78 pilihan mereka yang diterjemahkan dari baerbagai bahasa seperti Yunani dan
persia, demikian pula dengan para saudagar buku, ia tidak hanya membeli dan menjual buku-bukunya kepada para pelanggannya, mereka juga seringkali
memfunsikan diri sebagai percetakan. Dengan demikian, maka toko-toko buku dilain pihak sebagai tempat
terjadinya transaksi bisnis, di pihak lain juga merupakan pusat pengumpulan dan penyebaran buku-buku, maka tidaklah heran jika lingkaran-lingkaran studi
berkembang dengan pesat dan mengaitkan dirinya dalam bentuk bangunan ruangan khusus.
Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah atau bahkan kadang-kadang ada yang menjadi pemimpin dari lingkaran studi tersebut. Pemilik
toko dapat mengundang orang-orang pandai dari golongan masyarakat sekitar untuk duduk dan mengarahkan diskusi-diskusi tentang masalah-masalah
intelektual dan keagamaan. Para ilmuwan pun kadang sering datang ke toko-toko buku tertentu untuk bergabung dengan sanggar sastra yang ada, bahkan sampai
ada yang dibiayai dipelihara, ditetapkan sebagai tenaga oleh seorang saudagar buku.
190
Dari uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa toko-toko buku dan pemiliknya pada saat itu, telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
perkembangan dunia pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi kebangkitan intelektual Islam.
4. Majlis-majlis.
Majlis merupakan isim makan - kata yang menunjukan arti tempat – dari asal kata fi’il jalasa. Jalasa yang artinya duduk. Sinonim dengan kata qa’adah.
Jalasa mengacu kepada keadaan seseorang yang duduk setelah melakukan
kegiatan yang lain, seperti tidur dan berbaring.
191
Misalnya; pernyataan Khatib al-
190
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Sejarah dan peranannya
dalam kemajuan ilmu pengetahuan
Jakarta: Logos, 1994, 163.
191
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Crystian West With
Special Reference to Scholasticism Endinburgh University Press, 1990, 11.
79
Baghdadi w. 463 H.1071 M. yang dikutip oleh George Makdisi: و ﺔ ﻌ ﻤ ﺠ ﻟ ا ا ﻮ ﺗ ا ﻢ ﺛ
kemudian datanglah pada hari jum’at dan shalatlah dua raka’at kemudian duduk belajar ilmu dan sunnah.
Istilah majlis telah lama dipakai oleh dunia pendidikan sejak abad pertama Islam. Awal mulanya ia mununjukan kepada arti tempat terjadinya proses
kegiatan belajar mengajar, seperti ungkapan.
Fulan pergi kesuatu majlis yang mengajarkan hadits. Kata majlis ini juga bisa dipakai untuk menunjukan arti pelajaran, seperti
Dia
hanya mengajarkan satu atau dua hadits saja. Selain itu juga majlis bisa diartikan sebagai tempat duduk, yaitu kursi yang dipakai oleh seorang guru untuk mengajar,
seperti ﻪ ﺴ ﻠ ﺠ ﻣ ﻰ ﻓ ه ﺪ ﻌ ﺑ ﻰ ﺴ ﻠ ﺟ ى ﺪ ﻟ ا و ﻪ ﺑ ﺎ ﺤ ﺻ ا ﻦ ﻣ م ﺪ ﻘ ﻤ ﻟ ا ﻮ ﻫ Dia guru mengajar lebih dahulu
dari pada teman-temannya. Bahkan majlis bisa dipakai untuk menunjukan orang- orang yang duduk di suatu majlis.
