggi dari harga sesungguhnya. Sedangkan taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada barang tetapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Ghaban kurang berpengaruh pada akad, karena hal itu sering terjadi sehingga sulit menghindarinya sehingga ia tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurungkan akad.

5. Macam-macam Akad

Dari lihat dari aspek sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi akad sah (shahih) dan akad tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang


(57)

memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum akad (baik yang bersifat khusus maupun bersifat umum) yang ditimbulkan oleh akad itu, saat itu juga, dan mengikat bagi para pihak yang melakukannya. Sebagai contoh, jual beli yang sah-dalam arti telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya, setelah terjadi ijab dan kabul, barang yang dijual menjadi milik pembeli dan harga penjualan barang menjadi milik penjual, kecuali apabila ada syarat khiyar. Perpindahan kepemilikan itu dipandang sudah terjadi walaupun belum dilakukan serah terima.

Akad sah, menurut madzhab Hanafi dan Maliki, terbagi atas akad yang nafidz dan akad yang mauquf. Yang pertama (nafidz) adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) dan memiliki kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad. Sedangkan yang kedua (mauquf) adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) namun tidak memiliki kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad tersebut; misalnya menjual sebuah barang oleh orang yang bukan pemiliknya padahal ia tidak diberi izin untuk menjualnya. Akad mauquf ini tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali pihak yang berkompeten mengizinkan atau membolehkannya. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, akad mauquf ini dipandang sebagai akad yang batal.

Akad tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah bahwa semua akibat hukum yang ditimbulkan dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang


(58)

berakad; misalnya menjual bangkai dan khamr, atau akad jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum.

Menurut ulama madzhab Hanafi, akad yang tidak sah terbagi menjadi dua, yaitu akad yang batal (bathil) dan akad yang rusak (fasid). Akad yang batal adalah akad yang mengandung cacat pada rukun dan obyeknya. Misalnya akad yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau akad yang obyeknya tidak dapat menerima hukum akad seperti barang yang diharamkan. Dengan kata lain, akad batal adalah akad yang tidak dibenarkan syara’ (hukum Islam) dilihat dari sudut rukun dan cara pelaksanaanya. Akad batal dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum, walaupun secara kenyataan pernah terjadi; dan oleh karenanya ia tidak memunyai akibat hukum sama sekali. Sedangkan akad fasid adalah akad yang pada dasarnya dibenarkan hukum namun akad tersebut disertai hal-hal yang tidak dibenarkan hukum.

6.Berakhirnya Akad (Intiha’ al-‘aqd)

Menurut hukum Islam, suatu akad berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad (tahqiq gharadh al-‘aqd), fasakh, infisakh, kematian dan ketidak-izinan (‘adal al-ijazah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad mauquf.

a. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik


(59)

penjual. Demikian juga, akad berakhir disebabkanintiha’ muddah al-‘aqd (berakhir masa akad).

b. Fasakh. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difasakh:

1) Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjual sesuatu yang tidak jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli semacam itu dipandangfasad, dan karenanya harus (wajib) di fasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang dibelinya.

2) Disebabkan adanya khiyar. Pihak yang memiliki hak khiyar, baik khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk melakukan fasakhakad yang telah dilakukannya. Fasakh boleh dilakukan tanpa memerlukan pihak lain; kecuali dalam khiyar ‘aib (khiyar disebabkan terdapat kerusakan pada obyek akad) setelah obyek akad diterima.

3) Disebabkan iqalah. Iqalah adalah fasakh terhadap akad berdasarkan kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya. Iqalah dianjurkan oleh Nabi SAW.


(60)

4) Disebabkan oleh ‘adam al-tanfidz, yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh akad tidak dipenuhi oleh para pihak atau salah satu pihak bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh. Misalnya dalam akad yang mengandung khiyar naqd (khiyar pembayaran)

c. Infasakh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila isi akad tidak mungkin dapat dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan afat samawiyah (force majeure). Dalam akad jual beli misalnya barang yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan kepada pembeli. Dengan demikian, akad jual beli dinyatakan putus dengan sendirinya (infasakh), karena pelaksanaan akad yang dalam hal ini menyerahkan barang mustahil dapat dilakukan.

d. Kematian

Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad dimaksud.

1) Akad sewa menyewa (ijarah). Menurut Hanafiah, akad ijarah berakhir disebabkan kematian salah satu pihak, namun tidak berakhir menurut madzhab yang lain.

2) Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang gadaian dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar utangnya apabila ahli waris masih di bawah umur. Akan tetapi, jika ahli


(61)

warisnya orang dewasa, mereka bisa membayarkan utang pewaris pemberi gadai guna menyelamatkan barang gadaian.

3) Dalam akad kafalah (kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir disebabkan kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan pembayaran utang kepada kreditur (da’in) atau pembebasan utang (ibra’). Jika kafil (pemberi garansi) meninggal dunia, utang yang digaransinya dibayar dari harta peninggalannya.

4) Dalam akad mudharabah, jika pemilik modal atau mudharib meninggal, maka akad mudharabah menjadi batal menurut mayoritas ulama, karena mudharabah mencakup akad wakalah, seementara wakalah batal dengan meninggalnya muwakil (orang yang mewakilkan) atau wakil.27

e. Tidak ada persetujuan (‘adam al-ijazah). Akad mauquf berakhir apabila pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan akad.

27


(62)

52

A. Sejarah Berdirinya BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1. Sejarah Singkat BMT Bina Ummat Sejahtera

Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BMT Bina Ummat Sejahtera berdiri bermula dari sebuah keprihatinan menatap realitas perekonomian masyarakat lapis bawah yang tidak kondusif dalam mengantisipasi perubahan masyarakat global. Tahun 1996 Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orsat Rembang berusaha menggerakan organisasi dengan mendirikan sebuah lembaga keuangan alternatif dengan pemrakarsanya Drs. Abdullah Yazid, MM., membuat usaha lembaga keuangan alternatif berupa usaha simpan pinjam yang dimotori gerakan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), karena perkembangan lembaga ini mendapat tanggapan baik dari masyarakat, maka

pada tahun 1998 berubah menjadi Koperasi Serba Usaha (KSU) “Unit Simpan Pinjam” dengan Nomor Badan Hukum 13801/BH/KWK.11/III/1998.

Kemudian pada tahun 2002 berubah menjadi Koperasi Simpan Pinjam

Syari’ah (KSPS) BMT Bina Ummat Sejahtera sampai akhirnya pada tahun 2006 berubah menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). BMT Bina Ummat Sejahtera, pada saat ini telah mempunyai 68 cabang di seluruh Indonesia dengan kantor pusat yang berada di Jl. Raya No.16 Lasem, Jawa


(63)

Tengah. Namun di sini penulis mengambil objek penelitian di kantor cabang BMT Bina Ummat Sejahtera cabang Pondok Gede, Jakarta Timur. Kantor cabang BMT BUS yang berada di Jakarta terdapat dua cabang. Pertama, yang berada di Tanjung Priuk berdiri pada bulan Oktober 2008. Kedua, setelah enam bulan dibukalah cabang baru yang beralamat di JL. Raya Pondok Gede No. 1 RT 006 RW 01 Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur.

2. Sejarah Singkat BMT Husnayain

BMT Husnayain merupakan BMT yang tergolong cukup lama keberadaannya, BMT ini didirikan sejak tanggal 21 September 1999 M pada

hari Jum’at pada kalender islam bertepatan pada tanggal 10 Jumadi Tsani 1420

H. BMT Husnayain didirikan untuk menjawab problematika ekonomi masyarakat yang ada, baik di sekitar Pondok Pesantren Husnayain maupun di wilayah Jabodetabek pada umumnya. Yang intinya berdirinya BMT ini bertujuan untuk mebebaskan masyarakat dari kemiskinan dan membantu para pengusaha kecil agar terbebas dari jeratan rentenir.

