5.7 Outcome Kegiatan Kampung Domba Terpadu
Program KDT adalah salah satu bentuk program problem solving yang berhasil dalam pelaksanaannya. Setidaknya tiga tujuan dari program ini telah
tercapai. Pertama, sebagai upaya kawasan penyangga hutan dan lingkungan buffer zone dimana kawasan yang dahulunya gundul, sudah mulai menghijau
kembali. Kedua, pengalihan aktivitas usahatani dari usahatani sayuran dan mencari kayu bakar menjadi usaha terintegrasi sayuran dan ternak domba, secara
skala usaha ekonomi usaha ternak domba memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani. Ketiga, pemanfaatan sumberdaya alam sekitar
yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi. Diantaranya pemanfaatan rumput yang melimpah sebagai pakan ternak domba, pemanfaatan tanaman liar talas
beneng yang sudah menjadi bahan olahan rumah tangga yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan.
Beberapa indikator tentang keberhasilan program ini adalah : 1. Peningkatan jumlah anggota gapoktan dari 180 orang pada tahun 2011 menjadi
226 orang pada Juni 2012. 2. Peningkatan jumlah kelompok tani yang bergabung dari 9 kelompok tani pada
tahun 2011 menjadi 11 kelompok tani pada Juni 2012. 3. Peningkatan pengelolaan domba dari 768 ekor dengan pinjaman bergulir 493
ekor pada tahun 2009 menjadi 2.044 ekor pada Juni 2012. 4. Peningkatan jumlah petani koperator yang terlibat dalam usaha ternak domba
gapoktan dari 76 kepala keluarga pada tahun 2009 menjadi 186 kepala keluarga pada Juni 2012.
5. Peningkatan skala usaha ternak domba dari rata-rata 1-4 ekor per kepala keluarga pada tahun 2009 menjadi 4-7 ekor per kepala keluarga pada Juni
2012. Hal ini mencerminkan dalam kurun 5 tahun terakhir di KDT Cinyurup Banten
telah terjadi perubahan baik di dalam perilaku petani di dalam hubungan satu sama lainnya, atau dengan lingkungan sekitar kawasan hutan lindung baik secara
sosial, ekonomi maupun biofisik.
5.8 Implikasi Manajerial
Dari hasil penelitian, dibuktikan bahwa kompetensi sumberdaya manusia gapoktan belum memenuhi kategori baik tetapi masih bisa mengimbangi terhadap
aktivitasnya dan berhasil dalam pelaksanaannya. Kondisi ini menjadi menarik untuk diungkap merujuk kepada Wright dan Geroy 1992 dalam Dahiya dan Jha
2011 yang mengkritisi keterbatasan analisis kebutuhan pelatihan, disampaikan bahwa sekitar 80- 90 produktivitas organisasi dipengaruhi oleh lingkungan
kerja atau budaya, hal ini seringkali menyebabkan hasil analisis kebutuhan pelatihan sering tidak efektif. Abdullah 2009 menyatakan bahwa salah satu
faktor yang
mempengaruhi hal
tersebut adalah
karateristik organisasi.
Berdasarkan pengalaman, banyak organisasi petani di Indonesia yang tidak berhasil dalam pengembangannya dikarenakan organisasi tersebut tidak dibangun
dari kekuatan nilai-nilai sosial yang ada dimasyarakat tersebut. Syahyuti 2011 dalam suatu penelitian mengemukakan tentang pengalaman meneliti ratusan
organisasi petani di Indonesia, jika ada satu-dua organisasi petani yang bagus; itu merupakan berkah yang jarang terjadi karena disebabkan “diketemukannya”
pemimpin organisasi yang bagus. Pendekatan top-down planning menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi anggota dalam berorganisasi.
Informasi “kekuatan” sesungguhnya dari organisasi ini belum terungkap dengan baik. Berdasarkan hasil FGD, pengembangan produktivitas petani
didukung oleh kelembagaan KDT. Ada dua kekuatan yang membuat program KDT berhasil, yaitu :
1. Intervensi Pokja, sejalan dengan hasil kajian empiris Suradisastra et al 2011 dimana
masing-masing elemen
yang terlibat
dalam program
KDT mendapatkan dampak positif. Diantaranya : Kehutanan mendapatkan dampak
dari kelestarian hutan lindung, Dinas Ketahanan Pangan mengembangkan tanaman pangan melalui integrasi tanaman-ternak, dan Dinas Peternakan
memiliki program percontohan model pengembangan ternak. 2. Kelembagaan lokal, yang di bagi ke dalam tiga faktor utama, yaitu :
a. Kepemimpinan lokal yang baik dimana peran kepemimpinan lokal direpresentasikan setidaknya oleh tiga orang, yaitu : penyuluh pendamping,
ketua gapoktan dan wakil ketua gapoktan. Peran yang dilakukan oleh
mereka adalah sebagai fasilitator yang memberikan komitmen, solusi yang realistis, dan memberikan pembinaan pola “irama gendang”; lalu sebagai
filter informasi, penyiapan kaderisasi dan memberikan pengaruh positif terhadap perubahan perilaku, sikap, dan keterampilan.
b. Kemandirian lokal dalam bentuk swadaya modal. Permasalahan permodalan disiasati melalui kegiatan iuran anggota, denda ketidak hadiran, dan iuran
dana sosial. Dimana penggunaan dana tersebut untuk kesejahteraan anggota, semisal : pembelian bibit, modal usaha, kepentingan sosial bedah rumah,
santunan kematian, bantuan pendidikan. c. Aturan main lokalita yang ditentukan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Diantaranya : denda ketidakhadiran masuk ke dalam kas kelompok, anggota yang tidak mengembalikan ternak sesuai kesepakatan diambil oleh pengurus
dan diberikan kepada anggota lain berdasarkan pertimbangan bersama.
Beberapa best practice mengenai kekuatan kelembagaan dalam organisasi petani di Indonesia, antara lain : kelembagaan Banjar dan Subak yang ada di Bali, dan
Pemerintahan Marga yang ada di Bengkulu. Banjar dan Subak masih bisa ditemukan sampai saat ini, namun pemerintahan marga telah mati sejak tahun
1970 seiring kebijakan proses penyeragaman pemerintahan desa di Indonesia melalui UU No.5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa.
Berdasarkan paparan tersebut dan mengingat bahwa program KDT rencananya akan dilepas intervensinya secara perlahan menjadi kemandirian
usaha pada tahun 2013, maka alternatif solusi yang dikembangkan di KDT dalam waktu yang tidak terlalu lama adalah :
1. Indikator kemandirian usaha Gapoktan Juhut Mandiri direfleksikan dengan terwujudnya usaha bisnis berupa Usaha Mikro Kecil dan Menengah UMKM.
Usaha bisnis ini memerlukan kompetensi yang memadai untuk mengelola organisasi agar dapat memahami bagaimana visi bisnis dapat dioperasionalkan
dengan tepat, sehingga kompetensi ini menjadi suatu syarat mutlak sebagai upaya menumbuhkembangkan wirausaha yang berbasis pada kompetensi yang
memadai. Dari hasil analisis gap diketahui bahwa kemampuan perencanaan dan pengendalian adalah dua urutan teratas yang memiliki gap terbesar.
Kondisi ini harus ditindaklanjuti melalui penetapan skala prioritas kebutuhan pelatihan dengan mempertimbangkan faktor karateristik petani dan kurikulum
materi yang dibutuhkan. 2. Membatasi jumlah aktivitas kunjungan ke Gapoktan Juhut Mandiri melalui
pengelolaan frekuensi dan substansi aktivitas kunjungan agar tidak berdampak negatif terhadap petani.
3. Segera melakukan kaderisasi baik dari sisi penyuluh pendamping yang dibatasi oleh masa penugasan, dan kepengurusan gapoktan yang berfungsi melayani
dan memfasilitasi kegiatan anggota gapoktan. Belajar dari pengalaman, penerimaan peran orang “asing” oleh komunitas gapoktan di filter oleh
investasi “kepercayaan” yang tidak mudah didapatkan memerlukan waktu. 4. Menyarankan
kepada penyuluh
pendamping dan
pengurus gapoktan
mengikutsertakan secara aktif “lapis keduanya” dalam aktivitas gapoktan. Hal ini sangat penting dilakukan sebagai proses kaderisasi.
5. Memberikan bantuan kepada petani untuk mengatasi masalah pemasaran produknya. Karena tuntutan terhadap produktivitas tanpa disertai jaminan hasil
penjualan produk, akan mempengaruhi motivasi dalam aktivitasnya. 6. Memastikan bahwa sebelum intervensi dilepas, petani sudah dibekali dengan
kompetensi yang memadai sehingga mereka dapat memanfaatkannya sebagai modal untuk mencapai kemandirian usaha.