Ashabah bin-Nafsihi Pelaksanaan wasiat

Materi Fikih di Madrasah | 229 Peminatan Fiqh-Ushul Fiqh MA Kelas XI Semester Ganjil KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR 3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab phenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah 3.4 Memahami lafal ‘Amm dan khas 3.8 Memahami lafal mutlaq dan muqayyad 3.10 Menelaah manthuq dan mafhum 4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan 4.4Mendemontrasikan kaidah amm dan khas dalam kehidupan 4.8 Memberikan contoh penetapan hukum dari mutlaq dan muqayyad 4.10 Memberikan contoh penetapan hukum dari manthuq dan mafhum Kaedah Amm dan Khass Lafazh ‘Amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Seperti ulama Hanafiyah mendefinisikan ‘amm dengan: wkM˯rJUa`i\s4Mf gIkyJU` ɇb\ “Setiap lafazh yang meancakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.” Sedangkan ulama Syafi’iyah diantaranya al-Ghazali mendefinisikan: ,L=T˾ z8˱L,rp le ɇ_,`,s`JUa` “Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.” Ulama al-Bazdawi pun mendefinisikan dengan: 5˯JUa` ,rNsq`a=yeNzf W0Q “lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.” 230 | Modul Fikih Adapun pengertian Khass adalah: +0Ujʞ˱LcsaMe,rwkM˯Kss˯JUa`so “Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui ma’lum dan manunggal.” Sighat ‘amm ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘amm. Abu Hasan al-As’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan ‘amm. Bahwa lafaz yang patut untuk dijadikan ‘amm atau khusus baru dapat dilafazkan untuk maksud ‘amm atau untuk maksud khusus bila ada yang memberi petunjuk untuk salah satu diantaranya. Sebelum ada petunjuk, kita harus tawaquf dengan menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai menemukan dalil. Pendapat ini disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan oleh ulama kalam Murji’ah. Jumhur ulama fiqh Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘amm itu memang ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa ada petunjuk dari luar yang menunjukkkan keumumannya. Diantara lafaz-lafaz yang menunjukkan ‘amm adalah: D Lafaz b\ͅͅx.`w`ͅxͅweͅͅ˴z e l ͅ Nzf E Lafaz jamak yang menggunakan alif lam yang menunjukkan jinsiyah, seperti iske˯ F Lafaz mufrad kata tunggal yang menunjukkan alif lam jinsiyah seperti lafaz W5` G Lafaz nakirah dalam bentuk meniadakan atau nakirah fi siyaqin nafyi, seperti la rajula H 1 Pengamalan Hukum Amm Umum Bila bertemu sebuah lafaz ‘amm yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas keumumannya itu. Kemudian, apakah wajib berpegang pada kebenaran yang bersifat amm tersebut dan mengamalkan apa yang dituntut oleh lafaz ‘amm itu. Atau harus mencari dalil takhsis yang akan menjelaskannya sebelum mengamalkan lafaz ‘amm itu. Persoalan ini menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama Hanbali terdapat dua versi, pertama, wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafaz itu. Kedua, tidak wajib mengamalkan dengan lafaz ‘amm secara langsung di saat itu juga menurut keumumannya.