kutukan karena melanggar aturan adat, maka beliau mendatangi ‗orang pintar‘. Pak AR pun harus melakukan syukuran untuk pembersihan atau
beberes agar kutukankabendon tersebut hilang. Aturan-aturan ini bersifat tidak tertulis dan kebanyakan penyadap aren
masih meyakini bahwa dengan mematuhi aturan tersebut maka pohon aren yang mereka miliki akan terus membawa berkah bagi masyarakat Kasepuhan.
5.5 Ekstraksi dan Produksi Aren
Sebelum dilakukan penyadapan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti persiapan peralatan yang akan digunakan, kesiapan pohon yang akan
disadap dan pengetahuan mengenai cara penyadapan, yang dapat mempengaruhi mutu nira yang akan dihasilkan. Alat-alat yang digunakan untuk menyadap nira
sebagian besar merupakan hasil buatan sendiri yang bahan bakunya berasal dari kebun atau pekarangan, atau membelinya di pasar. Peralatan tersebut antara lain:
a. Paninggur, yaitu alat untuk memukul-mukul lengan pohon aren yang akan disadap dengan tujuan untuk memperlancar keluarnya air nira,
b. Peso sadap, berfungsi untuk memotong ujung lengan pohon aren,
c. Lodong, bambu panjang berbentuk silinder yang digunakan untuk
menampung air nira, d.
Sigai, yaitu tangga yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk menaiki pohon aren,
e. Jeuntas atau tali yang terbuat dari bambu, yang berfungsi sebagai pijakan penyadap saat menyimpan, menyadap, dan mengambil lodong, dan
f. Bedog, digunakan untuk membuka pelepah aren.
Penyadapan dapat dilakukan pada pohon aren yang sudah berumur 10-12 tahun dan setelah bunga jantan mekar tua. Ciri-ciri bunga jantan yang sudah tua
dan siap untuk disadap dapat dilihat dari beberapa tahapan sebagai berikut : a. Barenghor, yaitu bagian lengan aren terlihat sudah mekar dan bagian dalam
bunga benang sari berwarna kuning. b. Humangit, yaitu tercium bau dari lengan aren yang sangat tajam. Apabila kita
berada di bawah pohon aren aroma tersebut tercium, tetapi apabila berada di atas pohon aren, aroma tersebut tidak tercium sama sekali.
c. Jeugang, yaitu keluar getah yang sangat lengket di sekitar tandan lengan.
d. Lumejar, yaitu bagian lengan sudah berwarna hijau tua, hitam atau ungu kehitaman.
Sebelum pohon bisa diambil niranya, perlu dilakukan proses-proses yang memiliki tahapan:
1. Pembersihan lengan pohon aren atau tandan. Persiapan penyadapan dimulai dengan membersihkan batang pohon aren dari ijuk dan membuka pelepahnya,
kemudian memasang sigai dan memasang jeuntas. 2. Ninggur, yaitu memukul-mukul lengan pohon aren yang merupakan tempat
keluarnya air nira. Dalam proses meninggur ini juga dilakukan beberapa doa khusus berupa pujian atau kata-kata baik yang ditujukan kepada pohon aren
agar air niranya keluar. Proses ninggur ini dilakukan dengan melakukan pukulan sebanyak 3 sampai 7 kali, sampai lengan pohon aren tersebut
berwarna kehitaman. Pohon aren baru dapat ditinggur apabila sudah memiliki tiga lengantandan atau setelah keluar bunga jantannya dan berbuah. Dalam
sebulan, biasanya penyadap meninggur dilakukan satu samapi dua kali dalam seminggu
3. Mengayun-ayun lengan aren. Ini dilakukan untuk memancing air nira keluar. Biasanya dilakukan berulang kali agar pori-pori yang ada di lengan aren
membesar dan air nira dapat terpancing keluar lebih banyak. Proses mengayun ini dilakukan sebelum dan sesudah meninggur, dan setiap kalinya dilakukan
sebanyak 20-30 kali ayunan. 4. Dipagas atau magas, yaitu memotong ujung tandan bunga jantan dengan
menggunakan pisau sadap, kemudian dibiarkan 1-3 hari sampai niranya keluar. Apabila dari tandan bunga jantan tersebut keluar buihbusa, maka buih
yang keluar harus dibersihkan dengan cara tandan bunga jantan disayat tipis menggunakan pisau sadap kemudian digosok dengan ijuk. Buih ini dapat
menyebabkan nira menjadi asam. Selanjutnya, setelah tandan bunga jantan bersih dari buih, tandan bunga jantan tersebut dibungkus dengan daun waluh
gedelabu dan didiamkan kembali selama 1-3 hari. Pembungkusan ini dikenal dengan istilah dipoko. Jika setelah dipoko banyak nira yang keluar, maka
tandan bunga jantan tersebut sudah bisa untuk disadap.
