222 |
Modul Fikih
2. Ashabul-Furud Nasabiyah, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan
disebabkan karena nasab atau keturunan. Ashabul-Furudh Nasabiyah terdir dari: a.
Anak perempuan berhak menerima bagian: 12 jika sndirian tidak bersama anak laki-laki
23 jika dua orang atau lebih tidak bersama anka laki-laki Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
ɅV Ɉ=ɝk`ɄpɄaɄTɀɄ,ɆɄr ɈɄjɄ\ɈiɆ Ʉr Ʉ[Ʉ0ɄɄeɄɅaɅȾɛlɅpɄaɄTɆ Ɉ˾ɄɄkɈ ɄWɈsɄTɀɄ5ɆjɛlɅ\ɈiɆ
ɄT
“...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu sendirian, maka ia
memperoleh separuh harta.” Q.S.An-Nisa:11. Anak perempuan tidak pernah bisa dihalangi oleh ahli waris lain, tetapi ia dapat
menghalangi ahli waris untuk menerima waris, yaitu saudara perempuanlaki-laki seibu. b.
Cucu perempuan, berhak menerima bagian: 12 jika sendiri, tidak bersama cucu laki-laki
23 jika dua orang atau lebih tidak bersama cucu laki-laki. 16 jika bersama satu anak perempuan .
Mahjub terhalang jika ada satu anak laki-laki atau dua anak perempuan. Bagian anak perempuan dan cucu perempuan dapat dilihat dalam bagan
sebagai berikut:
Ahli waris Bagian
Ketentuan
Anak perempuan 12
Jika sendirian 2.3
Jika berdua atau lebih Cucu perempuan
12 Jika sendirian dan tidak ada anak laki-laki
23 Jika berdua atau lebih dan tidak ada anak laki
16 Jika bersama seorang anak perempuan
Mahjub Jika ada anak laki atau dua orang anak perempuan
c. Ibu berhak menerima bagian:
Materi Fikih di Madrasah |
223
13 jika tidak ada anakcucu atau tidak ada saudara dua atau lebih. 16 jika ada anakcucu atau bersama dua saudara atau lebih.
13 sisa, dalam masalah Garrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari suamiistri, ibu dan bapak.
d. Bapak berhak menerima bagian:
16 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki 16 + sisa, jika bersama anak peremuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
Asobah jika tidak ada anak laki-laki. Jika bapak bersama ibu:
Masing-masing 16 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih. 13 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua
orang atau lebih. Berkaitan dengan ketentuan ibu bapak, Allah berfirman yang artinya:
“Dan untuk dua orang ibu bapak bagi mereka masing-masing seperenam dari harta yang didtinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak. Jika yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai saudara, maka ibu mendapat
seperenam.” Q.S. An-Nisa.[04]:11
Ketentuan bagian tersebut dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut :
Ahli waris Bagian
Ketentuan
Ibu 13
Jika tidak ada anak atau cucu atau dua saudara 16
Jika bersama anak atau cucu atau dua saudara 13 sisa
Masalah gharrawainumaryatain Ayah
16 Jika bersama anak atau cucu laki-laki
16 sisa
Jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan Asobah
Jika tidak ada anak laki-laki
224 |
Modul Fikih
e. Nenek berhak menerima bagian:
16 dalam setiap keadaan Mahjub jika ada ibu
f. Kakek berhak menerima bagian:
16 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki 16 sisa, jika bersama anak atau cucu permpuan tanpa ada anak laki-laki
16 atau muqasamah bagi rata dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
13 atau muqasamah saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. dibahas dalam bab khusus. Mahjub jika ada ayah
Bagian nenek dan kakek dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Ahli waris Bagian
Ketentuan
Nenek 16
Dalam setiap keadaan Mahjub
Jika ada ibu Kakek
16 Jika bersama anak laki-laki
16 sisa Jika bersama anak perempuan
16 atau muqasamah
Jika bersama saudara 13 atau
muqasamah Jika bersama saudara
Asobah Jika tidak ada anak laki-laki
mahjub Ada anak laki-laki atau cucu laki-laki atau ada ayah
g. Sauadara perempuan sekandung seayah seibu berhak menerima bagian:
12 jika seorang, dan tidak bersam saudara laki-laki sekandung. 23 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
Ashabah bi l-ghar jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan Ashabah maal ghair jika ada anak perempuan atau cucu perempuan
Mahjub jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki. ayah atau anak laki-laki h.
Saudara perempuan seayah, berhak menerima bagian: 12 jika seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
Materi Fikih di Madrasah |
225
23 jika berdua atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki seayah. 16 jika bersama dengan satu saudara perempuan sekandung sebagai pelengkap 23
Ashabah bil-ghair jika bersama saudara laki-laki seayah Ashabah ma’a l-ghair jika bersama anak perempuan atau cucu permpuan
Mahjub jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki ayah atau kakek dan anak atau cucu Mahjub juga jika ada dua saudara permpuan sekandung.
i. Saudara perempuanlaki-laki seibu, berhak menerima bagian:
16 jika sendirian 13 jika dua orang atau lebih
Bergabung menerima 13 dengan saudara sekandung ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu musyarakah. Mahju jika ada ashal atau furu’ dari laki-laki.
Bagian tersebut dapat disimpulkan dalam bagan sebagai berikut: Ahli waris
Bagian Ketentuan
Saudara pr sekandung
12 Jika sendirian
23 Jika dua orang atau lebih
Asobah Jika bersama muasib asobah bil ghair
atau jika ada anak atau cucu perempuan asobah ma’al ghair.
Mahjub Jika ada anak laki-laki cucu lk, atau ayah
Sdr pr seayah 12
Jika sendirian 23
Jika dua orang atau lebih 16
Jika ada seorang sdr pr sekandung Asobah
Jika bersama muasib asobah bil ghair atau jika ada anak atau cucu pr asobah
ma’al ghair
Mahjub Jika ada anak lk atau cucu laki-laki atau
ayah Sdr pr seibu
16 Jika sendirian
13 Jika dua orang atau lebih
Mahjub Jika ada anak perempuan atau cucu atau
ayah
226 |
Modul Fikih
ASHABAH
Ashabah menurut bahasa berarti kekerabatan seorang laki-laki dengan ayahnya. Dinamakan ashabah karena mereka mengelilinginya. Kata Ashaba artinya mengelilingi
untuk melindungi dan membela. Sekelompok orang yang kuat dinamakan Ushbah. Sebagaimana firman Allah swt:
ɄirɅ ɆɺɄɄ`ɀ-Ɇ ɛjɆ ɁɄɈ=ɅLɅlɈɄjɄr ɅɈɝ.`ɅqɄaɄ\ɄɈ ɆɨɄ`sɅ`ɄX
“Mereka berkata: jika ia benar-benar dinamakan serigala, sedang kami golongan orang-orang kuat, sungguh kalau demikian kami adalah orang-orang yang merugi”
Q.S.Yusuf [12]:14.
Adapun menurut istilah yang digunakan dalam ilmu waris, ashabah adalah ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu dalam Alquran dan Nash. Karena ia sangat
tergantung dengan sisa setelah diambil oleh ahli waris ashabul furudh. Adapun macam-macam ashabah ada tiga:
1. Ashabah bin-Nafsihi
Ashabah bin nafsih yaitu kerabat laki-laki yang bernisbah kepada mayit tanpa diselingi oleh orang perempuan. Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu bahwa
antara mereka dengan si mati tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah, dan terdapa perantaranya bukan perempuan. Seperti cucu laki-laki dari anak laki-
laki.
Adapun dasar yang dijadikan dalam penetapan ashabah bin-nafsih ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
qzaLZUe0\-b ˰rʙT{Y˴TpaoB0U`sY`
“berikan harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, sesudah sisanya, untuk orang- orang laki-laki yang lebih utama.”
Ashabah bi n-nafsih mempunyai 4 jalur berurutan sebagai berikut: a.
Jalur anak: meliputi anak laki-laki dari mayit, kemudian cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah.
b. Jalur ayah: meliputi ayah mayit, kemudian kakek dan seterusnya ke atas.
c. Jalur saudara: meliputi saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-
laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu, kemudian dari laki-laki seayah seterusnya ke bawah.
Materi Fikih di Madrasah |
227
d. Jalur paman: meliputi saudara laki-laki ayah sebapak seibu, saudara laki-laki
ayah sebapak, putra saudara laki-laki ayah sebapak seibu dan putra saudara laki-laki ayah sebapak dan seterusnya.
e. Contoh Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki. Berapa bagian mereka masing-masing
jika harta peninggalan Rp.120 juta? Ayah 16 karena ada anak.
Anak laki-laki ashabah sisanya yaitu 56. Harta warisan Rp. 120 juta.
Ayah mendapatkan Rp.20 juta. Anak laki-laki mendapat Rp.100 juta.
2. Ashabah bil-Ghair
Ashabah bil-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan orang lain ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushbah.
Ashabah bil-ghair itu ada empat orang wanita yang bagian mereka 12 bila sendirian dan 23 bila lebih dari seorang. Mereka itu ialah:
a. Anak perempuan sekandung bersama anak laki-laki sekandung.
b. Cucu perempuan bersama cucu laki-laki sekandung.
c. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
d. Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
Apabila salah seorang ahli waris dari perempuan-perempuan tersebut bersama muashibnya yang sama derajat dan kekuatannya, ia menjadi ashabah bi l-ghair. Ia
bersama –sama dengan muashibnya menerima sisa harta peninggalan dari ashabu l- furudh atau seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashabu l-furudh yang lain, dengan
ketentuan orang yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian orang perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT:
Ɉ˾ɄzɄɈjɅ ɈʜɝJɄ ɅbɈɆeɆ0Ʉ\ɛ.aɆ`ɈgɅ\Ɇ+ɄʘɈrɄ ɆʓɅ ɛ˿ɅgɅ]z ɆsɅy
“Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan...” Q.S. Al-Nisa [04]:11
ɆɈ˾ɄzɄɈjɅ ɈʜɝJɄ ɅbɈɆeɆ0Ʉ\ɛ.aɆaɄTɀ Ʉ5ɆjɄr ɀʘɄ ɆɀɄsɈɆ sɅjɄ\ɈiɆ Ʉr
“...Jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan...” Q.S. Al-Nisa [04]:176
228 |
Modul Fikih
Ketentuan Ashabah bi l-Ghair
Ashabah bil-ghair tidak terwujud, kecuali dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Pewaris perempuan harus tertentu bagiannya. Pewaris perempuan yang tertentu bagaimana seperti 12 jika sendirian 23 jika lebih dari dua, maka mereka itu
berhak mendapat ashabah bi l-ghair. Di luar dari itu, tidak berhak mendapat ashabah bi l-ghair, seperti anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung.
b. Yang menjadi muashib harus sederajat dengannya. Seperti anak laki-laki menjadi
ashabah bersama dengan anak perempuan dan tidak menjadi ashabah bersama cucu perempuan, karena mereka tidak sederajat.
c. Yang menjadi muashibnya harus sama kuat dengan perempuan yang sudah
tertentu bagiannya itu. Maka saudara laki-laki seayah tidak menjadi ashabah dengan saudara perempuan seayah seibu, karena kerabatnya lebih kuat dari pada
saudara seayah.
