sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.
3. Evaluasi terhadap pengalaman hidup Ryff 1989 mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat
mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup pelbagai bidang kehidupan
dalam pelbagai periode kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki
pengaruh yang penting terhadap psychological well-being Ryff Keyes, 1995. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff
dan Essex 1992 mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan
evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg dalam Ryff Essex, 1992 dan dimensi-dimensi
psychological well-being digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri
ini berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan positif
dengan orang lain. 4. Locus of control LOC
Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang
mengenai pengendalian
kontrol terhadap
penguatan reinforcement yang mengikuti perilaku tertentu Rotter dalam Anastasi,
2007. Robinson et.al. dalam Rahayu, 2008 mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan peramalan terhadap well-being seseorang.
Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan
locus of control eksternal. 5. Faktor religiusitas
Penelitian-penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan antara lain oleh Ellison dan Levin 1998, Ellison et.al. 2001, Koenig
2004, Krause dan Ellison 2003, menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being Flannelly, Koenig, Ellison,
Galek Krause, 2006. Kemudian, Chatters dan Ellison dalam Levin, 1994 juga menemukan adanya kaitan antara keterlibatan religius
religious involvement dengan well-being. Dalam penelitian yang berjudul
“Religious Involvement Among Older African Americans
” yang ditulis oleh Levin 1994 ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama yang antara
lain : 1 Doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, 2 Partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat
berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, 3 Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi
kepuasan hidup.
6. Kepribadian Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti
penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan
stress. Para ahli berpendapat bahwa variabel kepribadian merupakan komponen dari kesejahteraan psikologis. Hal ini ditunjukkan salah satunya
dari penelitian yang dilakukan Costa dan McCrae pada tahun 1980 yang menyimpulkan
bahwa kepribadian
extraversion dan
neuroticsm berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis Andrew
Robinson dalam Nurhayati, 2010. 7. Sense of humor
Penelitian dengan sampel nonklinis telah menunjukkan bahwa individu dengan humor tinggi menampilkan tingkat yang lebih rendah dari distress
dan umumnya terlibat dalam interaksi yang lebih positif dengan lingkungannya Deaner McConatha, 1993; Kuiper Martin, 1993
dalam Kuiper, Martin, Olinger, Kazarian, Jetté, 1998. Kedua jenis temuan dapat dilihat sebagai indikator peningkatan psychological well-
being. Sehubungan dengan tingkat distress, individu dengan rasa humor yang lebih besar melaporkan tingkat yang lebih rendah dari stres yang
dirasakan dan tingkat yang lebih rendah dari pengaruh depresi Deaner McConatha, 1993; Frecknall, 1994; Kuiper Martin, 1993 dalam Kuiper
et.al., 1998. Individu tersebut juga berinteraksi dengan lingkungan mereka dengan cara yang lebih positif, membuat penilaian kognitif yang
lebih fasilitatif atau mengevaluasi situasi, dan menilai hasil dari peristiwa dengan cara yang lebih positif Kuiper et.al., 1995; Kuiper, Martin,
Olinger, 1993. Akibatnya, individu dengan humor tinggi melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari afek positif dan tingkat yang lebih rendah
dari afek negatif Kuiper et.al., 1995; Martin et.al., 1993.
2.1.4 Pengukuran psychological well-being
Pada umumnya untuk mengukur psychological well-being di beberapa penelitian sebelumnya, para peneliti menggunakan skala baku yang dibuat oleh Ryff 1996
yaitu Ryff ’s Psychological Well-Being Scales dengan versi aslinya berjumlah 120
item, selain itu terdapat versi lainnya yaitu 84, 52, 42, dan 18 item yang umumnya dengan jumlah item yang sama pada setiap aspeknya.
Secara teoritis Ryff’s PWB Scales adalah instrument yang secara khusus mengukur enam dimensi dari psychological well-being, dimensi tersebut meliputi:
penerimaan diri self-acceptance, hubungan positif dengan orang lain positive relations
with others,
otonomi autonomy,
penguasaan lingkungan
environmental mastery, tujuan hidup purpose in life, dan pertumbuhan pribadi personal growth.
