Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
keselamatan publik ditawari dukungan psikologis setelah trauma, sedangkan para wartawan hanya ditugaskan untuk mencari berita lain
.” Sebuah penelitian menyebutkan tiga dari sepuluh jurnalis mengalami Post-
Traumatic Stress Disorder PTSD setelah bekerja dalam tugas-tugas yang berbahaya, depresi, kecemasan, dan masalah dalam hubungan interpersonal juga
dilaporkan terjadi Witchel, 2005. Penemuan tersebut didukung oleh penelitian dari Anthony Feinstein, John Owen Nancy Blair 2002 yang menemukan
bahwa hampir 30 persen jurnalis yang ditempatkan di daerah konflik menunjukkan tanda-tanda Post-Traumatic Stress.
Dalam literatur psikologi terapan, pekerjaan jurnalis, di samping pekerjaan supir, pelawak, ataupun tentara, termasuk dalam kategori rentan penyakit dan
memiliki harapan hidup rendah. Sebab, pekerjaan menjadi seorang jurnalis memiliki pola kerja yang tidak mengenal waktu, mereka harus siap meliput
kapanpun ada peristiwa penting terjadi. Hal tersebut membuat waktu istirahat mereka berkurang, terlebih lagi mereka harus memenuhi tenggat waktu deadline
pengumpulan berita yang diberikan perusahaan. Penelitian membuktikan bahwa desakan waktu kronis memberikan pengaruh tidak baik pada sistem
cardiovascular, sehingga menyebabkan terjadinya serangan jantung prematur dan tekanan darah tinggi Friedman Rosenman dalam Munandar, 2001. Selain itu,
pekerjaan jurnalis yang selalu dikejar deadline tersebut telah mendorong akumulasi stres yang bisa menimbulkan penyakit syaraf Broto, 2008.
Profesi jurnalis juga memiliki risiko ancaman keselamatan yang tinggi. Kekerasan terhadap jurnalis bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Aliansi
Jurnalis Independen AJI Indonesia mencatat angka kekerasan terhadap jurnalis mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dirilis AJI Indonesia, selama
kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu tahun 2008 - 2012, terjadi 89 kasus kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis. Kasus kekerasan yang menimpa
jurnalis Indonesia beragam, mulai larangan peliputan, serangan fisik, teror dan intimidasi, hingga serangan peretas. Aksi kekerasan terhadap para jurnalis pun
masih terus berlanjut pada tahun 2013 Bambani, Rahardjo, Dwiyanto, Saefullah Wulandari, 2013.
Selain itu, setiap tahun ada saja jurnalis yang meninggal karena dibunuh. Tentu motif pelaku karena terpengaruh atas pemberitaan yang ditulisnya. Delapan
kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tidak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin jurnalis Harian Bernas di
Yogyakarta, 16 Agustus 1996, Naimullah jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997 dan Agus Mulyawan
jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999. Juga ada Muhammad Jamaluddin jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003,
Ersa Siregar jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003, dan Herliyanto jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur,
ditemukan tewas pada 29 April 2006. Sementara Adriansyah Matrais Wibisono jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010 dan Alfred
Mirulewan jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010 Winarno, 2014.
Permasalahan lain yang juga menambah beban kerja jurnalis adalah rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya gaji jurnalis juga disebabkan banyak
perusahaan pers yang belum layak memenuhi standar perusahaan pers yang ideal atau sehat, yaitu sebuah perusahaan pers yang mampu memberikan gaji yang
memadai kepada jurnalisnya, memiliki struktur karier yang jelas bagi jurnalisnya serta jaminan kesejahteraan lainnya. Berdasarkan data dari AJI Jakarta, secara
keseluruhan total pengeluaran, perusahaan media di Indonesia masih relatif lebih rendah porsi pengeluran gaji untuk pegawainya Rosadi, 2014. Hal yang sama
juga dikatakan oleh Erik Tanjung, Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta bahwa upah jurnalis Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara paling murah bila
dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara Sutanto, 2013. Upah layak untuk jurnalis pemula di Jakarta pada 2014 sebesar Rp 5,7
juta per bulan. Namun, kenyataannya rata-rata upah jurnalis di Jakarta saat ini masih di bawah standar upah layak. Sebagian besar media di Jakarta menggaji
jurnalisnya di kisaran Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Bahkan ada media di Jakarta menggaji di bawah Upah Minimum Provinsi di Jakarta sebesar Rp 2,2 juta
Rahadi, 2014. Lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya
membuahkan sebuah harapan dan belum menyentuh secara baik nasib akan perlindungan hukum maupun dari negara itu sendiri serta kesejahteraan jurnalis,
padahal peran dan kontribusi jurnalis tidak dapat diabaikan karena mempunyai peran yang sangat strategis sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini dalam pelbagai sektor kehidupan. Sebagai pilar
penting dari industri media, nasib jurnalis seharusnya mendapat perhatian yang pantas dari pelaku industri media. Apalagi jika mengingat beban yang dipikulkan
undang-undang kepada pekerja media, yaitu menjadi alat kontrol sosial, selain menjalankan fungsi pendidikan dan hiburan Manan, 2011.
Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa menjadi jurnalis berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat dan rentan terhadap konflik. Tidak
jarang dalam keseharian pekerjaannya mereka sering dihadapkan pada dilema antara mencari informasi dan menjaga keselamatan diri. Bekerja menjadi jurnalis
memerlukan kualifikasi baik secara profesi maupun psikologis sehingga mampu bertahan dengan situasi penuh tekanan.Hal ini yang menjadi dasar pemikiran
penulis untuk meneliti mengenai bagaimana keadaan psychological well-being jurnalis dengan segala risiko, tuntutan, dan tanggung jawab dalam pekerjaannya.
Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas kehidupan sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif
misalnya: ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif misalnya: realisasi potensi atau aktualisasi diri Bradburn, 1995.
Penelitian mengenai psychological well-being Ryff dalam Nurhayati, 2010 menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera tidak sekadar bebas dari
tekanan atau masalah mental. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut
oleh pengaruh lingkungan. Bila hal ini dikaitkan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen
individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan, hubungan
dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja Horn, Taris, Schaufeli, Schreurs, 2004.
Ryff 1995 mengemukakan enam komponen fungsi psychological well- being mencakup, evaluasi positif seseorang mengenai diri dan masa lalu self-
acceptance, pertumbuhan dan perkembangan individu personal growth, kepercayaan mengenai tujuan dan makna hidup individu purpose in life, kualitas
hubungan dengan individu lain positive relations with other, kapasitas untuk mengatur kehidupan dan diri seseorang secara efektif environmental mastery,
dan perasaan self-determination autonomy. Berdasarkan Ryff dan Singer 2002, psychological well-being berkaitan
dengan faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, dan latar belakang budaya. Kelompok usia yang terdiri dari tiga bagian: dewasa muda,
dewasa menengah, dan dewasa akhir. Ryff dan Singer menemukan adanya perbedaan psychological well-being, khususnya pada dimensi penguasaan
lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan otonomi. Lalu, kelompok wanita lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan
pertumbuhan pribadi daripada kelompok pria. Kelompok yang berpendidikan tinggi memiliki dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok yang berpendidikan rendah. Status sosial-ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan
lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Selanjutnya, pada budaya Barat dan Timur juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada
diri sendiri penerimaan diri dan otonomi lebih menonjol dalam konteks budaya
Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain seperti hubungan positif dengan orang lain lebih menonjol pada budaya Timur.
Menurut Davis dalam Rahayu, 2008, individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan
memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Berdasarkan faktor-faktor demografis yang telah dijelaskan, penulis menggunakan faktor usia, jenis kelamin,
penghasilan, dan intensitas pekerjaan sebagai variabel demografis untuk ikut dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being. Alasannya, karena
faktor demografis tersebut sesuai karakteristik profesi sebagai seorang jurnalis. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi psychological well-being
seseorang adalah dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, locus of control LOC, religiusitas, dan kepribadian Ryff, 1989; Ryff, 1994; Ryff
Essex, 1992; Sarafino, 2011. Selain itu, dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa sense of humor terbukti dapat meningkatkan baik kesejahteraan fisik
maupun psikologis seseorang Martin, 2001; Kuiper, Martin, Olinger, Kazarian, Jetté, 1998; Herzog Strevey, 2008.
Kepribadian adalah salah satu prediktor paling kuat dan konsisten terhadap well-being. Ada juga beberapa bukti hubungan genetik antara kepribadian dan
well-being Weiss, Bates, Luciano dalam Aghababaei Arji, 2013. Penelitian yang mendukung pernyataan tersebut adalah Costa dan McCrae 1980,
menemukan bahwa kepribadian extraversion dan neuroticism berhubungan secara signifikan dengan psychological well-being. Oleh karena itu, penulis menjadikan
kepribadian sebagai independent variable pertama untuk dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being dalam studi pada jurnalis di DKI Jakarta.
Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait.
Pendekatan keterampilan dan trait terhadap kepribadian berusaha mencari beberapa dimensi utama yang dapat menggambarkan pola respons seseorang.
Jumlah dimensi itu masih diperdebatkan. Pendekatan faktor terhadap kepribadian dari Cattell melihat perlu adanya 16 trait. Eysenck yakin bahwa teori harus
mendasarkan seleksi faktor-faktor tersebut, dan ia menganggap bahwa semua trait berasal dari tiga sistem biologis, yaitu extraversion, neuroticism, dan
psychoticism. Tetapi banyak peneliti setuju bahwa lima dimensi cukup memuaskan untuk diterapkan di sebagian besar situasi
–disebut Big Five, yang terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan
openness to experience. Peneliti lain membantah klaim bahwa kepribadian yang baik hanya dijelaskan oleh lima faktor. Ashton, mendorong kasus untuk enam
faktor, model, HEXACO Ashton Lee dalam John, Robins, Pervin, 2008. Enam faktor tersebut yaitu honesty-humility, emotionality, extraversion,
agreeableness, conscientiousness, dan openess to experience. Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih untuk menggunakan
pendekatan the HEXACO model of personality dari Lee dan Ashton 2007 untuk memahami kepribadian pada studi jurnalis di DKI Jakarta karena mengacu pada
hasil penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji dalam Journal of Personality and Individual Differences, 2013, dimana dalam penelitian tersebut mereka
membandingkan dua model dengan serangkaian hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan kemudian dimensi HEXACO
ditambahkan untuk menguji validitas tambahan. Dengan efek dari Big Five dikendalikan, dimensi HEXACO masih signifikan memprediksi semua aspek
psychological well-being. Namun, dengan faktor-faktor HEXACO dikendalikan, Big Five gagal untuk secara signifikan memprediksi otonomi, hubungan positif
dengan orang lain, dan tujuan hidup, tetapi berhasil memprediksi penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan penerimaan diri.
Sheehy dalam Hasanat dan Subandi, 1998 dalam penelitiannya, menemukan bahwa kemampuan untuk melihat humor merupakan salah satu hal
yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis dalam hidup, sebagai perlindungan terhadap perubahan dan ketidaktentuan. Hubungan antara sense of humor dan
kecemasan sebagai krisis dalam kehidupan individu dikaji oleh O’Connel dalam Hasanat dan Subandi, 1998 dengan menyatakan bahwa melalui humor seseorang
dapat menjauhkan diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya.
Penelitian lain yang hampir serupa, yaitu penelitian Thorson dan Powell 1993 yang mengatakan bahwa rasa humor berkorelasi positif dengan adaptasi pada
hidup yang aman, selain itu diperoleh korelasi negatif antara rasa humor dengan adaptasi yang buruk.
Menurut Ancok 1996, ada studi yang mempelajari bahwa humor dapat menimbulkan gairah baru. Perasaan senang dan punya selera humor yang cukup
dalam menjalani kehidupan dapat meningkatkan produktivitas di dalam pekerjaan
dan mempertahankan hubungan baik dalam sosial sebagai alat kontrol sosial. Selain itu, McGee dan Shevlin 2009 yang melakukan penyelidikan mengenai
keinginan dalam bersosialisasi social desirability, menemukan bahwa sense of humor termasuk dalam karakteristik kepribadian yang dinilai paling
menguntungkan dalam kehidupan interpersonal individu. Kemampuan ini memupuk empati individu untuk lebih memahami lingkungannya dan
menyadarkan kebutuhan untuk bersosialisasi dengan individu lainnya, sehingga kebahagiaan mengenai pemaknaan hidupnya dapat pula tercapai.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk meneliti lebih jauh lagi mengenai respon humor yang ada
pada jurnalis dalam menghadapi permasalahan dalam pembahasan ‘psychological well-being-
nya’. Sehingga, penulis menjadikan variabel sense of humor sebagai independent variable kedua untuk dianalisis pengaruhnya terhadap psychological
well-being dalam studi pada jurnalis di DKI Jakarta. Sampel yang diambil oleh penulis dalam penelitian ini adalah pria dan
wanita yang bekerja sebagai jurnalis di wilayah DKI Jakarta. Alasan penulis memilih kota DKI Jakarta sebagai area penelitian karena Daerah Khusus Ibukota
DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia. Wilayah metropolitan Jakarta Jabotabek yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan
terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia. Jakarta juga merupakan pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, serta tempat berdirinya kantor-kantor pusat
BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN.
Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Penduduk yang bermukim di Jakarta pun memiliki tingkat ekonomi yang
beragam, mulai dari tingkat ekonomi menengah ke atas sampai menengah ke bawah pun ada di Jakarta. Selain itu, agama yang dianut oleh penduduk DKI
Jakarta beragam. Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta pun selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat
bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Jakarta merupakan pusat kegiatan sosial dan budaya yang paling lengkap memiliki
sarana, prasarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya, olah raga, kesehatan, dan juga fasilitas pariwisatanya dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan,
sampai saat ini, Jakarta masih dijadikan tujuan utama masyarakat sebagai tempat untuk mengejar masa depan. Para pendatang dari daerah luar Jakarta berbondong-
bondong untuk tinggal, belajar, dan bekerja di ibukota. Berangkat dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas tersebut,
maka penulis tertarik untuk mengetahui
“Apakah Kepribadian dan Sense of Humor berpengaruh terhadap Psychological Well-Being Studi pada Jurnalis
di DKI Jakarta ? ”.