3. Ashabah ma’al-Ghair
Ashabah ma’al-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima sisa
harta warisan. Orang yang menjadikan ashabahnya tetap menerima bagian menurut fardhnya sendiri. Ahli waris yang mendapat ashabah ma’al-ghair ini kemungkinan tidak
mendapatkan harta waris karena menunggu sisa harta yang telah dibagikan terlebih dahulu, kepada ashabu l-furudh yang lain. Mereka itu ialah:
a. Saudara perempuan sekandung.
b. Saudara perempuan seayah
Kedua orang tersebut dapat menjadi ashabah ma’al-ghair dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak perempuan atau cucu
perempuan. b.
Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi muashibnya. Pewarisan ashabah ma’a l-ghair adalah didasarkan pada hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang seorang anak perempuan, cucu perempuan dan seorang saudara perempuan. Maka ia menjawab: anak
perempuan mendapat separuh dan saudara perempuan separuh. Kemudian dia berkata kepada penanya: pergilah kepada Ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud ditanya, lalu ia menjawab:
“Aku akan memutuskan tentang ini dengan keputusan Rasulullah SAW.: anak perempuan mendapat separuh, cucu perempuan seperenam untuk menggenapi dua
pertiga dan sisanya adalah bagi saudara perempuan.” HR. Jamaah Ahli Hadis selain Muslim dan Nasai.
Kemudian kami mendatangi Abu Musa dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka ia berkata: “Janganlah bertanya kepadaku selama orang alim ini adaa diantara
kalian.” HR. Bukhari.
Materi Fikih di Madrasah |
229
Peminatan Fiqh-Ushul Fiqh MA Kelas XI Semester Ganjil
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR
3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab phenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
3.4 Memahami lafal ‘Amm dan khas
3.8 Memahami lafal mutlaq dan muqayyad
3.10 Menelaah manthuq dan mafhum
4. Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri
serta bertindak secara efektif dan kreatif, mampu menggunakan metode sesuai kaidah
keilmuan 4.4Mendemontrasikan kaidah amm dan khas
dalam kehidupan 4.8
Memberikan contoh penetapan hukum dari mutlaq dan muqayyad
4.10 Memberikan contoh penetapan hukum dari manthuq dan mafhum
Kaedah Amm dan Khass Lafazh ‘Amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Seperti ulama Hanafiyah mendefinisikan ‘amm dengan:
wkM˯rJUa`i\s4Mf gIkyJU` ɇb\
“Setiap lafazh yang meancakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.” Sedangkan ulama Syafi’iyah diantaranya al-Ghazali mendefinisikan:
,L=T˾
z8˱L,rp le ɇ_,`,s`JUa`
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.” Ulama al-Bazdawi pun mendefinisikan dengan:
5˯JUa` ,rNsq`a=yeNzf W0Q
“lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”
230 |
Modul Fikih
Adapun pengertian Khass adalah:
+0Ujʞ˱LcsaMe,rwkM˯Kss˯JUa`so
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui ma’lum dan manunggal.”
Sighat ‘amm ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk
menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘amm. Abu Hasan al-As’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat
tertentu untuk menunjukkan ‘amm. Bahwa lafaz yang patut untuk dijadikan ‘amm atau khusus baru dapat dilafazkan untuk maksud ‘amm atau untuk maksud khusus bila ada
yang memberi petunjuk untuk salah satu diantaranya. Sebelum ada petunjuk, kita harus tawaquf dengan menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai
menemukan dalil. Pendapat ini disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan oleh ulama kalam Murji’ah.
Jumhur ulama fiqh Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘amm itu memang ada lafaz tertentu yang mengikutinya, tanpa
ada petunjuk dari luar yang menunjukkkan keumumannya. Diantara lafaz-lafaz yang menunjukkan ‘amm adalah:
D Lafaz
b\ͅͅx.`w`ͅxͅweͅͅ˴z e l ͅ
Nzf
E Lafaz jamak yang menggunakan alif lam yang menunjukkan jinsiyah, seperti
iske˯
F Lafaz mufrad kata tunggal yang menunjukkan alif lam jinsiyah seperti lafaz
W5`
G Lafaz nakirah dalam bentuk meniadakan atau nakirah fi siyaqin nafyi, seperti la
rajula H
1 Pengamalan Hukum Amm Umum
Bila bertemu sebuah lafaz ‘amm yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua afradnya, apakah boleh langsung menetapkan hukum atas
keumumannya itu. Kemudian, apakah wajib berpegang pada kebenaran yang bersifat amm tersebut dan mengamalkan apa yang dituntut oleh lafaz ‘amm itu. Atau harus
mencari dalil takhsis yang akan menjelaskannya sebelum mengamalkan lafaz ‘amm itu. Persoalan ini menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Ulama Hanbali terdapat dua versi, pertama, wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafaz itu. Kedua, tidak wajib mengamalkan dengan lafaz ‘amm secara
langsung di saat itu juga menurut keumumannya.