Dalam rangka memperbaiki kondisi ini, maka Pondok Pesantren Husnayain bersama dengan jamaah Masjid Abu Bakar Shidiq melakukan terobosan untuk membentuk lembaga yang tidak hanya pro terhadap pengusaha-pengusaha besar, tetapi lebih mengarah terhadap pengusaha kecil dengan berlandaskan prinsip keadilan dan berpedoman pada syariat islam.

Maka setelah beberapa kali mengadakan pertemuan-pertemuan yang dipimpin oleh pimpinan Pondok Pesantren Husnayain yaitu KH. Kholil


(64)

Ridwan, Lc beserta 11 orang pendiri lainnya yaitu KH. Maryadi M. Kewang, S.Ag., H. Sobar Harahap, S.E., MM., Ir. H. M. Nasir, H. Musaddad, S.H., Ir. H. Mulyadi, Ir. H. Syamsudin Halik, H. Syamsudin Harahap, H. M. Zein Ridwan, Sutrisna, B.Sc., Drs. Komarudin dan ustadz Saelani Hasan. Maka pada hari Jum’at tanggal 21 September 1999 diputuskan serta ditetapkan berdirinya lembaga keuangan mikro syariah yang bernama BMT Husnayain sebagai unit dari koperasi Pondok Pesantren Husnayain dengan Nomor Badan Hukum 094/BH/KWK.9/III/1995. BMT ini berdiri di atas bangunan seluas 5 X 12 M2, dengan nomor NPWP 1.850.5332.1-005.

Prinsip utama yang menjadi pilar BMT Husnayain pada saat itu adalah dengan modal keyakinan dan semangat mengembangkan ekonomi kerakyatan berdasarkan syariah islam, maka para pendiri BMT Husnayain yang terdiri dari 12 orang yang diwakili oleh K.H. Kholil Ridwan menyerahkan amanah kepada pengelola BMT Husnayain untuk menjalankan usaha dengan modal awal Rp.16.000.000,- (enam belas juta rupiah). Maka dengan modal sejumlah ini pada bulan Oktober 1999 BMT Husnayain resmi beroprasi di JL. Lapan No. 25 RT 009 RW 01 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Pada saat ini BMT Husnayain telah mendapat sambutan dan respon positif dari masyarakat, selain itu pula BMT Husnayain telah melebarkan sayap dengan membuka cabang di daerah Pondok Ranggon, Pasar Minggu, Cilengsi, Kramat Jati, dan Duren Sawit.


(65)

B. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera

BMT Bina Ummat Sejahtera memiliki visi yaitu menjadi lembaga keuangan mikro syariah terdepan dalam pendampingan usaha kecil yang mandiri.Sedangkan misi BMT BUS memiliki lima misi yaitu:

a. Membangun lembaga jasa keuangan mikro syari’ah yang mampu

memberdayakan jaringan ekonomi mikro syari’ah, sehingga mampu

menjadikan umat yang mandiri.

b. Menjadikan lembaga jasa keuangan mikro syari’ah yang tumbuh dan berkembang melalui kemitraan yang sinergi dengan lembaga syari’ah

lain, sehingga mampu membangun tatanan ekonomi yang penuh kesetaraan dan keadilan.

c. Mengutamakan mobilisasi pendanaan atas dasar ta’awun dari golongan

aghniya, untuk disalurkan ke pembiayaan ekonomi kecil dan menengah serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infaq dan shodakoh, guna mempercepat proses mensejahterakan ummat, sehingga terbebas dari dominasi ekonomi ribawi.

d. Mengupayakan peningkatan permodalan sendiri, melalui penyertaan modal dari para pendiri, anggota, pengelola dan segenap potensi ummat. Sehingga menjadi lembaga jasa keuangan mikro syari’ah yang sehat dan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)