lingkungan menengah ditingkat Kelurahan atau Kecamatan dan makro disetarakan dengan lingkungan besar ditingkat Kabupaten Diolah dari Suharto,
2006. Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah, karena pemerintah kabupaten memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan, keuangan
termasuk penganggulangan bencana. •
Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien dalam hal ini RTRW melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan
utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas- tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang
Berpusat pada Tugas task centered approach. •
Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien yaitu Kelurahan atau Kecamatan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan penanggulangan bencana yang akansedang dihadapinya.
• Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar
large-system strategy, karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas yaitu Kabupaten. Perumusan kebijakan,
perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi
Sistem Besar memandang klien sebagai pemilik kompetensi untuk memahami situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan
strategi yang tepat untuk bertindak. Jika strategi pemberdayaan ini telah dijalankan, maka selain masyarakat
juga aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana tersebut akan meningkat kemampuannya.
Pemerintah kabupaten akan mempunyai kemampuan untuk menentukan bentuk mitigasi bencana yang paling sesuai
diterapkan. Dengan demikian harapan tercapainya ketahanan lingkungan dan masyarakat sebagaimana yang dikumandangkan dalam Deklarasi Hyogo 2005
akan terwujud.
2.8. Permodelan
Guna mendukung pengambil keputusan mengkaji dampak kebijakan yang akan diterapkan, pengembangan ilmu komputasi dan matematik yang
terintegrasi dengan permasalahan sosial yang sedang terjadi merupakan suatu
solusi yang terbaik. Kebutuhan multifungsi pada laut dan daerah estuaria yang terus meningkat, memerlukan pengetahuan tentang sistem manajemen strategik
yang dituangkan dalam suatu pemodelan interdisiplin tentang sumberdaya wilayah pesisir. Walaupun pengintegrasian berbagai disiplin pengetahuan
tersebut tidak sepenuhnya menjamin akan menyelesaikan permasalahan secara akurat, permodelan sistem sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi
kecenderungan yang akan terjadi di waktu mendatang Wind dan Kok, 2002. Model menurut Marimin 2005 adalah simplifikasi dari sistem dan sistem
adalah kumpulan berbagai komponen atau elemen yang saling terkait dan
terorganisir dengan baik serta mempunyai tujuan yang sama. Menurut Manetch
dan Park 1977 sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan O’Brien 1999,
mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian,
berarti setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi terkait dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi
tertentu. Gambar 14.
Gambar 14. Keterkaitan logika
Sumber : Diolah dari Eriyatno dan Sofyar, 2007
Dikaitkan dengan judul penelitian ‘Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berperspektif Mitigasi Bencana, Kasus Pesisir Indramayu dan
Ciamis’, beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
• Kebijakan, pengembangan wilayah pesisir, berkelanjutan, berperspektif dan
mitigasi bencana adalah komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan
Parts And Relationship
Synthesis Complexity
Theory
Group Decision
Making
Expert Manage ment
System
Parts Dynamic
Analysis Unity
• Tujuannya adalah merumuskan suatu kebijakan pengembangan wilayah
pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi sebagaimana yang dikemukakan Aelen dalam Eriyatno dan Sofyar 2007 ‘policy research is
namely normative research about alternative ways organizing and gathering information so that a decision maker can make the most inteligent choices’
• Hasil penelitian harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif
menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam suatu kebijakan berupa Model IESS Inteligent Executive Support System, dalam bentuk sistem
pakar atau EMS Expert Management System yang mengandung Inference Engine dan Exploration Generator Eriyatno, 2007
• Peneliti harus memahami bagaimana membangun kebijakan secara
komprehensif yang smart, dengan teknik berbasis pengetahuan merumuskan konsepsi instrument pembangunan berkelanjutan dan pencegahan
dampak melalui pemikiran sintesis Eriyatno, 2007 •
Metoda sintesis digunakan karena fokus kepada sasaran yang akan dicapai pada masa mendatang dengan mengembangkan substansi yang konseptual
atau artifisial, tidak seperti metoda analisis yang fokus pada masalah yang telah terjadi dengan memperbaiki sistem yang tidak baik Eriyatno, 2007
• Metoda sintesis melibatkan sasaran akhir, obyek dalam pikiran dan integrasi
berbagai elemen, komponen dan sub sistem untuk membentuk suatu sistem
parts and relationship Dubrovsky dalam Eriyatno, 2007
• Hasil penelitian membuktikan bahwa minat kelompok fisik dan sosial
dari berbagai disiplin ilmu telah melahirkan complexity theory yang menjadi teori sistem yang memberikan penjelasan konseptual dalam aplikasi group
dynamics sebagai sumber ilmiah pengembangan model Wheelan dalam Eriyatno, 2007
• Untuk memudahkan pengambil keputusan, penyiapan alternatif kebijakan
dapat dilakukan melalui permodelan sistem Eriyatno, 2007 dan Marimin, 2007
Keunggulan permodelan sistem yang utama menurut Ma’arif dan Tanjung 2003 adalah memvisualisasikan secara cepat abstraksi suatu integrasi elemen.
