127 H{
ikmah filsafat, mempelajari; mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu eksakta, ilmu ukur, falaq, ilmu teoligi, ilmu hewan, ilmu nabati dan kedokteran.
339
Stanton berpendapat bahwa materi pelajaran yang di berikan pada lembaga pendidikan tinggi ketika itu adalah sebagai berikut:
Ilmu-ilmu agama sangat mendominasi kurikulum lembaga pendidikan tinggi formal, dan al-qur’an berada pada porosnya. Disiplin-disiplin yang
perlu untuk memahami dan menjelaskan makna al-Quran tumbuh sebagai bagian inti dari pengajaran, yakni h{
adis, lalu tafsir. Tantangan utama dalam mempelajari h{
adis adalah keharusan menghafal secara literal ratusan h{
adis, dan membangun kemampuan untuk memilih h{ adis yang
tepat diantaranya dalam menjawab satu pertanyaan hukum. Sedangkan tafsir –metode penafsir arti dan konteks literatur agama- sangat bergantung
kepada keahlian seorang guru dan kemampuannya mengajarkan metode- metode penafsiran dan penjelasan bahasa al-Qur’an.
340
Fiqih dalam sistem ini merupakan bagian dari kajian khusus dalam mazh{
ab tertentu, dimana ilmu-ilmu agama yang lain berfungsi sebagai prasyarat. Sementara kurikulum pelajaran yang mencakup sains dan sastra muncul pada
waktu pemikiran-pemikiran Islam sudah mulai maju, kemerdekaan berfikir mulai berkembang, bidang-bidang penelitian sudah semakin meluas, ilmu-ilmu
diberbagai bidang yang mencakup sains dan sastra sudah mulai bangkit, dan semakin bertambah kegiatan ilmiah falsafi pada umat Islam.
’Athiyah, memberikan contoh, Abu Ishak al-Kindi, seorang filosof Islam, telah mempelajari kedokteran, aljabar, Sya’ir, logika, filsafat dan musik pada
ketiga Hijriyah. Yang dilaksanakan pada lembaga informal di luar madrasah. Dengan melihat kenyataan tersebut, maka pendidikan keagamaan dan
pendidikan sains pada saat itu dilaksanakan secara terpisah pada lembaga pendidikan yang berbeda pula dan mungkin lahir dari paradigma yang ber beda
juga
b. Metode Pengajaran
Metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang penting dalam mentransfer pengetahuan atau budaya dari seorang guru kepada muridnya.
339
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1979, 57-58
340
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Jakarta: Logos, 1994, 53
128 Metode pengajaran yang dipakai pada saat itu dapat dikelompokkan pada tiga
macam, lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan bisa saja berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi.
Dikte merupakan metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena pelajar dapat memiliki catatan. Murid-murid
biasanya membuwat catatan pelajaran dengan menuliskan nama guru yang menyampaikan pelajaran, tempat dan hari mereka menerima pelajaran. Ketika
pelajaran berlangsung, murid-murid duduk dilantai, memegang catatan ditangan kiri dan lututnya dijadikan “bangku” untuk menulis dengan tempat tinta untuk
pena. Metode ini dianggap penting karena pada saat itu buku-buku cetakan seperti sekarang ini sangat sulit sekali untuk dimiliki oleh para pelajar.
Sedangkan metode ceramah adaalah guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Pada
saat-saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada murid untuk mencatat dan bertanya.
Sementara metode qira’ah atau membaca biasanya digunakan untuk pelajaran membaca, dan diskusi merupakan metoda yang khas dalam pendidikan
Islam pada masa itu. Di mana para ulama sering mengadakan majelis-majelis diskusi dan perdebatan. Metode ini banyak dipergunakan dalam pengajaran ilmu-
ilmu yang bersifat filosofis dan fikih. Dimana murid-murid boleh bertanya langsung kepada guru dan mereka tidak diizinkan untuk tinggal diam dan hanya
mendengarkan saja, murid-murid harus berpartisipasi aktif selama diskusi berlangsung. Hal ini memungkinkan seorang guru untuk mengetahui secara
langsung kemampuan dan intelektual murid-muridnya. Kedua metode menghafal, metode ini merupakan ciri umum dalam sistem
pendidikan Islam pada saat itu. Metode ini sangat ditekankan sekali untuk dapat menghafal suatu pelajaran, murid harus membaca berulang-ulang sehingga
pelajaran dapat melekat di benak mereka. Selanjutnya akan mengeluarkannya kembali atau mengkontekstualisasi pelajaran yang di hafalnya itu, sehingga dalam
diskusi atau perdebatan dia dapat merespon, mematahkan lawan atau memunculkan sesuatu yang baru.
129 Metode ini pun bisa bersifat pasif jika murid berhenti pada tataran
menghafal saja tanpa diikuti dengan pemahaman, kemampuan mengabstraksi atau mengkontekstualisasi, sehingga ilmunya tidak berkembang.
Ketiga, metode tulisan, metode ini dianggap paling penting pada saat itu. Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama, dimana biasanya guru
membacakan buku yang dia susun kepada murid-muridnya, dan muridnya menuliskan kembali apa yang telah dibacakan oleh gurunya, sehingga setelah
selesai pelajaran mereka menyerahkan hasil tulisannya untuk mendapatkan pengesahan dari gurunya, untuk menyatakan bahwa tulisan tersebut merupakan
hasil berguru kepadanya. Metode ini dianggap sangat bermanfaat bagi proses penguasaan ilmu
pengetahuan, juga sangat besar artinya bagi pengadaan jumlah buku teks, karena pada saat itu belum ada mesin cetak, sehingga untuk mendapatkan buku teks
dirasa sangat sulit, dengan adanya metode pengkopian buku-buku, kebutuhan akan buku teks sedikit dapat teratasi.
c. Murid