Teori Kelembagaan Teori Organisasi

2.2.3 Teori Kelembagaan Baru

Interaksi antara Teori Kelembagaan dan Teori Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru new institutionalism theory. Studi mengenai hal ini mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian organizational forms dan lapangan organisasi organization fields. Beberapa teori yang mempengaruhi munculnya Teori Kelembagaan Baru adalah Teori Birokrasi Weber, Teori Kelembagaan Kultural Parsons, Teori Rasionalitas Organisasi Simmon dan March, Teori Kelembagaan Terhadap Organisasi Selznick, dan Teori Lingkungan Kelembagaan Alexander. Syahyuti 2010 menegaskan bahwa ada tiga elemen yang menjadi akar dari pembentukan teori ini, yaitu: aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif. Pertama, aspek regulatif perhatiannya tertujukan pada aturan rule yang ada dan “keuntungan apa” yang akan diperoleh pelaku dalam bertindak. Diyakini bahwa masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan, dan berperilaku dengan melihat aturan. Masyarakat akan berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan menggunakan atau berkelit dari aturan yang ada. Karena, dalam perspektif ini masyarakat dipandang sebagai makhluk yang rasional. Kedua, aspek normatif perhatiannya tertujukan pada norma-norma yang hidup dan disepakati ditengah dimasyarakat. Norma sebagai penentu pokok perilaku individu dalam masyarakat, bersifat membatasi sekaligus mendorong individu. Norma pada hakekatnya menjelaskan tentang kewajiban individu. Ketiga, aspek cultural-kognitif perhatiannya tertujukan pada pengetahuan kultural yang dimiliki oleh individu dan masyarakat dengan menggunakan perspektif pengetahuan. Intinya, dinyakini bahwa manusia memaknai segala hal diseputarnya, termasuk norma dan regulasi, namun ia tidak langsung patuh sepenuhnya. Ia memaknai lagi norma dan regulasi yang ada, lalu memilih sikap dan perilakunya sendiri. Sehingga manusia sebagai aktor yang aktif. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, lembaga dirumuskan sebagai yang menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat.

2.3 Organisasi Petani

Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaannya. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal. Sebagian besar organisasi petani dibentuk untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dan kepentingan administratif bagi pelaksana program. Penelitian Pranadji et al. 2004 mengemukakan bahwa gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi ekonomi petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hingga kini organisasi petani yang dibentuk dari atas hampir tidak ada yang mampu bertahan hidup dengan tingkat daya saing tinggi.

2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani

Negara dan pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang mempengaruhi berjalannya organisasi petani. Modernisasi sangat mewarnai pendekatan pemerintah dalam pembangunan pertanian. Corak kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk desa” dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” Sajogyo, 2002. Melalui Revolusi Hijau, terjadi introduksi teknologi, birokrasi dan pasar. Namun pendekatan yang disebabkan modernisasi tersebut menimbulkan dampak, antara lain : 1 timbulnya pelapisan sosial dan akumulasi penguasaan lahan, 2 hilangnya nilai egaliter dalam masyarakat, 3 hubungan patron-klien melemah digantikan hubungan komersial kalkulasi untung-rugi. Kondisi sosial politik ini memberikan lingkungan yang kurang kondusif untuk berkembangnya organisasi petani yang kuat dan berakar Syahyuti, 2010. Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian Syahyuti 2010 bahwa eksistensi organisasi milik petani bergantung kepada kondisi lingkungan dimana ia hidup. Dua kekuatan yang menentukan dalam eksistensi ini adalah negara dan pasar. Pertama, negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal untuk kepentingan administratif petani dalam menjalankan program-program pemberdayaan petani di perdesaan sementara yang kedua, pasar cenderung menekan petani secara individu dan kelompok untuk berperilaku efisien dan