dalam mereduksi dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana, hingga UN- ISDR united nations-international strategy for disaster reduction pada tanggal
13 Oktober 2004 mengkampanyekan reduksi  bencana dunia  yang memberi pesan kepada kita ‘belajar dari bencana hari ini untuk menghadapi ancaman
esok learning  from today’s disaster for tomorrow’s hazards. Pesan yang disampaikan mengandung makna agar kita senantiasa bercermin dari
pengalaman untuk lebih dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman bencana demi kehidupan yang lebih baik di kemudian hari  Rustiady, 2005.
Penanggulangan  bencana ini dikenal dengan mitigasi bencana.
8.3.1.1.  Aplikasi Metode ISM dalam  Studi  Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Indramayu
Hasil diskursus dengan para pakar  mengidentifikasi  tujuh sub elemen mitigasi bencana yang dikaji meliputi pembuatan peraturan perundangan dan
norma standar prosedur manual NSPM, sosialisasi, sistem penyelamatan diri, pendampingan pendirian bangunan standar, sistem peringatan dini, gabungan
remangrovisasi, terumbu karang  buatan  artificial reef dan revitalisasi pantai beach nourishment, serta  gabungan pemecah ombak breakwater, peredam
abrasi bank revetment, dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar pantai groyne. Empat elemen pertama dikenal sebagai mitigasi non struktur, dan tiga
elemen berikutnya dikenal sebagai mitigasi struktur. Selanjutnya analisis ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input
hubungan antarelemen seperti pada Gambar 62. Dalam gambar tersebut terlihat pendampingan pendirian bangunan standar lebih penting daripada  sistem
peringatan dini  karena pakar berpendapat pendirian bangunan dapat cepat selesai, mudah, dan murah. Sistem peringatan dini selain lebih lama, sukar, dan
mahal  juga tidak terlalu berpengaruh untuk pemberitahuan adanya gelombang pasang di pesisir Indramayu. Demikian seterusnya  untuk setiap elemen mitigasi
bencana.
Gambar 62.  Contoh input hubungan antarelemen metode ISM Kabupaten Indramayu
Analisis dengan metode ISM dalam aplikasi program MKP2B2MB menghasilkan informasi tingkat level dan posisi masing-masing mitigasi bencana
dalam sektor seperti terlihat pada Gambar 63.
Gambar 63. Hasil analisis elemen keberhasilan mitigasi di Kabupaten Indramayu
Dalam matriks  Gambar 64  terlihat dua elemen mitigasi di pesisir Indramayu berada di sektor IV pada level 4, yang berarti sangat kuat dan tidak
memiliki ketergantungan dengan elemen lainnya yaitu  gabungan  pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi  yang bergerak sejajar
sepanjang pantai  serta gabungan remangrovisasi,  artificial reef  dan  beach nourishment. Hal ini berarti bahwa kedua bentuk gabungan mitigasi tersebut
sebagai elemen kunci  mempunyai kemampuan besar dalam menurunkan risiko bencana dengan ketergantungan yang kecil terhadap pelaksanaan bentuk
mitigasi lainnya. Gambar 64.  Matriks  driver power–dependence  untuk elemen  mitigasi  bencana
alam di Kabupaten Indramayu Hasil analisis ISM di Kabupaten  Indramayu  terlihat seperti  pada
Gambar  65.  Elemen yang menjadi elemen kunci adalah elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi sejajar pantai, serta
elemen  gabungan remangrovesasi,  artificial reef  dan  beach nourishment  pada level 4.  Selanjutnya elemen pendampingan pendirian bangunan standar pada
level 3. Kemudian elemen peraturan perundangan dan pembuatan NSPM serta sosialisasi mitigasi bencana    pada level 2. Terakhir diikuti elemen  sistem
peringatan dini dan sistem penyelamatan diri pada level 1.
Driver Power
Dependence
Gambar 65.  Struktur   hirarkhi  sub  elemen  mitigasi   bencana  alam  di Kabupaten Indramayu
8.3.1.2.  Aplikasi Metode ISM dalam  Studi  Bentuk Mitigasi  Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Ciamis
Hasil diskursus dengan para pakar mengidentifikasi tujuh sub elemen mitigasi bencana yang dikaji meliputi pembuatan peraturan perundangan dan
norma standar prosedur manual NSPM, sosialisasi, sistem penyelamatan diri, pendampingan pendirian bangunan standar, sistem peringatan dini, gabungan
remangrovisasi, terumbu karang  buatan  artificial reef dan revitalisasi pantai beach nourishment, serta  gabungan pemecah ombak breakwater, peredam
abrasi bank revetment, dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar pantai groyne. Empat elemen pertama dikenal sebagai mitigasi non struktur, dan tiga
elemen berikutnya dikenal sebagai mitigasi struktur. Aplikasi metode  ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai  dengan input
hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 66. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa elemen sistem peringatan dini lebih penting
daripada elemen pendampingan pendirian bangunan standar. Demikian seterusnya untuk setiap elemen mitigasi bencana yang lainnya.
Level  2
Level  3
Level  4
GABUNGAN REMANGROVESASI,
ARTIFICIAL REEF DAN BEACH NOURISHMENT
SISTEM PENYELAMATAN DIRI
PENDAMPINGAN PENDIRIAN BANGUNAN STANDAR
SISTEM PERINGATAN DINI
Level  1
GABUNGAN PEMECAH OMBAK, PEREDAM
ABRASI DAN PENAHAN SEDIMENTASI SEJAJAR PANTAI
SOSIALISASI PERATURAN PERUNDANGAN
DAN PEMBUATAN NSPM
Elemen Kunci
Gambar 66.  Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis
Hasil kajian mengenai  bentuk  mitigasi bencana alam  yang dapat diterapkan di  Kabupaten Ciamis  disajikan pada    Gambar  67  yang
memperlihatkan  elemen sistem peringatan dini dan  elemen  gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi pada sektor IV dan level 4.
Gambar 67.  Hasil analisis untuk elemen keberhasilan mitigasi Kabupaten Ciamis
Gambar 68.  Matriks  driver power–dependence  untuk elemen  mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis
Berdasarkan  matriks  driver power  –  dependence  Lihat Gambar 68 mitigasi tersebut diketahui bahwa bentuk mitigasi  yang dapat menurunkan risiko
gempabumi dan tsunami  di pesisir  Ciamis  adalah  sistem peringatan dini dan gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, serta penahan sedimentasi sejajar
pantai.  Kenyataan menunjukkan pada peristiwa bencana alam yang terjadi pada tahun 2006 di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis, adanya
ketidaksiapan aparat dan masyarakat, serta minimnya ketersediaan prasarana dan sarana  mitigasi bencana struktur  mengakibatkan jatuhnya korban ratusan
jiwa. Hasil analisis ISM di Kabupaten  Ciamis  terlihat seperti pada Gambar
69.  Elemen yang menjadi elemen kunci adalah elemen  sistem peringatan dini
dan elemen  gabungan pemecah ombak, peredam abrasi,  dan penahan sedimentasi sejajar pantai  pada level 4.  Selanjutnya elemen  sistem
penyelamatan diri dan elemen gabungan remangrovesasi,  artificial reef,  dan beach nourishment  pada level 3, diikuti elemen  pendampingan pendirian
bangunan standar pada level  2.  Kemudian    elemen    peraturan  perundangan dan  pembuatan  NSPM  serta  sosialisasi mitigasi bencana  pada level 1.
Driver Power
Dependence
Gambar 69.  Struktur   hirarkhi  sub   elemen  potensi  bencana  alam  di Kabupaten Ciamis.
8.3.2.    Studi Efektivitas Mitigasi Bencana Alam 8.3.2.1.  Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan  Efektivitas Mitigasi
Bencana Alam di Indramayu
Setelah  kajian  yang  dilakukan  menunjukkan  potensi bencana yang berpeluang besar terjadi  dan  berbagai bentuk mitigasi yang dapat diterapkan  di
kedua lokasi tersebut,  selanjutnya akan  dikaji bentuk mitigasi  bencana  yang paling efektif  pada kedua lokasi tersebut sesuai dengan tujuan penelitian
menggunakan  metode MPE.  Hasil diskursus dengan pakar mitigasi telah dapat menetapkan empat parameter yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian,
yaitu : •
Dinamika Perairan Pesisir •
Ketersediaan dana •
Kesesuaian dengan SDM lokal •
Aksesibilitas ke lokasi mitigasi dan Waktu penyelesaian yang dibutuhkan Hal  tersebut  penting,  mengingat dalam penerapan salah bentuk mitigasi
bencana,  dinamika perairan pesisir sangat menentukan bentuk mitigasi yang Level  1
Level  2
Level  3
Level  4
GABUNGAN  REMANGROVESASI, REEF ARTIFICIAL, DAN BEACH
NOURISHMENT
SISTEM PERINGATAN DINI PENDAMPINGAN PENDIRIAN
BANGUNAN STANDAR
PENYELAMATAN DIRI PERATURAN PERUNDANGAN
DAN PEMBUATAN NSPM SOSIALISASI
GABUNGAN PEMECAH OMBAK, PEREDAM ABRASI DAN
PENAHAN SEDIMENTASI Elemen
Kunci
paling efektif untuk diterapkan di lokasi penelitian. Di sisi lain, ketersediaan dana juga merupakan pertimbangan utama sebab segala tindakan yang dilakukan
dalam penanggulangan bencana membutuhkan biaya yang besar.  Karena masyarakat setempat yang akan bersentuhan langsung dengan bentuk mitigasi
yang akan diterapkan, maka kesesuaian dengan SDM lokal juga merupakan kriteria yang menentukan. Selanjutnya akses ke lokasi  mitigasi dan waktu yang
dibutuhkan. Kriteria yang dipilih oleh pakar tersebut dapat dilihat pada Tabel 27 berikut:
Tabel 28.   Kriteria dalam menentukan efektivitas mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu
Sumber : Diskursus dengan para pakar 2008
Hasil    pembobotan    pakar    seperti    Tabel 28,    selanjutnya dianalisis dengan  metode  perbandingan  eksponensial MPE yang dikompilasi dalam
software  MKP2B2MB  untuk mendapatkan bentuk mitigasi bencana  yang paling efektif  di  Indramayu.  Diketahui bahwa  elemen  gabungan  pembuatan pemecah
ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi  dan  elemen gabungan remangrovesasi,  artificial reef  dan  beach nourishment  dalam menanggulangi
bencana gelombang badai  pasang di  Indramayu  memperoleh score  97.  Tetapi bahasa program MKP2B2MB memberikan  sorting  lebih awal bagi  elemen
gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi daripada
elemen gabungan  remangrovesasi,  artificial reef,  dan  beach nourishment. Kesimpulannya  sekalipun metode ISM telah menempatkan  elemen-elemen
tersebut  pada ranking tertinggi, tetapi  empat  kriteria MPE  telah menempatkan elemen  gabungan pemecah ombak, peredam abrasi,  dan penahan sedimen
pada ranking  1  sebagai prioritas mitigasi di Indramayu.  Hal ini dapat dikatakan sebagai pembenaran, karena masyarakat lokal sudah mengenal upaya mitigasi
sejenis yang lebih sederhana teknik pelaksanaannya. Tabel 29. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
8.3.2.2. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Ciamis
Penentuan efektivitas mitigasi bencana  dilakukan juga untuk Kabupaten Ciamis.  Metode  pembobotan pakar seperti pada Tabel  30  menunjukan bahwa
dinamika perairan pesisir dan  ketersediaan dana  memiliki bobot tertinggi. Selanjutnya  kesesuaian  dengan  SDM lokal dan aksesibilitas ke lokasi mitigasi
serta waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pembangunan
bentuk mitigasi tersebut.  Hasil pembobotan ini dilakukan analisis dengan MPE yang dikompilasi dalam software    MKP2B2MB    untuk   mendapatkan    bentuk
mitigasi    bencana   yang  paling  efektif  diterapkan di Ciamis. Tabel 30. Kriteria dalam menentukan bentuk mitigasi bencana di
Kabupaten Ciamis
Sumber : Diskursus dengan para pakar 2008
Tabel 31. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis
Pada Tabel  31  terlihat ada dua elemen yang  memiliki  score  sama 93, yaitu elemen sistem peringatan dini dan elemen penyelamatan diri dari
gempabumi dan tsunami.  Tetapi  bahasa program menempatkan elemen sistem peringatan dini lebih  awal daripada elemen  penyelamatan diri dari gempabumi
dan tsunami,  sehingga  elemen  sistem peringatan dini menempati ranking 1. Kesimpulannya walaupun metode ISM menempatkan elemen sistem peringatan
dini dan  elemen sistem penyelamatan diri  pada ranking 1, tetapi  empat  kriteria MPE yaitu  dinamika perairan pesisir,  ketersediaan dana,  kesesuaian dengan
SDM lokal,  aksesibilitas  ke lokasi mitigasi  dan waktu yang dibutuhkan telah menempatkan  elemen sistem peringatan dini menjadi prioritas mitigasi  bencana
di Pesisir Ciamis.  Pesisir Ciamis yang terbuka  menghadap Samudra Hindia membutuhkan  sistem peringatan dini untuk memberitahukan masyarakat agar
secepatnya menyelamatkan diri  sebelum tsunami datang. Kecepatan informasi
peringatan dini sangat diperlukan mengingat selang waktu antara  bangkitan dalam hal ini gempa bumi dan timbulnya tsunami sangat singkat.
8.4.  Kesimpulan  Studi Efektivitas Keberhasilan dan Bentuk Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
Berdasarkan hasil uraian pada bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa potensi bencana alam yang lebih dominan terjadi di Kabupaten
Indramayu adalah gelombang  badai  pasang dan  di  Kabupaten  Ciamis adalah gempabumi dan  tsunami. Untuk mereduksi risiko bencana yang  timbul  maka
mitigasi struktur merupakan bentuk mitigasi bencana alam yang memiliki tingkat keberhasilan yang lebih efektif  untuk diterapkan di Kabupaten  Indramayu dan
Kabupaten  Ciamis. Mitigasi struktur memiliki tingkat ketergantungan yang besar di Kabupaten  Ciamis mengingat  lokasi lempeng  tektonik di selatan pulau Jawa,
sehingga  wilayah ini memiliki tingkat kerawanan bencana  gempa bumi dan tsunami  yang lebih besar dibandingkan  dengan di  Indramayu yang hanya
gelombang badai pasang. Namun demikian, untuk penerapan bentuk mitigasi di Kabupaten
Indramayu, pakar memilih bentuk mitigasi  struktur  gabungan  pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi  serta gabungan remangrovisasi, reef
artificial, dan  beach nourishment. Mengingat mitigasi  ini efektif meredam abrasi
yang sudah parah melanda pesisir dan membahayakan permukiman nelayan serta instalasi kilang migas Balongan. Di Kabupaten Ciamis, pakar lebih memilih
kombinasi mitigasi struktur sistem peringatan dini dan sistem penyelamatan diri, serta pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi yang efektif agar ketahanan
masyarakat dan lingkungan yang di deklarasikan di Hyogo  pada tahun 2005 dapat diwujudkan.  Dengan telah diketahuinya bentuk mitigasi yang paling efektif
untuk diterapkan di  Pesisir Indramayu dan Pesisir Ciamis, maka  dapat disimpulkan bahwa  kebijakan pengembangan wilayah pesisir sudah  harus
memperhitungkan anggaran  yang proporsional untuk mewujudkan penyelesaian pembangunan sistem perlindungan pesisir yang terpadu. Dengan demikian
upaya yang dilakukan akan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai  dengan  kesepakatan
global untuk secepatnya melakukan perubahan paradigma lama yang responsif, reaktif, dan menekankan kepada upaya kedaruratan.
Berdasarkan hasil analisis efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam di wilayah pesisir, dapat dinyatakan  bahwa  tidak ada bentuk
mitigasi bencana yang dapat efektif berdiri sendiri. Hal ini disebabkan setiap bentuk mitigasi mempunyai kelemahan yang dapat dilengkapi dan diperkuat oleh
bentuk-bentuk mitigasi lainnya complementary.