1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan eksistensi suatu organisasi ditentukan oleh bagaimana organisasi tersebut dapat memenuhi keinginan pelanggan. Leigh et al. 2000
menyatakan bahwa analisis kebutuhan pelatihan atau penilaian kebutuhan kebutuhan pelatihan merupakan langkah strategis dalam pengelolaan organisasi
dalam bentuk intervensi pengembangan sumberdaya manusia melalui proses mengidentifikasi
gap antara
kinerja yang diperlukan dan kinerja saat ini.
Dahiya dan Jha 2011 menyampaikan tujuan dari penilaian kebutuhan pelatihan adalah untuk memprioritaskan penyelesaian masalah kinerja dengan mengetahui
gambaran berupa kondisi riil yang terjadi,
seberapa pentingnya, bagaimana penjelasannya, bagaimana didefinisikan, bagaimana usulan perbaikan, dan apa
yang menjadi prioritas. Analisis kebutuhan pelatihan sangat penting dilakukan karena menyediakan informasi mengenai tingkat keterampilan skill dan
pengetahuan knowledge sumberdaya manusia organisasi. Dengan informasi ini, manajemen dapat mengetahui gap antara kebutuhan organisasi dan kapabilitas
karyawan. Pelatihan yang diselenggarakan dapat difokuskan untuk mengisi gap tersebut.
Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui kegiatan mengidentifikasi persyaratan kinerja, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan tenaga kerja
yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sebelum melakukan penilaian kebutuhan pelatihan setidaknya harus melakukan analisis terhadap tiga
aspek utama terlebih dahulu, tiga aspek dimaksud adalah : organisasi, operasijabatan, dan individu Cascio 1992; Schuler 1993; Erasmus et al. 2000;
Miller 2002; Bernardin 2003; MDF 2005; dan Wulandari 2005. McClelland 1993 dalam Dahija dan Jha 2011 menyatakan bahwa penilaian kebutuhan
pelatihan training needs assessment adalah suatu metode yang populer dan berharga
bagi pengembangan
sumberdaya manusia
dalam menentukan
keterampilan sebuah organisasi, pengetahuan dan bakat. Selain itu, metode ini menyediakan
informasi mengenai
kebutuhan pelatihan
yang dapat
diimplementasikan secara efektif dengan implikasi yang luas.
Kebiasaan masyarakat dalam bercocok tanam di wilayah kehutanan dengan cara membuka lahan baru, memberikan kontribusi terhadap penggundulan hutan
lindung. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Banten dalam mengurangi dampak kegiatan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat melalui penguatan organisasi petani dengan pola usaha agribisnis terpadu antara usahaternak domba dan sayuran Nurcahyati, 2009. Kampung
Domba Ternak dalam penulisan selanjutnya disingkat KDT, terletak di Kampung Cinyurup, Kelurahan Juhut, Kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten dibentuk sebagai Buffer Zone kawasan penyangga karena lokasi tersebut berbatasan dengan kawasan hutan lindung yang dapat menyediakan
ketersediaan rumput lapangan dan leguminosa sepanjang tahun dengan kualitas yang baik. Pola pikir yang dikembangkan adalah dengan memberdayakan
masyarakat sekitar hutan melalui usaha pemeliharaan ternak domba, maka usahatani sayuran yang banyak merambah hutan sekitar dapat dikendalikan
melalui usaha konservasi dan keterkaitan usahatani integrasi tanaman – ternak. Pelatihan dalam pembangunan masyarakat bertujuan untuk mengubah
perilaku masyarakat dalam arti luas. Keterbatasan kemampuan yang dialami petani di perdesaan relevan dengan tingkat pendidikan sehingga menyebabkan rendahnya
produktivitas kerja Sudirman, 2006. Hasil penelitian terhadap organisasi petani di Cianjur Jawa Barat menyimpulkan bahwa petani belum memiliki kompetensi
aktual yang memadai untuk berperan optimal Alimin, 2004. Pelatihan sebagai human investment, mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin di
perdesaan, karena dalam jangka pendek kegiatan pelatihan telah berhasil menciptakan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan setelah terlebih
dahulu meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya melalui pelatihan. Merujuk kepada laporan yang diterbitkan oleh Kemristek 2011 tentang
bantuan yang diberikan kepada program KDT Cinyurup Banten dari kurun waktu tahun 2007 sampai 2011 diketahui bahwa jenis bantuan yang bersifat manajemen
sebanyak 12 kegiatan atau sebesar 28,57, sedangkan jenis bantuan yang bersifat teknis sebanyak 30 kegiatan atau sebesar 71,43. Jenis bantuan yang bersifat
manajemen teridentifikasi sebanyak 1 kegiatan atau sebesar 8,33 2,38 dari jumlah keseluruhan bantuan berkaitan dengan kemampuan pengendalian berupa
penyusunan studi kelayakan usaha, dan sebanyak 11 kegiatan atau sebesar 91,67 26,19 dari jumlah keseluruhan bantuan
berkaitan dengan kemampuan pemanfaatan alat produksi. Jenis bantuan yang bersifat teknis teridentifikasi
sebanyak 12 kegiatan atau sebesar 40 28,57 dari jumlah keseluruhan bantuan berkaitan dengan bantuan sarana dan peralatan, sebanyak 14 kegiatan
atau sebesar 46,66 33,33 dari jumlah keseluruhan bantuan berkaitan dengan bantuan bibit ternak, dan sebanyak 4 kegiatan atau sebesar 13,34 9,53 dari
jumlah keseluruhan bantuan berkaitan bantuan pemeliharaan ternak Tabel 1.
Tabel 1. Keragaman Jenis Bantuan Kurun Waktu Tahun 2007 sd 2011.
No. Uraian
Volume Kegiatan
Prosentase Kegiatan Terhadap
Terhadap Bidangnya
Keseluruhan 1.
Bidang Manajemen 12
100,00 28,57
a.Kemampuan pengendalian 1
8,33 2,38
b.Kemampuan pemanfaatan alat 11
91,67 26,19
Produksi 2.
Bidang Teknis 30
100,00 71,43
a.Sarana dan peralatan 12
40,00 28,57
b.Bibit ternak 14
46,66 33,33
c.Pemeliharaan ternak 4
13,34 9,53
Jumlah 42
100,00
Sumber : Kemristek, 2011.
Keragaan tersebut menggambarkan bahwa prosentase bantuan yang diberikan kepada program KDT Cinyurup Banten kurun waktu tahun 2007 sd
2011, bantuan yang bersifat teknis 71,43 lebih tinggi dibandingkan bantuan yang bersifat manajemen 28,57. Namun besarnya prosentase tersebut tidak
serta merta mengatasi permasalahan yang ditemui di lapangan. Kajian dari Bank Indonesia Serang 2011 menyatakan bahwa kendala teknis yang muncul di
tingkat petani adalah : 1 kurangnya pemahaman mengenai pemeliharaan ternak, hal ini tercermin dari pemberian pakan oleh petani yang belum efisien. Jika diukur
secara kuantitas berlebih, namun tidak memperhatikan komposisi sesuai status fisiologik ternak, 2 pemberian pakan masih didominasi rumput liar sebesar
73,31 dan dedaunan sebesar 18,65, 3 ketergantungan bibit unggul dari luar daerah Garut bagi peternak kecil menjadi kendala tersendiri.
Identifikasi dari aspek manajemen menunjukan bahwa keragaan tingkat pendidikan sumberdaya manusia pengurus gapoktan rata-rata hanya tamat
Sekolah Dasar. Hal ini menyebabkan mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan teknis, administrasi, ataupun manajerial. Permasalahan lain
adalah kurangnya pembinaan terhadap kepengurusan gapoktan. Jika merujuk kepada Tabel 1 dimana prosentase bantuan yang bersifat manajemen sebesar
28,57 dari total bantuan yang diterima, jelas menambah keterpurukan dari eksistensi gapoktan itu sendiri
. Pemberdayaan
petani dengan
pendekatan organisasi
secara formal
merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaan. Hasil penelitian Pranadji et al. 2004 mengemukakan bahwa
gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi ekonomi petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hal ini disebabkan kebijakan “blue
print approach” dimana kebijakan tersebut mengandung kelemahan karena bersifat umum, disusun dan dipikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat
Uphoff, 1986 dalam Syahyuti, 2011. Dari sisi lain, keberhasilan organisasi
selain ditentukan oleh kompetensi sumberdaya manusianya, juga pengaruhi oleh faktor lain, yaitu kelembagaan. Doliver 1993 dalam Wulandari 2005
menyatakan manajemen tidak dapat menentukan pelatihan begitu saja tanpa menganalisis dahulu kebutuhan dan tujuan apa yang ingin dicapai. Penilaian
kebutuhan merupakan “road map” untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, oleh karena itu penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah