Isi Peraturan Perundang-Undangan Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

47 6 KEEFEKTIFAN IMPLEMENTASI PERATURAN PEMANFAATAN KOMERSIAL SATWA LIAR Pemerintah sebagai representasi negara mempunyai tanggung jawab untuk mengatur, mengelola serta mengalokasikan pemanfaatan SL secara lestari dan berkeadilan dalam bentuk pengendalian atau pembatasan pemanfaatan SL secara serasi dan seimbang. Upaya pengendalian diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL. Peraturan perundang- undangan tersebut diharapkan menjadi instrumen untuk mengatur dan mengendalikan perilaku aparatur pemerintah sebagai pelaksana dan masyarakat pemanfaat SL sebagai kelompok sasaran. Maarse dalam Hoogerwerf 1983 menyatakan bahwa implementasi kebijakan atau peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh 4 aspek, yaitu: isi kebijakan peraturan; informasi; dukungan; dan pembagian potensi. Implementasi dapat gagal karena samar-samarnya isi dari kebijakan, misalnya tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penetapan prioritas, program yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Tidak terdapat struktur komunikasi yang mampu memperlancar arus informasi baik antar pelaksana dan antar pelaksana dengan objek sasaran kebijakan. Pelaksanaan kebijakan akan sangat sulit jika pada pelaksanaan tidak cukup dukungan untuk kebijakan ini. Selanjutnya pembagian potensi dilakukan dengan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab kepada pihak-pihak yang terkait. Berikut ini dianalisis dan dibahas aspek-aspek yang mempengaruhi keefektifan implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Aspek-aspek yang dibahas meliputi: isi peraturan perundang-undangan; aliran informasi dan pemahaman peraturan perundang-undangan; dukungan masyarakat; serta pembagian tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terkait dengan pemanfaatan SL.

6.1 Isi Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan dikatakan berfungsi sebagai instrumen pengendali perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarkis, serta memiliki kecukupan isi Mazmanian dan Sabatier 1983; Maarse dalam Hoogerwerf 1983; Isworo 1996; Harjono 2005. Kecukupan isi peraturan perundang-undangan dicirikan oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana Mazmanian dan Sabatier 1983. Selanjutnya Purwanto dan Sulisyastuti 2012 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya proses implementasi adalah kualitas kebijakan peraturan, kualitas kebijakan meliputi kejelasan tujuan dan kejelasan pelaksana. Hasil analisis menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL, khususnya UU 51990, PP 81999 dan Kepmenhut 4472003 menurut urutannya telah sesuai secara hierarki. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan legislasi dasar, PP 81999 merupakan aturan pelaksanaannya, serta Kepmenhut 4472003 sebagai aturan pelaksanaan lebih lanjut yang merupakan pedoman pemanfaatan tumbuhan dan SL. 48 Peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES di Kabupaten Maros belum ada. Oleh sebab itu, kewenangan pemberian izin pemanfaatan komersial SL kupu-kupu belum diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten Maros. Peraturan tersebut keberadaannya diperlukan, sebab secara hierarki merupakan turunan dari UU 322004 11 dan PP 382007 serta tindak lanjut dari Permen LH 292009. Peraturan tersebut diharapkan sebagai penjelasan lebih lanjut dari PP 382007 serta menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Maros dalam melaksanakan kewenangannya terkait dengan pemanfaatan SL. Analisis kecukupan isi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan komersial SL kupu-kupu dilakukan terhadap UU 51990, PP 81999, PP 382007, Kepmenhut 4472003, dan Permen LH 292009 Tabel 6.1. Tabel 6.1 Matriks kecukupan isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan satwa liar Peraturan perundangan Tujuan Objek hukum Sanksi Kewenangan pelaksana UU 51990 PP 81999 PP 382007 Kepmenhut 4472003 Permen LH 292009 Dijelaskan dalam Pasal 3 Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 Tidak ada Dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 Dijelaskan dalam Pasal 1 Diatur dalam Pasal 36 ayat 1 butir d Diatur dalam Pasal 18 ayat 1 dan 2 Diatur dalam