Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir

42 terumbu karang rusak berat, 29 rusak, 23 baik dan 6 sangat baik, 40 mangrove telah rusak dan 40 gisik beach telah mengalami abrasi Pratikto, 2005.

2.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir

Keragaman karakteristik wilayah pesisir yang dimiliki negara Indonesia memerlukan kebijakan pembangunan yang terintegrasi sehingga memudahkan penerapannya. Adanya berbagai potensi sumber daya alam, bencana alam dan kendala kondisional, situasional serta lokasional di wilayah pesisir mengharuskan pemerintah menyiapkan seperangkat kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation. Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peranannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan. Dengan demikian selain kebijakan merupakan suatu pengetahuan, masyarakat juga mempunyai rasa memiliki terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu masyarakat menjadi sangat peka dan akan cepat mengetahui bilamana kebijakan pemerintah tidak berpihak kepadanya Ma’arif dan Tanjung, 2003. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa kebijakan adalah keputusan publik yang penyusunannya dipengaruhi oleh nilai sosial. Menurut Sanim 2006 kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum . Setidaknya ada tiga alasan utama perlunya kebijakan publik, yaitu 1 mencegah keterbatasan prasarana dan sarana kegagalan pasar; 2 memberikan ruang gerak yang memadai bagi pelaku usaha lokal keterbatasan kerangka kompetitif; dan 3 menentukan hargatarif yang terjangkau oleh masyarakat tujuan distribusional. Dunn 1998 menyatakan bahwa ada tiga komponen atau elemen dalam suatu sistem kebijakan, yang jika dikaitkan dengan pembangunan wilayah pesisir dapat digambarkan sebagaimana Gambar 9. Analisis kebijakan yang meliputi social policy, economical policy, ecological policy, technical policy adalah aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik yang ditujukan untuk menciptakan, dan secara kritis menilai, serta mengkomunikasikan pengetahuan tentang proses kebijakan. Diketahui juga bahwa analisis kebijakan sosial adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi, tetapi tidak untuk menggantikan politik dan membangun elit teknokratis Dunn, 1998. Gambar 9. Sistem kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi Menurut Dunn dalam Nugroho 2007, metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang dipakai dalam pemecahan masalah manusia Gambar 10. Gambar 10. Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi Dalam pembangunan wilayah pesisir, mengikuti prosedur umum analisis kebijakan Dunn, 1998, maka lima komponen dalam analisis kebijakan dapat diuraikan sebagai berikut Forum Mitigasi, 2007: 1. Definisi, yaitu informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan Dunn dalam Nugroho, 2007. Indonesia adalah negara rawan bencana alam yang mengakibatkan PELAKU KEBIJAKAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN KEBIJAKAN PUBLIK • Wilayah pesisir • Aksesibilitas : Infrastruktur dan dana • Peningkatan kapasitas • Pengurangan risiko bencana • Privatisasi gisik beach • Kriminalitas : Penebangan pohon, peledakan perairan, penambangan pasir gisik beach • Penganggur w arga berpendidikan rendah • diskriminasi • Analis Kebijakan • Pemerintah • Pengusaha • Koperasi dan UKM • Perguruan Tinggi • Masyarakat • LSM Definisi Prediksi Preskripsi Deskripsi Evaluasi Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan Menyediakan informas i mengenai nilai dari konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah yang terjadi saat ini Menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan kerugian harta dan jiwa dalam jumlah besar. Sejak tahun 1600 sampai dengan tahun 2005, bencana tsunami telah menimbulkan korban sekitar 361.905 jiwa di Indonesia dan Filipina ITDBWRL, 2005 dalam Latief et al., 2000. Selain bencana tsunami yang melanda pesisir bagian Barat pulau Sumatera, bagian Selatan pulau Jawa dan lainnya, hampir sebagian besar provinsi maritim Indonesia juga dilanda gelombang pasang yang menimbulkan abrasi. Setyawan 2007 dan Prasetya 2006 menyebutkan bahwa di Indonesia, abrasi pesisir dimulai pada tahun 1970 an wilayah pantai utara pulau Jawa ketika hutan mangrove berubah menjadi tambak ikan dan kegiatan budidaya perairan lainnya, serta perkembangan disepanjang pantura yang tidak terkelola dan pengelolaan sungai-sungaii yang kurang tepat. Abrasi pesisir terjadi hampir diseluruh provinsi maritim Bird dan Ongkosongo, 1980; Syamsudin et al., 2000; Tjardana, 1995, dalam Prasetya, 2006 seperti Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi Selatan Nurkin, 1994 dalam Prasetya, 2006, Bali Prasetya dan Black, 2003 dalam Prasetya, 2006 dan Jawa Barat Setyawan, 2007. Guna menangani abrasi pesisir tersebut dari 1996 sampai 2005 pemerintah telah mengeluarkan US 79.667 juta Prasetya, 2006. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemerintah membutuhkan kebijakan baru untuk melakukan pengembangan wilayah pesisir. 2. Prediksi, yaitu informasi mengenai konsekuensi di masa yang akan datang akibat penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu Dunn, dalam Nugroho 2007. Kepulauan Indonesia dan Filipina karena lokasinya dekat dengan patahan besar gempa bumi yang aktif, sehingga sangat rentan terhadap ancaman tsunami yang dapat mencapai pesisir hanya dalam beberapa menit. Sejarah pola kejadian Tsunami mengindikasikan bahwa cepat atau lambat suatu gempa bumi besar akan terjadi lagi dan tsunami Samudra Hindia akan melanda kembali pesisir di sekitarnya Latief dan Hadi, 2006. Oleh karena itu guna menghindari kembali terulangnya tragedi 2004 di NAD dan Sumatra Utara dan 2006 di Jawa Barat, serta tidak mungkin ada yang dapat mencegah terjadinya bencana, maka kebijakan baru pengembangan wilayah pesisir yang akan diusulkan tersebut hendaknya ditekankan kepada tindakan pengurangan risiko bencana sesuai dengan Deklarasi Hyogo 2005, yaitu mengutamakan kepada peningkatan ketahanan lingkungan dan masyarakatnya. Untuk itu wilayah pesisir pengelolaannya harus diberi perlindungan yang memadai dengan solusi lunak, solusi keras atau kombinasi Latief, 2008. 3. Preskripsi, yaitu informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang Dunn dalam Nugroho, 2007 Prasetya 2006 mengemukakan parameter utama yang dibutuhkan untuk memahami identifikasi abrasi sebagai masalah di zona pesisir yaitu : • Geomorfologi pantai yaitu tipe garis pantai dan sensitivitas terjadinya pantai • Angin merupakan faktor utama penyebab timbulnya gelombang; • Gelombang merupakan kekuatan terpenting penyebab abrasi pantai; • Air pasang merupakan tenaga influential terhadap morfodinamik pantai; • Vegetasi pantai merupakan komponen yang menjaga stabilias kemiringan pantai, dan pelindung garis pantai; • Aktivitas manusia sepanjang pantai mempengaruhi stabilitas garis pantai; Aktivitas manusia di pantai onshore dan lepas pantai offshore, penambangan pasir dan terumbu karang, serta pengerukan muara dapat meningkatkan abrasi pantai shore abrasion. Selanjutnya tindakan peningkatan ketahanan lingkungan pesisir membutuhkan konsekuensi sebagai berikut: • Solusi lunak, seperti pengisian gisik beach nourishment, membangun gunuk dune building, rekonstruksi reconstruction, dan revegetasi pesisir coastal revegetation. • Solusi keras, seperti kribtanggul tegak lurus pantai groyne, perlindungan lereng slope protectionseawallbank revetment, pemecah ombak breakwater dan penguat ujung kribtanggul artificial headland. • Kombinasi pengisian gisik beach nourishment, krib tegak lurus gisik groynes, revegatasi revegetation dan terumbu karang buatan artificial reefs. • Implikasi sosial dan lingkungan, pedoman umum mengelola abrasi pesisir dan pilihannya termasuk biaya. Latief 2008 mengemukakan bahwa solusi keras dapat dibangun untuk melindungi pesisir dari bahaya alami seperti gelombang badai dan tsunami. Keduanya dapat menyebabkan timbulnya masalah besar di lingkungan pesisir dan dampaknya akan menimbulkan biaya pemulihan yang cukup besar. Baru-baru ini mangrove dan tipe lain dari hutan pesisir serta vegetasi sangat dipertimbangkan sebagai alternatif yang paling memungkinkan untuk dipergunakan bersama struktur buatan untuk meredam berbagai bahaya alami yang sering terjadi di wilayah pesisir. 4. Deskripsi, yaitu informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan Dunn dalam Suharto, 2006. Untuk memperoleh informasi saat ini, masa lalu dan mendatang para pakar menggunakan alat analisis untuk membantu mengidentifikasi situasi hutan dan pepohonan yang sesuai untuk melindungi pesisir Latief dan Hadi, 2006 terhadap i tsunami; ii siklon; iii abrasierosi pantai; iv angin dan semburan garam. Langkah yang dilakukan untuk membangun alat tersebut adalah sebagai berikut: • Mengidentifikasi berbagai kriteria yang dapat mempengaruhi kemungkinan memanfaatkan hutan untuk perlindungan pesisir. • Membuat urutan garis besar tahapan kepentingan dan tingkat informasi yang dapat diberikan. • Meletakan kriteria dalam format yang berbeda. • Melakukan uji kriteria untuk kondisi lokasi spesifik. Saran-saran yang telah dibuat untuk kriteria awal yang memungkinkan sebagai berikut: • Apakah garis pesisir dipengaruhi oleh bahaya alami? • Apakah perlindungan pesisir saat ini ada? • Apakah disitu ada penduduk atau aset yang hendak dilindungi? Kriteria yang muncul dalam alat analisis disarankan sebagai berikut: • Adakah ruang yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan? • Adakah biaya yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan? • Adakah bentuk lain perlindungan pesisir yang lebih sesuai?. 5. Evaluasi yang akan mengemukakan kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah, Latief dan Hadi, 2006; Fritz dan Blaunt, 2006; Takle et al., 2006; Prasetya, 2006; Preuss, 2006; dalam FAO, 2006 adalah sebagai berikut : • Hutan dan pohon pesisir, dalam kondisi tertentu, bertindak sebagai perisai hidup bioshields untuk melindungi kehidupan dan harta benda berharga terhadap bahaya pesisir, termasuk tsunami, siklon, angin dan semburan garam serta abrasi pesisir. • Tingkat perlindungan yang ditawarkandiberikan perisai hidup pesisir tergantung pada sejumlah variable, termasuk i karakteristik bahaya seperti tipe, kekuatan, frekuensi; ii ciri-ciri lokasi seperti batimetri, geomorfologi; dan iii karakteristik perisai hidup seperti tipe hutan dan pohon, lebar, tinggi dan kerapatan hutan. • Perhatian harus diberikan untuk menghindarkan generalisasi tentang peran perlindungan hutan dan pohon berdasarkan fakta dari satu atau sejumlah daerah; banyaknya faktor yang melindungi peran dari hutan atau pohon harus difahami dan dimasukan dalam pertimbangan sebelum tindakan diambil. Perhatian ini penting sekali karena kebijakan yang diputuskan harus menciptakan perlindungan yang benar dalam menghadapi bahaya pesisir. • Hutan dan pohon pesisir tidak dapat menyiapkan perlindungan efektif menghadapi seluruh bahaya seperti gelombang tsunami yang besar dan kuat, banjir dari siklon dan tipe-tipe tertentu abrasi pantai; penyiapan untuk bentuk perlindungan lain dan dalam kegiatan ekstrim untuk evakuasi harus yang diutamakan. Perhatian harus diberikan karena tidak untuk menciptakan keputusan yang salah dalam membuat perlindungan terhadap bahaya pesisir coastal hazard. • Pentingnya perlindungan pesisir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan dan pengelolaan adalah suatu keharusan. • Pilihan untuk melindungi termasuk: solusi lunak dan keras serta kombinasi dari keduanya. Jika tidak ada solusi yang samasekali sesuai dan dapat diterapkan, maka diperlukan zonafikasi tata guna lahan pesisir untuk melindungi permukiman dan bangunan sebagai aset yang berharga di zona yang rentan tersebut. • Hal ini penting untuk mencocokan spesies pohon dengan lokasi untuk menghindarkan kematian sebagian besar pohon dan kegagalan tujuan penghutanan. Beberapa tipe hutan dan spesies pepohonan tidak dapat bertahan hidup atau tumbuh dengan subur di daerah terbuka yang spesifik terkena bahaya pesisir; oleh karena itu pepohonan tersebut bukan solusi yang tepat untuk perlindungan. • Pengembangan perisai hidup tidak mungkin diterapkan dalam segala situasi, dengan kata lain, keterbatasan biologis, batasan ruang, ketidaksesuaian dengan prioritas tata guna lahan dan hambatan biaya. • Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi hutan dan tanaman dalam perlindungan pesisir akan tetap tidak memadai dan disitu masih ada kekurangan dalam penelitian yang multidisiplin dan kerjasama dalam bidang ini. Daerah spesifik memerlukan perhatian termasuk penelitian tentang hutan non mangrove di pesisir, koleksi data, pengembangan model interaksi antara fisik dan parameter ekologi. • Adanya kebutuhan untuk mengetahui, bahwa untuk menstabilkan dan menumbuh kembangkan pohon dan hutan tersebut membutuhkan suatu ukuran dan kepadatan tertentu. Oleh karena itu untuk dapat menjadi perisai hidup yang diandalkan, membutuhkan waktu bertahuntahun, sehingga dapat menghadapi bahaya di pesisir. • Penelitian yang dibutuhkan dan inisiatif lapangan terkait dengan hutan dan perlindungan pesisir sudah pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu; hal ini dapat dijadikan sebagai landasan bekerja untuk memperbaiki pemahaman tentang peran perlindungan yang dapat diberikan oleh hutan dan pohon. Permasalahan multi sektor di lingkungan wilayah pesisir tersebut perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu Integrated Coastal Zone Management. Salah satu indikator untuk menilai keberhasilan program ICZM tersebut, adalah manfaat sosial ekonominya. Secara empiris ukuran manfaat ekonomi dalam suatu sistem multi sektor seperti wilayah pesisir adalah challenging task in green accounting and sound environmental analysis. Oleh karena itu kebijakan yang mengedepankan kepentingan regime ekonomi semata hendaknya dievaluasi secepatnya, karena masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan wilayah pesisir. Dengan demikian selain Pengelolaan Pesisir Terpadu, kebijakannya harus Menuju Pemanfaatan Sumberdaya Yang Berkelanjutan Peng et al., 2006. Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik karena bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai tujuan, holistik karena melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta efisien SHE karena mempertimbangkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi Eriyatno, 2007.

2.3. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir