149 Mu’tazilah. Inter aksi ini pulalah yang menyebabkan pengaruh pengaruh yang
berjangkauan jauh terhadap watak pendidikan Islam sepanjang masa pertengahan Islam.
391
Setelah masa kejayaannya maka vitalitas bait al-Hikmah mengalami penurunan pada pertengahan abad ke-3, masa ini bertepatan dengan masa
beralihnya arus teologi kehalifahan abbasiyah, dari mendukung menjadi menganiaya penganut Mu’tazilah. Asosiasi Bait al-Hikmah dengan Mu’tazilah
tidak memungkinkannya untuk lepas sepenuhnya dari efek kemunduran Mu’tazilah.
Begitu pun lembaga ini, baru benar-benar runtuh ketika terbakar oleh serangan Mongol atas Baghdad pada tahun 646 H.1258 M.
392
Sebagai mana dikatakan Mahmud Yunus, bahwa lembaga ini tidak lagi terkenal sesudah
wafatnya al-Ma’mun, bahkan terus menerus mundur, terutama setelah tersebar madrasah-madrasah Nizamiyah dan lahirnya ancaman keras dari golongan ulama
terhadap ilmu-ilmu yang berpusat dilembaga ini.
393
c. Observatorium.
Di samping perpustakaan, al-Ma’mun juga telah membangun observatorium dan rumah sakit. Di observatorium ini sering kali diadakan kajian-
kajian terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yunani. Observatorium ini tidak banyak di bangun oleh penguasa-penguasa sehingga jumlahnya dapat dihitung
dengan jari. Walau pun bukan merupakan kebanyakan sekolah istana, observatori
betul-betul didirikan disebuah sekolah yang besar seperti Bait al-Hikmah yang
391
Fazlur Rahman, Islamic Metodology in History, terj. Anas Mahyuddin, membuka pintu
ijtihad Bandung:Mizan,1984 , 182-183
392
Bait al-Hikmah terus berjalan sebagai bagian dari sebuah sekolah istana sampai masa penghancuran oleh pasukan Mongol, tentara-tentara hulagu membakarnya membakarnya
bersamaan dengan pengrusalkan kota Baghdad pada tahun1258 M.lihat, Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam
Jakarta: Logos, 1994, 132
393
Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Mutiara, 1966, 66.
150 dibangun di Baghdad.
394
Setelah Khalifah al-Ma’mun membangun laboratorium perbintangan, maka pada tahun 828 M. Ia mengangkat al-Khawarizmi untuk
mengarahkan studi dan penelitian di sana. Observatori tersebut berisikan alat-alat peneropong bintang-bintang yang
telah berdiri di Baghdad, oleh al-Ma’mun. Menurut Mahmud Yunus, bahwa alat peneropong bintang tersebut berhubungan langsung dengan Bait al-Hikmah.
Selanjutnya al-Ma’mun menyarankan agar para ulama mempelajari kitab majisthi yang berisi ilmu falak astronomi, lalu meminta para ulama untuk membuat alat-
alat peneropong bintang untuk mempelajari hal ihwal bintang-bintang sebagaimana dibuat oleh Bathlimus, pengarang kitab al-Majisthi.
395
Kemudian mereka membuat alat peneropong tersebut di Baghdad dan di Damaskus. Segala hasil penyelidikan yang mereka dapatkan dengan alat
peneropong tersebut, mereka catatbukukan dan mereka namai dengan sebutan ”Peneropong al-Ma’mun”. Sedangkan yang melakukan peneropongan tersebut
adalah Yahya bin Abu Mansyur, ahli perbintangan yang termasyhur pada masanya dan dibantu oleh Khalid al-Mazuri, Sanad bin Ali dan al-Abbas al-Jauhari.
Dengan lembaga-lembaga sebagai mana tersebut diatas, - walau pun tidak semua berawal dari al-Ma’mun, namun ia ” bertindak” sebagai ” penerus”
396
– adalah merupakan kebijakan pendahulunya terutama Khalifah Harun al-Rasyid,
sang Ayah, yang telah mendudukkan posisi ilmu pengetahuan dan budaya peradaban Islam mencapai puncak keemasannya. Khususnya, di bidang
pendidikan dan pemikiran ilmiah. Kemajuan yang dicapai ditandai dengan pengadptasian warisan budaya
dan peradaban serta ilmu-ilmu yang didapat dari Yunani, Persia, Mesir, Yahudi, Kriten dan India ke dalam Islam. Kemudian warisan-warisan tersebut
dikembangkan dan di Islamkan oleh sarjana-sarjana muslim, maka menjadilah ia
394
Sayyed Hossein Nasr, Science and Civillization in Islam New York: New American Library, 1968, 80-88
395
Mahmud, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta:Mutiara, 1966, 65
396
Hasan as’ari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam Bandung : Mizan, 1994, 110.
151 sebagai kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan Islam itu sendiri
397
pada masa itu.
Kebijakan yang diterapkan Istana pada saat itu dikarenakan termotivasi oleh kualitas kebudayaan asing tentang masalah kenegaraan yang dianggap ideal,
sehingga bagi pihak istana dianggap perlu untuk mengadopsi dan mengangkatnya dalam budaya pemerintahan Islam.
Sebenarnya kebijakan ini berawal dari Khalifah Abu Ja’far al-Mansyur, ketika ia mengambil dan mengangkat dokter-dokter dari perguruan Jundishapur
menjadi dokter-dokter istana di Baghdad. Di samping kebijakan al-Ma’mun ini, juga peran politik yang dimainkan oleh para wazir dari Persia dalam peralihan
Filsafat dan pengetahuan Hellenis ke dalam pemikiran Arab – Islam sangatlah menonjol.
Diantara wazir ini adalah berasal dari keluarga Barmak yang amat terkenal dengan kemampuannya dalam persoalan filsafat Helenis. Mereka sangat pandai
sekali dalam memainkan peranannya dengan sempurna pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah Al-Ma’mun bin al-Rasyid.
398
Kebijakan khalifah-khalifah Abbasiyah terhadap keluarga al-Barmaki yang orang Persia ini, menurut Ira M. Lapidus, karena dianggap pemikiran bangsa
Yunani dan Persia ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kalangan istana, sebab pemikiran tersebut memperkenalkan ideal manusia mengenai
pengukuhan dirinya dikalangan aristokratis, yang berperan untuk memantapkan kualitas sosial dan moral elite kerajaan dalam term-term yang sebagian konsisten
dengan ajaran Islam dan sebagian berasal dari warisan-warisan non-Islam dari bangsa-bangsa kuno.
Idea aristokratik ini menyerukan kepada kalangan istana, administrator, dan pembantu-pembantukhalifah agar percaya kepada tuhan. Dan agar waspada
dan sadar terhadap pengadilan akhirat.
399
397
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Kalam Mulia, 1998, 1.
398
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965, 65
399
Lapidus,Perkembangan Awal Peradaban Islam di Timur Tengah Abad VII-XII M. Jakarta: Raja Grafindo, 1999, 146.
152 Akibat dari akulturasi dan asimilasi budaya asing ke dalam dunia Islam
ini, menimbulkan kemajuan-kemajuan dibidang sains dan kebudayaan pada masa ini. Untuk membina dan mengkader para siswa dan pelajar yang dapat membaca
buku-buku asing dan budayanya maka dibentuklah tempat-tempat belajar sebagai institusi. Institusi yang pertama kali dibangun adalah tempat penelitian, yang
dibentuk oleh orang-orang yang senang akan belajar dan ingin mempelajari ilmu pengetahuan dan memperoleh beasiswa, atau oleh para pembuat aturan yang
mencoba menyebarkan dan menyampaikan doktrin politik dan doktrin agama tertentu..
Di mana institusi yang biasanya memiliki perpustakaan atau laboratorium ini, diskusi tentang berbagai aspek hukum dan teologi seringkali di adakan dan
pelajaran tentang bermacam-macam subyek sesekali di berikan. Diantaranya yang paling terkenal adalah Dar al”ilmi di Kairo yang mengajarkan mengenai doktrin
Fatimiah, Dar Abdawa di Aeleppo yang mengajarkan Syi’ah, dan sunni di ajarkan di Bait al-Hikmah di Baghdad.
400
Oleh karena itulah, Harun Nasution melihat kemajuan-kemajuan yang dilakukan oleh sebelum al-Ma’mun hingga pada masa kegemilangannya periode
al-Ma’mun, memberikan catatan khusus antara lain: 1. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan belajar diberikan kepada
anak setiap orang Islam dengan cuma-cuma, dan begitu juga dengan penggunaan sarana dan fasilitas pendidikan lainnya. Untuk kepentingan sosial
dan pendidikan, masyarakat dan pemerintah tidak segan segan untuk mengeluarka biaya yang besar
2. Karakteristik dari pendidikan Islam pada periode ini adalah karakteristik yang paling tinggi yang pernah dicapai umat-umat Islam dalam semua bidang
pendidikan, yaitu bersifat universal, toleran, berpikir luas, kreatif, dinamis, rasional, pemikiran cukup berkembang, ijtihad, terdapat keserasian antara ilmu
dan agama, dan sumber pendidikan dan pemikiran diambil langsung dari al- Qur’an dan al-Hadits.
401
400
Joseph S. Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi di Dunia Islam Surabaya, 2001, 78.
401
Harun Nasution, Prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi tantangan Zaman Jakarta: LP IAIN, t.th, 42.
153
2. Kontribusi al-Ma’mun terhadap perkembangan ilmu pengetahuan