Melalui model tersebut, dapat diprediksi hal yang terkait dengan jawaban atas permasalahan. Ada lima tipe model yang seringkali diaplikasikan dalam dunia
nyata, yaitu Ma’arif dan Tanjung, 2003:
• Model fisik, yang berdasarkan analogi
• Model deskriptif, yang bersifat kualitatif dan mengedepankan dialog dengan
para pakar terkait •
Model matematik, yang terdiri dari simbol-simbol persamaan untuk menjelaskan suatu sistem. atribut model adalah variabel dan aktivitas model
adalah fungsi •
Model prosedural, yang terdiri dari diagram alir yang menjelaskan langkah – langkah yang terjadi dalam sistem
• Model simulasi, yang merupakan gabungan antara model prosedural dan
model matematik
2.9.
Penelitian Sejenis
Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang wilayah pesisir dan mitigasi bencana serta model pengembangannya secara
berkelanjutan. Berikut ini dikemukakan beberapa ringkasan diantaranya. Fandora 2006 dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Pengelolaan
Pesisir Terpadu’ telah mengemukakan perbedaan antara wilayah pesisir utara dan selatan Jawa Barat. Diawali dengan penjelasan tentang karakteristik wilayah,
potensi kawasan, permasalahan dengan penekanan kepada laju abrasi di pesisir utara dan pertambangan yang merusak lingkungan di pesisir selatan, sampai
dengan perlunya pengelolaan pesisir terpadu integrated coastal zone management. Selanjutnya dikemukakan hambatan utama untuk menerapkan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut yaitu tidak adanya kepastian hukum. Akhirnya dikemukakan bahwa RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
diharapkan dapat menjadi solusi seluruh permasalahan yang menghambat penerapan pengelolaan pesisir terpadu tersebut.
Setyawan 2007 dalam penelitiannya yang berjudul ‘Bencana Geologi Di Daerah Pesisir’ mengemukakan bahwa selama ini masyarakat berpendapat
bahwa gelombang yang dapat menimbulkan kerusakan, hanya gelombang yang berasal dari bagian Barat dan Selatan Indonesia saja. Hal ini ternyata tidak
benar, karena konfigurasi kepulauan Indonesia dengan empat pulau besar mengakibatkan arus yang terjadi di perairan dalamnya akan mengakibatkan
gelombang pasang merusak pantura Jawa. Abrasi yang terjadi di pesisir Indramayu merupakan yang terparah kedua setelah abrasi di pesisir NAD.
Wind dan Kok 2002 dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Permodelan
Interdisiplin, Tantangan dan Peluangnya’ mengemukakan bahwa untuk menata kegiatan rekreasi bahari di pesisir Wadden Belanda Utara seperti olahraga air,
pemancingan ikan, penerbangan ringan dan kegiatan yang kontroversi yaitu eksploitasi gas alam, diperlukan pendekatan Sistem Pengambilan Keputusan
yang akan menyelesaikan analisis dari berbagai disiplin keilmuan. Seluruh kegiatan pariwisata bahari tersebut menyesuaikan dengan tujuan kebijakan
pembangunan yaitu, perlindungan Pesisir Wadden sebagai kawasan alami yang berkelanjutan. Kondisi perbatasan pengelolaan kegiatan kawasan Wadden,
harus aman terhadap banjir pesisir dan aksesibilitas keluar masuk kawasan harus terpelihara sehingga seluruh aktifitas ekonomi dan rekreasi tetap terjaga.
Allison dan Horemans 2006 dalam penelitiannya yang berjudul ‘Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan’ menggabungkan suatu kerangka
kerja konseptual operasional untuk menyiapkan pedoman perumusan kebijakan dan praktek pengembangan pesisir. Prinsip Sustainable Livelihood Approach
SLA adalah meletakan kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dalam pusat analisis, mengutamakan batas-batas sektor, memperkuat hubungan makro-mikro
menjadi lebih responsif dan partisipatif, membangun pada kekuatan, dan menerapkan wawasan keberlanjutan.
Gambar 15. Kerangka matapencaharian nelayan untuk memahami sistem pengelolalaan sumberdaya alam pesisir
Sumber : Allison dan Horemans 2006
Pendekatan SLA ini sudah diterapkan secara luas dalam penelitian pengembangan pesisir dan perikanan, dan sudah didesiminasikan sebagai
Konteks Kerentanan
• Guncangan
• Kecenderungan
• Musiman
Aset Matapencaharian
• Manusia
• Alam
• Keuangan
• Fisik
•
Sosial PIP
• Kebijakan
• Kelembagaan
• Proses
Hasil Matapencaharian
• Pendapatan
Kesejahteraan meningkat
• Kerentanan
Menurun •
Ketahanan Pangan
meningkat •
Berkelanjutan meningkat dgn
basis sumber daya alam
• Pemberdayaan
termasuk Sosial
rancangan pengembangan program internasional, walaupun pengalaman lapangan secara luas belum terdokumentasikan. Program SLA yang melibatkan
25 negara Afrika Barat telah membantu meluruskan kebijakan perikanan berkelanjutan dengan inisiatif pengurangan kemiskinan di pesisir sekaligus
membuktikan bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan over-exploited fish resources.
Tobey dan Torrel 2006 dalam penelitiannya yang berjudul ‘Kemiskinan pesisir dan pengelolaan kawasan pesisir yang diproteksi di daratan Tanzania dan
Zansibar Marine Protected Area’, membahas keterkaitan antara kemiskinan dan konservasi pesisir serta menemukan bahwa kemiskinan masyarakat
pesisir seringkali memicu masyarakat melanggar peraturan perundangan pengelolaan. Oleh karena itu kemiskinan menambah kesulitan upaya
mewujudkan program konservasi yang merupakan landasan ketahanan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana. Mereka menyimpulkan bahwa
keefektifan dan keberhasilan program Proteksi Kawasan Pesisir MPA dalam mencapai tujuan konservasi dan pembangunan sangat beragam, tetapi persepsi
masyarakat sangat positif sehingga keberhasilan program MPA itu membutuhkan waktu lama dan investasi yang besar.
Peng et al. 2006 dalam penelitiannya yang berjudul ‘Ukuran manfaat sosio ekonomi dari Pengelolaan Pesisir Terpadu Integrated Coastal Zone
Management: Aplikasi di Xiamen’, China mengemukakan sebuah pendekatan sistematik untuk mengukur seluruh manfaat social eokonomi dikaitkan dengan
program pengelolaan pesisir terpadu ICZM. Permasalahan multi sektor di lingkungan wilayah pesisir perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu
integrated coastal zone management. Pakar sepakat bahwa indikator penilaian keberhasilan dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah manfaat
sosio-ekonomi. Tetapi secara spesifik konsep terpadu masih belum jelas, karena peran dari berbagai variable penting dalam kerangka kerja analitik dan interaksi
diantaranya belum dipahami dengan baik. Kasus Xiamen sangat menarik untuk dikemukakan karena wilayah pesisir yang semula aktifitasnya semrawut dan
membuat kualitas lingkungan pesisir rusak abrasi, polusi, dan kumuh dalam sepuluh tahun melalui The Xiamen Demonstration Project yang dimulai pada
tahun 1992 dan merupakan kerjasama antara the Global Environment FacilityUnited Nations Development ProgramInternational Maritime Organization
GEFUNDPIMO Regional Program for the Prevention and Management of
Marine Areas in the East Asian Seas MPA-EAS. Xiamen telah berubah menjadi suatu wilayah pesisir yang menarik dan aktifitasnya meningkat serta kualitas
lingkungannya bertambah baik. Daratan seluas 1.565 km
2
dan lautan seluas 340 km
2
dengan garis pantai sepanjang 234 km telah menarik penduduk yang pada tahun 1980 kurang dari 1 juta jiwa menjadi sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2001.
Kegiatan ekonomi meningkat dengan pembangunan pelabuhan, transportasi laut, perkapalan, perikanan, permukiman pesisir, hotel, dan aquaculture serta wisata
bahari. Program ICZM telah mereduksi multi konflik akibat pemanfaatan wilayah yang tumpang tindih dan meningkatkan perlindungan terhadap satwa langka
seperti ikan lumba-lumba putih yang di dunia hanya ada di pesisir Xiamen. Dalam waktu sekitar 8 tahun manfaat sosioekonomi yang diperoleh dari program
ICZM telah meningkat sekitar 40 . Pendapatan dari pelabuhan meningkat 4.4 kali, pendapatan dari transportasi meningkat 35.09 kali, pendapatan dari
perikanan menurun 0.7 kali, pendapatan dari pariwisata meningkat 2.74 kali dan pendapatan total meningkat 3.1 kali. Menurut UNDP, ICZM yang diterapkan di
Xiamen, Cina dianggap berhasil dan dapat dijadikan pembelajaran bagi negara maritim lainnya.
WRI–IUC–UNEP 1992 dalam publikasi ilmiahnya yang berjudul Global Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save, Study, and Use Earth’s Biotic
Wealth Sustainably and Equitably mengemukakan konsep Bioregion yaitu batas darat dan perairan yang ditentukan bukan oleh batas secara politik, akan tetapi
oleh batas geografis dari komunitas manusia dan sistem lingkungan . Luas area ini harus cukup besar guna mempertahankan integritas komunitas biologi wilayah
tersebut; untuk menyokong proses ekologi yang penting seperti siklus nutrien
dan limbah, migrasi dan aliran arus; untuk menjaga habitat dari spesies penting;
dan juga komunitas manusia. Hanson 2007 dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Upaya
Pengurangan Risiko Bencana di Pesisir coastal disaster counter measures mengemukakan bahwa upaya pencegahan bencana pesisir dapat dilakukan
dengan berbagai upaya, yaitu Tidak ada tindakan no action, RelokasiMundur retreat, AkomodasAdaptasi accommodationadaptation, Stabilisasi slope
protectionrevetmentseawall, Pemecah ombak breakwaterdetached
breakwater, Penahan sedimentasi sejajar pantai groyne, Pengaman pantai beach protective dan vegetasi.
• Tidak ada tindakan no action adalah tetap meneruskan kegiatan
pembangunan seperti biasa, dimana penggunaan lahannya sangat tidak teratur dengan keuntungan tidak dibutuhkan biaya pengelolaan, tidak ada
dampak sampingan dan tidak ada pembangunan konstruksi. Tetapi kerugiannya adalah berlangsungnya abrasi dan banjir pesisir yang
berkelanjutan, serta dibutuhkannya biaya tidak langsung yang cukup besar seperti evakuasi warga yang menjadi korban bencana, pembangunan
hunian sementara, rehabilitasi kawasan dan kegiatan sosioekonomi yang terganggu.
•
Relokasi retreat dengan memundurkan permukiman menjauh dari
pantai. Sebagai bentuk pembangunan skala rendah secara umum melaksanakan evakuasi gradual dengan durasi dan tempo yang cukup
seimbang serta adanya perubahan nilai kepemilikkan. Keuntungan yang diperoleh adalah kegiatan pembangunan skala rendah dengan biaya sedang.
Tetapi kerugiannya adalah berkurangnya fungsi lahan dan perlu investasi serta implikasi sosial secara luas.
• Akomodasi melalui upaya adaptasi yaitu meninggikan hunian
dengan mengangkat lantai rumah sedemikian rupa sehingga terhindar dari hantaman gelombang pasang. Keuntungannya adalah tidak ada masalah
sosial dan pembangunan prasarana perlindungan pantai. Tetapi kerugiannya adalah semua pembiayaan pembangunan dipikul sendiri, dan jika
konstruksinya kurang baik berisiko rubuh dihantam gelombang pasang atau tsunami.
• Stabilisasi dengan membuat pengaman lereng slope protectionseawalls
pemecah ombak breakwaterdetached breakwater, tanggulkrib groyne, pengaman gisik protective beaches dan vegetasi.
o Pengaman lereng slope protectionrevetmentseawalls yang memisahkan
daratan dan lautan untuk meredam hantaman gelombang. Kerugiannya biaya awal cukup tinggi, mengurangi akses ke pantai, meningkatkan
refleksi gelombang, tidak ada proteksi tanggul pantai dan abrasi jatuh menyimpang.
o Pemecah gelombang breakwater yang sejajar dengan pantai atau
terpisah tetapi tetap sejajar pantai detached breakwater. Keuntunganya efisien menahan pergerakan sedimentasi, melindungi terjadinya abrasi
lepas pantai, energi gelombang terbatas dan tidak ada struktur di pantai. Kerugiannya tidak melindungi terhadap banjir, erosi jatuh menyimpang.
o Krib groyne yang tegak lurus pantai dengan konstruksi dan panjang
yang terbatas
untuk mencegah sedimentasi yang bergerak sejajarsepanjang pantai, menghambat abrasi atau mencegah material
pantai runtuh tergerus ke lokasi sedimentasi yang bergerak tadi. Kerugiannya abrasi jatuh menyimpang.
o Pengaman gisik protective beaches dengan membuat gunuk dune
kondisi pasca kerusakan minor, biayanya murah, estetis dan tahan lama. Kerugiannya adalah sensitif terhadap gelombang yang berkepanjangan,
dan awal perawatannya memerlukan persyaratan tertentu .
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian