124 Hal ini tidak lain, dimungkinkan oleh karena kebanyakan para sultan yang
ada  selalu  terus  memacu,  nmemberi  motivasi,  dorongang  terhadap  para  ulama, dan banyak para ulama dan para pelajar yang merantau dari satu negeri ke negeri
yang lain untuk berdiskusi, bertukar pikiran dan mengumpulkan berbagai macam ilmu  pengetahuan.
334
Dari  mulai  filsafat,  matematika,  ilmu  kedokteran,  ilmu astronomi, ilmu hitung dan lain sebagainya.
Sehingga  pendidikan  pada  saat  itu  turut  mengalami  perkembangan  yang cukup baik pada masa tersebut, antara lain:
a. Kurikulum
Kurikulum  pada  masa  Islam  klasik  sudah  tentu  tidak  akan  sama  dengan kurikulum  pada  masa  sekarang  ini,  kurikulum  pada  masa  itu  tidak  banyak
menawarkan  mata  pelajaran  yang  bermacam-macam.  Dalam  satu  jenjang  waktu, pengajaran  hanya  menyajikan  satu  mata  pelajaran  yang  harus  ditempuh  oleh
siswa.  Setelah  materi  tersebut  selesai,  maka  siswa  baru  diperbolehkan mempelajari  mapa  pelajaran  yang  lain,  atau  yang  lebih  tinggi  tingkatannya,
misalnya  pada  tahap  permulaan  siswa  diharuskan  belajar  menulis  dan  membaca, setelah  siswa  tersebut  bisa  menulis  dan  membaca,  berikutnya  siswa  baru
diperbolehkan untuk belajar berhitung dan seterusnya. Hal tersebut lebih dikarenakan pada saat itu belum adanya koordinasi antar
lembaga pendidikan  yang ada, atau oleh suatu organisasi atau pemerintah seperti sekarang  ini,  kalau  pun  ada  dalam  kasus  tertentu,  penguasa  turut  ambil  bagian
pada  pendidikan  di  mesjid,  namun  pada  pelaksanaannya  proses  belajar- mengajarnya  itu  bergantung  sepenuhnya    kepada  guru  yang  memberikan
pelajaran,  sehingga  antara  guru  yang  satu  dengan  yang  lainnya  tidak  ada keterkaitannya dalam kelulusan siswa pada lembaga tersebut.
Tiap-tiap  guru  akan  memberikan  ujian  sendiri  terhadap  siswa  yang  telah selesai  mengikuti  pelajarannya,  kemudian  ia  akan  diberikan  ijazah,  oleh
karenanya, seorang siswa kemungkinan bisa memiliki banyak ijazah , baik dalam satu bidang studi, maupun  dari berbagai macam bidang studi lain.
334
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, 20.
125 Menurut  Ahmad  Tafsir  yang  dimaksud  kurikulum  adalah  sejumlah  mata
pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa, lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana mata pelajaran, akan tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan di sekolah.
335
Pada  lembaga  pendidikan  saat  ini,  siswa  dituntut  untuk  mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Disamping itu,
siswa juga diwajibkan untuk mengikuti serangkaian kegiatan sekolah  yang dapat memberikan pengalaman belajar.
Sedangkan  kurikulum  dalam  lembaga  pendidikan  pada  masa  itu  pada mulanya  hanya  berkisar  pada  bidang  studi  tertentu.  Namun  seiring  dengan
perkembangan sosial dan kultural, maka materi kurikulum pun semakin luas. Mengidentifikasi  kurikulum  pada  masa Nabi  memang  terasa  sulit,
dikarenakan  Nabi  mengajar  pada  sekolah  kehidupan  yang  luas  tanpa  dibatasi dinding kelas, Nabi memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-
nilai pendidikan untuk menyampaikan ajarannya. Pendidikan  Islam  pada  masa  Rasulullah  dimulai  sejak  Nabi  Muhammad
SAW  diutus menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah, sistem pendidikan ini lebih bertumpu kepada Nabi, sebab pada saat itu hanya Nabi yang mempunyai otoritas
untuk  menentukan  materi-materi  pendidikan  Islam.  Materi  pengajaran yang diberikan  pada periode Mekah berkisar pada ayat-ayat makkiyah yang berjumlah
93 surat dan petunjuk-petunjuknya yang dikenal dengan sunnah dan hadis. Sementara pendidikan pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran yang
diberikan berkisar  pada  belajar  menulis,  membaca  al-Qur’an,  keimanan,  ibadah, akhlak,  dasar-dasar  ekonomi,  dasar  politik  dan  kesatuan.  Metoda  yang
dikembangkan  oleh  Nabi  dalam  bidang  keimanan  adalah  tanya  jawab  dengan penghayatan  yang  mendalam  dan  didukung  dengan  bukti-buktiyang  rasional  dan
ilmiah menurut kemampuan berpikir orang yang diajak berdialog. Untuk materi ibadah biasanya disampaikan melalui metode demonstrasi dan peneladanan.
335
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam,Bandung: Rosdakarya, 1992, 53
126 Sedangkan pada masa khulafa al Rasidin, untuk pendidikan dasar adalah
membaca  dan  menulis,  membaca  dan  menghapal  al-Qur’an,  dan  pokok-pokok agama islam. Sementara untuk tingkat menengah dan tinggi terdiri dari al-Qur’an
dan  tafsir,  Hadis  dan  pengumpulannya,  serta  Fiqih,
336
Filsafat  dan  ilmu  duniawi belum dikenal pada saat itu.
