76 sebelum ia dapat menguasai al-quran secara baik. Pendekatan yang digunakan
adalah otografi mengenali satu bentuk kata dalam hubungan dengan bunyi bacaan, oleh karena itu Muslim maroko dapat menghafal al-quran lebih baik
dibandingkan dengan muslim dari daerah yang lain. 2. Muslim Spanyol al-Andalus lebih mengutamakan kepada menulis dan
membaca. Al-Quran tidak lebih utama dibandingkan dengan puisi dan bahasa Arab,penekanan ini akhirnya banyak melahirkan ahli kaligrafi, yang dapat
membaca dan menyalin al-quran tanpa harus menghafalnya. 3. Daerah Ifriqiyah Afrika Utara:Tunisia, Al-Jazair, dan Libiya, pendidikan
kutab disini lebih mengutamakan kepada al-quran dengan tekanan yang khusus pada variasi bacaan qiraat, lalu diikuti dengan seni kaligrafi dan
hadits. Keempat, daerah Timur al-masyriq, Timur tengah, Iran, asia tengah dan semenanjung India, Yang menurut pengakuannya – tidak ia ketahuai
secara jelas dibandingkan dengan tiga daerah yang pertama – secara umum daerah ini menganut kurikulum campuran, dengan al-Quran sebagai inti
materi,tetapi tidak memadukannya dengan kaligrafi, sehingga tulisan tangan anak-anak dari daerah ini kurang begitu baik.
185
Dari uraian di atas dapat dikatakan,bahwa kuttab pada masa Islam berfungsi sebagai lembaga pendidikan dasar. Pada masa awal Islam kuttab
diselenggarakan dengan melibatkan guru-guru non-Muslim. Sistem pengajaran difokuskan
pada kemampuan
membaca dan
menulis, yang
pada perkembangannya, setelah kebutuhan mengkaji al-Quran semakin meningkat dan
sumber daya manusia guru dan fasilitas yang memadahi untuk mengajarkan al- Quran, maka kuttab menjadi tempat yang strategis untuk pengajaran kitab suci
ini, bahkan al-Quran menjadi mata pelajaran par excellent selain membaca,menulis,ilmu hitung dan ilmu pengetahuan agama dasar yang lain.
3. Toko buku atau kedai H{awanit al-Waraqin
H{awanit adalah bentuk jama’ dari h{anut yang berarti kedai, dan al- Warraqin merupakan bentuk jama’ d{
awaraq yang berarti penyalinan manuskrip.
185
Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, 594-595.
77 Jadi, sebuah tempat atau semacam toko buku tempat menjual kitab-kitab penting
hasil karya para penyalin. Di sisi lain kedai ini juga berfungsi sebagai perpustakaan umum. Pemiliknya selain menyediakan kitab-kitab bermutu juga
menyelenggarakan forum diskusi dan tukar pikiran yang dihadiri oleh para ulama dan para penuntut ilmu.
186
Walapun sarjana-sarjana modern cukup sulit untuk mengakui bahwa toko- toko buku atau ”kedai-kedai” yang ada sebagai pusat pendidikan tinggi, tetapi
mereka tetap mengakui fungsi itu di kota-kota Islam.
187
Menurut Hasan Fahmi, kelahiran kedai-kedai ini berhubungan erat dengan penemuan kertas sebagai alat
tulis. Memang industri kertas bermula dari negri Cina pada tahun 105 M. Namun, kemudian pengembangannya untuk menjadi tujuan alat tulis di mulai oleh bangsa
Arab di Baghdad sekitar tahun 794 M. Melalui jasa al Fadhi bin Yahya pada masa Harun al-Rasyid. Sesudah itu, kemudian industri kertas mulai berkembang di
dunia, seperti; Syiria, Mesir, Afrika Utara dan Andalus.
188
Toko-toko buku muncul sejak permulaan Kerajaan Bani abbas, Bahkan Nakosteen melihat bahwa selama kejayaan khalifah Abbasiyah, toko-toko buku
berkembang pesat di wilayah timur tengah, dan peran pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung liberia,
Sebelum terjadinya perusakan oleh pasukan Mongol, Baghdad telah memiliki tidak kurang dari 100 penjual buku, dan diantaranya di kota-kota Sharaz, Mosul,
Basrah, kairo, Kordova, Fez, Tunis dan banyak kota-kota lain yang mendukung untuk terus bertambahnya jumlah toko-toko buku yang ada
189
Para pembeli dan penjual buku atau catatan-catatan manuskrip – yang berasal dari kalangan cerdik pandai – turut serta memberikan kontribusi yang
besar terhadap kehidupan intelektual dalam masyarakat melalui karya-karya
186
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Logos, 1999, 221.
187
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education Boulder:
University of Colorado Press, 1964, 470.
188
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 102.
189
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education Boulder: University of Colorado Press ,1964, 73.
78 pilihan mereka yang diterjemahkan dari baerbagai bahasa seperti Yunani dan
persia, demikian pula dengan para saudagar buku, ia tidak hanya membeli dan menjual buku-bukunya kepada para pelanggannya, mereka juga seringkali
memfunsikan diri sebagai percetakan. Dengan demikian, maka toko-toko buku dilain pihak sebagai tempat
terjadinya transaksi bisnis, di pihak lain juga merupakan pusat pengumpulan dan penyebaran buku-buku, maka tidaklah heran jika lingkaran-lingkaran studi
berkembang dengan pesat dan mengaitkan dirinya dalam bentuk bangunan ruangan khusus.
Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah atau bahkan kadang-kadang ada yang menjadi pemimpin dari lingkaran studi tersebut. Pemilik
toko dapat mengundang orang-orang pandai dari golongan masyarakat sekitar untuk duduk dan mengarahkan diskusi-diskusi tentang masalah-masalah
intelektual dan keagamaan. Para ilmuwan pun kadang sering datang ke toko-toko buku tertentu untuk bergabung dengan sanggar sastra yang ada, bahkan sampai
ada yang dibiayai dipelihara, ditetapkan sebagai tenaga oleh seorang saudagar buku.
190
Dari uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa toko-toko buku dan pemiliknya pada saat itu, telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
perkembangan dunia pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi kebangkitan intelektual Islam.
4. Majlis-majlis.