3
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan kenapa individu, kelompok masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terlibat membuat keputusan produksi, alokasi dan konsumsi tidak kondusif
terhadap pemanfaatan sumber daya sangat ditentukan oleh gugus kesempatan yang tersedia dalam lingkungannya. Menurut North 1990 gugus kesempatan
tersebut bergantung pada aturan main yang ada, baik yang bersifat formal maupun informal. Aturan main formal antara lain dalam bentuk kebijakan formal.
Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasi secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku Nugroho 2013. Seluruh aturan
main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat Schmid 1987; North
1990; Barzel 1991. Kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok masyarakat dan mengatur apa yang dilarang
dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu North 1990.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka di dalam penelitian ini masalah kelembagaan yang dimaksud meliputi dua aspek utama yaitu
kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi lembaga. Kelembagaan sebagai aturan main dalam hal ini berupa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan jenis SL, antara lain adalah: a UU 51990
5
; b PP 81999; c PP 382007
6
; d Kepmenhut 4472003
7
; dan e Permen LH 292009
8
. Sementara sebagai organisasi, berdasarkan pasal 65 PP 81999, departemen
yang bertanggungjawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola Management Authority konservasi tumbuhan dan SL dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan Scientific Authority. Selanjutnya melalui Kepmenhut Nomor 104Kpts-II2003,
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dirjen PHKA ditunjuk sebagai pelaksana Otoritas Pengelola CITES
9
di Indonesia. Pengaturan pemanfaatan SL diawali dengan penetapan kuota penangkapan
SL dari habitat alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen SL yang dapat ditangkap dari habitat alam. Kuota ditetapkan oleh Dirjen PHKA
berdasarkan rekomendasi LIPI untuk setiap kurun waktu 1 satu tahun takwim untuk spesimen, baik yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar
Appendix CITES, jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Ketersediaan data potensi SL yang menggambarkan populasi dan penyebaran
setiap jenis masih sangat terbatas sehingga merupakan hambatan bagi otoritas
5
UU 51990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
6
PP 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota.
7
Kepmenhut 4472003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
8
Permen LH 292009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.
9
CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora adalah konvensi perjanjian internasional yang bertujuan untuk membantu pelestarian populasi
di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa.
4 keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola bagi
penetapan kuota penangkapan secara optimal. Sementara menurut PP 382007, pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak
dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah
kabupatenkota. Pemerintah
provinsi memiliki
kewenangan pengawasan pemberian izin pemanfaatan SL yang tidak dilindungi dan tidak
termasuk dalam Appendix CITES. Ketentuan Kepmenhut 4472003 telah mengatur peran dan fungsi Balai
Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA untuk melaksanakan penilaian keberhasilan pemanfaatan, melakukan pembinaan dan pengendalian, pengawasan
peredaran di dalam negeri maupun ke luar negeri dalam wilayah kerjanya. Merujuk pada Keputusan Menteri tersebut, secara legal formal, BKSDA telah
diakui menjadi sebuah entitas tata kelola pemanfaatan SL. Dengan demikian BKSDA mempunyai otoritas secara teknis administratif untuk memaksimalkan
kewenangan yang dimilikinya. Pada tataran konseptual, dengan adanya peraturan tersebut, idealnya segenap perangkat organisasi BKSDA dapat menjalankan
fungsi administrasi, fungsi regulasi, fungsi pelayanan publik, maupun fungsi pengawasan. Namun demikian, realitas praktis berkebalikan dengan asumsi
konseptual itu. Balai KSDA di wilayah kerja hanya menghadirkan tata kelola dalam derajat yang minimalis, artinya fungsi-fungsi tersebut belum seluruhnya
dilaksanakan. Hal ini tercermin dari belum sepenuhnya ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dapat diimplementasikan. Berpijak pada
paparan praktis di atas, penguatan tata kelola pemanfaatan SL sangat diperlukan.
Aktivitas pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang masih berlangsung, belum sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian tersebut adalah tidak dilengkapi dengan izin, tidak mematuhi kuota penangkapan,
tidak sesuai dengan lokasi penangkapan dan waktu yang ditentukan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang dianggap belum mampu secara
teknis
dan terampil
melakukan penangkapan
sehingga menyebabkan
terganggunya populasi serta habitatnya di alam. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan pemanfaatan
SL belum
menyelesaikan permasalahan
yang sesungguhnya. Padahal, peraturan perundang-undangan bertujuan untuk
menciptakan tertib pemanfaatan SL termasuk mekanisme penegakan hukum dan sanksi sebagaimana diatur dalam UU 51990, PP 81999 dan Kepmenhut
4472003. Semua permasalahan yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa negara dalam hal ini pemerintah selaku pihak yang menguasai kekayaan alam
termasuk SL kupu-kupu di habitat alam, belum berhasil melakukan pengelolaan pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan mengapa kelembagaan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan dan lembaga pemerintah yang mengatur pemanfaatan SL termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu, belum sepenuhnya mampu
mengarahkan perilaku masyarakat dan para pihak yang terkait ke arah pemanfaatan kupu-kupu secara lestari.
Kupu-kupu merupakan salah satu sumber daya hayati yang diminati sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, sehingga penangkapannya
5 dari habitat alam selalu berlanjut tanpa henti. Penangkapan SL tersebut didasarkan
pada nilai. Nilai yang dicari oleh para pemanfaat kupu-kupu ini adalah nilai ekonomi yang terdapat pada SL tersebut. Karakteristik sumber daya kupu-kupu
terutama kelimpahan jenis, seks rasio, dan status pemanfaatan kupu-kupu yang diperdagangkan komersial perlu diketahui. Karakteristik pemanfaatan melalui
penangkapan dan peredaranperdagangan kupu-kupu oleh masyarakat juga perlu diketahui.
North 1990 dan Agrawal 2001 menyatakan bahwa permasalahan yang yang harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan
formal, karena aturan formal menentukan perilaku individukelompok. Aturan formal mengatur hubungan antar pemanfaat dengan sumber daya yang
dimanfaatkan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya. Oleh sebab itu, permasalahan yang terkait dengan aturan formal
perlu diketahui. Sejauh mana kewenangan lembaga yang terkait, serta keefektifan implementasi terhadap peraturan perundang-undangan pemanfaatan komersial SL
kupu-kupu.
Pemahaman terhadap karakteristik sumber daya kupu-kupu, karakteristik masyarakat pemanfaat dan aktivitasnya, serta peraturan perundang-undangan akan
sangat bermanfaat dalam menyusun kelembagaan yang efektif untuk mencapai kinerja yang diharapkan, yaitu pemanfaatan komersial kupu-kupu yang terjamin
kelestariannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Beberapa pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam rangka meningkatkan kinerja pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN
Babul Kabupaten Maros, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah karakteristik sumber daya kupu-kupu yang dimanfaatkan secara
komersial? 2. Bagaimanakah karakteristik pemanfaatan meliputi penangkapan dari alam dan
peredaran komersial kupu-kupu? 3. Sejauh mana keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan
pemanfaatan SL kaitanya dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu? 4. Bagaimanakah kelembagaan yang efektif yang harus disusun untuk
mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara lestari?
1.3 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Penelitian