5. Setelah air nira keluar, para penyadap mulai menaruh lodong atau wadah bambu berbentuk silinder panjang untuk mengumpulkan air nira tersebut.
Sebelum ditaruh, lodong dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir, kemudian diasapi dengan menggunakan bara api sampai lodong terasa panas
dan kering. Selanjutnya dimasukkan raru atau bahan pengawet untuk mencegah agar nira tidak menjadi asam. Biasanya bahan pengawet tersebut
berasal dari daun-daunan, akar, atau kulit pohon, seperti daun jambu air, daun atau manggis. Untuk mencegah masuknya kotoran seperti debu dan semut,
biasanya celah diantara tangkai bunga aren dan mulut lodong disumbat dengan ijuk. Sedangkan untuk mencegah masuknya air hujan, di atas mulut
lodong diberi atap dari ijuk atau karung. Namun bila air hujan masih dapat masuk ke dalam lodong dapat diatasi dengan cara membuang airnya, karena
air hujan tidak bercampur dengan nira. Dari satu lengan pohon aren dapat menghasilkan air nira dalam jangka
waktu lima sampai tujuh bulan, tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada tandan dan kesuburan pohonnya. Biasanya lengan pertama merupakan lengan
yang paling banyak mengeluarkan air nira. Jumlah lengan pohon aren beragam, tergantung pada ketinggian pohon.
Para penyadap aren biasanya berangkat pagi hari untuk mengambil air nira yang sudah terkumpul di dalam lodong yang sebelumnya diberi akar nangka atau
akar kawao sebagai bahan pengawet yang berfungsi sebagai pencegah pengasaman pada air nira. Selain dengan itu bahan pengawet lain yang dapat
digunakan yaitu kulit manggis dan kapur sirih. Nira yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah di atas api tungku kayu bakar selama 5
–8 jam pada ruangan khusus atau disebut dengan imah gula. Ruang tersebut letaknya tak jauh
dari kebun talun, berukuran 3 x 4 meter persegi dan dipenuhi peralatan dapur untuk mengolah gula aren.
Untuk mengolahnya menjadi gula cetak, air nira terus dimasak sampai menyusut ngacaah, lalu mengental dan berwarna kekuning kuningan. Saat nira
mulai mendidih ngaguruh, di permukaannya akan terdapat buih. Buih ini sebaiknya dibuang dengan menggunakan alat penciduk agar diperoleh gula yang
tidak berwarna gelap hitam, kering dan tahan lama. Selanjutnya, gula yang
sudah matang siap dicetak dalam cetak-cetak kelapa yang sudah dibersihkan dan dibiarkan hingga mengeras, lalu siap dikemas dengan menggunakan pelepah daun
aren. Sedangkan pengolahan nira aren menjadi gula semut sedikit agak berbeda. Proses pembuatannya dimulai dengan menyaring nira agar bersih dari kotoran,
kemudian dimasak di atas tungku selama 5 –8 jam dengan terus diaduk sampai
mengental kecoklat-coklatan. Selama pengadukan, adonan aren ditambah minyak kelapa dengan perbandingan satu sendok makan minyak kelapa untuk ± 25 liter
nira. Setelah masak, nira didinginkan sambil terus diaduk perlahan-lahan. Kemudian, diamkan beberapa saat agar mengembang. Pengadukan diulangi lagi
dengan cepat menggunakan kayu pengaduk untuk memperoleh butiran-butiran berbentuk pasirkristal. Setelah itu butiran tersebut diayak dengan menggunakan
ayakan untuk memperoleh butiran-butiran pasir yang seragam sebelum akhirnya dikemas dalam kantong-kantong plastik dan siap dijual.
Dahulu masih ada pembagian kerja dalam pengolahan nira menjadi gula aren, dimana kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki menyadap aren, dan
istri atau ibu memasak nira di rumah. Namun, saat ini pembagian kerja tersebut sudah tidak lagi ditemukan karena para ibu atau istri lebih banyak bertugas untuk
memasak makanan di dapur dan mengurus rumahtangga sehingga peran untuk memasak nira kini dilakukan oleh penyadap langsung di imah gula yang letaknya
tak jauh dari talun. Setelah masyarakat mulai mengenal gula semut dan mengkomersialisasikannya, peran perempuan dalam pengolahan gula aren
semakin berkurang. Hal ini menandakan bahwa komersialisasi komoditi gula aren membuat pengolahan gula aren lebih banyak dilakukan oleh kaum lelaki karena
bidang pengetahuan yang mereka miliki, baik keahlian secara spritual dalam pemanfaatan aren maupun pengetahuan nilai ekonomi dari gula aren itu sendiri
setelah berkembangnya komersialisasi gula semut di masyarakat Kasepuhan. Biasanya para petani aren menjual hasil gula arennya kepada pengumpul.
Para pengumpul pun rata-rata hanya menerima gula aren dalam bentuk gula semut. Hal ini dikarenakan nilai jual gula semut yang lebih tinggi dibanding gula
cetak. Bahkan gula semut ini juga dipasok ke kota-kota besar di luar Sukabumi, bahkan sampai ke Jakarta. Selain itu dapat dikonsumsi langsung oleh konsumen,
gula semut ini juga diolah sebagai bahan baku untuk pembuatan makanan dan
minuman di pabrik-pabrik besar. Menurut salah satu informan, Pak OM 36 tahun, salah satu produk Brown Coffee menggunakan gula aren yang diproduksi
di Kasepuhan ini. Selain itu produk minuman lain seperti bandrek atau minuman jahe juga menggunakan bahan baku gula semut ini.
Masyarakat Kasepuhan memang lebih memilih gula semut untuk dikomersialisasikan dibandingkan gula cetak. Menurut para responden, hal ini
dikarenakan gula aren dapat ‗menghasilkan‘. Sebenarnya gula cetak pun sama, hanya saja peminatnya tidak banyak dan mereka hanya membuat gula cetak jika
ada pesanan saja. Selain itu, pembuatan gula semut ini juga dilakukan atas insruksi dari pemerintah daerah setempat agar menjadikan gula aren sebagai
komoditi utama yang diproduksi di Desa Sirna Resmi. Gula semut biasanya dijual kepada pengumpul dengan kisaran harga Rp
7.000,00 sampai Rp 10.000,00 per kilogram. Untuk gula cetak dijual langsung kepada konsumen dengan harga Rp 15.000,00 sampai Rp 25.000,00 per kojor.
Kojor ini merupakan satuan ukuran yang digunakan masyarakat Kasepuhan untuk gula cetak. Satu kojor sama dengan lima hulu atau kepala. Masing-masing hulu
terdiri dari dua cetak gula yang direndengkan menjadi satu. Gula cetak juga dapat dijual per hulu seharga Rp 3.000,00-5.000,00. Selanjutnya mengenai pembagian
kerja yang terjadi dalam pemasaran gula aren dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pemilik dan penyadap aren
Penyadap aren yang ada di Kasepuhan masih mengolah gula aren dalam skala kecil, yaitu skala rumahtangga. Dalam satu rumahtangga yang memiliki
pohon aren, penyadapan bisa dilakukan oleh kepala keluarga itu sendiri, anak laki- lakinya, atau adik laki-laki, keponakan laki-laki, dan menantu laki-laki yang
memang memiliki keahlian menyadap aren. Memasak gula aren pun langsung dilakukan oleh orang yang menyadap aren. Namun, tidak menutup kemungkinan
anggota keluarga perempuan untuk memasak gula aren. Akan tetapi hal ini sudah jarang ditemukan di Kasepuhan karena kaum perempuan lebih fokus pada urusan
bertani dan urusan di memasak dapur untuk menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga. Pembagian tugas keluarga dalam penyadapan aren masih
dilakukan oleh salah satu responden yaitu Bapak AN 74 tahun. Beliau hanya bertugas memasak gula aren, sedangkan anak laki-lakinya bertugas menyadap nira
dari pohon aren yang ia miliki tanpa adanya pembagian hasil gula aren. Lain halnya dengan Bapak IR 55 tahun yang niranya disadap dan dimasak oleh
anaknya, namun dengan memakai sistem maro dimana ada pembagian hasil gula aren.
2. Pengumpul Pengumpul berperan mengumpulkan gula aren yang diperoleh dari
penyadap aren. Pengumpul merupakan pihak yang menjembatani pemasaran gula semut dari dalam desa ke luar desa sehingga gula semut dari Kasepuha dapat
dipasarkan ke kota-kota besar. Pengumpul gula aren dapat dikatakan sebagai pihak yang paling penting dari pemasaran gula aren ini, karena tanpa adanya
pengumpul gula aren di tiap-tiap kampung para penyadap tidak dapat memasarkan ke luar desa. Lagipula jarak yang harus ditempuh dari satu dusunh ke dusun lain
sangat jauh, sehingga para penyadap lebih memilih untuk menjual gula semutnya melalui pengumpul gula semut. Sedangkan pengumpul sagu aren hanya dapat
ditemukan di tiap desa, sehingga untuk pemasaran sagu aren agak sulit ditelusuri karena lokasinya yang sangat jauh. Untuk saat ini, kebanyakan pohon aren yang
sudah tidak berproduksi dibiarkan saja sampai pohon tersebut mati dan tumbang dengan sendirinya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat kelembagaan berupa aturan-aturan adat mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada di Desa Sirna
Resmi, khususnya masyarakat Kasepuhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan aren masih tetap terjaga. Kelembagaan dari segi kepemilikan pohon aren
ditentukan berdasarkan tempat tumbuhnya pohon aren di kebun talun milik warga, dan kepemilikan tersebut dapat diwariskan turun temurun dalam suatu keluarga.
Kepemilikan pohon aren juga dapat dipindahkan kepada orang lain melalui sistem jual-beli pohon aren, meskipun hal tersebut bertentangan dengan aturan adat yang
berlaku di masyarakat Kasepuhan. Hal garap untuk memanfaatkan aren pun dapat diberikan kepada orang lain melalui sistem maro atau bagi hasil.
Selain itu, kelembagaan yang terdapat dalam pengelolaan aren ini yaitu adanya peran pengumpul gula semut sebagai pihak yang menjembatani penyadap
aren dengan konsumen untuk memasarkan hasil gula semut yang dihasilkan. Menurut penelitian RMI tahun 2003 lalu, terdapat koperasi KUB Karya Bakti
yang yang mengumpulkan gula aren dari perajin aren bagi empat desa, yaitu Desa Sirna Resmi, Desa Cicadas, Desa Sirnagalih, dan Desa Cikadu. Akan tetapi, saat
ini koperasi tersebut sudah tidak berjalan lagi karena peran pengumpul gula semut diambil alih oleh para pengumpul gula semut yang jumlahnya semakin banyak,
dan setidaknya setiap kampung memiliki satu sampai dua pengumpul gula aren. Penyebab lainnya yaitu adanya jaringan sosial yang terbentuk karena adanya
hubungan informal sesama anggota komunitas Kasepuhan. Kepercayaaan yang terbangun dari hubungan antar individu yang sudah terjalin lama, dan terlibat
dalam perilaku ekonomi berpengaruh terhadap pemasaran gula aren itu sendiri. Eksistensi koperasi yang diharapkan dapat menjadi fasilitator para penyadap aren
menjual hasil arennya kepada konsumen ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Hubungan yang sudah terjalin erat antara penyadap aren dengan pengumpul
sebelumnya membuat penyadap lebih memilih untuk menjual hasil gula semutnya kepada para pengumpul daripada ke koperasi.
5.6 Ikhtisar