Materi Fikih di Madrasah |
231
Ulama Syafiiyah mayoritas berpendapat bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhsis dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘amm.
Menurut pendapat jumhur ulama ushul, bahwa lafaz umum al-Quran dapat ditakhsis oleh hadits ahad. Mereka beralasan antara lain dengan merujuk kepada
kesepakatan para sahabat untuk mentakhsis ayat-ayat al-Quran dengan hadits ahad. Contoh firman Allah QS. Al-Nisa:23-24
ʜkrʜkrg]ʘrg]˴Lrg]srg]krg]peg]zaLe0 M ɳʙ` g]per
ʒ ɳʙ` g]r g\5j per L0` le g]sr g]k g]zaLk ʙT lpga+sjs] ˮ i
Tlp ga+ ɳʙ` g\5j le g\s
i\˿i Va4,Xeʘ ˾ʜ˾sMfirg]ʙlely.`g]kbʙr 5k`˴zsUP
̏̐
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu mertua; anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya; dan diharamkan bagimu istri-istri
anak kandungmu menantu dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan diharamkaan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. Allah telah menetapkan
hukum itu sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” QS. Al-Nisa:23.
Selanjutnya Allah berfirman:
eg]`br qgMf4˴T˾T5e˼P˾k=eg]`sesQig]`-r
5k`ͨͨͨͨAy0Tlos losTlpke ̏̑
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati campuri di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajiban;...QS. Al-Nisa:24.
Ayat yang disebut terakhir ini bersifat umum karena mencakup bolehnya memadu istri dengan bibinya atau tantenya. Namun demikian, keumuman ayat tersebut oleh para
sahabat telah ditakhsis dengan hadits ahad yang artinya:
232 |
Modul Fikih
˱L0˯]kiga4rqzaL˿˱˿_s4wpj_XpkL˿ʐ0y0oɮlL t`mrp`rpfL
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw melarang untuk menikahi memadu wanita bersama bibinya dan tidak boleh pula bersama tantenya. HR. Bukhari.
2 Pengertian Khass
Al-Bazdawi mendifinisikan khass adalah:
\9˯KEYjr+0Ujʞ˱L,rwkM˯NrJU` ɇb\
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang musytarak.”
Al-Amidi mendefinisikan khass adalah:
qzTly˼\[ɰ8ʘa=yʘt.`,s`JUa`so
“Satu lafaz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.” Atau
+0Ujʞ˱LcsaMe,rwkM˯Kss˯JUa`so
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui ma’lum dan manunggal.”
Lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukkan satu satuan secara perorangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau beberapa satuan
yang jumlahnya tidak terbatas seperti ‘kaum’; atau lafaz lain dalam bentuk satuan yang tak terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya yang masuk dalam pengertian
‘amm.
Khusus adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas
dengan khusus, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang
dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa khas itu adalah apa yang mencapai kepada sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa, sedangkan khusus adalah apa
yang mencapai sesuatu bukan yang lainnya, namun boleh mencapai yang lainnya itu. Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
a. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ teks hukum, ia menunjukkan
artinya yang khas secara qath’i al-dalalah penunjukkan yang pasti dan
Materi Fikih di Madrasah |
233
meyakinkan yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Seperti firman Allah Swt dalam surat
al-Maidah 5:89.
go+ʁLcMD qU]T
Maka kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin. Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan
memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b. Bila ada dalil yang menghendaki pemahaman lain dari lafaz khas itu kepada arti
lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu. Seperti sabda Rasulullah Saw:
88˾M ɇb\ʒ
Untuk setiap empat puluh ekor kembing zakatnya satu ekor kambing. Oleh ulama Hanafi zakat kambing dalam hadits itu dita’wilkan kepada yang
lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya. c.
Bila dalam suatu khusus hukumnya bersifat ‘amm dan ditemukan pula hukum yang khusus dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan
hukum ‘amm itu. Seperti firman Allah Swt:
r0Xʙlp5Ujl=ɰyYaE˯r
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah beriddah tiga kali quru’. Keharusan menjalani ‘iddah selama tiga quru’ itu berlaku ‘amm, mencakup
semua perempuan yang bercerai dari suaminya dalam keadaan apapun. Kemudian ada ketentuan iddah yang berlaku secara khusus bagi perempuan
yang hamil dalam firman Allah,
ɇlpaflMAyilpa _˴ʘʘrr
“Perempuan-perempuan yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya.” QS. al-Thalaq 65:4.
Adanya ketentuan khusus ini menjelaskan bahwa perempuan bercerai yang harus beriddah 3 quru’ sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Baqarah 2:228
itu adalah perempuan-perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak sedang hamil; karena bagi yang sedang hamil sudah diatur secara tersendiri dengan lafaz
khas surat al-Thalaq 65:4.
Lafaz khas dalam hal ini membatasi atau mengurang afrad lafaz ‘amm. Inilah yang dinamakan ‘takhsis’.
234 |
Modul Fikih
d. Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil ‘amm, terdapat
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiya, seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khass mentakhsiskan yang ‘amm, karena
tersedianya persyaratan untuk takhsis. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan; 1 bila lafaz ‘amm terkemudian datangnya, maka
lafaz ‘amm itu menasakh lafaz khas; 2 bila lafaz khas yang terkemudian datangnya, maka lafaz khas itu menasakh lafaz ‘amm dalam sebagian afradnya.
Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya perbenturan antara dalil ‘amm dengan dalil khusus karena keduanya bila datang dalam waktu
bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan untuk
menerima penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz
‘amm.
Menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah dilalah ‘amm kemungkinan besar ditakhsis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas:
gzaLʄ ɇb]˿rͧ˰Mq`sXʘ ɇ=rɇʘ cLi0Y`ʒ6z`
“Dalam al-Quran semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali firman Allah SWT., Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu”. Sesuatu yang menjadi perselisihan para ulama, apakah lafazh ‘amm dalam al-
Quran dapat ditakhsis dengan dalil zhanni hadits. Menurut ulama Syafi’iyah dan Ahmad apabila pertentangan antara lafazh khas yang terdapat pada khabar ahad
dengan lafazh ‘amm al-Quran, maka khabar ahad itu dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran.
3
Pembagian Takhsis
Takhsis terdiri
dari: a.
Takhsis al-Quran dengan al-Quran Ulama telah sepakat menetapkan bolehnya al-Quran mentakhsis al-Quran. Seperti
firman Allah Swt:
r0Xʙlp5Ujl=ɰyYaE˯r
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah sampai 3 quru’. QS. al-Baqarah 2:229.
Ayat ini ditakhsis dengan firman Allah Swt:
Materi Fikih di Madrasah |
235
ʁLr0p8Mlp5Ujl=ɰy r1ir.yrg]keisTsyly.`r
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan isteri hendaknya iddah mereka menunggu sampai 4 bulan sepuluh hari.” QS.
al-Baqarah 2:234.
b. Takhsis al-Quran dengan Sunnah
Untuk sunnah yang kekuatannya mutawatir, para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya Sunnah itu mentakhsis al-Quran. Tetapi untuk Sunnah yang
kekuatannya Ahad, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mentakhsis al-Quran. Imam mazhab yang empat Syafii, Maliki, Hanafi dan
Hanbali berpendapat bolehnya mentakhsis al-Quran dengan khabar ahad. Seperti lafazh ‘amm dalam firman Allah SWT:
Z5U`qɇjrqzaL˿g40\.yˮɇ˴esa\ʘr
“Janganlah kamu semua makan binatang sembelihan yang belum disebut bismillah terhadap binatang tersebut ketika disembelih, karena itu adalah
perbuatan dosa.” QS. Al-An’am:121.
Ayat tersebut ditakhsis dengan khabar ahad sebagai berikut:
ɇg5yˮr{ɇf4˿g4˱L.yga5˯
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah bismillah atau tidak.” HR. Abu Daud.
Sedangkan menurut mayoritas ulama Hanafiyah bahwa khabar ahad tersebut tidak dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran di atas. Oleh karena itu, mereka tetap
mengharuskan sekalipun kepada seorang muslim harus membaca bismillah ketika menyembelih hewan.
c. Takhsis Sunnah dengan al-Quran
Contoh: Sabda Rasulullah Saw:
k4{Ujre,a 0]`0]`
“Perempuan yang berzina dengan bujangan hukumannya adalah dipukul 100 kali dan dibuang setahun.”
Pengertian ‘amm hadits di atas ditakhsis oleh ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa sanksi untuk hamba sahaya hanya separoh yang dikenakan kepada orang
yang merdeka, firman Allah Swt:
236 |
Modul Fikih
.M`lek=˯˱LeV=jɇlpzaMT
“Atas mereka ditimpakan hukuman separoh dari apa yang dibebankan kepada perempuan muhsonat.” QS. al-Nisa:25.
d. Takhsis Sunah dengan Sunnah
Contoh lain ‘amm yang ditakhsis adalah:
ʁM`V=jAk`wY4˴zTrʁM`yɵLi\riszM`r˴5`Y4˴zT
“Zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air hujan adalah 10 sedangkan zakat yang diairi irigasi adalah 5.” HR. Bukhari dan Ashab al-Sunan.
Ditakhsis dengan sabda Rasulullah SAW:
X,Z4r5fir+˴zT6z`
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausuq.” Menurut jumhur lafazh takhsis disini sebagai penjelas terhadap ‘amm.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nishab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang kepada
hadits yang ‘amm. Sedangkan pada hadits yang khas, mereka menyatakan bahwa hadits tersebut berlaku pada zakat perdagangan.
Muthlaq dan Muqayyad Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang
dapat mempersempit keluasan artinya. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan kata muthlaq dengan:
,zXxIU`,zYe˼P+0T˱L ɇ_+e
“Lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan.”
Seperti lafazh raqabah yang terdapat padaf firman Allah SWT:
ɇ4˴yibXleX0y0T
“Wajib memerdekakan budak sebelum kedua isteri itu bercampur.” QS. Al- Mujadalah:3.
Lafazh raqabah budak merupakan lafazh muthlaq karena tidak dibatasi dengan
sifat atau keadaan lainnya.
Materi Fikih di Madrasah |
237
Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu dengan dibatasi oleh sifat, keadaan atau jumlah. Seperti firman Allah SWT:
0y0TEkeebXler qao˰fɇa5ey+rkeeX
“….Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya… “QS. An-Nisa:92.
Lafazh raqabah di atas adalah muqayyad karena dibatasi dengan sifat yaitu wajib memerdekakan budak yang beriman.
a. Macam dan Hukum Muthlaq-Muqayyad
Muthlaq dan Muqayyad memiliki berbagai macam bentuknya, para ulama pada prinsipnya sepakat bahwa hukum muthlaq wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak
ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga lafazh muqayyad wajib diamalkan berdasar pada kemuqayyadannya. Adapun macam-macam Muthlaq dan Muqayyad
adalah:
1 Apabila hukum dan sebabnya sama, para ulama sepakat bahwa wajib mengamalkan
muthlak kepada muqayyad. Seperti contoh firman Allah Swt:
0y2k`g`rcɇ,`rz˯g]zaLeɇ0
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi.” QS. Al-Maidah:3. Darah Dam yang diharamkan oleh Surat al-Maidah di atas disebutkan dengan lafazh
muthlak, tanpa dijelaskan sifat-sifat dari darah itu. Kemudian di dalam Surat al- An’am:145 Allah menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang
bersifat mengalir. Firman-Nya:
is]yiɇʘ qfMEygLD˱Leɇ0eɇ˲ {r˴zT, ʘbX 0y2kg`rsU5ee+rze
“Katakanlah, ‘Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” QS. Al- An’am:145
2 Apabila hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajib
memberlakukan masing-masing, muthlaq pada kemuthlakannya dan muqayyad pada kemuqayyadannya.
3 Hukum berbeda sedangkan sebabnya sama, ulama sepakat bahwa muthak harus
dipahami pada kemuthalakannya dan muqayyada pada kemuqayyadannya. Contoh,
238 |
Modul Fikih
hukum wudhu dan tayammum, dan sebabnya sama yaitu karena hadats. Sebagaimana firman Allah Swt:
qkeg]y,yrg]os ss5eTɇzD,zMsfɇfzT
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” QS. Al-Maidah:6.
Akan tetapi pada hukum wudhu Allah Swt berfirman:
ZT0˯˰g]y,yrg]os rsa5PTsa=`˰gfX- skely.`pyy
“Hai orang-orang beriman, jika hendak mendirikan shalat, maka basuhlah muka mu dan kedua tanganmu sampai kedua siku. QS. Al-Maidah:6
4 Hukum sama sedangkan sebabnya berbeda, dalam hal ini ulama berselisih pendapat
ada yang mengharuskan muthlaq dibawa kepada muqayyad dan ada yang mengharuskan muthlak dibawa kepada kemuthlakannya dan muqayyad juga dibawa
kepada kemuqayyadannya. Contoh harus mendatangkan dua orang saksi dalam soal
hutang piutang sebagaimana firman Allah Swt:
g]` lely,pz8r,p94r
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki” QS. Al- Baqarah: 282.
Dua orang saksi tersebut disebutkan secara mutlak, akan tetapi dalam merujuk istri, harus mendatangkan dua orang saksi yang adil. Sebagaimana firman Allah Swt:
g]ke_,Ltr-r,p8r
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.” QS. Al- Thalaq:2.
Manthuq dan Mafhum Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalalah bentuk ungkapan lafazh terbagi
kepada manthuq dan mafhum. Manthuq adalah petunjukan lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Manthuq dalam istilah ini sama dengan dalalah ibarah
menurut pandangan Hanafiyah. Adapun dalalah mafhum ialah petunjukan lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, melainkan datang dari
pemahaman. Mafhum terbagi kepada dua bagian:
a.
Mafhum muwafaqah, dalam istilah Hanafiyah disebut dengan dalalah nash, yaitu suatu penunjukan lafazh pada hukum yang tertulis pada lafazh itu berlaku pada masalah
yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak
Materi Fikih di Madrasah |
239
tertulis karena ada persamaan dalam illatnya alasan. Mafhum muwafaqah terbagi kepada fahwal khitab dan lahn al-khitab, apabila hukum yang tidak tertulis lebih utama
daripada hukum yang tertulis, maka disebut fahwal khitab. seperti hukum memukul orang tua tidak tertulis dengan hukum mengatakan ah hukum yang tertulis ada
unsur yang sama yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua. Adapun lahnul khitab apabila hukum yang tidak tertulis sama atau lebih rendah dari hukum yang tertulis.
Seperti hukum membakar harta anak yatim tidak tertulis dengan hukum memakan harta anak yatim tertulis.
b. Mafhum mukhalafah, adalah petunjukan lafazh pada hukum yang lahir dari lafazh
berlaku bagi hukum yang tidak disebut dalam lafazh, yang hukum tersebut bertentangan dengan hukum yang lahir dari manthuqnya, karena tidak ada batasan
yang berpengaruh dalam hukum.
