45 dan alamiah adalah manusia yang telah belajar hidup sesuai dengan pembatasan-
pembatasan yang diberikan oleh alam kepadanya.
103
Begitu pula dengan John Dewey dalam bukunya menggaris bawahi mengenai hubungan antara pendidikan dan Demokrasi. Apabila kita
menginginkan suatu masyarakat yang demokrasi, yang pertama-tama harus dilakukan adalah mendemokratisasikan pendidikan. Hal ini berarti pendidikan
bukanlah sesuatu yang harus mencekoki peserta didik dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu pengetahuan itu harus dimiliki oleh peserta didik karena
pengalamannya.
104
Dalam masalah kekuasaan dan pendidikan, bagi Dewey, kekuasaan power dalam pendidikan adalah dimensi yang lain. Justru pendidikan hendaknya
mengembangkan kekuatan power yang berada di dalam hakikat peserta didik. Kekuatan itu berupa insting atau kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang
distimulasi oleh lingkunannya, yaitu lingkungan manusia masyarakat dan lingkungan alamnya.
105
B. Kebijakan Pendidikan.
Berbicara tentang kebijakan pendidikan,merupakan sebuah konsep yang sering kita dengar, kita ucapkan,bahkan kita lakukan, akan tetapi sering pula tidak
kita pahamidengan sepenuhnya. Oleh karena itu, kita lihat apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan.
Pertama, stilah kebijakan policy kadang sering dicampur adukan dengan kebijaksanaan wisdom, padahal kedua istilah ini mempunyai makna yang jauh
berbeda. Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan akal. Tentunya suatu kebijakan bukan semata-mata merupakan hasil pertimbangan
akal manusia. Namun demikian akal manusia merupakan unsur yang dominan
103
Ronald F. Reed Tony W.Jahnson, Philosophical in Education, 61-71.
104
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education
New York: Mac Millan, 1916, 106
105
John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education
, 106
46 didalam mengambil keputusan dari berbagai opsi dalam pengambilan keputusan
kebijakan. Suatu kebijaksanaan lebih menekankan kepada faktor-faktor emosional dan irasional. Bukan berarti bahwa suatu kebijaksanaan tidak mengandung unsur-
unsur rasional, barangkali faktor-faktor rasional tersebut belum tercapai pada saat itu ataumasih merupakan sebuah intuisi.
Bagaimana dengan kebijakan pendidikan? bukankah pendidikan sudah dikenal sejak manusia lahir dari sang ibu yang secara instingtif akan melindungi
dan mengajari anaknya sehingga menjadi dewasa.dalam proses pendewasaan sang ibu akan dibantu oleh orang-orang disekitarnya, oleh masyarakat dengan adat
istiadat yang merupakan pekem-pakem untuk membesarkan anak hingga dewasa. Proses pendidikan pada masyarakat modern atau yang telah maju, tidak
dapat lagi dilakukan secara terbatas oleh seorang ibu, atau keluarganya, melainkan pendidikan sudah menjadi tugas bersama di dalam masyarakat. Sehingga
muncullah lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah atau pusat-pusat pelatihan yang proses pendidikannya dapat berjalan secara formal.di dalam
melaksanakan tugas pendidikan tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan tertentu, supaya tujuan pendidikan yang diharapkan oleh stakeholder dapat
tercapai. Mengapa kebijakan pendidikan itu perlu? Kebijakan pendidikan itu
diperlukan karena erat kaitanya dengan pengaturan kehidupan dengan sesama manusia. Oleh karena itu, kebijkan pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan
pertanyaan mengenai apakah hakekat manusia? sehingga jawabannya akan membawa kepada pertanyaan apakah sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia
ini, dan bagaimana manusia itu dapat mewujudkan tujuannya.
106
Dari sinilah kita akan sampai kepada petanyaan, apakah sebenarnya proses pendidikan itu? Pengertian yang tepat mengenai hakikat proses pendidikan itu
akan melahirkan berbagai kebijakan pendidikan. Salah satu makna dari proses pendidikan adalah pemberdayaan, banyak pemikir modern dari berbagai disiplin
ilmu mengakui bahwa makna pendidikan adalah sebagai pembebasan manusia
106
Pertanyaan ini pula yang menjadi pokok utama pertanyaan filsafat folitik dan filsafat moral yang menelaah kehidupan masyarakat politik seperti Negara. Lihat. A. John Simmons,
Political Phylosophy London: Oxford University Press, 2008, 2.
