Impacts of Domestic Policies and External Factors on the Crude Palm Oil Producers’s and Consumer’s Welfare in Indonesia

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK

DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP

KESEJAHTERAAN PRODUSEN DAN KONSUMEN

MINYAK SAWIT DI INDONESIA

NOVINDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK

DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP

KESEJAHTERAAN PRODUSEN DAN KONSUMEN

MINYAK SAWIT DI INDONESIA

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2011

Novindra


(3)

ABSTRACT

NOVINDRA. Impacts of Domestic Policies and External Factors on the Crude Palm Oil Producers’s and Consumer’s Welfare in Indonesia (BONAR M. SINAGA as Chairman and D.S. PRIYARSONO as Member of the Advisory Committee).

Besides its promising prospect in the world market, crude palm oil (CPO) in Indonesia plays an important role to fulfill the need of domestic downstream industries (such as palm cooking oil, oleo chemical, margarine, soap, and biodiesel) for their input procurements. Broad changes in the structure of regional and global economy will affect production, consumption, and trade of CPO and palm cooking oil in Indonesian. The objectives of this study are to analyze the affecting factors of supply and demand for CPO in domestic and world markets and to evaluate (2003-2007) and to forecast (2012-2016) the impact of domestic policies and external factors on the performance of CPO industry in Indonesia. This study was conducted by formulating an econometric model of CPO industry. The model specification was dynamic simultaneous equations and consist of 27 behavioral equations and 12 identities. Model identification was performed by using the order condition criteria, while model was estimated by using 2SLS method. The result show that domestic price of CPO is more responsive to changes in domestic demand quantity of CPO than export demand of CPO. Moreover, the developing of domestic downstream industries of CPO will increase the quantity of demand for CPO, hence it can increase the prices that is received by CPO producers. Domestic policy in the form of restrictions on exports of CPO with determination of the export tax rate of 20 percents can improve the net welfare that is more than the policy of domestic quota (increased domestic supply of CPO) and the policy of export quota. Increasing domestic supply of CPO gives a negative impact on net welfare. This is because the increasing in domestic supply of CPO has not been supported by the development of downstream industry of CPO (besides palm cooking oil industry), thus increasing the domestic supply of CPO will decrease the domestic price of CPO and domestic price of palm cooking oil. In the long run, after the downstream industries of CPO developed rapidly, the government should focus on policy of domestic market obligation (DMO) for CPO companies, hence they will commit to supply CPO domestic. Finally, the DMO policy will fulfill the needs of downstream industry.

Key words: Crude palm oil (CPO), domestic policies, change of external factors, Producer’s and Consumer’s Welfare


(4)

Terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua dan D.S. PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006), yang sebelumnya dipimpin oleh Malaysia, sedangkan dalam ekspor Indonesia berada pada posisi kedua terbesar setelah Malaysia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun. Sementara itu, di pasar dunia, dalam dua dekade terakhir kebutuhan terhadap minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari.

Tingginya permintaan minyak sawit baik lokal maupun dunia sebagai input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang besar dalam perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam 32 tahun terakhir luas perkebunan kelapa sawit meningkat pesat lebih dari 36 kali lipat dari 189 ribu hektar pada tahun 1975 menjadi 6 767 ribu hektar pada tahun 2007, dan produksi minyak sawit meningkat lebih dari 44 kali lipat dari 397 ribu ton pada tahun 1975 menjadi 17 665 ribu ton pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009).

Harga minyak sawit domestik sangat ditentukan oleh harga minyak sawit dunia (di Kualalumpur dan Rotterdam). Harga minyak sawit dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha domestik untuk mengekspor minyak sawit dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan minyak sawit bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng juga akan terganggu.

Dari sisi volume, produksi minyak sawit Indonesia jauh melampaui kebutuhan dalam negeri, namun jumlah ekspor yang berlebihan (karena harga minyak sawit dunia yang naik) dapat menyebabkan permintaan minyak sawit domestik tidak tercukupi. Oleh karena itu pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi jumlah ekspor minyak sawit yang tinggi.

Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri minyak goreng sawit. Selain pajak ekspor pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation (DMO). Selain isu tentang tarif ekspor dan DMO, isu maraknya industri biodiesel diduga berpengaruh terhadap industri minyak sawit. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari minyak nabati yang berfungsi sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis solar. Penggunaan biodiesel yang lebih ramah lingkungan mendorong konsumen


(5)

untuk beralih pada bahan bakar alternatif tersebut. Harga BBM dunia yang semakin meningkat diduga dapat pula mempengaruhi industri minyak sawit karena konsumen akan lebih tertarik dengan bahan bakar substitusinya, biodiesel.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, (2) mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2003-2007, dan (3) meramalkan dampak kebijakan domestik terhadap kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia dan penerimaan devisa tahun 2012-2016.

Model penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia yang dibangun dalam penelitian ini merupakan sistem persamaan simultan, yang terdiri dari 3 blok yaitu blok perkebunan kelapa sawit, blok minyak sawit, dan blok minyak goreng sawit. Model yang telah dirumuskan terdiri dari 39 persamaan atau 39 variabel endogen (G), dan 46 predetermined variable terdiri dari 28 variabel eksogen dan 18 lag endogenous variable, sehingga total variabel dalam model (K) adalah 85 variabel. Kemudian diketahui bahwa jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model (M) adalah maksimum 8 variabel. Berdasarkan kriteria order condition disimpulkan setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified. Selanjutnya, metode estimasi model yang digunakan adalah 2SLS.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2007. Sementara sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perdagangan, publikasi Oils Annual World, dan publikasi lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer yaitu : SAS/ETS for Windows 9.0.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak sawit domestik lebih responsif terhadap perubahan jumlah permintaan minyak sawit domestik daripada permintaan ekspor minyak sawit, maka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik (seperti industri minyak goreng sawit, oleokimia, sabun, margarin, dan biodiesel) akan meningkatkan jumlah permintaan minyak sawit sehingga dapat meningkatkan harga yang diterima produsen minyak sawit domestik; kebijakan domestik berupa pembatasan ekspor minyak sawit dengan penetapan pajak ekspor minyak sawit sebesar 20 persen dapat meningkatkan kesejahteraan netto yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) dan kebijakan kuota ekspor; dan peningkatan kuota domestik (peningkatan penawaran minyak sawit domestik) memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan netto. Hal ini dikarenakan peningkatan penawaran minyak sawit domestik belum didukung dengan perkembangan industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit terlebih dulu. Hal tersebut menyebabkan peningkatan penawaran minyak sawit domestik hanya akan mengakibatkan harga minyak sawit dan harga minyak goreng sawit domestik mengalami penurunan.

Saran yang bisa dikemukakan berdasarkan penelitian ini adalah : (1) peningkatan produktivitas minyak sawit dalam jangka panjang sebaiknya dilaksanakan melalui peningkatan adopsi teknologi (intensifikasi), dengan


(6)

industri hilir minyak sawit selain industri minyak goreng sawit domestik (seperti industri sabun, mie, oleokimia, serta biodiesel) maka pemerintah sebaiknya memberikan insentif seperti suku bunga kredit yang murah; (3) dalam rangka pengembangan industri hilir minyak sawit domestik sebaiknya pemerintah menggunakan dana yang berasal dari pajak ekspor minyak sawit. Dana tersebut digunakan untuk pengembangan lebih lanjut industri kelapa sawit seperti penelitian dan pengembangan pada industri kelapa sawit; kegiatan promosi atau pemasaran minyak sawit ke pasar dunia; dan disiapkan untuk kondisi darurat seperti saat terjadi gejolak harga minyak sawit atau wabah penyakit yang menyerang tanaman sawit; (4) sebagai upaya menanggulangi kenaikan harga minyak goreng sawit domestik yang besar akibat kenaikan harga minyak sawit atau harga minyak mentah dunia, pemerintah sebaiknya menetapkan pajak ekspor atau kuota ekspor sebagai respon jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, setelah industri hilir minyak sawit berkembang pesat, sebaiknya pemerintah berfokus kepada penetapan kebijakan DMO (domestic market obligation) bagi para pengusaha minyak sawit agar mereka memegang komitmen memasok minyak sawit untuk domestik dalam rangka memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik untuk industri hilir minyak sawit.

Kata Kunci: minyak sawit, kebijakan domestik, perubahan faktor eksternal, kesejahteraan produsen dan konsumen


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

KESEJAHTERAAN PRODUSEN DAN KONSUMEN

MINYAK SAWIT DI INDONESIA

NOVINDRA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS.

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Pimpinan Ujian Tesis/Wakil PS.EPN : Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS.

Staf Pengajar Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor


(10)

Nama Mahasiswa : Novindra Nomor Pokok : A151050081 Program Studi : Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Minyak Sawit di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007 dan mengkaji ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016.

Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. dan Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS. selaku Penguji yang Mewakili Program Studi Ekonomi


(12)

3. Papa (almarhum) dan Mama yang selama ini telah memberikan kasih sayang, dan cinta yang tulus serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis, juga saudara-saudari tercinta (Aa Yayan, Ka Novi, Ka Iin, Ria, Fitri, dan Dinda) atas kasih sayang yang tulus dan dukungannya.

4. Ika Kartika yang senantiasa memberikan semangat, dukungan, dan cinta yang tulus kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.

5. Mas Ambar atas dukungan dan data yang diberikan.

6. Teman-teman di Departemen ESL (Pa Aceng, Pa Ahyar, rekan-rekan dosen Departemen ESL, Mba Meri, Bu Odah, Mas Erwin, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu).

7. Seluruh staf kependidikan di Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

8. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan tesis ini.

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri minyak sawit di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.

Bogor, Juli 2011


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak, pada tanggal 2 November 1981 dari Ibu Uray Junifah dan Bapak Zainal Abidin Thaher, SH. Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pontianak, Kotamadya Pontianak dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Pendidikan Sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2003.

Selama kuliah penulis aktif menjadi asisten dosen untuk Mata Kuliah Ekonomi Umum, Ekonomi Dasar I dan II. Begitu pula setelah lulus, penulis tetap aktif menjadi asisten dosen untuk mata kuliah yang sama dan Mata Kuliah Ekonometrika, Mikroekonomi, dan Makroekonomi.

Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 dengan mendapat sponsor beasiswa BPPS. Sejak tahun 2007, penulis diangkat sebagai sebagai staf pengajar di Bagian Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.


(14)

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Kegunaan Penelitian ... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Profil Kelapa Sawit ... 13

2.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, Produksi, Produktivitas, dan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia ... 15

2.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia ... 18

2.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Sawit Indonesia ... 19

2.5. Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga ... 22

2.6. Profil Biodiesel ... 23

2.7. Kebijakan di Sektor Minyak Sawit ... 25

2.8. Studi Penelitian Terdahulu ... 28

2.9. Kebaruan Penelitian ... 35

III. KERANGKA TEORI ... 37

3.1. Fungsi Produksi ... 37

3.2. Permintaan Minyak Sawit Kasar oleh Industri Minyak Goreng Sawit ... 39

3.3. Permintaan Minyak Goreng Sawit oleh Konsumen ... 41

3.4. Respon Bedakala Produksi Komoditi Pertanian ... 43

3.4.1. Model Nerlove ... 44


(15)

xv

3.5. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen ... 48

3.6. Konsep dan Berbagai Distorsi dalam Perdagangan ... 54

3.6.1. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 56

3.6.2. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat ... 59

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS ... 62

4.1. Spesifikasi Model ... 62

4.1.1. Blok Perkebunan Kelapa Sawit ... 63

4.1.1.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan ... 63

4.1.2. Blok Minyak Sawit ... 64

4.1.2.1. Produktivitas Minyak Sawit ... 65

4.1.2.2. Produksi Minyak Sawit Indonesia ... 66

4.1.2.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 66

4.1.2.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik ... 67

4.1.2.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 67

4.1.2.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain ... 68

4.1.2.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik ... 69

4.1.2.8. Harga Minyak Sawit Domestik ... 69

4.1.2.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 70

4.1.2.10. Ekspor Minyak Sawit Malaysia ... 70

4.1.2.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia ... 71

4.1.2.12. Impor Minyak Sawit Cina ... 71

4.1.2.13. Impor Minyak Sawit India ... 72

4.1.2.14. Impor Minyak Sawit Pakistan ... 73

4.1.2.15. Impor Minyak Sawit Dunia ... 73

4.1.2.16. Harga Minyak Sawit Dunia ... 74

4.1.3. Blok Minyak Goreng Sawit ... 74

4.1.3.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 74

4.1.3.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 75

4.1.3.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik .... 76


(16)

4.1.3.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik ... 77

4.1.3.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 77

4.2. Prosedur Analisis ... 78

4.2.1. Identifikasi Model ... 78

4.2.2. Metode Pendugaan Model ... 79

4.2.2.1. Uji Statistik-F ... 80

4.2.2.2. Uji Statistik-t ... 81

4.2.2.3. Uji Statistik Durbin-h ... 81

4.2.3. Validasi Model ... 82

4.2.4. Simulasi Model ... 83

4.2.4.1. Simulasi Historis ... 85

4.2.4.2. Simulasi Peramalan ... 87

4.2.5. Perubahan Kesejahteraan ... 88

4.2.6. Jenis, Sumber, dan Pengolahan Data ... 89

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN MINYAK SAWIT DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA ... 90

5.1. Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model ... 90

5.2. Keragaan Blok Perkebunan Kelapa Sawit ... 91

5.2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan ... 91

5.3. Keragaan Blok Minyak Sawit ... 102

5.3.1. Produktivitas Minyak Sawit ... 102

5.3.2. Produksi Minyak Sawit Indonesia ... 112

5.3.3. Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 112

5.3.4. Permintaan Minyak Sawit Domestik ... 114

5.3.5. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng ... 114

5.3.6. Permintaan Minyak Sawit oleh Industri lain ... 116

5.3.7. Penawaran Minyak Sawit Domestik ... 118

5.3.8. Harga Minyak Sawit Domestik ... 119

5.3.9. Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 121


(17)

xvii

5.3.11. Ekspor Minyak Sawit Dunia ... 126

5.3.12. Impor Minyak Sawit Cina ... 126

5.3.13. Impor Minyak Sawit India ... 129

5.3.14. Impor Minyak Sawit Pakistan ... 131

5.3.15. Impor Minyak Sawit Dunia ... 133

5.3.16. Harga Minyak Sawit Dunia ... 133

5.4. Keragaan Blok Minyak Goreng Sawit ... 134

5.4.1. Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 135

5.4.2. Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 137

5.4.3. Penawaran Minyak Goreng Sawit Domestik ... 139

5.4.4. Permintaan Minyak Goreng Sawit Domestik ... 139

5.4.5. Harga Minyak Goreng Sawit Domestik ... 140

5.4.6. Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 142

5.5. Ringkasan Hasil ... 143

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK DAN PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TAHUN 2003-2007 ... 147

6.1. Evaluasi Daya Prediksi Model ... 147

6.2. Dampak Kebijakan Domestik terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia ... 147

6.2.1. Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit ... 148

6.2.2. Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia ... 150

6.2.3. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ... 153

6.3. Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia... 155

6.3.1. Peningkatan Harga Minyak Sawit Dunia ... 156

6.3.2. Peningkatan Harga Minyak Mentah Dunia ... 158

6.4. Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 161

6.5. Ringkasan Hasil ... 165

VII. RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN DOMESTIK TAHUN 2012-2016 ... 167

7.1. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia ... 167


(18)

7.1.1. Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Sebesar

20 Persen ... 167

7.1.2. Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik ... 169

7.1.3. Pelarangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 172

7.1.4. Penetapan Kuota Ekspor Minyak Sawit Sebesar 40 Persen dari Total Produksi Minyak Sawit Indonesia ... 175

7.2. Ramalan Dampak Kebijakan Domestik Terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2012-2016 ... 178

7.3. Ringkasan Hasil ... 183

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 185

8.1. Simpulan ... 185

8.2. Saran Kebijakan ... 188

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 189

DAFTAR PUSTAKA ... 191


(19)

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Neraca Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2004-2007 ... 7 2. Perkembangan Produktivitas Minyak Sawit Indonesia,

Tahun 2001-2006 ... 17 3. Perkembangan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia,

Tahun 1984-2005 ... 18 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia,

Tahun 2001-2007 ... 18 5. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Sawit

pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia, Tahun 1990-2007 ... 22 6. Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara

Eksportir dan Importir ... 58 7. Dampak Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Negara

Eksportir dan Importir ... 61 8. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada

Perkebunan Rakyat di Sumatera ... 93 9. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada

Perkebunan Rakyat di Kalimantan ... 95 10.Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada

Perkebunan Besar Negara di Sumatera ... 96 11.Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada

Perkebunan Besar Negara di Kalimantan ... 98 12.Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada

Perkebunan Besar Swasta di Sumatera ... 100 13.Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Kelapa Sawit Menghasilkan pada

Perkebunan Besar Swasta di Kalimantan ... 101 14.Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan

Rakyat di Sumatera ... 104 15.Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan

Rakyat di Kalimantan ... 105 16.Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan

Besar Negara di Sumatera ... 106 17.Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan

Besar Negara di Kalimantan ... 108 18.Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan


(21)

xx

19.Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Minyak Sawit pada Perkebunan

Besar Swasta di Kalimantan ... 111

20.Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 113

21.Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Minyak Goreng Sawit ... 115

22.Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Sawit oleh Industri Lain ... 117

23.Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Domestik ... 120

24.Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia ... 122

25.Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Sawit Malaysia ... 125

26. Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Cina ... 128

27.Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit India ... 130

28.Hasil Estimasi Persamaan Impor Minyak Sawit Pakistan ... 132

29.Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Sawit Dunia ... 134

30.Hasil Estimasi Persamaan Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 136

31.Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 138

32.Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Dometik ... 140

33.Hasil Estimasi Persamaan Harga Minyak Goreng Sawit Dometik ... 142

34.Hasil Estimasi Persamaan Harga Ekspor Minyak Goreng Sawit Indonesia ... 142

35.Dampak Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit sebesar 50 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 149

36.Dampak Penurunan Suku Bunga Bank Indonesia sebesar 20 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 152

37.Dampak Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik sebesar 25 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 154

38.Dampak Peningkatan Harga Minyak Sawit Dunia sebesar 25 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 157

39.Dampak Peningkatan Harga Minyak Mentah Dunia sebesar 10 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 159


(22)

40.Dampak Kebijakan Domestik dan Perubahan Faktor Eksternal terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Sawit Indonesia,