192
Pada perkembangan selanjutnya - dimana dunia pendidika Islam mencapai zaman keemasannya – majlis berarti merupakan sesi dimana aktivitas
belajar mengajar atau diskusi berlangsung, dan belakangan majlis di artikan sebagai sejumlah aktivitas. Majlis yang di-idhafah-kan kepada nama orang berarti
menunjukan milik, misalkan majlis al-Nabi, itu menunjukan bahwa majlis yang diselenggarakan oleh Nabi, namun demikian tidak semua berarti milik ada juga
yang bukan milik. Misalkan majlis al-Syafi’i ini bukan berarti menunjukan majlis yang diselenggaran di rumah al Syafi’i, tetapi ini merupakan satu kegiatan belajar
mengajar yang diselenggarakan oleh al-Syafi’i. Jadi majlis yang disebutkan terakhir ini lebih condong sebagai kelas yang didalamnya dilakukan kegiatan
belajar mengajar yang disampaikan mengenai Fiqih imam Syafi’i.
193
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, majlis banyak digunakan sebagai kegiatan transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu
yang ada, sehingga pada perkembangannya majlis mengalami banyak ragamnya.
192
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Crystian West With
Special Reference to Scholasticism, 11.
193
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidika Islam Jakarta: Logos, 1999, 51.
80 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muniruddin ahmed yang dikutip oleh
Hanun Asrohah, bahwa majlis-majlis yang ada terbagi dalam 7 macam, yaitu;
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
tempat pengkajian hadits ﺲ
ﻠ ﺠ ﻣ tempat Pengajaran umum
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
ة ﺮ ﻇ ﺎ ﻨ ﻤ ﻟ ا
tempat berdebat
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
ة ﺮ ﻛ ا ﺪ ﻤ ﻟ ا
tempat diskusi
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
ى ر ﻮ ﺸ ﻟ ا
tempat untuk mengambil keputusan
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
ب د ﻻ ا
tempat para pujangga, sastrawan.
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
ﻮ ﺘ ﻔ ﻟ ا dan
١ ٩ ٤
ﺲ ﻠ ﺠ ﻣ
ﺮ ﻈ ﻨ ﻟ ا
Majlis al-hadits merupakan tempat dimana berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar hadits, majlis ini terbagi dua tipe, pertama, majlis
hadits yang bersifat permanen, dilaksanakan oleh seorang guruAhli di bidang hadits dan berlangsung lama hingga 20 sampai 30 tahunan. kedua, majlis hadits
yang dilaksanakan sewaktu-waktu, biasanya dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun dengan jumlah peserta biasanya mencapai ratusan ribu peserta, seperti
majlis yang disampaikan oleh seorang ulama yang bernama ’Ashim bin ’Ali di Mesdjid Al-Rusafa dihadiri oleh peserta lebih kurang mencapai jumlah antara
100.000 sampai 120.000 orang.
195
Sementara majlis al-Munaz{ arah pada awal mulanya merupakan tempat
pertemuan,perdebatan bukan semacam lembaga pendidikan seperti majlis al- munazharah yang diselenggarakan atas perintah khalifah. Menurut Syalabi,
Khalifah Muawiyah sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di istananya.
196
Demikian juga pada masa Dinasti abbasiyah, khalifah al-Ma’mun sering mengundang ulama-ulama untuk berdiskusi di istananya.
Ada juga majlis al-munaz{ arah yang lebih bersifat edukatif, yang
dilaksanakan secara kontinyu. Dimana terjadinya proses belajar mengajar antara murid dan guru, yang dilanjutkan dengan tanya jawab.
Berdasarkan inovasi yang dilakukan oleh murid-muridnya yang belajar hadits, sebelum dimulainya pelajaran, biasanya mereka berkumpul untuk saling
mengingat dan mereviw pelajaran yang sudah berlalu sambil menunggu kehadiran
194
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 51.
195
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 51-52.
196
Ahmad Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, 67.
81 guru. Lama kelamaan majlis ini pun berkembang menjadi suatu lembaga
pendidikan.
197
Secara khusus, Majlis al-adab atau majelis sastra merupakan majlis yang teristimewa dibandingkan dengan majlis-majlis yang lain, oleh karena itu pada
masa bani Umayyah dan Abbasiyah, majlis-majlis ini pada awalnya merupakan perkembangan dari majlis di masjid. Bahkan majlis-majlis ini menuai
perkembangannya jauh lebih pesat bermula pada zaman Abbasiyah. Menurut Mahmud Yunus majlis sastra yang ada pada masa Abbasiyah
dihiasi dengan perhiasan yang sangat indah sekali, sesuai dengan kebesaran khalifah pada masa itu. Sedangkan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh
khalifah, begitu pula akhir dan selesainya majlis itu.
198
Pada masa pemerintahan khalifah harun al-Rasyid 170 – 193 H.786 – 809 M. majlis sastera menunjukan perkembangan kemajuan yang cukup
signifikan, karena khalifah sendiri merupakan salah seorang ahli ilmu pengetahuan dan mempunyai cukup kecerdasan. Apalagi negara dalam keadaan
tidak terlalu menghawatirkan dalam keadaan tenang dan pembangunan berjalan dengan lancar.
Pada majlis Rasyid sering kali diadakan perlombaan sya’ir di kalangan ahli sya’ir, dan perdebatan-perdebatan diantara para fuqaha serta sayembara seni
dan sastra diantara ahli-ahli kesenian dan kesusastraan.
199
Pada masa Harun al-Rasyid ini lahirlah para pujangga dan ahli ilmu dalam bermacam-macam bidang kecerdasan. Di bidang pujangga ada nama-nama yang
cukup terkenal diantaranya; Abu Nawas, Abul ’Atahia, Da’bai Muslim bin al- Walid, al-Abbas bin al-Ahnaf. Di bidang seni musik ada nama yang cukup
terkenal yaitu Ibrahim al-Mausili dan anaknya yang bernama Ishak. Sedangkan di bidang ahli bahasa, terdapat nama abu ’Ubaidah, al-
Ashma’i, al-Kasai dan Sibawaihi, serta di bidang fiqh antara lain Abu Yusuf,
197
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 53.
198
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: Hidakarya, 1989, 86.
199
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 87.
82 sahabat Abu Hanifah dan Muhammad keduanya berada di Baghdad, yang
bertempat di Madinah, yaitu; Imam al-Malik dan Imam Syafi’i sebelum hijrah ke Mesir.
Akhirnya majlis ini mencapai puncak keemasannya pada masa khalifah al- Ma’mun, karena beliau sendiri merupakan salah seorang sosok ulama besar. Oleh
karena itu majlis al-Ma’mun selalu penuh oleh para ahli ilmu, ahli sastra, ahli sya’ir, ahli kedokteran dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh al-Ma’mun dari
segala penjuru dunia yang telah berkemajuan. Kadang-kadang al-Ma’mun sendiri turut larut dalam diskusi dan perdebatan tentang berbagai hal dengan mereka. Di
samping itu banyak lagi guru-guru dan penerjemah-penerjemah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab.
200
Demikianlah perkembangan lembaga-lembaga pendidikan islam yang ada pada masa itu, yang terus mengalami proses penyesuaian dengan kemajuan yang
telah di capai pada saat itu, baik dari segi sarana dan prasarananya, kurikulum mau pun pembiayaannya.
Kurikulum,
201
pendidikan Islam di masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu, namun seiring perkembangan sosial dan kultural, maka
materi kurikulum semakin di perluas. Pada masa Nabi di Madinah, materi yang diajarkan berkisar pada belajar menulis,membaca al-Qur’an,keimanan, ibadah,
akhlak dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.
202
Pada masa kejayaan Islam, kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al- Qur’an dan Agama, membaca, menulis serta syair. Dalam berbagai kasus
ditambah dengan nahwu,cerita dan berenang. Di lain pihak di istana-istana biasanya di tegaskan pentingnya pengajarannya khitabah, ilmu sejarah, cerita
200
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 88.
201
Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Secara lebih luas kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran yang harus diselesaikan
oleh siswa, akan tetapi, semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sebuah lembaga pendidikan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam persfektif Islam Bandung:
Rosdakarya, 1992,.53
202
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam persfektif Islam Bandung: Rosdakarya, 1992, 59-60.
83 perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti; al-Qur’an, syair
dan fikih.
203
B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan sebelum Al-Ma’mun.