Mafhum mukhalafah ada lima macam, yaitu: 1
Mafhum Mukhalafah Laqab Mafhum laqab adalah menyebutkan suatu hukum yang ditentukan ditakhsis
dengan jenis atau macamnya, sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nash, dan negative manfi bagi masalah yang tidak
disebutkan. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
qsYL ɇbygaH, s`ɇ˲
“Memperlambat pembayaran hutang bai orang yang telah mampu membayarnya, adalah suatu perbuatan zalim yang halal boleh dikenakan
sangsi hukuman. Hadits tersebut dapat diambil mafhum mukhalafah bahwa orang yang
memperlambat pembayaran hutang karena belum mampu membayarnya, tidak termasuk dalam kategori zhalim yang boleh untuk dikenakan sanksi hukuman.
2 Mafhum Mukhalafah Sifat
Mafhum sifat ialah menetapkan hukum dalam bunyi manthuq suatu nash yang dibatasi qayid dengan sifat yang terdapat dalam lafazh, dan jika sifat tersebut
telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, misalnya firman Allah Swt:
=˯]kyiʘsDg]keNE5yˮler ]aeelfTke˯k
ke˯g]zTleg]j˽
“Dan barangsiapa di antara kamu orang merdeka tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini wanita
yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”. QS. Al-Nisa:25.
240 |
Modul Fikih
3 Mafhum Mukhalafah Syarat
Mafhum syarat adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat. Seperti firman Allah Swt:
ɇlpaflMAy ɇwɇlpzaLsYjTbfʘrɇl\i r
“Dan jika mereka isteri-isteri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan.” QS. Al-
Thalaq:6. Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri
yang telah dicerai dan tengah menjalani masa iddah itu dibatasi dengan keadaan hamil bagi isteri yang dicerai, maka suami wajib memberi nafkah kepada mereka.
Dengan demikian dapat diambil mafhum mukhalafah, bahwa jika isteri yang dicerai tidak hamil, maka suami tersebut tidak wajib memberikan nafkah
kepadanya.
4 Mafhum Mukhalafah Ghayah
Mafhum ghayah adalah menetapkan hukum yang berbeda di luar tujuan nash ghayah, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan ghayah, misalnya firman
Allah Swt:
ir,LʙTspji
T̀ly,`is]yrkTis]ʘwgosaXr ˾˯I`˱Lʘ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka
tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim”. QS. Al- Baqarah:193.
Ayat tersebut menjelaskan, bahwa peperangan diperbolehkan, karena ada tujuan yaitu mencegah timbulnya fitnah dalam agama. Jika fitnah dalam agama tersebut
sudah tidak ada, maka peperangan tidak diperbolehkan lagi.
5 Mafhum Mukhalafah ‘adad
Mafhum ‘Adad adalah penetapan kebalikan hukum dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi. Seperti firman
Allah Swt:
,a e˴pke,r ɇb\r,a T˺2`rzj2`
“Wanita dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing mereka sebanyak seratus pukulan”. QS. Al-Nur:2.
Materi Fikih di Madrasah |
241
Dalam hukuman ini ditetapkan pukulan seratus kali, tidak boleh lebih atau kurang. Imam Abu Hanifah menolak keras adanya mafhum mukhalafah ini sebagai salah
satu penafsiran nash-nash syara’. Mereka beralasan bahwa banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, antara
lain firman Allah Swt:
Zacsy˿\ʒ0p8ʁLk˿,kLsp9`,Lɇi c0Mpke?ʜrsf5`
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas, dalam ketetapan Allah- waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.
Itulah ketetapan agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam yang empat bulan itu.” QS. Al-Taubah:36.
Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalafahnya akan mempunyai arti bahwa berbuat zhalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja,
sedangkan di luar itu tidak haram. Padahal berbuat zhalim itu diharamkan pada setiap saat.
Contoh lain, firman Allah Swt:
ɇ˺ʅ`s`sYʘr ˿9yiɇʘ,P`-bLT
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘sesungguhnya aku pasti mengerjakan itu besok pagi’ kecuali dengan menyebut Insya Allah.
QS. Al-Kahf:23-24. Larangan untuk mengatakan ‘aku pasti mengerjakan itu’ dalam ayat tersebut
dibatasi dengan waktu besok pagi, sehingga bila menggukanakan mafhum mukhalafah, maka seseorang boleh mengatakan ‘aku pasti mengerjakan itu dua
hari besok lagi, atau tiga hari lagi, atau bulan depan tanpa diikuti ucapan insya Allah, padahal larangan tersebut adalah berlaku sepanjang masa, tidak hanya
terbatas pada besok pagi saja.
242 |
Modul Fikih
F. Rangkuman
1. Thaharah adalah bersuci dari najis dan hadas. Bersuci dari najis adalah
menghilangkan najis dengan cara dicuci atau dibersihkan sehingga hilang rasa, warna dan baunya. Sedangkan bersuci dari hadas dengan cara wudhu atau mandi
dengan air. Jika tidak ada maka dibolehkan dengan tayammum.
2. Shalat idain adalah shalat dua rakaat yang diawali dengan tujuh kali takbir pada
rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua dan ditutup dengan khutbah. Shalat idain terdiri atas shalat idul fithri dan shalat idul adha.
3. Shalat jum’at adalah shalat dua rakaat yang diawali terlebih dahulu dengan khutbah.
Shalat ini dilaksanakan pada waktu zhuhur sebagai pengganti dari shalat zhuhur. 4.
Jual beli adalah akad antara penjual dan pembeli untuk menukar barang dengan uang yang disertai dengan saling keridhaan antara keduanya. Jual beli terdiri dari jual
beli murabahah, salam dan istishna’. 5.
Zakat merupakan kewajiban mengeluarkan harta bagi setiap muslim yang telah memenuhi nishab dan haul. Nishab adalah batas minimal kepemilikan harta, dan
haul adalah masa satu tahun kepemilikan harta. Zakat terdiri atas zakat fitrah dan zakat mal.
6. Waris adalah harta peninggalan mayit yang berpindah kepemilikannya kepada para
ahli warisnya. 7.
Amm adalah lafaz umum dan khas adalah lafaz khusus yang ketentuannya berdasarkan kaidah ma min ‘amin illa wa qad khussisa. tidaklah lafaz umum kecuali
telah dikhususkan oleh lafaz khass. 8.
Muthlak adalah lafaz yang tidak dibatasi oleh sifat atau jumlah sedangkan muqayad adalah lafaz yang dibatasi.
9. Manthuq adalah pemahaman apa yang tertulis atau makna tertulistersurat
sedangkan mafhum adalah pemahaman apa yang tidak tertulis dalam lafaz atau makna tidak tertulis atau tersirat.
Materi Fikih di Madrasah |
243
G. TUGAS DAN LATIHAN
LEMBAR KERJA 1:
Diskusikan dengan kelompok, bagaimana cara untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan terkait dengan materi-materi di atas. Rumuskan strategi yang tepat agar
siswa bisa menguasai materi-materi di atas. Berkelompoklah menurut jenjang pendidikan. Setelah selesai, hasil kerja kelompok dipresentasikan dalam bentuk power
point
LEMBAR KERJA 2:
Lakukan kerja kelompok, setiap kelompok memilih salah satu KD dari KD-KD yang ada di jenjang MI, MTs, dan MA. Buatlah langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan ilmiah saintifik, yaitu:
1.
Mengamatiobserving
2.
Menanyaquestioning
3.
Mengumpulkan informasiMencoba Eksplorasiexperimenting
4.
Menalarmengasosiasiassociating
5.
Mengomunikasikancommunicating Rujuklah Permendikbud No.81-A Thn 2013 Ttg Implementasi Kurikulum 2013, Lampiran
IV: Pedoman Umum Pembelajaran, hlmn 3-7. Lakukan kerja bersama anggota kelompok masing-masing. Setelah selesai, hasil kerja kelompok dipresentasikan dalam bentuk
power point
244 |
Modul Fikih
LATIHAN SOAL
Soal Pilihan Ganda: Pilihlah jawaban yang paling tepat dengan memberikan tanda silang 1.
Hadas adalah... a. sesuatu yang perlu dibersihkan
b. sesuatu yang mengharuskan wudhu atau mandi junub c. sesuatu yang kotor dan jijik
d. sesuatu yang berbahaya bagi diri.
2. Shalat yang dilaksanakan dengan tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali
takbir pada rakaat kedua, disebut dengan ... a. shalat tarawih
b. shalat dhuha c. shalat Gerhana
d. shalat Idain
3. Berikut ini nishab zakat emas...
a. 80
gram c.
90 gram
b. 85
gram d.
95 gram
4. Seorang kepala keluarga memiliki seorang istri, tiga orang anak dan seorang
pembantu, berapa zakat fitrah yang harus dikeluarkan olehnya jika harga beras seharga Rp. 18.000kg?
a. Rp.
225.000,00 c. Rp.
180.000,00 b. Rp. 220.000,00
d. Rp. 175.000,00 5.
Berikut ini yang termasuk contoh dari muthlak dan muqayyad, kecuali... a. darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir
b. tangan yang dibasuh pada saat tayammum cukup sampai pergelangan c. memerdekakan budak yang muslim.
d. hukum darah haram
6. Berikut ini pengertian dari mafhum muwafaqah...
a. pengertian yang di luar lafaz ada kesamaan dengan yang ada di lafaz. b. pengertian yang di dalam lafaz ada kesamaaan dengan makna sebenarnya
c. pengertian kontekstual yang berbeda dengan tekstual d. pengertian yang tidak sebenarnya.
7. Berikut ini ahli waris yang berhak mendapatkan ashobah, kecuali...
a. suami b. anak laki-laki
c. anak perempuan d. cucu laki-laki
8. Berikut ini bagian waris bagi anak perempuan...
a. 14 b. 16
c. 18 d. 23
9. Berikut ini macam-macam jual beli, kecuali ...
a. murabahah b. salam
Materi Fikih di Madrasah |
245
c. istishna’ d. rahn
10. Berikut ini contoh dari mafhum mukhalafah syarat...
a. seorang isteri yang dicerai dengan syarat hamil, wajib bagi seorang suami memberikan nafkah kepadanya.
b. suami tidak wajib memberi nafkah kepada isteri yang dicerai baik dalam keadaan hamil ataupun tidak.
c. tidak wajib memerangi orang kafir ketika tidak ada fitnah d. wajib memerangi orang kafir ada atau tidak ada fitnah.
Soal Essay: Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas 1.
Jelaskan ketentuan thaharah dari hadas? 2.
Jelaskan perbedaan jual beli murabahah, salam dan istishna’? 3.
Tentukan pembagian waris berikut ini: suami, anak perempuan, ibu dan ayah? 4.
Jelaskan perbedaan antara mafhum muwafaqah dan mukhalafah? 5.
Berikan contoh muthlak-muqayad?