Lampiran AA Diatur dalam Pasal 6─16, Pasal 24─28, Pasal 31─33, Pasal 43─46, Pasal 50─55, Pasal 61─70, Pasal 80─90, Pasal 94─95, Pasal 102─103, dan Pasal 107─111. Diatur dalam Pasal 3, 5, 7, Pasal 8 ayat 1 ─3, Pasal 10, 13, dan 19 Diatur dalam Pasal 40 ayat 2 dan 4 Diatur dalam Pasal 58 Tidak ada Diatur dalam Pasal 112 Tidak ada Tidak ada Diatur dalam Pasal 65 butir a dan b Diatur dalam Lampiran AA Diatur dalam Pasal 9, 10, 12, 33, 43, 70, 81, 82, 85, 87, 89, 90, 94, 95, 102, 107, 108, 109, 110, dan Pasal 116. Diatur dalam Pasal 4, 6, Pasal 8 ayat 4, Pasal 11, 12, 22, 23, dan 24 11 UU 322004 tentang Pemerintahan Daerah 49 Tabel 6.1 memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan SL secara umum belum memenuhi syarat kecukupan sebagai instrumen pengendali, hal ini ditunjukkan oleh UU 51990 belum menyebutkan kewenangan yang jelas kepada pelaksana. Demikian halnya PP 382007 belum secara jelas menyebutkan tujuan serta sanksi dalam isi peraturan tersebut. Selanjutnya Permen LH 292009 juga belum menyebutkan ketentuan sanksi, padahal ketentuan sanksi dalam setiap peraturan diperlukan. Menurut Kasper dan Streit 1998 bahwa kelembagaan tanpa sanksi tidak akan berguna. Bila dianalisis lebih lanjut terhadap isi UU 51990, PP 81999, dan Kepmenhut 4472003, maka ditemukan beberapa hal yang belum diatur dengan jelas, terutama yang terkait dengan sanksi bagi pelaku perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi. Hal ini menimbulkan interpretasi yang berbeda dari para pelaksana peraturan di lapangan. Isi peraturan perundang-undangan harus jelas, karena isi yang samar-samar akan menimbulkan kesalahfahaman ketika diimplementasikan. Secara substansi, isi dari pasal 18 ayat 1 PP 81999 menyatakan bahwa ... Tumbuhan dan SL yang dapat diperdagangkan adalah jenis SL yang tidak dilindungi.... Pada pasal 26 ayat 1 Kepmenhut 4472003 menyebutkan bahwa penangkapan SL wajib diliput dengan izin, selanjutnya pada ayat 2 dinyatakan bahwa peredaran komersial perdagangan hanya dapat diizinkan bagi Pengedar Dalam Negeri atau Pengedar Luar Negeri yang terdaftar dan diakui. Hasil analisis terhadap isi PP 81999, ditemukan bahwa PP tersebut belum mengatur dengan jelas mengenai ketentuan sanksi bagi siapa-siapa perorangan maupun badan usaha yang melakukan perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin, baik sanksi pidana maupun denda administrasi. Ketentuan sanksi terhadap siapa-siapa yang bukan merupakan badan usaha yang didirikan munurut hukum Indonesia tidak memiliki izin, kemudian melakukan perdagangan SL dari jenis-jenis yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES belum dijelaskan secara spesifik. Pasal 57 PP 81999 menjelaskan bahwa perbuatan melakukan perdagangan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi tanpa izin dapat dihukum karena melakukan perbuatan penyelundupan. Sementara itu, aturan hukum untuk menjerat penyelundup terdapat dalam UU 101995 tentang Kepabeanan. Penyelundupan dalam UU tersebut hanya menyangkut kegiatan mengimpor atau mengekspor barang, tidak termasuk perdagangan yang dilakukan di tingkat lokal. Pasal 64 ayat 2 PP 81999 secara jelas memang menyatakan bahwa ...Pelanggaran sebagaimana pasal 50,...,57,...63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi, maka tumbuhan dan SL tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas untuk negara.... Namun demikian ancaman sanksi tersebut tidak cukup membuat efek jera bila tidak disertai dengan ancaman pidana atau denda administrasi. Hasil wawancara dengan para pejabat di Balai Besar KSDA Sulsel menyatakan bahwa belum ada ketentuan sanksi terhadap pihak-pihak yang bukan merupakan badan usaha terdaftar dan melakukan aktivitas perdagangan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi. Hal ini menyebabkan para petugas di lapangan ragu untuk bertindak, sehingga aktivitas pemanfaatan jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi berlangsung secara tidak terkendali, sebab tidak ada proses hukum atas tindakan tersebut. 