Tahun 2003-2007 ... 161 41.Ramalan Dampak Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit Sebesar

20 Persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di

Indonesia, Tahun 2012-2016 ... 168 42.Ramalan Dampak Peningkatan Penawaran Minyak Sawit Domestik

sebesar 50 persen terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia, Tahun 2012-2016 ... 170 43.Ramalan Dampak Pelarangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia terhadap

Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia,

Tahun 2012-2016 ... 173 44.Ramalan Dampak Penetapan Kuota Ekspor Minyak Sawit Sebesar

40 Persen dari Total Produksi Minyak Sawit Indonesia terhadap Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit di Indonesia,

Tahun 2012-2016 ... 176 45.Ramalan Dampak Kebijakan Domestik terhadap Kesejahteraan Pelaku


(23)

(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Fluktuasi Harga Minyak Sawit Domestik, Minyak Sawit Dunia, dan

Minyak Goreng Domestik, Tahun 2001-2006 ... 5 2. Fluktuasi Harga Tandan Buah Segar Domestik, Tahun 2001-2007 ... 6 3. Perkembangan Luas Areal Kelapa sawit, Tahun 1967-2007 ... 15 4. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Tahun 1967-2007 ... 16 5. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 ... 20 6. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 ... 21 7. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi

Keseimbangan Pasar ... 52 8. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ... 55 9. Dampak Pajak Ekspor ... 56 10.Dampak Kuota Ekspor ... 60 11.Horison Waktu Simulasi ... 84


(25)

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Dasar Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit

Indonesia ... 197 2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan

Minyak Sawit Indonesia ... 202 3. Program Estimasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan

Minyak Sawit Indonesia... 205 4. Hasil Estimasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan

Minyak Sawit Indonesia... 207 5. Program Validasi Persamaan dalam Model Penawaran dan Permintaan

Minyak Sawit Indonesia... 234 6. Hasil Validasi Model Penawaran dan Permintaan Minyak Sawit

Indonesia, Tahun 2003-2007 ... 237

7. Program Simulasi Historis ... 241 8. Hasil Simulasi Historis (Peningkatan Pajak Ekspor Minyak Sawit

Indonesia Sebesar 50 Persen) ... 244 9. Program Simulasi Historis Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Domestik Sebesar 25 Persen ... 246

10. Hasil Simulasi Historis Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Domestik Sebesar 25 Persen ... 249

11. Program Simulasi Peramalan Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit

Indonesia Sebesar 20 Persen ... 251

12. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Pajak Ekspor Minyak Sawit

Indonesia Sebesar 20 Persen ... 254

13. Program Simulasi Peramalan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Domestik Sebesar 50 Persen ... 256

14. Hasil Simulasi Peramalan Peningkatan Penawaran Minyak Sawit

Domestik Sebesar 50 Persen ... 259

15. Program Simulasi Peramalan Pelarangan Ekspor Minyak Sawit ... 261

16. Hasil Simulasi Peramalan Pelarangan Ekspor Minyak Sawit ... 264

17. Program Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40%

dari Total Produksi Minyak Sawit ... 266

18. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40% dari


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya terhadap perolehan devisa. Sebagai salah satu penggerak utama perekonomian, pembangunan sektor pertanian setidaknya telah mampu memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi yang mendasar, khususnya dalam memperluas lapangan kerja, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemerataan pendapatan dan mempercepat pengentasan kemiskinan (Jiaravanon, 2007).

Pembangunan sub sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia (www.deptan.go.id).

Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar pertama di dunia sejak tahun 2006 yang sebelumnya dipimpin oleh Malaysia, sedangkan dalam ekspor Indonesia berada pada posisi kedua terbesar setelah Malaysia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), permintaan domestik terhadap


(28)

komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun. Sementara itu, di pasar dunia, dalam dua dekade terakhir kebutuhan terhadap minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari.

Ada beberapa faktor yang melandasi pemikiran bahwa prospek minyak sawit cukup cerah dalam persaingan dengan minyak nabati lainnya. Faktor pertama yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi yang tinggi dari minyak tersebut. Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa minyak sawit merupakan sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga minyak sawit relatif terhadap minyak lain berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi minyak sawit (Simeh, 2004; Susila, 1998). Ong (1992) menyebutkan bahwa produktivitas lahan untuk pengusahaan minyak sawit, minyak kedele, rapeseed, dan kopra adalah masing-masing 3 200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak.

Faktor yang lain adalah bahwa sekitar 80 persen dari penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya murah (FAO, 2001). Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing minyak sawit yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah. Efek pendapatan cukup signifikan


(29)

3

karena pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).

Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan bakunya adalah minyak sawit (Pasquali, 1993). Kecenderungan tersebut sudah tampak di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang.

Keberhasilan Putaran Uruguay juga akan memperkokoh daya saing minyak sawit. Hal ini disebabkan minyak pesaing seperti minyak kedele dan minyak bunga matahari selama ini mendapat proteksi yang cukup kuat dari negara-negara produsennya, khususnya Amerika Serikat dan negara kelompok Uni Eropa. Negara-negara tersebut menganggap pasar dunia sebagai pasar untuk ’membuang’ kelebihan produksi sehingga pasar minyak menjadi tertekan (Pasquali, 1995). Negara berkembang yang umumnya memproduksi minyak sawit diperkirakan akan lebih dapat memanfaatkan perdagangan minyak nabati yang semakin bebas (Barton, 1993). Dalam hal peningkatan produksi, 82 persen dari dampak Putaran Uruguay akan dinikmati oleh negara berkembang, sedangkan negara maju hanya sekitar 12 persen (Pasquali, 1995).

Tingginya permintaan minyak sawit baik lokal maupun dunia sebagai input industri minyak goreng, oleokimia, biodiesel, dan potensi kelapa sawit lainnya yang besar dalam perekonomian merupakan peluang dan mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dalam 32 tahun terakhir


(30)

luas perkebunan kelapa sawit meningkat pesat lebih dari 36 kali lipat dari 189 ribu hektar pada tahun 1975 menjadi 6 767 ribu hektar pada tahun 2007, dan produksi minyak sawit meningkat lebih dari 44 kali lipat dari 397 ribu ton pada tahun 1975 menjadi 17 665 ribu ton pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). 1.2. Perumusan Masalah

Industri minyak sawit membutuhkan input dari perkebunan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS). Perkebunan kelapa sawit dengan hasilnya yang berupa TBS merupakan hulu dari industri minyak sawit, sedangkan industri hilir utamanya adalah industri minyak goreng sawit. Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, minyak goreng asal kelapa sawit telah mendominasi pangsa konsumsi minyak goreng yang beberapa tahun lalu dipegang oleh kelapa (Rachman dan Subroto, 1999). Keterkaitan pasar atau integrasi pasar dalam industri perkelapasawitan penting untuk diketahui, mengingat peran industri tersebut sangat besar bagi perekonomian negara. Integrasi pasar di antara pasar-pasar domestik (pasar-pasar TBS, minyak sawit, dan minyak goreng domestik), serta antara pasar-pasar tersebut dengan pasar minyak sawit dunia akan menunjukkan bagaimana terjadinya keterkaitan harga. Penyaluran informasi yang semakin cepat dan tepat akan mengakibatkan pasar-pasar tersebut semakin terintegrasi.

Menurut Baffes dan Gardner (2003) pasar dapat dikatakan efisien apabila perubahan harga yang terjadi di pasar dunia langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar dalam negeri. Dengan demikian, pola harga yang ditunjukkan harus sama. Di sisi lain Baffes dan Gardner (2003) menyatakan bahwa segala bentuk campur tangan pemerintah menimbulkan distorsi harga. Adanya kebijakan tersebut akan membuat harga di dalam negeri jauh lebih rendah atau lebih tinggi


(31)

5

daripada harga di pasar dunia. Dengan kata lain, adanya kebijakan pemerintah akan mempengaruhi integrasi antara pasar dalam negeri dan dunia. Adapun fluktuasi harga minyak sawit dunia, minyak sawit domestik, dan minyak goreng sawit domestik dapat dilihat pada Gambar 1.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 2001 (1) 2001 (7) 2002 (1) 2002 (7) 2003 (1) 2003 (7) 2004 (1) 2004 (7) 2005 (1) 2005 (7) 2006 (1) 2006 (7) Periode Har g a (Rp /Kg )

HMSW HMSD HMGSD

Keterangan : HMSW = harga minyak sawit dunia, HMSD = harga minyak sawit domestik

HMGSD = harga minyak goreng sawit domestik

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007; BPS, 2001-2006; dan Oil World, 2001-2006

Gambar 1. Fluktuasi Harga Minyak Sawit Domestik, Minyak Sawit Dunia, dan Minyak Goreng Sawit Domestik, Tahun 2001-2006 Integrasi harga yang terjadi antara harga minyak sawit dunia dan harga minyak sawit domestik menyebabkan harga minyak sawit domestik sangat ditentukan oleh harga minyak sawit dunia yaitu harga cost insurance and freight (CIF) di Kualalumpur dan Rotterdam. Harga minyak sawit dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha dalam negeri untuk mengekspor minyak sawit dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan minyak sawit bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng juga akan terganggu. Selain itu, menurut Menteri Perdagangan, kenaikan harga minyak


(32)

goreng di dalam negeri dapat secara langsung disebabkan oleh kenaikan harga minyak sawit di pasar dunia (www.antara.co.id). Artinya pasar minyak sawit dunia diduga mempengaruhi pasar minyak sawit dan minyak goreng domestik.

Dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa perubahan harga minyak sawit di pasar dunia langsung diteruskan dan direfleksikan ke pasar domestik, dengan pola harga yang cenderung sama. Begitupun halnya dengan pasar minyak goreng domestik yang merefleksikan perubahan harga minyak sawit di pasar dunia. Transmisi harga yang terjadi antara pasar minyak sawit dan minyak goreng domestik dengan pasar minyak sawit dunia disebabkan oleh adanya keterkaitan pasar minyak sawit dunia dengan pasar minyak sawit dan minyak goreng domestik.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 2001( 1) 200 1(6) 200 1(11) 2002( 4) 2002 (9) 200 3(2) 2003 (7) 2003 (12) 200 4(5) 200 4(10) 2005( 3) 200 5(8) 200 6(1) 2006( 6) 2006 (11) 200 7(4) 2007 (9) Periode Ha rg a (Rp /Kg ) HTBSD

Keterangan : HTBSD = harga tandan buah segar domestik

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009

Gambar 2. Fluktuasi Harga Tandan Buah Segar Domestik, Tahun 2001-2007 Selanjutnya Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pada kurun waktu tertentu, yaitu pada tahun 2005 hingga akhir tahun 2006 harga minyak sawit domestik semakin dekat dengan harga minyak sawit dunia. Sebelum tahun 2005 harga minyak sawit domestik lebih rendah dari pada harga minyak sawit dunia. Marjin


(33)

7

harga yang tertinggi terjadi pada kurun waktu sebelum tahun 2004. Distorsi harga tersebut dapat disebabkan oleh campur tangan pemerintah yang berupa kebijakan tarif ekspor minyak sawit.

Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat dari sisi hulu, harga TBS juga cenderung mengalami kenaikan mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia, dan minyak sawit domestik. Menurut Rachman dan Subroto (1999), produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga minyak sawit, selanjutnya harga minyak sawit merupakan acuan utama bagi harga TBS. Harga TBS domestik menunjukkan kecenderungan peningkatan harga, seperti yang terjadi pada harga minyak sawit dan harga minyak goreng domestik.

Dari sisi volume, produksi minyak sawit Indonesia jauh melampaui kebutuhan dalam negeri, namun jumlah ekspor yang berlebihan (karena harga minyak sawit dunia yang naik) dapat menyebabkan permintaan minyak sawit domestik tidak tercukupi (Tabel 1). Oleh karena itu pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk membatasi jumlah ekspor minyak sawit yang tinggi. Tabel 1. Perkembangan Neraca Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2004-2007

Neraca 2007 2006 2005 2004

Stok awal (000 ton) 940 1 110 970 920

Produksi (000 ton) 16 700 16 050 14 100 12 380

Impor (000 ton) 25 31 22 13

Ekspor (000 ton) 12 400 12 540 10 436 8 996 Pemakaian Domestik (000 ton) 4 115 3 711 3 546 3 347

Stok Akhir (000 ton) 1 150 940 1 110 970


(34)

Selama ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan bagi industri kelapa sawit yang dapat berdampak bagi industri hulu hingga ke hilir. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan minyak sawit senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1986-1993, pemerintah menetapkan pembebasan pajak ekspor minyak sawit, hingga mulai tahun 1994 ditetapkan tarif ekspor progresif yang mencapai 40 persen s/d 60 persen bagi minyak sawit dan produk olahannya. Tarif ekspor pada tahun 1997 diturunkan menjadi 5 persen, hingga kemudian naik menjadi 15 persen s/d 40 persen. Pada bulan Desember tahun 2005, pemerintah menetapkan kebijakan tarif ekspor sebesar 1.5 persen, dari tarif ekspor sebelumnya yaitu sebesar 3 persen sejak tahun 2001. Pada tahun 2007, pemerintah menaikkan lagi pajak ekspor minyak sawit dan turunannya secara progresif yang mencapai 10 persen.

Peningkatan tarif ekspor minyak sawit dilakukan pemerintah dalam upaya menekan arus ekspor minyak sawit, yang dapat menghambat pengembangan industri hilir minyak sawit, salah satunya industri minyak goreng sawit. Hal-hal yang menyangkut rencana kenaikan tarif ekspor akan selalu menjadi perdebatan berbagai pihak, terutama pihak–pihak yang terkait dalam agribisnis kelapa sawit Indonesia (petani, pedagang, dan eksportir, serta industri). Selain pajak ekspor pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu domestic market obligation (DMO). Domestic market obligation sesuai dengan Undang-Undang No.18 tentang Perkebunan yang mengamanatkan keamanan supply dalam negeri.


(35)

9

minyak sawit. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari minyak nabati yang berfungsi sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis solar. Penggunaan biodiesel yang lebih ramah lingkungan mendorong konsumen untuk beralih pada bahan bakar alternatif tersebut. Harga BBM dunia yang semakin meningkat diduga dapat pula mempengaruhi industri minyak sawit karena konsumen akan lebih tertarik dengan bahan bakar substitusinya, biodiesel.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini secara spesifik sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia.

2. Sejauhmana dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007.

3. Bagaimana dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit di Indonesia. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar domestik dan dunia.


(36)

2. Mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan perubahan faktor eksternal terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2003-2007.

3. Mengkaji ramalan dampak kebijakan domestik terhadap penawaran dan permintaan minyak sawit Indonesia, penerimaan devisa, dan kesejahteraan pelaku industri minyak sawit Indonesia tahun 2012-2016. 1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna antara lain adalah :

1. Sebagai bahan pertimbangan kepada pemerintah khususnya dalam peningkatan produksi minyak sawit dan industri hilir minyak sawit serta perencanaan kebijakan untuk minyak sawit dan industri hilirnya yang memiliki nilai tambah yang besar.

2. Menambah pengetahuan penulis tentang dampak perubahan faktor eksternal dan kebijakan pemerintah terhadap keragaan komoditas minyak sawit di Indonesia.

3. Sebagai data tambahan untuk penelitian yang sejenis pada bidangnya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup kajian dalam penelitian ini dibatasi pada tiga sub industri, yaitu sub industri perkebunan kelapa sawit, sub industri minyak sawit, dan sub industri minyak goreng sawit. Berdasarkan proses produksi yang dilaluinya, ketiga sub


(37)

11

industri tersebut terintegrasi secara vertikal dalam arti bahwa produksi tandan buah segar merupakan bahan baku bagi industri minyak sawit dan produksi minyak sawit merupakan bahan baku bagi industri minyak goreng disamping industri lain yang berbahan baku minyak sawit. Disamping itu, minyak-minyak nabati lainnya, yaitu minyak kedele dan minyak kelapa menjadi komoditi yang dipertimbangkan sebagai barang substitusi bagi minyak sawit.

Pada sub industri perkebunan kelapa sawit, analisis dilakukan terhadap luas areal kelapa sawit menghasilkan yang didisagregasi berdasarkan wilayah dan bentuk pengusahaan. Wilayah pengusahaan dibedakan menurut pulau yang dominan terdapat perkebunan kelapa sawit yaitu Sumatera dan Kalimantan. Adapun bentuk pengusahaan perkebunan dibedakan menurut status hukum pengusahaan yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta.

Analisis terhadap sub industri minyak sawit meliputi analisis perilaku permintaan, penawaran, dan harga, baik di pasar domestik maupun di pasar dunia. Pada pasar domestik, terdapat persamaan produktivitas minyak sawit yang memiliki karakteristik sama dengan persamaan luas areal kelapa sawit menghasilkan yaitu didisagregasi berdasarkan wilayah dan bentuk pengusahaan. Kemudian penawaran minyak sawit merupakan penawaran total, sedangkan permintaan minyak sawit didisagregasi menjadi permintaan oleh industri minyak goreng sawit dan oleh industri lainnya. Pada pasar dunia, penawaran ekspor minyak sawit didisagregasi berdasarkan 2 negara produsen utama, yaitu Indonesia dan Malaysia. Pada sisi lain, importir minyak sawit didisagregasi menjadi 3 negara importir, yaitu Cina, India, dan Pakistan.


(38)

Pada sub industri minyak goreng sawit, analisis hanya dilakukan pada pasar domestik, yang meliputi perilaku produksi, ekspor, permintaan, penawaran, dan harga domestik. Adapun pasar minyak goreng sawit dunia, dalam kajian ini, hanya diwakili oleh harga minyak goreng sawit dunia sebagai peubah eksogen.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Kelapa Sawit

Kelapa sawit memainkan peranan penting bagi pembangunan sub sektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat. Di samping itu, kelapa sawit melalui produk hasil olahannya memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara melalui ekspor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian (2006) diketahui bahwa pada tahun 2005, total devisa yang dihasilkan industri kelapa sawit ini mencapai US.$ 4.4 milyar atau 5 persen dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US.$ 85.7 milyar. Industri kelapa sawit dibagi menjadi dua, yaitu industri CPO (minyak sawit) dan industri KPO (minyak inti sawit). Dari total devisa yang diperoleh melalui industri kelapa sawit, industri minyak sawit menjadi penyumbang devisa terbesar yaitu sebesar 86.2 persen dari nilai total ekspor industri kelapa sawit. Sisanya, sebesar 13.8 persen disumbangkan oleh industri KPO. Terlihat jelas bahwa industri minyak sawit yang membutuhkan kelapa sawit dalam bentuk Tandan Buah Segar (TBS) lebih mendominasi industri perkelapasawitan Indonesia dibandingkan industri minyak inti sawit (KPO).

Sejak tahun 1979 hingga tahun 2007 luas areal maupun produksi kelapa sawit Indonesia terus mengalami peningkatan. Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar pertama di dunia (sejak tahun 2006). Dalam perdagangan dunia, Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Berdasarkan perkembangan data ekspor impor selama tahun 1969-2007 Indonesia selalu mengalami surplus neraca perdagangan kelapa


(40)

sawit. Walaupun Indonesia mulai melakukan impor minyak sawit sejak tahun 1981, namun hal ini tidak mempengaruhi neraca perdagangan yang terjadi. Neraca perdagangan kelapa sawit justru terus mengalami surplus dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009).

Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2006) menyatakan bahwa minyak sawit (CPO) adalah komoditi yang sangat potensial sehingga layak disebut sebagai komoditi ekspor non migas andalan dari kelompok agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari kondisi : (1) secara komparatif terdapat ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan produksi, berbeda halnya dengan negara pesaing terberat Indonesia, Malaysia yang luas areal produksinya telah mencapai titik jenuh; (2) secara kompetitif pesaing Indonesia hanya sedikit; (3) kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional adalah yang tertinggi dibandingkan ekspor hasil perkebunan lainnya. Selain itu (4) minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti industri minyak goreng, biodiesel, shortening, kosmetika, farmasi, dan sebagainya. Berbagai manfaat minyak sawit inilah yang mendorong tingginya permintaan akan minyak sawit.

Selain untuk memenuhi kebutuhan luar negeri melalui ekspor, produksi minyak sawit Indonesia juga diperuntukkan bagi industri hilir di dalam negeri. Industri hilir minyak sawit dalam negeri didominasi oleh industri minyak goreng sawit. Industri minyak goreng sawit saat ini telah menggeser kedudukan industri minyak goreng lainnya seperti minyak goreng kelapa. Minyak goreng merupakan bagian dari sembilan bahan pokok. Oleh karena itu, pasokan minyak sawit yang


(41)

15

merupakan bahan baku bagi industri minyak goreng sawit harus senantiasa terjaga.

2.2. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit, Produksi, Produktivitas dan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia

Perkembangan luas areal kelapa sawit tahun 1967-2007 ditunjukkan pada Gambar 3. Luas areal kelapa sawit sejak tahun 1967 hingga tahun 2007 terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 11.17 persen per tahun. Luas areal tahun 2007 mencapai 63.95 kali lipat dari luas areal pada tahun 1967. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan baru mulai tahun 1979 terdapat pula Perkebunan Rakyat (PR).

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000

1967 1970 1973 197 6

1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 200 0

2003 2006 2007 Tahun

L

u

as A

real (

H

a)

PR PBN PBS TOTAL

Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009

Gambar 3. Perkembangan Luas Areal Kelapa sawit, Tahun 1967-2007 Sejalan dengan perkembangan luas areal kelapa sawit, perkembangan produksi minyak sawit juga terus mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit


(42)

Indonesia pada tahun 1967 sebesar 168 ribu ton telah meningkat hingga 105 kali lipatnya pada tahun 2007, yaitu sebesar 17 665 ribu ton. Peningkatan luas areal kelapa sawit dan produksi minyak sawit adalah akibat dari pesatnya perkembangan industri hilir kelapa sawit baik dari dalam maupun luar negeri (permintaan akan minyak sawit meningkat). Perkembangan produksi minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 4.

0 4000000 8000000 12000000 16000000 20000000

1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2007

Tahun

Pr

oduk

s

i (

Ton)

PR PBN PS TOTAL

Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara PBS = perkebunan besar swasta

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009

Gambar 4. Perkembangan Produksi Minyak Sawit, Tahun 1967-2007 Berdasarkan data rata-rata produksi minyak sawit (CPO) tahun 2001-2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009), terdapat 6 propinsi sentra kelapa sawit yang memberikan kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi minyak sawit nasional. Keenam propinsi tersebut adalah Riau (25.68 persen), Sumatera Utara (23.43 persen), Sumatera Selatan (9.98 persen), Jambi (7.42 persen), Kalimantan Barat (6.28 persen), dan Sumatera Barat (5.48 persen).

Tabel 2 menunjukkan perkembangan produktivitas minyak sawit dari tahun 2001 hingga 2006. Selama tahun 2001-2006, rata-rata produktivitas minyak sawit perkebunan besar swasta lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata produktivitas


(43)

17

perkebunan besar negara dan perkebunan rakyat. Hal ini terjadi karena perkebunan besar swasta memiliki beberapa keunggulan, yaitu modal yang besar, teknologi yang lebih modern, dan lain-lain. Secara keseluruhan, produktivitas minyak sawit mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas yang terjadi pada perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara. Komoditas minyak sawit yang sangat potensial mendorong perkebunan kelapa sawit mencari solusi yang efisien dan efektif dalam rangka peningkatan produktivitas. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas on farm (pengolahan lahan, pemupukan, dan lain-lain).

Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Minyak Sawit Indonesia, Tahun 2001-2006

Tahun Produktivitas (Ton/Ha)

PR PBN PBS Total

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2.64 2.74 2.75 3.26 3.58 3.13 3.07 3.06 3.25 3.45 3.57 3.62 2.91 3.00 4.29 3.59 3.51 3.74 2.84 2.91 3.05 3.17 3.29 3.49

Rata-Rata 3.02 3.34 3.51 3.13

Keterangan : PR = perkebunan rakyat PBN = perkebunan besar negara

PBS = perkebunan besar swasta

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) setiap tiga tahun sekali, konsumsi per kapita minyak sawit nasional terus mengalami peningkatan sejak tahun 1984 hingga tahun 2005, dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 11.26 persen. Konsumsi minyak sawit di Indonesia pada tahun 1984 tercatat sebesar 2.29 Kg/kapita terus meningkat menjadi 4.8 Kg/kapita pada tahun 2005. Tabel 3 menunjukkan perkembangan konsumsi minyak sawit Indonesia.


(44)

Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Minyak Sawit Indonesia, Tahun 1984-2005

Tahun Konsumsi / Kapita (Kg/th) Pertumbuhan (%)

1984 2.29 -

1987 2.54 10.92

1990 2.71 6.69

1993 2.96 9.23

1996 3.17 7.09

1999 3.88 22.37

2002 4.38 12.89

2005 4.80 9.59

Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) 11.26

Sumber : BPS, 2006

2.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia

Data mengenai produksi dan konsumsi minyak sawit dunia ditunjukkan pada Tabel 4. Prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri, kebijakan pemerintah dalam pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti biodiesel sebagai alternatif dari Bahan Bakar Minyak (BBM) memberi peluang kepada industri ini untuk lebih berkembang. Fenomena biodiesel sebagai pengganti BBM juga terjadi di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan kenaikan penggunaan atau konsumsi minyak sawit di pasar dunia.

Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak Sawit Dunia, Tahun 2001-2007

Tahun (juta Ton) Produksi (juta Ton) Konsumsi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 23.98 25.39 28.11 30.91 33.73 37.14 38.16 23.87 25.60 28.20 29.90 32.98 36.14 38.31

Rata-Rata Pertumbuhan (%) 8.09 8.22


(45)

19

Pertumbuhan penggunaan minyak sawit dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya tren pemakaian bahan dasar oleochemical pada industri makanan dan industri farmasi (kosmetik). Fenomena ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa produksi dan konsumsi minyak sawit dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi dan konsumsi minyak sawit dunia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sebesar 8.09 persen dan 8.22 persen per tahun.

Peluang Indonesia masih terbuka lebar untuk meningkatkan devisa melalui ekspor minyak sawit ke pasar dunia dengan tren peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit dunia. Hal ini dikarenakan, konsumsi pada tahun 2001-2007 telah menggambarkan tingginya konsumsi minyak sawit pada tahun-tahun yang akan datang. Saat ini banyak negara di dunia yang telah mendirikan pabrik-pabrik biodiesel, dimana sebagian besar pabrik-pabriknya telah beroperasi. Kondisi ini sangat menguntungkan, karena konsumsi minyak sawit di dunia akan terus mengalami peningkatan yang pesat di kemudian hari.

2.4. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Sawit Indonesia

Sebagian besar ekspor produk olahan kelapa sawit Indonesia adalah dalam bentuk minyak sawit (CPO). Negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut yang lebih besar dibandingkan ke negara lainnya. Pada tahun 2007, jumlah ekspor Indonesia ke India, Belanda, China, Malaysia, dan Pakistan masing-masing sebesar 2 743


(46)

ribu ton, 570 ribu ton, 237 ribu ton, 265 ribu ton, dan 226 ribu ton (Oil World, 2007). Kenaikan permintaan dari negara-negara tersebut akan mendorong peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia. Perkembangan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007 mengalami sedikit fluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat.

Gambar 5 menunjukkan volume ekspor minyak sawit sejak tahun 1969 hingga tahun 2007. Pada tahun 1969 nilai ekspor minyak sawit hanya sebesar US.$ 24 juta meningkat hingga 329 kali lipatnya menjadi US.$ 7.9 milyar pada tahun 2007. Volume ekspor minyak sawit pada tahun 1969 yaitu sebesar 179 ribu ton mengalami kenaikan hingga 66 kali lipatnya pada tahun 2007 dengan volume sebesar 11 875 ribu ton. Ekspor minyak sawit yang tinggi baik dari sisi volume maupun nilainya dalam US.$ salah satunya dipicu oleh maraknya penggunaan biodiesel di pasar dunia yang mendorong kenaikan permintaan minyak sawit dunia. Naiknya permintaan minyak sawit dunia tentunya akan meningkatkan ekspor untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di luar negeri.

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000

1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2006 2007 Tahun

V

o

lu

m

e

(

T

o

n

)

EKSPOR

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009

Gambar 5. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 Ekspor Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 (Gambar 5). Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah terhadap


(47)

21

komoditas minyak sawit. Pada masa krisis, minyak sawit hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri karena harga dalam negeri yang tidak stabil. Setelah masa krisis berlalu, pemerintah mengubah kebijakan menjadi kebijakan yang pro ekspor sehingga ekspor terus mengalami peningkatan hingga saat ini.

0 100000 200000 300000 400000 500000

1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1989 1990 1993 1996 1999 2002 2005 2006 2007 Tahun

Vol

ume (

Ton)

IMPOR

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009

Gambar 6. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit, Tahun 1969-2007 Volume impor minyak sawit Indonesia tahun 1969 hingga tahun 2007 disajikan dalam Gambar 6. Selain mengekspor minyak sawit, Indonesia juga melakukan impor yang dimulai sejak tahun 1981. Namun, berbeda dengan perkembangan volume ekspor minyak sawit Indonesia, volume impor minyak sawit sangat fluktuatif dengan kecenderungan semakin menurun. Volume impor pada tahun 1981 sebesar 33 ribu ton dengan nilai US.$ 17 juta, dimana mengalami penurunan menjadi 1 067 ton dengan nilai US.$ 1.02 juta pada tahun 2007.

Impor minyak sawit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri hilir kelapa sawit apabila terjadi kekurangan pasokan minyak sawit dari produsen minyak sawit dalam negeri. Impor minyak sawit yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 1987 disebabkan oleh adanya perbedaan harga antara harga minyak sawit di pasar domestik dan pasar dunia. Pada periode tersebut,


(48)

harga minyak sawit dunia lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak sawit domestik sehingga industri hilir lebih memilih untuk mengimpor minyak sawit dari luar negeri.

2.5. Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga

Selain diperuntukkan bagi kepentingan ekspor, produksi minyak sawit juga harus memenuhi permintaan industri minyak goreng sawit yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. Permintaan minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga yang harus dipenuhi oleh industri minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Akibatnya, industri minyak goreng sawit harus meminta pasokan minyak sawit yang semakin meningkat pula. Tabel 5 menunjukkan permintaan minyak goreng sawit pada tingkat rumah tangga dari tahun 1990 hingga tahun 2007.

Tabel 5. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Sawit pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia, Tahun 1990-2007

Tahun Permintaan

(Ton)

Pertumbuhan (%) 1990

1993 1996 1999 2002 2005 2007

486 373 560 164 628 731 801 168 932 252 1 005 820 1 035 010

- 15.17 12.24 27.43 16.36 7.89 2.90

Rata-Rata Laju Pertumbuhan (%) 13.67

Sumber : BPS, 2007

Dari Tabel 5 juga dapat dijelaskan bahwa permintaan minyak goreng sawit terus mengalami kenaikan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 13.67 persen. Permintaan minyak goreng sawit pada tahun 1990 hanya sebesar 486 ribu ton meningkat menjadi 1 035 ribu ton pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan


(49)

23

bahwa industri minyak sawit harus bertanggung jawab untuk menjaga pasokan bagi industri minyak goreng sawit karena permintaan minyak goreng sawit cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

2.6. Profil Biodiesel

Ide penggunaan minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel (± tahun 1900). Penelitian di bidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui. Perkembangan ini mencapai puncaknya di pertengahan tahun 80-an dengan ditemukannya alkil ester asam lemak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan minyak diesel fosil yang dikenal dengan nama biodiesel (www.library.usu.ac.id). Saat ini, industri biodiesel kembali dikembangkan dan semakin penting karena cadangan bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui semakin menipis.

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif dari bahan mentah terbaharukan (renewable) atau biasa disebut sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Biodiesel adalah salah satu bagian dari bahan bakar hayati (biofuel) yang merupakan substitusi dari Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya jenis solar. Biodiesel dapat diproduksi dari minyak-minyak tumbuhan seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar, dan lain-lain. Bahan bakar nabati ini dapat digunakan dengan mudah karena dapat bercampur dengan segala komposisi dengan minyak solar, dan mempunyai sifat-sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin-mesin diesel yang ada, hampir tanpa modifikasi.


(50)

Keuntungan lain dari penggunaan bahan bakar ini adalah karena biodiesel dikenal ramah lingkungan. Asap buangan biodiesel tidak berwarna hitam, sepuluh kali tidak lebih beracun daripada minyak solar biasa, dapat terdegradasi dengan mudah, tidak mengandung sulfur dan senyawa aromatik sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer. Lebih jauh lagi, penggunaan biodiesel akan mengurangi efek pemanasan global. Berbagai keunggulan yang ditawarkan biodiesel menarik perhatian dunia (Bode, 2000).

Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia berpeluang untuk memenuhi kebutuhan minyak sawit di pasar dalam negeri dan pasar dunia yang sangat tinggi. Indonesia berpotensi meningkatkan produksi dan mempopulerkan penggunaan biodiesel di dalam negeri. Lebih jauh lagi, apabila industri biodiesel dalam negeri sudah siap, maka ekspor biodiesel bukan tidak mungkin terjadi. Selain itu, penggunaan biodiesel di dalam negeri dapat mengurangi ketergantungan akan impor bahan bakar fosil yang harganya semakin tinggi.

Peluang internasional terbuka lebar karena dunia mulai melirik biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Jumlah penduduk yang semakin bertambah dan berbagai keunggulan biodiesel yang telah dijelaskan sebelumnya mendorong negara-negara di berbagai belahan dunia memproduksi biodiesel dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar. Negara-negara yang memproduksi biodiesel dalam skala besar antara lain India, Pakistan, Cina, Jepang, dan negara-negara di Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, dan lain-lain. Tentunya, peningkatan jumlah pabrik biodiesel di negara-negara tersebut akan meningkatkan


(51)

25

permintaan minyak sawit. Sebagai salah satu negara produsen utama minyak sawit, kondisi ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dengan luas areal kelapa sawit yang masih dapat dikembangkan, produksi dan ekspor Indonesia masih dapat mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor berarti peningkatan penerimaan pemerintah melalui devisa dan peningkatan pendapatan bagi eksportir minyak sawit, serta pelaku agribisnis kelapa sawit (Bode, 2000). 2.7. Kebijakan di Sektor Minyak Sawit

Sejak tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang perluasan areal kelapa sawit dengan memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk menanam investasi di bidang perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut ditopang dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan regulasi perdagangan minyak sawit melalui SKB 3 menteri, Menteri Pertanian, Menteri Koperasi, dan Menteri Perdagangan. SKB tersebut memuat Pertama, produsen minyak sawit diharuskan menjual hasil produksinya kepada produsen di dalam negeri. Kedua, jumlah penjualan tersebut besarnya ditentukan oleh Menteri Pertanian. Ketiga, harga ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Koperasi. Keempat, produsen dapat menjual hasil produksinya ke luar negeri jika produsen dalam negeri tidak menebusnya.

Pada tahun 1981 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan ekspor bagi minyak sawit sehingga pada tahun tersebut ekspor minyak sawit kasar turun kembali hingga 61 persen akan tetapi tahun-tahun berikutnya ekspor minyak sawit tetap tinggi walaupun harga pasar cenderung turun. Berikutnya pada tahun 1984 melalui surat keputusan Menteri Perdagangan Nomor 47/KMK/001/84 pemerintah menetapkan pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenisnya sebesar


(52)

37.18 persen sementara tetap mempertahankan kebijakan mengenai harga minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Pada tahun 1986 terjadi penurunan harga minyak sawit yang tajam mencapai US.$ 1.97 CIF Rotterdam sehingga memaksa pemerintah membebaskan pajak ekspor melalui ketetapan Menteri Perdagangan Nomor 549/KMK/001/86.

Pada tahun 1990 terjadi peningkatan produksi minyak sawit yang cukup tinggi. Pemerintah membolehkan produsen bebas menjual ke pasar di dalam negeri atau pasar luar negeri melalui Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 1993 masing-masing Menteri Pertanian Nomor 240/Kpts/KB/320/v/1991, Menteri Perindustrian Nomor 11/M/SK/1991, dan Menteri Perdagangan Nomor 136/KPB/V/6/1991 tentang deregulasi atas tata niaga minyak sawit. Adapun sistem tata niaga sebelumnya mengharuskan perusahaan swasta nasional dan asing harus menjual sebagian produksi minyak sawitnya ke Kantor Pemasaran Bersama (KPB) dan Perusahaan Negara menjual seluruh produksinya ke KPB. Selanjutnya KPB minyak sawit dijual kepada konsumen domestik, broker, dan badan pemasaran luar negeri. Dari badan pemasaran luar negeri dan importir luar negeri minyak sawit dijual kepada konsumen luar negeri yang akan diolah menjadi berbagai komoditi kebutuhan akhir.

