Uji Stasioneritas Pengujian Time Series

Halaman ini sengaja dikosongkan

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

4.1 Produk Domestik Bruto PDB

PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara secara riil untuk periode waktu tertentu. Penurunan pertumbuhan PDB menunjukkan perlambatan perekonomian bahkan kontraksi perekonomian, sedangkan pertumbuhan PDB yang cepat menunjukkan perekonomian dalam masa ekspansi. Berbagai perubahan PDB tersebut bisa dijadikan indikasi membaik atau memburuknya perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, fluktuasi PDB penting dan menarik untuk dikaji. Perkembangan PDB riil Indonesia selama periode 1990 hingga 2011 serta pertumbuhannya dapat dilihat pada Gambar 10. Sumber: BPS 2012 diolah Gambar 10 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil tahunan 1990-2011 Selama kurun waktu 1990-1996, perekonomian Indonesia tumbuh pesat ditunjukkan oleh meningkatnya PDB secara riil dari hanya sekitar 918,73 triliun rupiah pada tahun 1990 menjadi 1.444,07 triliun rupiah pada tahun 1996. Dalam kurun waktu yang sama rata-rata pertumbuhan hampir mencapai 8 per tahun. Kondisi ini didukung oleh berhasilnya program industrialisasi yang dibangun pemerintah saat itu. Sektor industri pengolahan menjadi tumpuan transformasi dari sektor primer ke sektor sekunder. Sektor tersebut tumbuh cepat namun -15.00 -10.00 -5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 p er sen tr iliu n r u p ia h PDB riil Pertumbuhan riil sumbu kanan dengan basis foot loose industry. Bahan baku yang melimpah dari dalam negeri seperti produk-produk pertanian tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru industri yang dikembangkan lebih banyak menggunakan bahan baku impor, sehingga industrialisasi seperti ini sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Kerentanan industri yang dibangun pemerintah tersebut mulai terbukti ketika perekonomian Indonesia melambat menuju resesi setelah tahun 1996. Pada akhir tahun 1997 perekonomian domestik terkena contagion effect dari krisis Baht yang melanda Thailand, negara satu kawasan dengan Indonesia. Peristiwa eksternal ini menyeret perekonomian domestik yang sedang booming memasuki masa kontraksi. Mata uang Rupiah terdepresiasi tajam, memukul sektor industri yang sedang ekspansif. Dampak dari krisis mata uang Rupiah yang terjadi pada penghujung tahun 1997 dan berlangsung sepanjang tahun 1998 tersebut ternyata sangat buruk bagi Indonesia. Tajamnya depresiasi Rupiah mempersulit dunia usaha khususnya industri dalam rangka membiayai pembelian bahan baku dan barang modal yang berasal dari impor yang berdenominasi US. Bagi penciptaan nilai tambah nasional, kontribusi industri merupakan yang terbesar, diatas sektor pertanian. Oleh karena itu, ketika sektor industri ini kolaps maka akan sangat memukul perekonomian domestik. Perekonomian di tahun 1998 terkontraksi sangat dalam bahkan hingga minus 13. Disisi lain, sektor pertanian terbukti mampu bertahan dari krisis hebat tersebut. Bukti empiris ini memperkuat argumentasi bahwa agroindustri lebih tepat untuk menjadi jembatan kuat dalam proses transformasi struktur perekonomian dari primer ke sekunder. Pada tahun 1999 perekonomian mulai pulih dimana pertumbuhan mampu positif meski sangat rendah yaitu hanya sekitar 0,79. Pada tahun 2000, perekonomian sudah mampu tumbuh hampir mencapai tingkat 5. Selanjutnya perekonomian terus tumbuh positif meski belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelum krisis ekonomi terjadi. Pada tahun 2000 hingga 2005, pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,64 - 5,69. Membaiknya performa ekonomi setelah krisis hebat pada tahun 1998 tersebut tidak menjamin kondisi perekonomian selanjutnya terus membaik. Berbagai peristiwa dapat mengganggu perjalanan ekonomi Indonesia pada masa