praktek pembangunan, sudah banyak diterapkan dalam penelitian pengembangan wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah
dilaksanakan di 25 negara pesisir Benua Afrika bagian Barat telah berhasil menyusun kebijakan inisiatif pengurangan kemiskinan poverty reduction iniative
policy, dan mengidentifikasi bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan over-exploited fish
resources . PMB SLA sebagai suatu penelitian yang dipersiapkan untuk menjadi
suatu kerangka kebijakan dan sudah diterapkan di 25 negara Afrika tersebut Allison dan Horemans, 2006, untuk dapat diterapkan di negara kepulauan yang
rawan bencana seperti Indonesia ini, nampaknya masih perlu disintesiskan dengan PWP dan berbagai konsep pembangunan lainnya agar terpadu. Guna
mewujudkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang sesuai dengan
permasalah di dua lokasi penelitian di Indonesia.
2.5. Mitigasi Bencana Alam
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis Coburn et al., 1994.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat Carter, 1991. Dengan
demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam BNPB,
2007. Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil
pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga
hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Menurut Diposaptono 2007 dan Latief
2008
, upaya mitigasi bencana
secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya strukturfisik
hardsoft solution yang sering disebut hardware dan upaya non strukturnon fisik yang disebut juga dengan software.
• Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua
metode yaitu metode perlindungan alami revegetasiremangrovisasi, sand dune, pengisian gisik beach nourishment, dll dan metode perlindungan
buatan seperti peredam abrasi bank revetment, pemecah ombak breakwater, pengaman lereng slope protectionseawall, dll.
• Upaya non struktur yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana
seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait, norma standar prosedur manual NSPM dan sosialisasi yang
intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan
resiko bencana mitigasi bencana seperti pelatihan penyelamatan diri.
Mitigasi pada umumnya sangat spesifik terhadap tipe bencana yang dampaknya akan direduksi Depdagri, 2006. Pada bencana gelombang
pasang, tindakan mitigasi yang dilakukan saat ini umumnya meliputi:
• Kajian bahaya identifikasi dan peta rendaman gelombang pasang
• Real time monitoring gelombang pasang dan sistem peringatan
dini pendistribusian informasi kepada penduduk. •
Pemberdayaan masyarakat respons dan awareness penduduk Applegate, et al. 2006 menyatakan bahwa pasca bencana tsunami
Samudra Hindia 2004 dan Huricane Teluk Mexico Katrina dan Rita 2005, menghimbau negara-negara maritim diseluruh dunia untuk melakukan perbaikan
pengamatan pengurangan risiko bencana. Dinyatakan bahwa tidak mungkin mengurangi jumlah bencana yang akan terjadi, tetapi dapat dan harus
mengurangi risiko bencana yang terjadi. Langkah penting yang segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan.
Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat - Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005 menyebutkan
tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana three themes in moving towards a
disaster resilient society yaitu :
• Menyediakan informasi bahaya bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan
• Memahami proses alamiah gejalatanda bahaya
•
Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai Hurikane, gunungapi, longsor dan
Bencana
Kedaruratan Pemulihan
Pencegahan Mitigasi
Pembangunan Kesiapsiagaan
Pra Bencana
Pasca Bencana
Bahaya Langsung Yang Berpotensi Merusak Aset Bangsa dan Negara
amblesan due to tsunami, severe storms including hurricane, volcanoes, landslides and settlements.
2.5.1. Siklus Penanggulangan Bencana Alam
Pasal 1 ayat 5 UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi: penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
dan rehabilitasi Gambar 11. Mitigasi bencana sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 47 UU No. 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana.
Oleh karena itu keberhasilan upaya mitigasi ini pada hakekatnya ditentukan oleh
kemampuan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana tersebut. Jika
kemampuannya tinggi maka risikonya kecil, dan jika kemampuannya rendah
maka risikonya besar. Dengan demikian diperlukan pemberdayaan masyarakat,
dan untuk itu motivasi mempunyai peran yang sangat besar. Mangkuprawira 2007 menyatakan bahwa motivasi dapat berasal dari masyarakat itu sendiri,
tetapi juga bisa dibangkitkan dari l uar. Oleh karena itu keberhasilan upaya mitigasi ditentukan oleh peran serta masyarakat.
Gambar 11. Siklus penanggulangan bencana
Sumber : Diolah dari UU No. 24 Tahun 2007 dan Manajemen Bencana, Carter 1991
Forum Mitigasi 2007 membedakan mitigasi bencana atas dua macam, yaitu mitigasi pasif non struktural dan mitigasi aktif struktural.
2.5.1.1. Mitigasi Pasif Non Struktural
• Penyusunan peraturan perundang-undangan.
• Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta
pemetaan masalah. •
Pembuatan pedomanstandarprosedur. •
Pembuatan brosurposter. •
Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan contigency plan. •
Penelitianpengkajian karakteristik bencanaanalisis risiko bencana •
Internalisasi penanggulangan bencana PB dalam muatan lokal pendidikan. •
Pembentukan satuan tugas bencana perkuatan unit-unit sosial masyarakat. •
Pengarusutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi
2.5.1.2. Mitigasi Aktif Struktural
• Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki
daerah rawan bencana atau tanda peringatannya. •
Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman. •
Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi. •
Pembuatan bangunan struktur Hanson, 2007 seperti: pengaman lereng
slope protectionseawalls,
pemecah ombak breakwaterdetached
breakwater, krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik groyne, dan pengaman gisik beach protective.
Coburn et al., 1994 menyebutkan bahwa mitigasi struktural meliputi upaya fisik yang dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Selanjutnya
Hanson 2007 merinci bahwa mitigasi struktural antara lain sistem peringatan dini, pembangunan pemecah ombak breakwater, peredam abrasi bank
revetment, kribtanggul tegak lurus untuk mencegah gerakan sedimentasi sejajar gisik groyne pembuatan permukiman panggung, relokasi permukiman retreat,
coastal protection dunevegetation, dan slope protection sea wall. Kemudian Latief 2008 menambahkan bahwa dalam rangka stabilisasi pesisir diperlukan
upaya lain yaitu pengisian gisik beach nourishment, remangrovesasi, perlindungan gisik alami dengan menaikkan tanahpasir ditutupi vegetasi, serta
menumbuh kembangkan terumbu karang reef replantationartificial reef. Pemecah ombak breakwater adalah struktur yang berfungsi sebagai
pemecah gelombang, sedemikian rupa sehingga dibelakang struktur tercapai perairan yang tenang Latief, 2008. Peredam abrasi bank revetment adalah
suatu struktur yang dibangun untuk melindungi pantai beach protection dari gelombang, biasanya dibangun dari batu yang diletakan di permukaan yang
miring. Pengaman lereng slope protection seawall adalah suatu struktur yang dibangun di sepanjang pantai untuk melindungi pantai dan kerusakan lain dari
pukulan gelombang. Umumnya lebih padat dan mampu bertahan terhadap kekuatan gelombang besar dibandingkan dengan sebuah bangunan sekat bulk
head Puradimaja, 2007a. Pengisian gisik beach nourishment adalah kegiatan menambang pasir
di lepas-pantai dan ditempatkan di pantai untuk mengganti pasir yang tergerus oleh gelombang atau ombak. Hal ini dilakukan untuk melindungi fungsi dari
pantai dan rekreasi Wikipedia, 2008. Erchinger 1984 dalam Setyandito 2008, merumuskan bahwa tujuan utama pembuatan pantai pasir buatan antara lain:
• Pembuatan dan atau restorasi pantai rekreasi
• Reklamasi pantai
• Pemeliharaan garis pantai terhadap chronic abrasion atau lee-side abrasion
• Pengurangan energi gelombang datang ke pantai atau dune
Krib sejajar pantai groin adalah selain dengan krib tegak lurus pantai maka untuk menanggulangi erosi akibat tidak seimbang suplai sedimen dan
kapasitas angkutan Latief, 2008. Setyandito 2008 menambahkan bahwa groin adalah bangunan yang dipergunakan untuk :
• Mempertahankan agar gisik buatan artificial beach dapat bertahan dalam
waktu yang cukup lama •
Menekan biaya perawatan agar supaya tidak terlalu mahal; dengan adanya bangunan pelindung material pasir yang hilang dapat ditekan
Terumbu karang buatan artificial reef adalah bentuk bangunan atau benda yang di turunkan kedasar perairan sehingga berfungsi layaknya habitat
ikan. Banyak bentuk konstruksi dan jenis material yang diaplikasikan pada terumbu buatan, dari balok kayu biasa, papan, kotak beton, kotak besi dan kapal,
bus bekas dan bahkan ban bekas. Dewasa ini dalam kegiatan yang disebut sebagai perbaikan ekosistem terumbu karang, banyak dilakukan dengan cara
transplantasi terumbu karang dan pembuatan terumbu karang buatan artificial reef yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai ‘rumpon’ Mawardi, 2003.
2.5.2. Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana Alam
• Ada beberapa upaya dalam mengurangi risiko bencana yaitu Bappenas dan
BNPB, 2007 atau mitigasi dijadikan prioritas nasional dan daerah dengan didukung oleh sistem kelembagaan yang kuat
• Melakukan identifikasi, kajian dan pemantauan risiko bencana dan
memperkuat peringatan dini •
Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap bencana
• Mengurangi faktor utama penyebab bencana
• Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk menjamin pelaksanaan
tanggap darurat yang efektif .
2.5.3. Gambaran Risiko Bencana Alam
Gambaran risiko bencana alam yang dapat terjadi Bappenas dan BNPB, 2007 adalah sebagai berikut :
• Ancaman Bahaya hazard
Ada dua macam potensi bahaya, yaitu potensi bahaya utama main hazard dan potensi bahaya ikutan collateral hazard. Beberapa potensi
tersebut, antara lain adalah gempa bumi, tsunami, gelombang pasang dan
abrasi.
• Kerentanan vulnerability
Kerentanan adalah keadaan atau perilaku manusia atau masyarakat yang Menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman.
Kerentanan dapat berupa fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
• Kemampuan capability
Kemampuan adalah kesiapan masyarakat menghadapi bahaya. Disini kemampuan adalah kebalikan dari kerentanan, semakin mampu
masyarakat semakin kecil kerentanannya.
• Risiko risk
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana, tetapi semakin tinggi tingkat
kemampuan masyarakat semakin kecil risiko yang dihadapinya. Kaitan antara kemampuan lingkungan, kerentanan, dan risiko bencana dapat dilihat
pada Gambar 12.
Gambar 12. Kaitan kemampuan lingkungan, kerentanan dan risiko bencana
Sumber : Diolah dari Mitigasi Bencana, Coburn et al., 1994
2.5.4. Pemetaan Risiko Bencana Alam
Guna menerapkan berbagai hal yang telah dikemukakan, maka berbagai risiko bencana seyogyanya divisualisasikan dalam bentuk peta
risiko bencana dan untuk itu dibutuhkan sejumlah data lihat Tabel1. Tabel 1. Data yang dibutuhkan untuk pembuatan peta risiko bencana alam
Sumber : Bappenas -BNPB 2007
No Kebutuhan Data
1 Kabupaten ‘rawan bencana’ 2007
2 Data dan Peta Penggunaan Lahan
3 Data Tingkat Konversi Guna Lahan dalam 5 tahun terakhir
4 Data Keberadaan Obyek Vital 2007
5 Data dan Peta Pola Penyebaran Pemukiman
6 Data Kesehatan dan Kemiskinan
7 Data Histori Banjir dan Gempa bumi
8 Data dan Peta Prasarana Jalan
9 Data KebijakanPeraturan Daerah yang mengatur tentang kebencanaan
di kabupaten rawan bencana tersebut 10
Data Infrastruktur dan Bangunan termasuk yang terkait dengan IMB 11
Data Kegiatan Pemerintah dan Masyarakat Pelatihan, Sosialisasi, Penyuluhan dll tentang kebencanaan sejak tahun 2002-2007
12 Data Partisipasi Masyarakat dalam kebencanaan Organisasi
Masyarakat 13
Data Histori Banjir dan Tanah Longsor 14
Data Histori Kekeringan Kabupaten rawan bencana 15
Data Histori Tsunami di Kabupaten rawan bencana
Kemampuan Lingkungan
Pesisir Berkurang
Kerentanan Bertambah
Risiko Bencana
Berkurang Kemampuan
Lingkungan Pesisir
Bertambah Kerentanan
Berkurang Risiko
Bencana Bertambah
Hal ini diperlukan sebagai acuan pengakomodasian kegiatan yang akan dilaksanakan disuatu wilayah. Sehingga proses penataan ruang memiliki
legitimasi dari aspek kebencanaan Bappenas dan BNPB, 2007. Selain itu peta risiko bencana ini merupakan respon terhadap himbauan
BAKOSURTANAL yang menyatakan bahwa peta yang dibutuhkan untuk menghadapi bencana alam harus lebih detail daripada peta rupa bumi yang
biasa dibuat oleh BAKOSURTANAL dengan skala 1:25.000. Untuk perencanaan antisipasi dan evakuasi bencana alam daerah diperlukan peta yang lebih detil
yaitu skala 1:2.500. Sejauh ini BAKOSURTANAL hanya bertugas membuat sistem standar agar sebuah peta yang dibuat oleh instansi tertentu mudah
dimengerti oleh instansi lainnya Matindas dalam Komara, 2006. Peta yang lazim disebut peta risiko bencana atau peta rawan bencana adalah suatu peta
tematik, artinya peta yang mengusung hanya satu atau beberapa tema misalnya peta kerawanan longsor atau gunungapi dan seterusnya. Ini berbeda dengan
peta umum yang menyajikan kondisi topografi seperti lokasi jalan, gunung, sungai, informasi ketinggian, dan tutupan lahan dan batas administrasi batas
kecamatan atau kabupaten yang biasa disebut peta rupa bumi sebagai terjemahan dari topographic map. Peta rupa bumi biasanya dijadikan peta dasar
bagi berbagai peta tematik yang dibuat secara spesifik untuk keperluan khusus tersebut.
2.6 Keterkaitan Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir,