158 Kemu’tazilahan al-Ma’mun ini telah membuatnya ”liberal”untuk ilmu
pengetahuan rasional, dan kebijaksanaannya mendirikan bayt al-hikmah rumah kearifan sebagai pusat kegiatan ilmiah telah menciptakan suasana yang subur
dikalangan kaum muslimin tertentu untuk berkembangnya pemikiran spekulatif.
416
Oleh sebab itu, Baghdad pada masa pemerintahan al-ma’mun merupakan pusat peradaban Islam serta ilmu pengetahuan, bahkan di kota ini, seluruh
peradaban non-Islam dapat dengan bebas menyatakan pendapatnya, begitu pula dalam hal melakukan ibadah, mereka mempunyai hak yang sama dengan kaum
Muslimin. Ia membentuk sebuah Dewan Negara yang keanggotaanya terdiri dari berbagai kalangan masyarakat termasuk Islam, Kristen, Yahudi dan Zoroaster.
417
Bahkan, sejumlah orang non-muslim menduduki jabatan yang penting dalam pemerintahannya, salah seorang diantara mereka adalah Gabrail bin
Bakhtushu, seorang sarjana Kristen yang memegang posisi tinggi di kekhalifahannya. Karena sikapnya yang liberal terhadap non muslim, maka
kemakmuran dan kedamaian semakin baik dikerajaannya. Di kerajaannya lebih dari 11.000 gereja di samping sinagog dan kuil kaum Zoroaster. Dengan demikian
suasana harmonis ini menjadikan kota Baghdad semakin anggun dan damai.
b. Mengembangkan diskusi-diskusi
Al-Ma’mun bukan
saja melakukan
kegiatan penerjemahan-
pemnerjemahan, ia juga menyemarakan istananya dengan menyelenggarakan diskusi-diskusi dalam berbagai bidang. Menurut Mustafa as-siba’i, seorang
sejarawan terkemuka menggambarkan suasana kegiatan keilmuan pada masa kejayaan Islam dan toleransinya terhadap agama-agama non-Islam dengan cara
mengembangkan tradisi h{ alaqah-h{
alaqah, keilmuan di hadapan para khalifah biasanya menghimpun berbagai ulama ilmuwan dari berbagai agama dan
mazhab.
416
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1994, 23.
417
Jamil ahmad, Seratus Muslim Terkemuka akarta:Pustaka Firdaus, 316.
159 Al-Ma’mun sendiri mempunyai sebuah h{
alaqah keilmuan, di situ berkumpul semua ulama agama dan mazhab, ia selalu berkata kepada mereka,
”bahaslah ilmu apa pun yang kalian kehendaki tanpa berdalilkan kitab agamanya masing-masing agar tidak menimbulkan kemusykilan-kemusykilan golongan”
418
semangat ini mendorong masyarakatnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengisi pendidikan sesuai dengan harapan dan keinginan golongan tertentu. Khususnya
Mu’tazilah dalam mengembangkan fahamnya yang bercirikan rasio logisnya. Menurut Khalaf bin Mutsanna, sebagaiman yang dikutip, As-Shiba’i,
bahwa kami pernah menyaksikan sepuluh orang pakar di Bashrah berkumpul disebuah majlis. Mereka adalah para pakar nahwu al-Khalil bin Ahmad suni,
penyair al-Humairi Syiah, Saleh bin Abdul Quddus Jinddiq, Sofyan bin Mujasyi Khawarij sekte shufriyah, Basyar bin Burd Syu’ubi, Hammad Ajrad
Jinddiq Syu’ubi, penyair ibnu Rasil Jalut Yahudi, pakar ilmu kalam Ibnu Nazhir Nasrani, Umar bin Muayyad Majusi, dan Ibnu Sinan al-Harrani
Shaba’i. Mereka berkumpul saling menyenandungkan syair, menceritakan khabar-
khabar dan berbincang-bincang dalam suasana keakraban. Hampir tak tampak bahwa diantara mereka terdapat perbedaan yang menyolok dalam agama dan
mazhab.
419
Suatu keharmonisan yang terjalin sesama masyarakat, baik Arab-Persia berjalan cukup mengesankan, sehingga bisa dikatakan bahwa kerukunan antar
pemeluk agama dan mazhab justru menjadikan ajang diskusi dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini terjalin justru ketika sang penguasa memberikan keleluasaan pada
segenap komponen masyarakat untuk berperan aktifdalam mengembangkan intelektualitas dan budaya serta peradabannya. H.A.R.Gibb, mengatakan bahwa,
”Tumbuh suburnya Sains dalam masyarakat Islam, lebih bergantung pada keliberalan dan dukungan mereka yang berkedudukan tinggi”.
420
418
Mustafa as-syiba’I, Min Rawa’iHad{aratina, terj. oleh Fauzi Rahman Jakarta: Gema
Insani Press, 1992, 99.
419
Mustafa as-Syiba’i, Min Rawa’i Had}aratina,
100.
420
Achmad Syafi’i Ma’arif dalam Posisi umat Islam terhadap Perkembangan Teknologi Modern, oleh A. Rifa’i Hasan dan Amrullah Ahmad, Presfektif Islam dalam Pembangunan
Bangsa
Yogyakarta: PLP2M, 1987,.212.
160 Oleh karena itu, hampir disemua sektor kehidupan terutama gerakan
ilmiah pada masa itu sangat mengesankan.Kota Baghdad sebagai pusat gerakan keilmuan serta budaya dan peradaban dunia telah melahirkan para ulama ahli
debat. Berkat ilmu dialektika, para ulama pun bergairah untuk memperdebatkan
bermacam-macam agama, seperti membicarakan soal penciptaan Al-Qur’an, apakah Qur’an itu hadis atau Qadim, dan sebagainya. Khalifah al-Ma’mun sendiri
198-218 H. sering menghadiri sidang-sidang debat tersebut, bahkan ikut serta dalam perdebatan. Akibatnya, banyak yang tidak senang kepadanya, terutama
sekali karena ia lebih mengutamakan Sayidina Ali binAbi Thalib dari pada Khalifah Rasyidin.
421
Demikianlah kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di masa Daulah Abbasiyah ketika tampuk pimpinan dipegang oleh seorang yang cinta akan ilmu,
yaitu al-Ma’mun.
422
Ia dengan kecerdasan dan kesalehannya telah menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan ilmiah dan sekaligus pusat peradaban dunia Islam
ketika itu. Bahkan dlam catatan sejarah, kemajuan yang dicapainya ini sebelum dan sesudah pemerintahannya belum ditemukan di dunia Islam saat itu.
c. Mengembangkan Faham Rasionalisme Mu’tazilah