Pada  masa  kejayaan  Islam materi  pendidikan  sudah  mengalami penambahan,  hal  ini  terjadi  karena  Islam  telah    bersentuhan  dengan  budaya
masyarakat non Islam yang menyebabkan permasalahan sosial semakin kompleks, problem  tersebut  akhirnya  berpengaruh  terhadap  kehidupan  keagamaan  dan
intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan  kehidupan  intelektual  dan  keagamaan  membawa
perkembangan  lain  bagi  kurikulum  pendidikan  pada  saat  itu,  materi  yang diajarkan  pun  bertambah  dengan  ilmu-ilmu  baru  seperti  tafsir,  hadis,  fikih,  tata
bahasa, sastra, matematika, teologi, filsafat, astronomi dan kedokteran. Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat
rendah  adalah  al-Qur’an  dan  agama,  membaca,  menulis  dan  syair.  Sementara dalam berbagai  kasus  ditambah  dengan  nahwu,  cerita  dan  berenang.  Sedangkan
untuk  anak-anak  amir  dan  penguasa,  kurikulumnya  sedikit  berbeda.  Di  Istana biasanya  ditegaskan  pentingnya  khitabah,  ilmu  sejarah,  cerita  perang,  cara-cara
pergaulan di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, syair dan fikih.
337
Kurikulum  yang  diajarkan  pada  tingkat  menengah  meliputi;  al-Qur’an, Bahasa  dan  sastra  arab,  Fiqih,  Tafsir,  Hadis,  nah{wu,  ilmu-ilmu  eksakta,  mantiq,
falaq,  sejarah,  ilmu-ilmu  kealaman,  kedokteran  dan  musik.
338
Walau pun kurikulum ini belum seragam di laksanakan di seluruh daerah.
Ada  pun  kurikulum  pendidikan  tinggi  lebih  menunjukan  adanya keberagaman, namun secara umum lembaga pendidikan tinggi ini mempunya dua
fakultas, pertama, fakultas ilmu agama dan sastra, yang mempelajari; tafsir, h{ adis,
fiqih,  nah{ wu,  balaghah,  bahasa  dan  sastra  Arab.  Kedua,  fakultas  ilmu-ilmu
336
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya agung, 1979, 40
337
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam,Jakarta: Pustala al-Husna, 1992, 118
338
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1979, 55-56
127 H{
ikmah  filsafat,  mempelajari;  mantiq,  ilmu  alam  dan  kimia,  musik,  ilmu eksakta, ilmu ukur, falaq, ilmu teoligi, ilmu hewan, ilmu nabati dan kedokteran.
339
Stanton berpendapat bahwa materi pelajaran yang di berikan pada lembaga pendidikan tinggi ketika itu adalah sebagai berikut:
Ilmu-ilmu  agama  sangat  mendominasi  kurikulum  lembaga  pendidikan tinggi formal, dan  al-qur’an berada pada porosnya. Disiplin-disiplin  yang
perlu untuk memahami dan menjelaskan makna al-Quran tumbuh sebagai bagian  inti  dari  pengajaran,  yakni h{
adis, lalu  tafsir.  Tantangan  utama dalam  mempelajari  h{
adis  adalah  keharusan  menghafal  secara  literal ratusan  h{
adis,  dan  membangun  kemampuan untuk  memilih h{ adis  yang
tepat  diantaranya  dalam  menjawab  satu  pertanyaan  hukum.  Sedangkan tafsir –metode penafsir arti dan konteks literatur agama- sangat bergantung
kepada  keahlian  seorang  guru  dan  kemampuannya  mengajarkan  metode- metode penafsiran dan penjelasan bahasa al-Qur’an.
340
Fiqih  dalam  sistem  ini  merupakan  bagian  dari  kajian  khusus  dalam mazh{
ab tertentu, dimana ilmu-ilmu agama  yang lain berfungsi sebagai prasyarat. Sementara  kurikulum  pelajaran  yang  mencakup  sains  dan  sastra  muncul  pada
waktu pemikiran-pemikiran Islam sudah mulai maju, kemerdekaan berfikir mulai berkembang,  bidang-bidang  penelitian  sudah  semakin  meluas,  ilmu-ilmu
diberbagai  bidang  yang  mencakup  sains  dan  sastra  sudah  mulai  bangkit,  dan semakin bertambah kegiatan ilmiah falsafi pada umat Islam.
’Athiyah, memberikan contoh, Abu Ishak al-Kindi, seorang filosof Islam, telah  mempelajari  kedokteran,  aljabar,  Sya’ir,  logika,  filsafat  dan  musik  pada
ketiga Hijriyah. Yang dilaksanakan pada lembaga informal di luar madrasah. Dengan  melihat  kenyataan  tersebut,  maka  pendidikan  keagamaan  dan
pendidikan  sains  pada  saat  itu  dilaksanakan  secara  terpisah  pada  lembaga pendidikan  yang  berbeda  pula  dan  mungkin  lahir  dari  paradigma  yang  ber  beda
juga
b. Metode Pengajaran