Pengukuran pada penelitian ini mengg unakan alat ukur Ryff’s PWB
Scales 1995 yang terdiri dari 18 item pernyataan, dimana item-item tersebut terdiri atas: 3 item mengukur dimensi self-acceptance, 3 item mengukur dimensi
positive relations with others, 3 item mengukur dimensi autonomy, 3 item mengukur dimensi environmental mastery, 3 item mengukur dimensi purpose in
life dan 3 item mengukur dimensi personal growth.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan Ryff’s PWB Scales versi 18
item yang telah diadaptasi dari instrument bakunya yang berbahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Selain itu, penulis juga
melakukan modifikasi pada skala model likert, dimana pada skala aslinya menggunakan skala model likert dengan rentangan enam point dimodifikasi
menjadi rentang skala empat point, untuk menghindari bias dan mempermudah subjek dalam merespon item.
2.1.5 Penelitian terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang psychological well- being. Berikut beberapa penelitian mengenai psychological well-being : Bradburn
dalam Ryff, 1989, meneliti tentang perubahan sosial pada level makro perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan, dan
pendidikan. Menurutnya, tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya
keseimbangan afek positif dan negatif. Selain itu, Bradburn, Neugarten, Havigurst, dan Tobin dalam Ryff, 1989 juga mengukur kesejahteraan sosial
pada masa usia lanjut. Ia membuat alat ukur Life Satisfaction Index LSI untuk membedakan individu lanjut usia yang termasuk successful aging dan yang tidak.
Pada pengukuran ini, psychological well-being diterjemahkan sebagai kepuasan hidup.
2.2 Kepribadian Personality
2.2.1 Definisi kepribadian personality
Eysenck dalam Suryabrata, 2010 mengatakan : “Personality is the sum-total of actual or potential behavior-pattern of the
organism as determined by heredity and environment; it originates and develops through the functional interaction of the four main sectors into which these
behavior patterns are or the conative sector character, the affective sector temperament, and the somatic sector constitution.
” Kepribadian adalah total-jumlah dari aktual atau potensial pola-perilaku
organisme yang ditentukan oleh keturunan dan lingkungan, tetapi berasal dan berkembang pemikiran interaksi fungsional dari empat sektor utama dimana pola-
pola perilaku atau sektor konatif karakter, sektor afektif temperamen, dan sektor somatik konstitusi.
Istilah kepribadian personality memiliki beberapa arti, menurut disiplin ilmu psikologi yang diambil dari beberapa rumusan teori kepribadian terkemuka
seperti Gordon Allport dalam Friedman Schustack, 2006 mendefinisikan bahwa kepribadian merupakan organisasi dinamis dalam sistem psikofisik
individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Carl Rogers dalam Rathus, 2010 mengungkapkan bahwa
kepribadian merupakan pola yang teratur dan konsisten dari persepsi mengenai diri yang ada dalam pengalaman individu. R.B. Cattel dalam Chaplin, 2005
mengatakan kepribadian yaitu segala sesuatu yang memungkinkan diperolehnya
suatu ramalan mengenai perbuatan apa yang akan dilakukan seseorang dalam situasi tertentu.
Personality adalah tingkah laku yang ditampakkan ke lingkungan sosial kesan mengenai diri yang diinginkan agar dapat ditangkap oleh lingkungan
sosial Alwisol, 2009. Sedangkan menurut John dan Pervin 2001, kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan, dan
perilaku yang konsisten. Definisi tersebut memiliki arti yang cukup luas yang membolehkan kita untuk fokus pada banyak aspek yang berbeda pada setiap
orang. Pada waktu yang bersamaan, hal tersebut menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang
diukur secara teratur. Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk
memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Pendekatan keterampilan dan trait terhadap kepribadian berusaha mencari
beberapa dimensi utama yang dapat menggambarkan pola respons seseorang. Jumlah dimensi itu masih diperdebatkan. Pendekatan faktor terhadap kepribadian
dari Cattell melihat perlu adanya 16 trait. Eysenck yakin bahwa teori harus mendasarkan seleksi faktor-faktor tersebut, dan ia menganggap bahwa semua trait
berasal dari tiga sistem biologis, yaitu extraversion, neuroticism, dan psychoticism. Tetapi banyak peneliti setuju bahwa lima dimensi cukup
memuaskan untuk diterapkan di sebagian besar situasi –disebut Big Five, yang
terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience. Peneliti lain membantah klaim bahwa kepribadian yang