Hubungan Contemporaneous Makroekonomi Domestik
dana subsidi BBM ke sektor produktif mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2011 yang menembus angka diatas 100 USbarel ternyata banyak menyedot anggaran pemerintah sehingga
alokasi subsidi non energi menjadi lebih rendah dari tahun sebelumnya. Untuk membiayai defisit anggaran utamanya pada tahun 2008 dan 2011, pemerintah
memperoleh pinjaman dari dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama, pemerintah memperolah penerimaan dari pajak yang melonjak tinggi akibat
membaiknya perekonomian dan reformasi di bidang perpajakan dalam hal transparansi dan akuntabilitas administrasi perpajakan.
Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah maka sumber energi alternatif seperti biofuel mulai diminati. Hal ini menjadi pemicu naiknya harga
produk pertanian seperti minyak sawit di pasar komoditas internasional. Indonesia merupakan negara pengekspor produk-produk pertanian ini sehingga ikut
memperoleh keuntungan atas kenaikan harga tersebut. Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan dari peningkatan pajak ekspor, sehingga bisa dipergunakan
untuk membiayai impor minyak mentah dan produk-produk olahannya.
Sumber: IFS 2012 diolah Keterangan: indeks harga terhadap base year 2000=100
Gambar 27 Perkembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk
pertanian Gambar 27 menunjukkan bahwa pergerakan indeks harga karet, kopi dan
minyak sawit mengikuti pergerakan indeks harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga minyak dunia utamanya pada tahun 2008 dan 2011 memicu kenaikan harga
0.00 100.00
200.00 300.00
400.00 500.00
600.00
20 01:
1 20
01: 3
20 02:
1 20
02: 3
20 03:
1 20
03: 3
20 04:
1 20
04: 3
20 05:
1 20
05: 3
20 06:
1 20
06: 3
20 07:
1 20
07: 3
20 08:
1 20
08: 3
20 09:
1 20
09: 3
20 10:
1 20
10: 3
20 11:
1 20
11: 3
20 12:
1
minyak mentah karet
kopi minyak sawit
ekspor produk pertanian Indonesia di pasar komoditas internasional, sehingga pendapatan pemerintah dari pajak ekspor ikut meningkat.
Meski tidak signifikan, namun efek kenaikan harga minyak dunia bagi perekonomian Indonesia adalah negatif. Ketika pemerintah tetap menjaga harga
BBM domestik dibawah harga keekonomiannya atas kenaikan harga minyak dunia, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang dapat memperbesar
defisit anggaran dan menyebabkan postur belanja APBN menjadi tidak sehat. Selain itu, peningkatan penerimaan dari pajak ekspor ini seharusnya bisa
dialokasikan ke belanja yang lebih produktif seandainya tidak ada kenaikan subsidi BBM.
Dijadikannya minyak mentah sebagai salah satu komoditas spekulasi sepertinya dapat menjawab penyebab kenaikan harga minyak dunia yang terjadi
akhir-akhir ini. Seperti ulasan di Bab 4 bahwa kenaikan harga minyak dunia pada era 2000an ternyata tidak disebabkan oleh penawaran dan permintaan secara riil.
Temuan dalam penelitian ini bahwa dampak guncangan harga minyak dunia ternyata tidak signifikan bagi perekonomian didukung oleh temuan Nordhaus
2007. Nordhaus menyatakan bahwa invasi AS ke Irak tahun 2002 yang diperkirakan akan menurunkan supply minyak dunia ternyata memang
menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Namun dampak negatif dari kenaikan harga minyak ini pada perekonomian tidak terjadi dimana pertumbuhan
ekonomi tetap positif dengan inflasi yang moderat. Kemungkinan penyebab respon perekonomian yang moderat atas
guncangan harga minyak tahun 2003 menurut Nordhaus adalah penurunan volatilitas perekonomian secara keseluruhan. Kondisi ini disebabkan oleh tiga
alasan. Pertama, guncangan di era 2000-an lebih kecil dibanding era 1970-an untuk dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kedua,
mekanisme transmisi harga energi terhadap output telah berubah dari negatif menjadi netral selama 3 dekade terakhir. Ada bukti bahwa The Fed bereaksi lebih
sensitif terhadap harga energi di tahun 2000-an, lebih memperhatikan core inflation
dibanding total inflasi. Selain itu adanya ingatan tentang sejarah tingginya inflasi dan memutuskan untuk berusaha agar tidak terulang kembali.
Ketiga, adanya faktor lain misalnya variabel lain yang mungkin memperkuat
dampak kontraksi atas guncangan di tahun 1970-an sedangkan di tahun 2000-an variabel lain tersebut cenderung meminimalisir dampak negatif guncangan.