47 dari berbagai keterikatannya, baik keterikatan biologis, keterikatan sosial dan
keterikatan lingkungannya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa proses pendidikan akan
tampak dengan jelas mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara kekuasaan dan pendidikan. Tidak seluruh kekuasaan itu sifatnya negatif, bahkan tanpa
kekuasaan tidak mungkin proses pendidikan itu terjadi. Namun kekuasaan yang terus-menerus tanpa batas merupakan suatu pemberangusan terhadap hakikat
manusia sebagai makhluk merdeka, sehingga manusia itu menjadi tidak berdaya karena telah dirampas hak-hak asasinya sebagai manusia.
Untuk menjawab petanyaan mengenai hakikat manusia, setidaknya ada dua golongan yang memberikan jawaban, kaum eksistensialis mengatakan bahwa
manusia di lahirkan di dunia dalam keadaan tidak berdaya,dia terlempar kedunia ini dan terpaksa harus bertanggung jawab terhadap keberadaannya. Keberadaan
manusia ini sebenarnya adalah untuk menuju kematiannya. Dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa karena bergantung kepada nasib keberadaannya di dunia
yang maya atau ketiadaan. Ini adalah pandangan yang pesimis dari seorang eksistensialis.
Di samping, pandangan yang pesimis ada pula pandangan yang optimis,mengenai keberadaan manusia. Manusia dianggap sebagai sebagai pusat
kehidupan di dunia ini, dengan kata lain, dunia ini ada karena adanya manusia, manusia memberikan makna terhadap dunia karena manusia sebagai subjek
mampu mengatasi objek-objek yang ada disekitarnya. Jadi proses pendidikan adalah memberikan kemampuan kepada individu untuk dapat memberikan makna
terhadap dirinya dan lingkungannya.
107
Pandangan mengenai hakikat manusia dapat dibedakan dalam dua aliran besar, yaitu aliran idealisme spiritualisme dan materialisme. Hakikat manusia
menurut pandangan idealis bahwa kehidupan manusia itu ditentukan oleh percaturan antara ide-ide yang saling berlawanan, dari satu ide dengan ide yang
lain, atau tesa bertentangan dengan anti tesa, sehingga melahirkan ide yang lebih
107
Lihat kupasan mengenai eksistensialisme,Aliran-alirannya serta posisinya dalam proses
pendidikan. Gerald L, Gutek, Philosophical and ideological Voices in Education Boston: Allyn Beacon, 2004, 85-106.
48 tinggi, yang akhirnya berakhir pada ide absolut. Ide absolut ini bisa dipahami
berupa negara, atau maha pencipta atau insan kamil. Akan tetapi manusia adalah makhluk manusia yang terbatas yang tidak akan pernah mencapai ide absolut itu.
Sedangkan paham materialisme mamandang bahwa manusia itu tidak lebih dari bagian alam mikro yaitu bagian dari alam materi yang melihat hal
realistis yang dapat diraba dan dapat dibentuk dengan kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, berbagai ungkapan manusia yang disebut
kebudayaan atau agama merupakan produk dari kelas-kelas di dalam masyarakat. Tugas pendidikan adalah menyadari akan adanya kepincangan-
kepincangan di dalam masyarakat yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga tugas pendidikan adalah merombak kelas-kelas artifisial yang
dikonstruksikan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi di dalam masyarakat, untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Proses pendidikan terjadi dalam kehidupan masyrakat yang berbudaya,
108
karena kebudayaan manusia merupakan hasil interaksi dari anggota masyarakatnya yang kemudian diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya dengan proses perubahannya. Jadi, proses pendidikan dinilai sebagai proses mentransmisikan nilai-nilai
budaya yang telah terakumulasi dari satu generasi ke generasi yang lainnya.seperti yang terjadi pada masyarakat tradisional yang belum mengenal lembaga
pendidikan sekolah, maka pendidikan terjadi di dalam lingkungan keluarga dan di dalam lingkunangan masyarakatnya yang terbatas.
Demikian halnya dengan pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia tidak lain merupakan salah satu alat pembudayaan
enkulturasi masyarakat manusia itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia
sebagi makhluk pribadi dan sosial, kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.
109
108
H. A. R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Bandung: Rosdakarya, 1999
109
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam klasik
Bandung : Angkasa, 2004, 4.
49 Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia yang berbeda-beda itu,
maka lahirlah berbagai rumusan tentang tujuan dari proses pendidikan. Tujuan yang akan dicapai melalui kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pendidikan,
yaitu kebijkan pendidikan. Oleh karena pendidikan merupakan suatu ilmu praksis yang berarti kesatuan antara teori dan praktik maka kebijakan pendidikan terletak
dalam tatanan normatif dan tatanan deskriptif
110
yang mencakup antara lain: 1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan Deliberasi mengenai
hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadika manusia dalam lingkungan kemanusiaa. Oleh karena itu kebijakan pendidikan merupakan penjabaran
dari visi dan misi pendidikan pada masyarakat tertentu. 2. Kebijakan pendidilan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagi ilmu praksis
yaitu kesatuan antara teori dan prakti. 3. kebijakan pendidikan harus mempunyai validitas antara perkembangan pribadi
dan masyarakat yang memiliki pendidikan. 4. Kebijakan pendidikan harus mengandung unsur keterbukaan openness,
artinya tidak bisu dari suara-suara dalam masyarakat yang merupakan penggerhanaan dari hakikat pendidikan itu sendiri.
5. kebijakan pendidikan harus didukung oleh riset dan pengembangan, artinya suatu kebijakan pendidikan bukanlah merupakan suatu hal yang abstrak tetapi
suatu yang dapat diimplementasikan. Dengan demikian rumusan suatu kebijkan pendidikan haruslah berdasarkan atas hasil pertimbangan berbagai
pakar multidisipliner dengan fokus pada kebutuhan peserta didik dalam proses memanusia,
111
melalui riset dan pengembangan melalui eksperimen, maka kebijakan pendidikan dapat diuji validitasnya sehingga kebijakan pendidikan
tersebut dapat direvisi dan dimantapkan
110
Di Amerika masalah hubungan filsafat dan pendidikan dalam kebijakan pendidikan tetap menjadi perdebatan para pakar. Lihat, Andre T.Lumpe, The Role of Philosophy in
Educational Reforms: Never the Twain ShalMeet? dalam Gregory J. Sizek ed, Handbook of
Educational Policy, 1999, 81-98.
111
H.A.R. Tilaar, dalam Transdisiplinaritas dalam Pedagogik Modern yang
disampaikan pada seminar Nasional tentang Transdisiplinarity dalam dunia Pendidikan, di UNJ, 29 Oktober 2007.
50 6. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efesiensi, kebijakan pendidikan
bukan semata-mata berupa rumusan verbalmengenai tingkah laku dalam pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan
dalam masyarakat, dalam lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial
social institution membutuhkan sumberdaya, terutama suberdaya mausia pendidik, organ-organ pendidikan,
dan sumber daya keuangan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang baik adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan kemampuan,maka
pertimbangan-pertimbangan kemampuan
tenaga, tersedianya
dana, pelaksanaan yang bertahap serta didukung oleh kemampuan riset dan
pengembangan merupakan syarat-syarat bagi kebijakan pendidikan yang efesien
112
7. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi pada kebutuhan peserta didik. Seperti telah diuraikan di atas bahwa pendidikan
sangat erat dengan kekuasaan. Menyadari hal itu, sebaiknya kekuasaan diarahkan bukan untuk menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan diarahkan
untuk dapat memfasilitasi dalam pengembangan kemerdekaan peserta didik. Dalam pandangan naturalisme romantisme Rousseau ditunjukan bahwa
masyarakat telah merusak perkembangan peserta didik. Pandangan Rousseau ini tentunya tidak realistis, karena bagaimana pun juga pendidikan adalah
milik masyarakat. Oleh karena itu,masyarakat perlu diarahkan agar pendidikan memfasilitasi tuntutan kemerdekaan manusia, masyarakat perlu disadarkan
pentingnya fungsi pendidikan bagi kelanjutan masyarakat yang terus berubah. Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat demokratis bukannya untuk
menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan untuk memfasilitasi tumbuh kembangnya peserta didik sebagai anggota masyarakat yang kreatif dan
produktif. 8. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijakan yang irasional,
seperti yang telah dipaparkan di atas, kebijakan pendidikan telah lahir dari
112
H.A.R. Tilaar Rian Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk Memahami
K ebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Public
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008, 142-150
51 proses deliberalisasi para pakar dalam berbagai disiplin,sehingga terumuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan untuk kepentingan rakyat dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang diimajinasikan. Kebijkan pendidikan merupakan hasil
olahan rasional dari berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang dinggap paling efesien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai macam
resiko serta jalan keluar bagi pemecahannya. 9. Kejelasan dari tujuan pendidikan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang
tepat. Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya hanya akan mengorbankan kepentingan peserta didik.
10. Kebijakan pendidikan harus diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik dan bukan pemuasan Birokrat.
Demikanlah, aspek-aspek yang mencakup dalam pengambilan kebijakan dibidang pendidikan. Suatu kebijakan mempunya makna intensional, oleh karena,
kebijakan itu mengatur tungkah laku sesorang atau organisasi dan kebijakan meliputi pelaksanaan dan evaluasi dari tindakan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah
strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk
suatu kurun tertentu.
C. Hakikat Pendidikan