Latar Belakang Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial Kupu Kupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kupu-kupu merupakan satwa liar SL dari kelas serangga Insecta yang memiliki warna dan bentuk sayap yang indah. Di alam, kupu-kupu memiliki nilai penting, yaitu sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga, sehingga secara ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi yang menarik. Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak ditangkap dari habitat alam untuk dinikmati keindahannya maupun dikoleksi sebagai kenang- kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan tropis diperkirakan memiliki kekayaan jenis kupu-kupu mencapai 2.500 jenis, dengan tingkat endemisitas yang tinggi yaitu mencapai 35 dari jumlah total jenisnya Peggie 2011. Pulau Sulawesi memiliki 560 jenis kupu-kupu, 42 persen diantaranya endemik Soehartono dan Mardiastuti 2003. Kawasan Bantimurung yang terletak di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan identik dengan kupu-kupu, sehingga penjelajah asal Inggris Alfred Russel Wallace 1890 dalam bukunya The Malay Archipelago menyebutkan Bantimurung sebagai Kerajaan Kupu-Kupu Kingdom of The Butterflies. Pada saat itu, ia menemukan 256 jenis kupu-kupu di kawasan tersebut. Dalam perkembangannya, jumlah jenis kupu-kupu terus menurun. Mattimu et al. 1977 melaporkan hasil temuannya sebanyak 103 jenis kupu-kupu dan Achmad 2002 pada tahun 1995 juga melakukan inventarisasi pada kawasan yang sama, tetapi jumlah jenis kupu-kupu hanya tinggal sekitar 80 jenis. Salah satu faktor penyebabnya diduga akibat kegiatan pemanfaatan komersial Achmad 2002; Hamidun 2008; Sumah 2012. Pemanfaatan komersial yang dimaksud adalah untuk tujuan perdagangan yang dilakukan melalui penangkapan dari habitat alam. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan jenis SL menurut Peraturan Pemerintah PP Nomor 8 Tahun 1999 1 yang bertujuan agar jenis satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat belum sepenuhnya efektif. Pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam di daerah penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung TN Babul Kabupaten Maros telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1970-an 2 dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Hal tersebut juga berkaitan erat dengan keberadaan kawasan Bantimurung sebagai lokasi wisata, sehingga permintaan akan kupu-kupu awetan oleh para pengunjung cukup tinggi. Bagi sebagian masyarakat di daerah penyangga TN Babul, pemanfaatan komersial kupu-kupu dari habitat alam merupakan mata pencaharian tetap dan memberikan hasil yang cukup besar. Tingginya aktivitas penangkapan kupu-kupu diduga menyebabkan beberapa jenis mengalami penurunan populasi dan peluang untuk menghasilkan keturunan 1 PP 81999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 2 Hasil wawancara dengan salah seorang pengumpul pedagang kupu-kupu di Kecamatan Bantimurung. 2 menjadi kecil sehingga ancaman kepunahannya menjadi tinggi Achmad 2002. Kegiatan penangkapan kupu-kupu yang berlebihan, apalagi tanpa mempertimbangkan keseimbangan populasinya di alam, pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap kelestarian kupu-kupu itu sendiri, sehingga sumber daya kupu-kupu di habitatnya mengalami tekanan dan bahkan sangat mungkin pada suatu waktu masyarakat akan kehilangan sumber daya ini. Sumber daya kupu-kupu di habitat alam adalah sebagai sumber daya bersama common pool resources, CPRs 3 . Sumber daya bersama menurut Dharmawan dan Daryanto 2002 adalah sumber daya yang secara de facto tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh sebab itu menurutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumber daya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumber daya yang efisien. Eksploitasi sumber daya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang lebih dahulu dan mengeruk terus menerus manfaat keuntungan yang bisa diperoleh, dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Praktik penangkapan kupu-kupu secara bebas dari alam jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan secara selektif. Perilaku yang demikian juga meniadakan insentif bagi pengembangbiakan buatan dalam bentuk penangkaran atau budi daya lainnya, yang dampaknya beresiko terhadap populasi kupu-kupu dalam jangka panjang. Dalam sumber daya bersama, apabila seseorang yang merasakan manfaat, kemudian mengembangbiakan populasi kupu-kupu melalui pengembangan habitat dan penyediaan tumbuhan pakan, tidak menjamin bahwa hanya orang tersebut yang boleh memanfaatkan hasil dari keberadaan kupu-kupu. Orang lain yang tidak berkontribusi juga dapat menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biaya untuk pengadaannya. Perilaku ini disebut dengan free riders pengguna gratis. Ketidakjelasan tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan kupu-kupu, belum adanya penerapan aturan serta penegakan sanksi secara konsisten menunjukkan bahwa kelembagaan 4 dalam alokasi sumber daya alam hayati tersebut tidak berfungsi, sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengancam kelestariannya. Kelembagaan yang tidak berfungsi tersebut menjadi salah satu sebab terjadinya tekanan terhadap populasi kupu-kupu di habitat alam yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana kelembagaan berupa peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL berperan mengendalikan perilaku masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan komersial kupu-kupu. Keberadaan peraturan perundang-undangan pemanfaatan SL tidak dapat menjamin kinerja yang baik, jika peraturan perundang-undangan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada. 3 Common pool resources CPRs adalah karakteristik sumber daya alam yang memiliki excludability rendah secara fisik seseorang sangat sulit untuk membatasi orang lain dalam memanfaatkan barangsumber daya tersebut dan subtractability tinggi barangsumber daya tersebut mudah berkurang karena pemanfaatan Buck 1998; Berge 2003. 4 Kelembagaan adalah sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab baik secara individu maupun sebagai kelompok Schmid 1987. 3

1.2 Perumusan Masalah