Keefektifan Implementasi Peraturan Perundang-Undangan

69 penangkap kupu-kupu yang sudah terampil diharapkan mendaftarkan diri kepada para pengumpul pedagang. Harga spesimen kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros bervariasi, bergantung pada kualitas, ukuran, dan jenis kelamin. Klasifikasi kualitas kupu-kupu terdiri atas A1, A-, A2, dan A3. Perbedaan kualitas kupu-kupu tersebut sangat ditentukan dari cara menangkap, penanganan spesimen setelah ditangkap, dan kondisi kupu-kupu secara alami sebelum ditangkap. Penangkap yang sudah berpengalaman dapat meminimalisir kerusakan saat menangkap dibandingkan dengan penangkap yang belum berpengalaman. Penanganan spesimen yang tidak hati-hati dapat menyebabkan kerusakan. Serta faktor lainnya yaitu kondisi fisik kupu-kupu yang sudah mengalami kerusakan cacat sebelum ditangkap, juga sangat mempengaruhi kualitas kupu-kupu hasil tangkapan. Berdasarkan hasil tersebut maka peningkatan keterampilan para penangkap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan nilai dari kupu-kupu hasil tangkapan. Beberapa warga pemanfaat kupu-kupu telah melakukan upaya budi daya kupu-kupu melalui penangkaran dan pembesaran ranching serta menanam tanaman pakan kupu-kupu di pekarangan rumah. Namun, sebagian besar warga belum melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu, diperlukan upaya menggalang aksi bersama untuk melakukan budi daya kupu-kupu dalam rangka menjamin ketersediaan kupu-kupu sehingga dapat dimanfaatkan secara komersial.

7.1.3 Keefektifan Implementasi Peraturan Perundang-Undangan

Implementasi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL dalam pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul belum efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan formal pemanfaatan SL didominasi oleh pemerintah yang sifatnya sentralistis. Akibat ketentuan semacam itu, pengaturan pemanfaatan SL begitu terpusat. Pemerintah pusat memiliki wewenang yang dominan dalam pengaturan pemanfaatan SL. Dominansi pemerintah yang besar tersebut ditunjukkan oleh adanya kewenangan pemerintah pusat yang penuh terhadap pengaturan pemanfaatan SL. Hal tersebut tertuang pada isi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemanfaatan SL melalui Kepmenhut 4472003 yang secara rinci mengatur prosedur dan tata cara pemanfaatan SL. Isi peraturan perundang-undangan menjelaskan bahwa penangkapan komersial terhadap jenis-jenis SL yang tidak dilindungi dan non-Appendix CITES diwajibkan mematuhi kuota penangkapan yang diatur secara nasional. Pengaturan yang sangat terpusat tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan karakteristik sumber daya yang ada, sebab SL terdiri atas beranekaragam jenis dari kelompok taksa yang berbeda. Seperti misalnya mengenai prosedur penetapan kuota pemanfaatan. Kuota ditetapkan oleh Direktur Jenderal PHKA untuk tiap-tiap provinsi terbukti kurang efektif, sebab masih terjadi pelanggaran dalam penangkapan dalam jumlah maupun jenis SL sebagaimana ditetapkan dalam kuota. Terjadinya pelanggaran atau ketidaksesuaian antara kuota yang ditetapkan dengan jumlah dan jenis kupu- kupu yang ditangkap disebabkan oleh informasi yang terbatas yang dimiliki instansi yang berwenang dalam proses penetapan kuota. Isi peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL belum menyebutkan ketentuan sanksi pidana dan atau denda administrasi terhadap pelaku pengumpul pedagang yang tidak memiliki izin dan memperdagangkan jenis-jenis SL yang 70 tidak dilindungi. Isi peraturan tidak secara jelas menyatakan bahwa bagi pelaku perdagangan SL yang tidak dilindungi dan tidak berizin akan diberikan sanksi. Isi peraturan yang belum mengatur hal-hal yang terkait dengan sanksi akan menimbulkan kesalahfahaman dan interpretasi yang berbeda ketika diimplementasikan. Oleh sebab itu, ketentuan Pidana pada Pasal 50 UU 51990 sebaiknya juga mengatur dengan jelas terkait dengan pelanggaran pemanfaatan jenis-jenis yang tidak dilindungi. Demikian pula sanksi pidana dan denda administrasi terhadap pelanggaran pemanfaatan jenis-jenis yang tidak dilindungi pada Pasal 50 PP 81999 sebaiknya juga disebutkan dengan jelas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat 3 dari 12 orang pengumpul pedagang kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul diidentifikasi telah memiliki izin pengedar SL. Penyebab dari kurangnya pemegang izin tersebut, antara lain: 1 belum memahami prosedur dan tata cara pengurusan izin; 2 prosedurnya rumit dan banyak persyaratan yang harus dilengkapi akte pendirian, SITU, SIUP, NPWP, keterangan domisili, KK, KTP, dan proposal; serta 3 membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persepsi yang berkembang dari para pengumpul pedagang adalah mengurus izin justru menambah kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dan menimbulkan konsekuensi biaya. Di lain pihak, selama ini tidak ada sanksi yang dikenakan bagi pengumpul pedagang yang tidak memiliki izin. Akibatnya adalah dukungan dari masyarakat untuk mengurus izin kurang. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sejak terbitnya Kepmenhut 4472003 sampai dengan saat penelitian ini dilaksanakan, belum ada sosialisasi, khususnya kepada para pengumpul pedagang kupu-kupu yang tidak memiliki izin. Sosialisasi peraturan merupakan hal penting agar kelompok sasaran tidak hanya memahami peraturan akan tetapi berpartisipasi aktif mewujudkan tujuan dari peraturan tersebut Purwanto dan Sulistyastuti 2012. Berdasarkan hal tersebut, aparatur pada instansi Balai Besar KSDA Sulsel dan Pemerintah Kabupaten Maros perlu melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan, pembinaan serta memfasilitasi pemberian izin kepada para pengumpul pedagang yang tidak berizin. Selanjutnya bila sosialisasi, pembinaan dan fasilitasi telah dilakukan maka pengenaan sanksi secara tegas dan konsisten berupa ...dirampas untuk negara... bagi SL kupu-kupu yang diperdagangkan tanpa izin sesuai pasal 64 ayat 2 PP 81999 dapat dikenakan. Substansi Kepmenhut 4472003 terlalu umum, sebab mencakup seluruh jenis tumbuhan dan SL. Peraturan pemanfaatan komersial kupu-kupu secara khusus belum ada. Oleh sebab itu, bagi SL kupu-kupu perlu dibuatkan peraturan tersendiri disebabkan karakteristik yang dimilikinya, yaitu mempunyai siklus hidup yang spesifik serta memiliki musim berkembangbiak. Sejak terbitnya PP 382007 terjadi ketidakjelasan pengaturan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul. Sebab menurut Kepmenhut 4472003, kewenangan pemberian izin pemanfaatan TSL yang tidak dilindungi adalah Kepala BKSDA. Hasil wawancara dengan petugas di Balai Besar KSDA Sulsel menunjukkan bahwa dengan terbitnya PP tersebut, kewenangan pemberian izin pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul menjadi urusan Pemerintah Kabupaten Maros. Di lain pihak, Pemerintah Kabupaten Maros dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros belum melaksanakan kewenangannya terkait dengan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi. Hasil wawancara dengan aparatur Dinas 71 Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Maros belum menyusun peraturan di tingkat daerah yang terkait dengan pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi. Padahal peraturan tersebut diperlukan sebagai pedoman pelaksanaan dalam pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi. Sehubungan dengan hal tersebut maka Kepmenhut 4472003 perlu direvisi. Kewenangan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan SL yang tidak dilindungi diserahkan kepada pemerintah daerah. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Maros diharapkan menyusun kebijakan dalam bentuk Peraturan Bupati terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara LH 292009 pasal 8 ayat 4. Peraturan Bupati tersebut merupakan tindak lanjut dari PP 382007. Pemahaman aparatur Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan serta aparatur Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros terkait peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tergolong kurang. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan SL yang tidak dilindungi. Selain itu disebabkan oleh ketidakjelasan pembagian kewenangan pemanfaatan SL yang tidak dilindungi karena kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh Balai Besar KSDA Sulsel. Dukungan masyarakat di daerah penyangga TN Babul khususnya para pemanfaat komersial kupu-kupu terhadap implementasi peraturan perundang- undangan pemanfaatan SL masih rendah. Hal ini dibuktikan oleh hanya 2 dari 13 poin kewajiban yang dilaksanakan terkait dengan pemanfaatan komersial kupu- kupu. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman mereka terhadap peraturan perundang-undangan yang kurang karena belum disosialisasikan dengan baik. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi yang terkait dengan pengaturan pemanfaatan SL kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul dalam rangka implementasi peraturan perundang-undangan belum dilakukan secara efektif. Pelaksana peraturan khususnya Balai Besar KSDA Sulsel serta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam hal ini Dinas Kehutanan belum melaksanakan tugas dan fungsinya terutama menyangkut pengawasan dan pengendalian pemanfaatan SL sesuai peraturan perundang-undangan. Pemerintah Kabupaten Maros belum melaksanakan kewenangannya memberikan izin pemanfaatan jenis- jenis SL yang tidak dilindungi dan non Appendix CITES sesuai PP 382007. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sejak adanya Balai TN Babul di tahun 2004, urusan mengenai kupu-kupu di Bantimurung dan sekitarnya seolah- olah hanya menjadi tugas dari Balai TN Babul. Sementara itu, hasil analisis menunjukkan bahwa Balai Besar KSDA Sulsel baru melaksanakan 12 dari 40 poin urusan yang terkait dengan pemanfaatan komersial kupu-kupu sesuai Kepmenhut 4472003. Situasi permasalahan, struktur peraturan perundang-undangan, perilaku masyarakat pemanfaat kupu-kupu serta kinerja yang dihasilkan menunjukkan bahwa kelembagaan pemanfaatan SL belum efektif berfungsi mengendalikan pemanfaatan komersial kupu-kupu di daerah penyangga TN Babul Kabupaten Maros. Akibatnya adalah para penangkap maupun pengumpul pedagang secara individu tetap berperilaku memaksimumkan hasilnya masing-masing tanpa perduli terhadap kondisi di sekelilingnya. Hal tersebut menyebabkan tidak ada kepedulian dan rasa tanggung jawab individu atas kelestarian dan perlindungan 72 sumber daya SL ini. Saat hampir keseluruhan para pihak berpikir dan bertindak demikian secara kolektif collective actions, maka munculah dilema CPRs Khan 2008.

7.2 Rumusan Penguatan Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu-Kupu