50 Pendapat tersebut juga sesuai dengan hasil wawancara dengan pejabat di Direktorat Penyidikan Ditjen PHKA, yang menyatakan: ...terkait dengan pasal 57 tersebut, PP 81999 merupakan aturan yang akrobatik, sebab proses penyidikannya tidak bisa langsung mengacu kepada UU 51990 karena dalam UU tersebut tidak ada sanksi bagi pelanggaran pemanfaatan jenis-jenis SL yang tidak dilindungi. Sehingga proses hukum atas pelanggaran tersebut harus mengacu kepada UU Kepabeanan, maka diserahkan kepada penyidik Bea Cukai atau Karantina, jadi prosesnya panjang... . DP1.6. Substansi dari Kepmenhut 4472003 masih sangat umum. Isi Kepmenhut 4472003 menyangkut objek yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh jenis tumbuhan dan SL. Sementara itu, kupu-kupu yang merupakan kelompok SL dari kelas serangga membutuhkan aturan yang lebih detail. Sebab SL tersebut memiliki siklus hidup yang spesifik dan memiliki musim perkembangbiakan. Sifat dari SL ini yang dapat terbang kemana-mana menyebabkan sulitnya membatasi atau melarang pihak-pihak yang tidak berhak untuk memanfaatkannya. Contoh dalam hal ini adalah sulitnya mengawasi setiap warga yang menangkap kupu- kupu di pekarangan rumahnya atau di tempat-tempat lain. Selain itu, isi dari Kepmenhut 4472003 belum sepenuhnya dapat diimplementasikan karena karakteristik situasi di lapangan yang tidak memungkinkan. Seperti misalnya terkait dengan implementasi Pasal 61 Kepmenhut 4472003, yang menyatakan bahwa ... Seluruh kegiatan peredaran komersial dalam negeri wajib disertai Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa Liar SATS-DN.... Ketentuan tersebut dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul sulit untuk dilaksanakan. Para penangkap yang menjual kupu-kupu kepada pengumpul pedagang, selanjutnya pengumpul pedagang menjual kepada penjual souvenir atau pembeli setempat tidak disertai dokumen SATS-DN. Setiap peredaran perdagangan kupu-kupu di tingkat lokal di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros yang wajib disertai dokumen SATS-DN sulit untuk dilaksanakan, mengingat jarak angkut yang tidak terlalu jauh antara penjual dan pembeli. Kesulitan lainnya adalah dalam hal jarak tempat tinggal atau tempat usaha pengumpul pedagang dengan kantor BKSDA, sebab menurut ketentuan Kepmenhut 4472003 dokumen SATS-DN diterbitkan oleh Kepala BKSDA atau Kepala Seksi Wilayah yang ditunjuk. Sesuai dengan Lampiran AA PP 382007 disebutkan bahwa pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES menjadi kewenangan pemerintah kabupatenkota dan pemerintah provinsi melaksanakan pengawasan pemberian perizinan. Isi dari peraturan tersebut belum mengatur dengan jelas ketentuan sanksi bagi penangkap maupun pengedar tumbuhan dan satwa liar yang tidak memiliki izin. Selain itu, peraturan tersebut belum menjelaskan mekanisme pengawasan yang terkait dengan pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendix CITES. Sementara itu, substansi Permen LH 292009 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pengelolaan keanekaragaman hayati dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria NSPK. Peraturan ini diharapkan menjadi NSPK dalam pengelolaan keanekaragaman hayati termasuk dalam hal ini pemanfaatan komersial kupu-kupu. Namun berdasarkan hasil penelaahan atas isi peraturan tersebut menunjukkan bahwa Permen LH 292009 masih sangat umum. 51 Isi dari peraturan tersebut mencakup perencanaan konservasi keanekaragaman hayati; kebijakan dan pelaksanaan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan dan pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati; pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati; penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati; pengembangan sistem informasi dan pengelolaan data base keanekaragaman hayati; serta pembiayaan. Substansi dari peraturan ini belum operasional untuk dijadikan sebagai pedoman dalam pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kecukupan isi peraturan dalam rangka pemanfaatan komersial kupu-kupu maka diperlukan peraturan yang lebih operasional di tingkat lapangan sesuai dengan karakteristik alami SL kupu-kupu dan karakteristik situasi pemanfaatan. Aturan operasional tersebut bersifat lokal spesifik yang dibuat berdasarkan data dan informasi yang dimiliki oleh pihak- pihak yang terkait serta mengakomodir pengetahuan masyarakat pemanfaat kupu- kupu di daerah penyangga TN Babul, Kabupaten Maros.

6.2 Aliran Informasi dan Pemahaman Peraturan Perundang-Undangan