Ashabah ma’al-Ghair Pelaksanaan wasiat
Materi Fikih di Madrasah |
231
Ulama Syafiiyah mayoritas berpendapat bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhsis dan sebelum itu tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘amm.
Menurut pendapat jumhur ulama ushul, bahwa lafaz umum al-Quran dapat ditakhsis oleh hadits ahad. Mereka beralasan antara lain dengan merujuk kepada
kesepakatan para sahabat untuk mentakhsis ayat-ayat al-Quran dengan hadits ahad. Contoh firman Allah QS. Al-Nisa:23-24
ʜkrʜkrg]ʘrg]˴Lrg]srg]krg]peg]zaLe0 M ɳʙ` g]per
ʒ ɳʙ` g]r g\5j per L0` le g]sr g]k g]zaLk ʙT lpga+sjs] ˮ i
Tlp ga+ ɳʙ` g\5j le g\s
i\˿i Va4,Xeʘ ˾ʜ˾sMfirg]ʙlely.`g]kbʙr 5k`˴zsUP
̏̐
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu mertua; anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya; dan diharamkan bagimu istri-istri
anak kandungmu menantu dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan diharamkaan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. Allah telah menetapkan
hukum itu sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” QS. Al-Nisa:23.
Selanjutnya Allah berfirman:
eg]`br qgMf4˴T˾T5e˼P˾k=eg]`sesQig]`-r
5k`ͨͨͨͨAy0Tlos losTlpke ̏̑
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati campuri di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajiban;...QS. Al-Nisa:24.
Ayat yang disebut terakhir ini bersifat umum karena mencakup bolehnya memadu istri dengan bibinya atau tantenya. Namun demikian, keumuman ayat tersebut oleh para
sahabat telah ditakhsis dengan hadits ahad yang artinya:
232 |
Modul Fikih
˱L0˯]kiga4rqzaL˿˱˿_s4wpj_XpkL˿ʐ0y0oɮlL t`mrp`rpfL
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw melarang untuk menikahi memadu wanita bersama bibinya dan tidak boleh pula bersama tantenya. HR. Bukhari.
2 Pengertian Khass
Al-Bazdawi mendifinisikan khass adalah:
\9˯KEYjr+0Ujʞ˱L,rwkM˯NrJU` ɇb\
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang musytarak.”
Al-Amidi mendefinisikan khass adalah:
qzTly˼\[ɰ8ʘa=yʘt.`,s`JUa`so
“Satu lafaz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.” Atau
+0Ujʞ˱LcsaMe,rwkM˯Kss˯JUa`so
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui ma’lum dan manunggal.”
Lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukkan satu satuan secara perorangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau beberapa satuan
yang jumlahnya tidak terbatas seperti ‘kaum’; atau lafaz lain dalam bentuk satuan yang tak terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya yang masuk dalam pengertian
‘amm.
Khusus adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas
dengan khusus, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang
dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa khas itu adalah apa yang mencapai kepada sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa, sedangkan khusus adalah apa
yang mencapai sesuatu bukan yang lainnya, namun boleh mencapai yang lainnya itu. Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
a. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ teks hukum, ia menunjukkan
artinya yang khas secara qath’i al-dalalah penunjukkan yang pasti dan
Materi Fikih di Madrasah |
233
meyakinkan yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Seperti firman Allah Swt dalam surat
al-Maidah 5:89.
go+ʁLcMD qU]T
Maka kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin. Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan
memberikan makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b. Bila ada dalil yang menghendaki pemahaman lain dari lafaz khas itu kepada arti
lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu. Seperti sabda Rasulullah Saw:
88˾M ɇb\ʒ
Untuk setiap empat puluh ekor kembing zakatnya satu ekor kambing. Oleh ulama Hanafi zakat kambing dalam hadits itu dita’wilkan kepada yang
lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya. c.
Bila dalam suatu khusus hukumnya bersifat ‘amm dan ditemukan pula hukum yang khusus dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan
hukum ‘amm itu. Seperti firman Allah Swt:
r0Xʙlp5Ujl=ɰyYaE˯r
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah beriddah tiga kali quru’. Keharusan menjalani ‘iddah selama tiga quru’ itu berlaku ‘amm, mencakup
semua perempuan yang bercerai dari suaminya dalam keadaan apapun. Kemudian ada ketentuan iddah yang berlaku secara khusus bagi perempuan
yang hamil dalam firman Allah,
ɇlpaflMAyilpa _˴ʘʘrr
“Perempuan-perempuan yang hamil, iddahnya bila telah lahir anaknya.” QS. al-Thalaq 65:4.
Adanya ketentuan khusus ini menjelaskan bahwa perempuan bercerai yang harus beriddah 3 quru’ sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Baqarah 2:228
itu adalah perempuan-perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak sedang hamil; karena bagi yang sedang hamil sudah diatur secara tersendiri dengan lafaz
khas surat al-Thalaq 65:4.
Lafaz khas dalam hal ini membatasi atau mengurang afrad lafaz ‘amm. Inilah yang dinamakan ‘takhsis’.
234 |
Modul Fikih
d. Bila ditemukan perbenturan antara dalil khas dengan dalil ‘amm, terdapat
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiya, seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khass mentakhsiskan yang ‘amm, karena
tersedianya persyaratan untuk takhsis. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan; 1 bila lafaz ‘amm terkemudian datangnya, maka
lafaz ‘amm itu menasakh lafaz khas; 2 bila lafaz khas yang terkemudian datangnya, maka lafaz khas itu menasakh lafaz ‘amm dalam sebagian afradnya.
Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya perbenturan antara dalil ‘amm dengan dalil khusus karena keduanya bila datang dalam waktu
bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan untuk
menerima penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz
‘amm.
Menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah dilalah ‘amm kemungkinan besar ditakhsis, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas:
gzaLʄ ɇb]˿rͧ˰Mq`sXʘ ɇ=rɇʘ cLi0Y`ʒ6z`
“Dalam al-Quran semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali firman Allah SWT., Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu”. Sesuatu yang menjadi perselisihan para ulama, apakah lafazh ‘amm dalam al-
Quran dapat ditakhsis dengan dalil zhanni hadits. Menurut ulama Syafi’iyah dan Ahmad apabila pertentangan antara lafazh khas yang terdapat pada khabar ahad
dengan lafazh ‘amm al-Quran, maka khabar ahad itu dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran.
3
Pembagian Takhsis
Takhsis terdiri
dari: a.
Takhsis al-Quran dengan al-Quran Ulama telah sepakat menetapkan bolehnya al-Quran mentakhsis al-Quran. Seperti
firman Allah Swt:
r0Xʙlp5Ujl=ɰyYaE˯r
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah sampai 3 quru’. QS. al-Baqarah 2:229.
Ayat ini ditakhsis dengan firman Allah Swt:
Materi Fikih di Madrasah |
235
ʁLr0p8Mlp5Ujl=ɰy r1ir.yrg]keisTsyly.`r
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan isteri hendaknya iddah mereka menunggu sampai 4 bulan sepuluh hari.” QS.
al-Baqarah 2:234.
b. Takhsis al-Quran dengan Sunnah
Untuk sunnah yang kekuatannya mutawatir, para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya Sunnah itu mentakhsis al-Quran. Tetapi untuk Sunnah yang
kekuatannya Ahad, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya mentakhsis al-Quran. Imam mazhab yang empat Syafii, Maliki, Hanafi dan
Hanbali berpendapat bolehnya mentakhsis al-Quran dengan khabar ahad. Seperti lafazh ‘amm dalam firman Allah SWT:
Z5U`qɇjrqzaL˿g40\.yˮɇ˴esa\ʘr
“Janganlah kamu semua makan binatang sembelihan yang belum disebut bismillah terhadap binatang tersebut ketika disembelih, karena itu adalah
perbuatan dosa.” QS. Al-An’am:121.
Ayat tersebut ditakhsis dengan khabar ahad sebagai berikut:
ɇg5yˮr{ɇf4˿g4˱L.yga5˯
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah bismillah atau tidak.” HR. Abu Daud.
Sedangkan menurut mayoritas ulama Hanafiyah bahwa khabar ahad tersebut tidak dapat mentakhsis lafazh ‘amm al-Quran di atas. Oleh karena itu, mereka tetap
mengharuskan sekalipun kepada seorang muslim harus membaca bismillah ketika menyembelih hewan.
c. Takhsis Sunnah dengan al-Quran
Contoh: Sabda Rasulullah Saw:
k4{Ujre,a 0]`0]`
“Perempuan yang berzina dengan bujangan hukumannya adalah dipukul 100 kali dan dibuang setahun.”
Pengertian ‘amm hadits di atas ditakhsis oleh ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa sanksi untuk hamba sahaya hanya separoh yang dikenakan kepada orang
yang merdeka, firman Allah Swt:
236 |
Modul Fikih
.M`lek=˯˱LeV=jɇlpzaMT
“Atas mereka ditimpakan hukuman separoh dari apa yang dibebankan kepada perempuan muhsonat.” QS. al-Nisa:25.
d. Takhsis Sunah dengan Sunnah
Contoh lain ‘amm yang ditakhsis adalah:
ʁM`V=jAk`wY4˴zTrʁM`yɵLi\riszM`r˴5`Y4˴zT
“Zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air hujan adalah 10 sedangkan zakat yang diairi irigasi adalah 5.” HR. Bukhari dan Ashab al-Sunan.
Ditakhsis dengan sabda Rasulullah SAW:
X,Z4r5fir+˴zT6z`
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausuq.” Menurut jumhur lafazh takhsis disini sebagai penjelas terhadap ‘amm.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nishab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang kepada
hadits yang ‘amm. Sedangkan pada hadits yang khas, mereka menyatakan bahwa hadits tersebut berlaku pada zakat perdagangan.
Muthlaq dan Muqayyad Muthlaq adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang
dapat mempersempit keluasan artinya. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan kata muthlaq dengan:
,zXxIU`,zYe˼P+0T˱L ɇ_+e
“Lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan.”
Seperti lafazh raqabah yang terdapat padaf firman Allah SWT:
ɇ4˴yibXleX0y0T
“Wajib memerdekakan budak sebelum kedua isteri itu bercampur.” QS. Al- Mujadalah:3.
Lafazh raqabah budak merupakan lafazh muthlaq karena tidak dibatasi dengan
sifat atau keadaan lainnya.
Materi Fikih di Madrasah |
237
Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu dengan dibatasi oleh sifat, keadaan atau jumlah. Seperti firman Allah SWT:
0y0TEkeebXler qao˰fɇa5ey+rkeeX
“….Dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya… “QS. An-Nisa:92.
Lafazh raqabah di atas adalah muqayyad karena dibatasi dengan sifat yaitu wajib memerdekakan budak yang beriman.