Pada tahun 1994, pemerintah melalui Surat Keputusan Nomor 439/KM/KMK.017/1994 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan kembali memberlakukan pajak ekspor atas minyak sawit kasar dan produk olahannya dengan besarnya 40 persen sampai dengan 60 persen dari selisih harga ekspor dan harga dasar. Kebijakan ini didasarkan atas stabilitas dan ketersediaan harga eceran


(1)

Lampiran 16. Lanjutan

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LAKSMRS 5 5 1797.1 116.2 1785.7 103.3 LAKSMRK 5 5 366.7 21.9566 365.8 20.8810 LAKSMNS 5 5 546.7 18.0261 545.3 16.4341 LAKSMNK 5 5 67.0939 2.9269 67.0071 2.8254 LAKSMSS 5 5 2185.1 126.3 2172.3 111.7 LAKSMSK 5 5 653.4 31.5528 648.5 25.8962 YMSRS 5 5 2.9278 0.00407 2.9008 0.00621 YMSRK 5 5 2.3159 0.0128 2.3024 0.0139 YMSNS 5 5 3.7336 0.0726 3.6929 0.0826 YMSNK 5 5 3.3243 0.0144 3.2651 0.0228 YMSSS 5 5 3.7175 0.00457 3.7002 0.00736 YMSSK 5 5 4.1672 0.1433 4.1380 0.1302 QMSRS 5 5 5262.0 347.4 5180.4 308.1 QMSRK 5 5 849.5 55.5204 842.5 53.1026 QMSNS 5 5 2040.0 27.7633 2012.6 16.2068 QMSNK 5 5 223.0 8.9011 218.7 8.0017 QMSSS 5 5 8122.7 462.6 8037.6 400.9 QMSSK 5 5 2726.4 225.5 2686.2 191.4 QMSI 5 5 19934.6 1163.5 19689.0 1012.6 QMGS 5 5 6090.8 342.5 6306.6 428.5 DMSIMG 5 5 4405.9 204.8 4493.2 211.9 DMSIL 5 5 154.5 37.2615 156.3 37.4317 DMSD 5 5 4560.4 167.9 4649.5 174.6 DMGS 5 5 1233.4 31.2730 1238.2 33.8596 SMSD 5 5 12268.4 395.4 25640.0 1099.3 SMGS 5 5 4114.0 258.7 4287.7 319.5 HRMSD 5 5 3848.1 91.1041 3659.6 112.2 HRXMSI 5 5 361.7 17.7385 555.7 39.6952 HRMSW 5 5 443.0 15.6329 622.8 30.9529 HRMGSD 5 5 3404.2 55.6752 3394.5 58.7293 HRXMGSI 5 5 209.6 28.7062 209.6 28.7051 XMSM 5 5 16909.8 759.9 16909.8 759.9 XMSW 5 5 34294.7 1745.2 20677.4 885.8 XMGS 5 5 1976.8 83.8057 2018.9 111.3 MMSC 5 5 5317.2 190.0 4722.0 67.5039 MMSIND 5 5 5584.7 319.1 5432.8 307.6 MMSP 5 5 1216.4 75.0503 725.0 386.2 MMSW 5 5 32929.3 1150.7 31690.7 657.8


(2)

 

Lampiran 17. Program Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor

Sebesar 40% dari Total Produksi Minyak Sawit

/* PROGRAM SIMULASI PERAMALAN */ OPTION NODATE NONUMBER;

DATA SIMULASI_PERAMALAN; SET SASUSER.TESIS_5;

/* MEMBUAT VARIABEL LAG*/ L3HRMSD=LAG3(HRMSD); L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR);

LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC);

LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS);

QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK; QMSTL=QMSRL+QMSNL+QMSSL;

QMSI=QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD=DMSIMG+DMSIL;

SMSD=QMSI-XMSI+MMSI+LSTKMS; XMSW=XMSI+XMSM+XMSRW;

MMSW=MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS=QMGS-XMGS;

/*SIMULASI PENETAPAN KUOTA EKSPOR SEBESAR 40% DARI TOTAL PRODUKSI MINYAK SAWIT */ XMSI=0.4*QMSI;


(3)

Lampiran 17. Lanjutan

PROC SIMNLIN DATA= SIMULASI_PERAMALAN DYNAMIC SIMULATE STATS; ENDOGENOUS

LAKSMRS LAKSMRK LAKSMNS LAKSMNK LAKSMSS LAKSMSK YMSRS YMSRK YMSNS YMSNK YMSSS YMSSK QMSRS QMSRK QMSNS QMSNK QMSSS QMSSK

QMSI QMGS DMSIMG DMSIL DMSD DMGS SMSD SMGS HRMSD HRXMSI HRMSW HRMGSD HRXMGSI /*XMSI*/ XMSM XMSW XMGS MMSC MMSIND MMSP MMSW;

INSTRUMENTS

SBR TREN INCRI PHRF SHRXMSM RHMSF HRMMW HRMKD INCRC PSBR SHRMKW PXMGS

PXMSI QMSM NTERM HRMKDW SHRMSW PHRMMW INCRIND CURAH HRMGKD INCRP

QMSRL QMSNL QMSSL STKMS UPRBUN

XMSRW MMSRW NTERC HRMGSW PHRXMSI XMSI ; L3HRMSD=LAG3(HRMSD);

L3HRMKD=LAG3(HRMKD); L3HRKD=LAG3(HRKD); LHRF=LAG(HRF); LUPRBUN=LAG(UPRBUN); LSBR=LAG(SBR);

LLAKSMRS=LAG(LAKSMRS); LLAKSMRK=LAG(LAKSMRK); LLAKSMNS=LAG(LAKSMNS); LLAKSMNK=LAG(LAKSMNK); LLAKSMSS=LAG(LAKSMSS); LLAKSMSK=LAG(LAKSMSK); LHRMSD=LAG(HRMSD); LYMSRK=LAG(YMSRK); LYMSNS=LAG(YMSNS); LYMSNK=LAG(YMSNK); LYMSSS=LAG(YMSSS); LHRMGSD=LAG(HRMGSD); LHRXMGSI=LAG(HRXMGSI); LHRMKDW=LAG(HRMKDW); LHRXMSI=LAG(HRXMSI); LNTERI=LAG(NTERI); LUPRIN=LAG(UPRIN); LNTERP=LAG(NTERP); LXMSI=LAG(XMSI); LDMSIMG=LAG(DMSIMG); LDMSIL=LAG(DMSIL); LXMSM=LAG(XMSM); LMMSC=LAG(MMSC);

LMMSIND=LAG(MMSIND); LMMSP=LAG(MMSP); LHRMSW=LAG(HRMSW); LQMGS=LAG(QMGS); LXMGS=LAG(XMGS); LDMGS=LAG(DMGS); LSTKMS=LAG(STKMS);

PARM A0 731.0415 A1 0.134501 A2 -0.11378 A3 -0.03228 A4 -5.72475 A5 -0.06520 A6 -2.64737 A7 42.25342

B0 21.05198 B1 0.010901 B2 -0.00264 B3 -0.04265 B4 -0.00957 B5 -0.09085 B6 14.51194

C0 320.1631 C1 0.016473 C2 -0.01228 C3 -0.00954 C4 -1.17485 C5 -0.00138 C6 -0.75474 C7 7.719496

D0 23.64347 D1 0.001029 D2 -0.00081 D3 -0.00446 D4 -0.00104 D5 -0.00913 D6 1.877661

E0 109.1232 E1 0.150833 E2 -0.05408 E3 -0.19023 E4 -0.03752 E5 -0.04666 E6 76.43873

F0 182.8267 F1 0.057925 F2 -0.48394 F3 -0.02139 F4 -0.52938 F5 35.35273 G0 3.020529 G1 0.193849 G2 0.000316 G3 -0.00034

H0 2.142651 H1 0.092637 H2 0.000525 H3 -0.00007 H4 0.107587 I0 1.375788 I1 0.151039 I2 0.000324 I3 -0.00023 I4 0.677464

J0 1.403913 J1 0.277171 J2 0.008292 J3 -0.00040 J4 0.011875 J5 0.488330 K0 1.512447 K1 0.077920 K2 0.000043 K3 0.512703


(4)

 

Lampiran 17. Lanjutan

/*M0 -1234.55 M1 1.119779 M2 0.565429 M3 0.079759 M4 0.219529*/

N0 -1365.99 N1 -0.31981 N2 0.525389 N3 -6.96387 N4 103.3167 N5 0.464863 O0 1400.728 O1 -0.00922 O2 0.183806 O3 0.638918 O4 -0.10846 O5 -22.6230 O6 14.48417 O7 0.050579

P0 429.1900 P1 -0.02815 P2 0.588235 P3 0.860154 P4 0.203342

Q0 -57.7283 Q1 0.873691 Q2 0.053221 Q3 -0.00092 Q4 -1.98794 Q5 0.168987 R0 -1467.23 R1 1.352876 R2 0.289920 R3 0.668988 R4 734.3466 R5 0.148848 S0 -1050.95 S1 -2.86442 S2 3.455280 S3 0.330337 S4 -14.5294 S5 0.181443 T0 -694.925 T1 -1.07752 T2 0.205179 T3 0.050203 T4 0.855156

U0 206.2166 U1 -1.05576 U2 0.742833 U3 0.000783 U4 -0.65759 U5 0.966606 V0 279.8991 V1 -0.00895 V2 0.007431 V3 0.496797

W0 -5591.99 W1 1.687388 W2 -1.27330 W3 309.2388 W4 0.190226

X0 -642.055 X1 1.096729 X2 -0.06113 X3 0.099493 X4 0.067756 X5 0.711027 Y0 402.6444 Y1 -0.30884 Y2 0.219999 Y3 0.036703 Y4 0.523212

Z0 2193.248 Z1 0.054764 Z2 2.520597 Z3 20.50587 Z4 0.059529 AA0 -19.3125 AA1 0.972813 AA2 -0.01548;

LAKSMRS= A0 + A1*L3HRMSD + A2*L3HRMKD + A3*L3HRKD + A4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + A5*LUPRBUN + A6*LSBR + A7*TREN ;

LAKSMRK= B0 + B1*L3HRMSD + B2*L3HRKD + B3*LHRF + B4*LUPRBUN + B5*LSBR + B6*TREN ; LAKSMNS= C0 + C1*L3HRMSD + C2*L3HRMKD + C3*L3HRKD + C4*(HRF-LHRF)/LHRF*100 + C5*LUPRBUN + C6*LSBR + C7*TREN ;

LAKSMNK= D0 + D1*L3HRMSD + D2*L3HRKD + D3*LHRF + D4*UPRBUN + D5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + D6*TREN ;

LAKSMSS= E0 + E1*L3HRMSD + E2*L3HRKD + E3*LHRF + E4*LUPRBUN + E5*(SBR-LSBR)/LSBR*100 + E6*TREN ;

LAKSMSK= F0 + F1*L3HRMSD + F2*LHRF + F3*LUPRBUN + F4*SBR + F5*TREN ; YMSRS= G0 + G1*(HRMSD/HRF) + G2*LLAKSMRS + G3*CURAH ;

YMSRK= H0 + H1*(HRMSD/HRF) + H2*LLAKSMRK + H3*LUPRBUN + H4*LYMSRK ; YMSNS= I0 + I1*(HRMSD/HRF) + I2*LLAKSMNS + I3*CURAH + I4*LYMSNS ;

YMSNK= J0 + J1*(HRMSD/HRF) + J2*LLAKSMNK + J3*CURAH + J4*TREN + J5*LYMSNK ; YMSSS= K0 + K1*(HRMSD/HRF) + K2*LLAKSMSS + K3*LYMSSS ;

YMSSK= L0 + L1*LHRMSD + L2*LLAKSMSK + L3*CURAH + L4*TREN ;

/*XMSI= M0 + M1*(HRXMSI-LHRXMSI)/LHRXMSI*100 + M2*QMSI + M3*LNTERI + M4*LXMSI ;*/

DMSIMG= N0 + N1*HRMSD + N2*HRMGSD + N3*SBR + N4*TREN + N5*LDMSIMG ; DMSIL= O0 + O1*HRMSD + O2*HRMKD + O3*HRMMW + O4*LUPRIN + O5*SBR + O6*TREN + O7*LDMSIL ;

HRMSD= P0 + P1*SMSD + P2*DMSD + P3*HRXMSI + P4*LHRMSD ;

HRXMSI= Q0 + Q1*HRMSW + Q2*(HRMMW-LHRMMW)/LHRMMW*100 + Q3*(0.4*QMSI) + Q4*PXMSI + Q5*LHRXMSI;

XMSM= R0 + R1*(HRXMSM-LHRXMSM)+ R2*(HRMKW-LHRMKW)+ R3*QMSM + R4*NTERM + R5*LXMSM ;

MMSC= S0 + S1*HRMSW + S2*HRMKDW + S3*INCRC + S4*NTERC + S5*LMMSC ; MMSIND= T0 + T1*(HRMSW-LHRMSW)+ T2*LHRMKDW + T3*INCRIND + T4*LMMSIND ; MMSP= U0 + U1*HRMSW + U2*HRMKDW + U3*INCRP + U4*LNTERP + U5*LMMSP ; HRMSW= V0 + V1*XMSW + V2*MMSW + V3*LHRMSW ;

QMGS= W0 + W1*LHRMGSD + W2*LHRMSD + W3*TREN + W4*LQMGS ;

XMGS= X0 + X1*LHRXMGSI + X2*HRMGSD + X3*QMGS + X4*LNTERI + X5*LXMGS ; DMGS= Y0 + Y1*HRMGSD + Y2*HRMGKD + Y3*INCRI + Y4*LDMGS ;

HRMGSD= Z0 + Z1*(DMGS-SMGS) + Z2*HRXMGSI + Z3*TREN + Z4*LHRMGSD ; HRXMGSI= AA0+ AA1*HRMGSW + AA2*(XMGS-LXMGS)/LXMGS*100 ;

QMSRS =LAKSMRS*YMSRS; QMSRK =LAKSMRK*YMSRK; QMSNS =LAKSMNS*YMSNS; QMSNK =LAKSMNK*YMSNK; QMSSS =LAKSMSS*YMSSS; QMSSK =LAKSMSK*YMSSK;

QMSI= QMSRS+QMSRK+QMSNS+QMSNK+QMSSS+QMSSK+QMSTL; DMSD= DMSIMG+DMSIL;

SMSD= QMSI-(0.4*QMSI)+MMSI+LSTKMS; XMSW= (0.4*QMSI)+XMSM+XMSRW; MMSW= MMSC+MMSIND+MMSP+MMSI+MMSRW; SMGS= QMGS-XMGS;

RANGE TAHUN= 2012 TO 2016;


(5)

Lampiran 18. Hasil Simulasi Peramalan Penetapan Kuota Ekspor Sebesar 40% dari

Total Produksi Minyak Sawit

The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary

Model Variables 38 Endogenous 38 Parameters 148 Range Variable Tahun ID Variables 1 Equations 38 Number of Statements 74 Program Lag Length 3 The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options

DATA= SIMULASI_PERAMALAN OUT= A

Solution Summary

Variables Solved 38 Simulation Lag Length 3 Solution Range Tahun First 2012 Last 2016 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 6.493E-9 Maximum Iterations 2 Total Iterations 7 Average Iterations 1.4 Observations Processed

Read 8 Lagged 3 Solved 5 First 29 Last 33 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range Tahun = 2012 To 2016


(6)

Lampiran 18. Lanjutan

Descriptive Statistics

Actual Predicted

Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev LAKSMRS 5 5 1797.1 116.2 1792.4 110.8 LAKSMRK 5 5 366.7 21.9566 366.4 21.5092 LAKSMNS 5 5 546.7 18.0261 546.1 17.3601 LAKSMNK 5 5 67.0939 2.9269 67.0580 2.8848 LAKSMSS 5 5 2185.1 126.3 2179.8 120.2 LAKSMSK 5 5 653.4 31.5528 651.4 29.1591 YMSRS 5 5 2.9278 0.00407 2.9165 0.00457 YMSRK 5 5 2.3159 0.0128 2.3103 0.0132 YMSNS 5 5 3.7336 0.0726 3.7166 0.0768 YMSNK 5 5 3.3243 0.0144 3.2996 0.0180 YMSSS 5 5 3.7175 0.00457 3.7103 0.00576 YMSSK 5 5 4.1672 0.1433 4.1551 0.1376 QMSRS 5 5 5262.0 347.4 5228.0 330.6 QMSRK 5 5 849.5 55.5204 846.6 54.4869 QMSNS 5 5 2040.0 27.7633 2028.6 22.7911 QMSNK 5 5 223.0 8.9011 221.2 8.5076 QMSSS 5 5 8122.7 462.6 8087.3 436.6 QMSSK 5 5 2726.4 225.5 2709.7 211.2 QMSI 5 5 19934.6 1163.5 19832.4 1099.7 QMGS 5 5 6090.8 342.5 6180.6 376.6 DMSIMG 5 5 4405.9 204.8 4442.4 208.1 DMSIL 5 5 154.5 37.2615 155.3 37.3224 DMSD 5 5 4560.4 167.9 4597.6 171.1 DMGS 5 5 1233.4 31.2730 1235.4 32.3520 SMSD 5 5 12268.4 395.4 17850.5 748.6 SMGS 5 5 4114.0 258.7 4186.4 281.8 HRMSD 5 5 3848.1 91.1041 3769.3 98.7979 HRXMSI 5 5 361.7 17.7385 442.5 7.9313 HRMSW 5 5 443.0 15.6329 517.9 5.7214 HRMGSD 5 5 3404.2 55.6752 3400.2 56.9343 HRXMGSI 5 5 209.6 28.7062 209.6 28.7058 XMSM 5 5 16909.8 759.9 16909.8 759.9 XMSW 5 5 34294.7 1745.2 28610.4 1325.6 XMGS 5 5 1976.8 83.8057 1994.3 95.2397 MMSC 5 5 5317.2 190.0 5069.3 119.3 MMSIND 5 5 5584.7 319.1 5521.3 313.5 MMSP 5 5 1216.4 75.0503 1012.4 204.9 MMSW 5 5 32929.3 1150.7 32414.0 941.2