Hal ini diperlukan sebagai acuan pengakomodasian kegiatan yang akan dilaksanakan disuatu wilayah. Sehingga proses penataan ruang memiliki
legitimasi dari aspek kebencanaan Bappenas dan BNPB, 2007. Selain itu peta risiko bencana ini merupakan respon terhadap himbauan
BAKOSURTANAL yang menyatakan bahwa peta yang dibutuhkan untuk menghadapi bencana alam harus lebih detail daripada peta rupa bumi yang
biasa dibuat oleh BAKOSURTANAL dengan skala 1:25.000. Untuk perencanaan antisipasi dan evakuasi bencana alam daerah diperlukan peta yang lebih detil
yaitu skala 1:2.500. Sejauh ini BAKOSURTANAL hanya bertugas membuat sistem standar agar sebuah peta yang dibuat oleh instansi tertentu mudah
dimengerti oleh instansi lainnya Matindas dalam Komara, 2006. Peta yang lazim disebut peta risiko bencana atau peta rawan bencana adalah suatu peta
tematik, artinya peta yang mengusung hanya satu atau beberapa tema misalnya peta kerawanan longsor atau gunungapi dan seterusnya. Ini berbeda dengan
peta umum yang menyajikan kondisi topografi seperti lokasi jalan, gunung, sungai, informasi ketinggian, dan tutupan lahan dan batas administrasi batas
kecamatan atau kabupaten yang biasa disebut peta rupa bumi sebagai terjemahan dari topographic map. Peta rupa bumi biasanya dijadikan peta dasar
bagi berbagai peta tematik yang dibuat secara spesifik untuk keperluan khusus tersebut.
2.6 Keterkaitan Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir,
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Pemanfaatan SDA Terkendali dan Manajemen serta Mitigasi Bencana Alam
Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan
Carter, 1991. Mitigasi bencana adalah upaya pengurangan risiko bencana Coburn et al, 1994 yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir. Pemanfaatan
sumberdaya alam yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas lingkungan tidak terlampaui sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh
karena itu laju pemanfaatannya tidak lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi profit saja, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial
people dan ekologi planet sehingga terjadi keseimbangan Munasinghe, 1993. Karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi kualitas
lingkungan Allison dan Horemans, 2006. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
adalah kegiatan di wilayah pesisir yang melibatkan berbagai sektor yang saling melengkapi seperti perkapalan, transportasi laut, perikanan, pariwisata bahari
Peng et al, 2006. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan
dan berpedoman pada ketiga penelitian tersebut, dan diharapkan dapat menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan pesisir saat ini
sehingga dapat diterapkan di pesisir Kabupaten Indramayu dan pesisir Kabupaten Ciamis Penelitian, 2008 Gambar 13.
Gambar 13. Keterkaitan kebijakan pengembangan wilayah pesisir, pengelolaan wilayah pesisir
terpadu, pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutanterkendali, manajemen dan mitigasi bencana
2.7. Pemberdayaan Masyarakat
Berkaitan dengan permasalahan pesisir yang merupakan konsentrasi mayoritas penduduk miskin di Indonesia dan kerentanan terhadap bencana alam
serta kesepakatan dunia terhadap upaya pengurangan risiko bencana, maka untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan lingkungan pesisir sebagaimana
yang telah dideklarasikan tersebut ACDRR, 2007 dibutuhkan upaya pemberdayaan masyarakat kolektif yang sistemik Parson et al., 1994. Dalam
konteks penanggulangan bencana, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan empowerement setting: mikro, mezzo, dan
makro. Disini mikro disetarakan dengan lingkungan terkecil ditingkat komunitas Rukun Tetangga RT atau Rukun Warga RW, mezzo disetarakan dengan
Coburn et al 1994 Carter 1991
Peng et al 2006 Allison dan
Horemans 2006 Munasinghe1993
Kebijakan pengembangan wilayah pesisir
berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana
Manajemen dan mitigasi
bencana
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
Pemanfaatan SDA terkendali
Penelitian 2008
lingkungan menengah ditingkat Kelurahan atau Kecamatan dan makro disetarakan dengan lingkungan besar ditingkat Kabupaten Diolah dari Suharto,
2006. Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah, karena pemerintah kabupaten memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan, keuangan
termasuk penganggulangan bencana. •
Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien dalam hal ini RTRW melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan
utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas- tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang
Berpusat pada Tugas task centered approach. •
Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien yaitu Kelurahan atau Kecamatan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan penanggulangan bencana yang akansedang dihadapinya.
• Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar
large-system strategy, karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas yaitu Kabupaten. Perumusan kebijakan,
perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi
Sistem Besar memandang klien sebagai pemilik kompetensi untuk memahami situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan
strategi yang tepat untuk bertindak. Jika strategi pemberdayaan ini telah dijalankan, maka selain masyarakat
juga aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana tersebut akan meningkat kemampuannya.
Pemerintah kabupaten akan mempunyai kemampuan untuk menentukan bentuk mitigasi bencana yang paling sesuai
diterapkan. Dengan demikian harapan tercapainya ketahanan lingkungan dan masyarakat sebagaimana yang dikumandangkan dalam Deklarasi Hyogo 2005
akan terwujud.
2.8. Permodelan