Faktor lain tersebut diantaranya adalah ekspektasi perilaku ekonomi yaitu konsumen, pelaku bisnis dan pekerja yang memandang bahwa pergerakan harga
minyak di tahun 2000-an adalah fluktuatif dan hanya sementara dibandingkan kenaikan harga yang sangat mengguncang di tahun 1970-an. Oleh karena itu,
rumahtangga menganggap guncangan harga minyak seperti guncangan pajak, sehingga reaksi mereka tidak seperti reaksi pada era 1970-an. Bagi pelaku bisnis,
saat ini mereka sudah memperhitungkan perubahan harga minyak yang besar dalam perencanaan dan investasi mereka sehingga perubahan besar dalam harga
minyak tidak merubah operasi bisnis mereka. Sedangkan pekerja dan serikat pekerja tidak banyak menuntut kenaikan upah karena ternyata upah menjadi lebih
fleksibel dalam merespon guncangan harga minyak dunia dibanding pada era 1970-an.
Dampak guncangan harga minyak dunia yang tidak memperburuk perekonomian juga ditemukan oleh Blanchard dan Gali 2010. Mereka
menyatakan bahwa dampak kenaikan harga minyak terhadap makroekonomi berbeda antara era 1970-an dibandingkan era 2000-an. Ketika era 1970-an
berbagai konflik seperti perang Yom Kippur dan revolusi Iran menyebabkan produksi atau supply minyak mentah dunia menurun dan memicu kenaikan harga
minyak mentah dunia. Dampaknya bagi perekonomian adalah terjadinya stagflasi, yaitu inflasi tinggi disertai kontraksi perekonomian, dan tingginya pengangguran.
Sehingga guncangan harga minyak dunia pada era tersebut sangat signifikan memiliki efek negatif bagi perekonomian. Di akhir era 1990-an, dunia juga
menghadapi guncangan harga minyak dunia dengan besar guncangan relatif sama dengan era 1970-an namun dampaknya pada makroekonomi ternyata berbeda
dimana inflasi dan PDB di negara-negara industri ternyata relatif stabil. Blanchard dan Gali menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral dalam menjaga inflasi
meningkat setelah era 1970-an, sehingga mampu membatasi ekspektasi inflasi. Purwanti 2011 menemukan bahwa guncangan harga minyak dunia justru
berpengaruh positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena ada peningkatan pendapatan ekspor minyak mentah dan produk olahannya,
pendapatan ekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak, peningkatan permintaan agregat dan pemberian subsidi bahan bakar.
Dapat disimpulkan dari uraian-uraian diatas mengenai alasan-alasan tidak signifikannya dampak guncangan harga minyak bagi perekonomian domestik
adalah sebagai berikut: 1.
Harga BBM domestik masih disubsidi atas setiap kenaikan harga minyak dunia. Meski subsidi tersebut memperbesar defisit anggaran namun tingkat
defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas sehat yaitu masih dibawah 3. Dalam pembiayaan defisit anggaran tersebut, pemerintah mengandalkan
penerimaan pajak dan pinjaman dalam negeri yang beresiko rendah serta menurunkan pinjaman luar negeri untuk mengurangi ketergantungan dengan
asing. 2.
Adanya kenaikan pendapatan pemerintah dari pajak ekspor yang mampu membiayai pengeluaran pemerintah untuk impor minyak. Kenaikan pendapatan
ini bersumber dari kenaikan harga ekspor produk pertanian unggulan Indonesia serta kenaikan harga ekspor batu bara dan gas alam, yang ikut meningkat
seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. 3.
Ada indikasi bahwa Bank Indonesia serius menjaga stabilitas inflasi. Temuan Nordhaus 2007 serta Blanchard dan Gali 2010, bahwa bank sentral makin
sensitif dalam menanggapi guncangan harga minyak dunia, mendukung respon suku bunga domestik atas guncangan harga minyak dunia hasil IRF dalam
penelitian ini. Satu-satunya makroekonomi domestik yang merespon signifikan atas guncangan ini adalah suku bunga domestik. Sedangkan bagi pelaku
ekonomi seperti rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja, kenaikan harga minyak dunia dianggap hanya sementara dan reaksi mereka tidak berlebihan.
4. Adanya penurunan volatilitas perekonomian domestik. Analisis deskriptif pada
Bab 4 menemukan bahwa fluktuasi pertumbuhan triwulanan PDB sebelum krisis masih dalam rentang plus minus 10, namun rentang tersebut menjadi
makin pendek di era 2000-an yang menjadi plus minus 4. Kondisi ini merupakan representasi fundamental makroekonomi domestik yang bertambah
baik sehingga berbagai guncangan yang terjadi pada era 2000-an tidak sampai mengkontraksi perekonomian.
Selain itu ada fenomena kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2000-an lebih disebabkan ulah spekulasi, bukan faktor penawaran dan permintaan.
Berbagai faktor ini yang cenderung mengurangi dampak guncangan harga minyak dunia terhadap makroekonomi Indonesia setelah tahun 2000-an meski Indonesia
sudah menjadi negara net importir minyak.