Ashabah bil-Ghair Pelaksanaan wasiat

230 | Modul Fikih Adapun pengertian Khass adalah: +0Ujʞ˱LcsaMe,rwkM˯Kss˯JUa`so “Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui ma’lum dan manunggal.” Sighat ‘amm ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘amm. Abu Hasan al-As’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan ‘amm. Bahwa lafaz yang patut untuk dijadikan ‘amm atau khusus baru dapat dilafazkan untuk maksud ‘amm atau untuk maksud khusus bila ada yang memberi petunjuk untuk salah satu diantaranya. Sebelum ada petunjuk, kita harus tawaquf dengan menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai menemukan dalil. Pendapat ini disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan oleh ulama kalam Murji’ah. Jumhur ulama fiqh Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘amm itu memang ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa ada petunjuk dari luar yang menunjukkkan keumumannya. Diantara lafaz-lafaz yang menunjukkan ‘amm adalah: D Lafaz b\ͅͅx.`w`ͅxͅweͅͅ˴z e l ͅ Nzf E Lafaz jamak yang menggunakan alif lam yang menunjukkan jinsiyah, seperti iske˯ F Lafaz mufrad kata tunggal yang menunjukkan alif lam jinsiyah seperti lafaz W5` G Lafaz nakirah dalam bentuk meniadakan atau nakirah fi siyaqin nafyi, seperti la rajula H 1 Pengamalan Hukum Amm Umum Bila bertemu sebuah lafaz ‘amm yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas keumumannya itu. Kemudian, apakah wajib berpegang pada kebenaran yang bersifat amm tersebut dan mengamalkan apa yang dituntut oleh lafaz ‘amm itu. Atau harus mencari dalil takhsis yang akan menjelaskannya sebelum mengamalkan lafaz ‘amm itu. Persoalan ini menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ulama Hanbali terdapat dua versi, pertama, wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafaz itu. Kedua, tidak wajib mengamalkan dengan lafaz ‘amm secara langsung di saat itu juga menurut keumumannya. Materi Fikih di Madrasah | 231 Ulama Syafiiyah mayoritas berpendapat bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhsis dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘amm. Menurut pendapat jumhur ulama ushul, bahwa lafaz umum al-Quran dapat ditakhsis oleh hadits ahad. Mereka beralasan antara lain dengan merujuk kepada kesepakatan para sahabat untuk mentakhsis ayat-ayat al-Quran dengan hadits ahad. Contoh firman Allah QS. Al-Nisa:23-24 ʜkrʜkrg]ʘrg]˴Lrg]srg]krg]peg]zaLe0 M ɳʙ` g]per ʒ ɳʙ` g]r g\5j per L0` le g]sr g]k g]zaLk ʙT lpga+sjs] ˮ i Tlp ga+ ɳʙ` g\5j le g\s i\˿i Va4,Xeʘ ˾ʜ˾sMfirg]ʙlely.`g]kbʙr 5k`͹˴zsUP ̏̐ ͸ “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu mertua; anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya; dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu menantu dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan diharamkaan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” QS. Al-Nisa:23. Selanjutnya Allah berfirman: eg]`br qgMf4˴T˾T5e˼P˾k=eg]`sesQig]`-r 5k`͹ͨͨͨͨAy0Tlos losTlpke ̏̑ ͸ Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajiban;...QS. Al-Nisa:24. Ayat yang disebut terakhir ini bersifat umum karena mencakup bolehnya memadu istri dengan bibinya atau tantenya. Namun demikian, keumuman ayat tersebut oleh para sahabat telah ditakhsis dengan hadits ahad yang artinya: