e. Kerti kidang ka kulon, konstelasi ini menjadi tanda datangnya musim hujan. Panen biasanya dilakukan mulai dari bulan April. Setelah dipanen, padi
dipocong atau diikat lalu dijemur dengan menggunakan bambu atau disebut dengan dilantay. Dari dua ikat padi basah menjadi satu ikat padi kering. Setelah
kering, padi dimasukkan ke dalam leuit atau lumbung padi. Hasil padi yang diperoleh masyarakat disisihkan untuk dimasukkan ke dalam Leuit Kasepuhan
atau leuit girang. Untuk per 50 ikat padi, biasanya warga memasukkan 1 ikat ke dalam leuit girang.
Ada kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Kasepuhan bahwa siapa yang menggarap lahan pertanian dan bermatapencaharian sebagai petani, tentu
hidupnya tidak akan kekurangan. Kebutuhan untuk makan setiap hari akan dapat dicukupi dari hasil taninya. Kalaupun tidak cukup dapat meminjam padi kepada
leuit girang Rahmawati et al 2008. Namun kebanyakan warga merasa bahwa kebutuhan makan mereka sudah tercukupi untuk setahun dari hasil panen bahkan
lebih sehingga masih ada sisa padi di leuit rumahtangga masing-masing. Oleh karena itu mereka tidak perlu lagi meminjam padi ke leuit girang.
4.5 Karakteristik Rumahtangga Pemanfaat Aren di Masyarakat
Kasepuhan
Akses terhadap pemanfaatan hasil hutan dan penggarapan lahan untuk usaha tani, dipandang dari individu petani rumahtangga didasarkan atas
pertimbangan keuntungan dan nilai manfaat. Rambo 1984 dalam Sudarmanto 1996 menyatakan bahwa nilai pemanfaatan hasil hutan dipengaruhi oleh
karakteristik sosial ekonomi rumahtangga petani sekitar hutan. Untuk mengetahui nilai pemanfaaatan aren bagi masyarakat Kasepuhan diukur dari data karakteristik
sosial ekonomi yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain: 1. Tingkat Usia
Tingkat usia rata-rata dari responden berkisar antara 20-80 tahun. Berdasarkan sebaran normal usia responden dikelompokan menjadi lima yaitu: 1
30 tahun, 2 30-40 tahun, 3 40-50 tahun, 4 50-60 tahun, dan 5 60 tahun. Sebaran responden berdasarkan tingkat usia dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Sebaran Usia Responden
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebaran usia responden hampir merata pada selang umur 30 sampai 80 tahun. Hal tersebut
dikarenakan rata-rata masyarakat mulai bekerja dan berumahtangga pada usia menjelang 20 tahun. Setelah memulai rumahtangga, kepala keluarga mulai
mencari cara untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya guna memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari, salah satunya memanfaatkan aren
bagi rumahtangga yang memiliki pohon aren dan memiliki kemampuan untuk menyadapnya. Sebaran umur terbanyak pada usia 60 tahun sebesar 32 dan
sebaran umur paling sedikit pada usia 30 tahun sebesar 3 . Dari data yang diperoleh, responden yang sudah berusia di atas 60 tahun pun masih dapat
menyadap arennya sendiri, yaitu Bapak OP 70 tahun dan Bapak NH 77 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa proses penyadapan aren lebih banyak dilakukan
kelompok petani yang berusia tua. Namun, satu hal yang pasti adalah proses penyadapan aren terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup para penyadap aren
setelah berumahtangga.
30 tahun 30-40 tahun
40-50 tahun 50-60 tahun
60 tahun
3 21
26 32
18
2. Tingkat Pendidikan Gambaran secara umum kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat dari
tingkat pendidikan yang telah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden
Rata-rata responden hanya sekolah sampai bangku sekolah dasar yaitu sebesar 85. Dari persentase tersebut, 26 tidak tamat SD dan 59 diantaranya
menyelesaikan sekolahnya sampai tamat. Sedangkan sisanya sebesar 21 dapat melanjutkan pendidikan samapi jenjang SMP. Namun yang menyelesaikan
pendidikannya sampai tamat SMP hanya sebesar 15 dan 6 lainnya tidak tamat SMP. Kurangnya fasilitas pendidikan serta akses ke sekolah yang jauh membuat
masyarakat memilih untuk fokus pada kegiatan bertani. Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan
adaptasi dan adopsi terhadap teknologi dan perubahan, salah satunya dalam teknologi proses pembuatan gula aren yang masih tradisional.
3. Mata Pencaharian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki mata pencaharian utama
sebagai petani. Hasil dari pertanian tersebut ditujukan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Namun, karena responden dari penelitian ini adalah penyadap aren,
maka untuk memenuhi kebutuhan lainnya mereka mempunyai pendapatan dari
Tidak Tamat SD Tamat SD
Tidak Tamat SMP Tamat SMP
26
53 6
15
pekerjaan sampingan lainnya seperti, buruh tani, kuli angkut, ojek, tukang kayu dan berdagang. Sebaran mata pencaharian sampingan responden terdapat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Sebaran Mata Pencaharian Sampingan Responden
Berdasarkan Gambar 9, dari 34 responden terdapat 17 orang responden yang mata pencahariannya petani dan penyadap aren. Sedangkan 17 orang
responden lainnya bekerja sampingan sebagai buruh tani sebesar 13, kuli angkut sebesar 13, tukang ojek 7, beternak sebesar 40, serta tukang kayu dan
berdagang memiliki persentase yang sama sebesar 20. Pekerjaan sampingan selain penyadap aren ini dilakukan untuk menambah pendapatan karena pohon
aren tidak selalu menghasilkan banyak nira untuk diolah menjadi gula aren. 4. Jumlah Anggota Rumahtangga
Rata-rata jumlah seluruh orang yang berada di dalam satu rumahtangga dan menjadi tanggungan kepala keluarga responden berkisar antara 2 sampai 5
orang. Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap pendapatan per kapita yang diperoleh masing-masing anggota rumahtangga. Dari data primer diperoleh
sebaran jumlah tanggungan keluarga yang dapat dilihat pada Gambar 10.
Beternak Tukang Kayu
Berdagang Buruh Tani
Kuli Angkut Ojek
7
20 13
13 40
20
Gambar 10. Sebaran Jumlah Anggota RT
Berdasarkan Gambar 10, mayoritas responden memiliki jumlah anggota rumahtangga 3 sampai 4 orang, yaitu sebesar 26 dan 47. Untuk 12
responden yang jumlah tanggungan keluarganya hanya 2 orang biasanya merupakan pasangan suami-istri yang sudah sepuh dan anaknya-anaknya sudah
menikah dan berumahtangga. Sedangkan responden yang memiliki jumlah tanggungan 5 orang sebesar 14. Jumlah tanggungan keluarga ini berpengaruh
terhadap pemenuhan kebutuhan rumahtangga dari hasil penjualan gula aren, dan hasil dari komoditi lainnya.
5. Luas Lahan Garapan Setiap responden memiliki lahan garapan, baik lahan yang dimiliki sendiri
maupun milik orang lain yang digarap oleh responden. Berdasarkan gambar tersebut, seluruh responden rata-rata memiliki lahan garapan yang kurang dari 0.5
ha. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh responden merupakan rumahtangga petani dengan kepemilikan lahan skala yang kecil. Sebaran luas lahan garapan
yang dimiliki responden adalah sebagai berikut.
2 orang 3 orang
4 orang 5 orang
14
47 12
26
Gambar 11. Sebaran Luas Lahan Garapan
Berdasarkan total lahan garapan tersebut, lahan garapan sawah dan huma merupakan sumber pendapatan utama yaitu dari hasil padi yang diperoleh.
Pendapatan tambahan berupa uang biasanya diperoleh dari hasil buruh kerja tani dan hasil panen dari lahan lainnya sepeti talun, dan pekerjaan sampingan non
pertanan lainnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, lahan yang mereka miliki
adalah lahan yang diwariskan oleh orang tua sehingga orang tua yang memiliki jumlah anak yang banyak maka masing-masing anak mendapat porsi yang kecil.
Meskipun memiliki lahan yang sempit tetapi masyakat masih dapat menggarap lahan komunal yaitu huma.
6. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan dilihat dari tingkat perolehan dari kegiatan mata
pencaharian masyarakat yang diukur dalam uang. Pengukuran tingkat pendapatan dikelompokkan berdasarkan per kapita yaitu pendapatan rumahtangga dibagi
dengan jumlah tanggungan dalam keluarga. Tingkat Pendapatan dikelompokan dalam tiga kategori yaitu 1 tinggi
Rp 750.000, 2 sedang Rp 350.000- Rp 750.000, 3 rendah Rp 350.000. Berikut ini gambaran mengenai sebaran tingkat pendapatan responden.
0.5 ha 0.5 ha
3
97
Gambar 12. Sebaran Tingkat Pendapatan
Berdasarkan Gambar 12, persebaran tingkat pendapatan responden rata- rata berada di tingkat Rp 350.000-Rp 750.000. Hal ini terkait dengan pemanfaatan
aren yang lebih banyak dimanfaatkan responden sebagai sumber pendapatan berupa uang melalui hasil gula aren. Tingkat pendapatan yang diterima dari
memanfaatkan aren akan mempengaruhi perilaku masyarakat desa tersebut dalam pengembangan pemanfaatan aren itu sendiri. Pemanfaatan aren yang memiliki
persentase besar memberikan kontribusi yang besar pula terhadap struktur pendapatan rumahtangga penyadap aren sehingga perlu suatu langkah untuk
membudidayakan aren agar terjaga dan terjamin kelestariannya karena selama ini aren yang dimanfaatkan masyarakat merupakan aren yang tumbuh karena bantuan
musang.
Rp 350.000 Rp 350.000- Rp
750.000 Rp 750.000
18
53 29
BAB V KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN
5.1 Sejarah Pemanfaatan Aren
Pohon aren banyak tumbuh di kebun-kebun milik masyarakat Kasepuhan atau biasa disebut talun. Kebun talun sendiri merupakan bagian dari leuweung
sampalan, yaitu hutan yang dapat dimanfaatkan dan dipungut hasilnya oleh masyarakat, namun tetap dalam batas-batas aturan adat. Kebun talun termasuk ke
dalam rangkaian bentuk pemanfaatan lahan dengan siklus ngahuma. Pohon aren ini tumbuh sendiri karena adanya musang yang menyebarkan benih aren melalui
kotorannya, dan untuk menumbuhkannya perlu waktu selama sepuluh tahun. Pohon aren dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan sejak awal mula
masyarakat Kasepuhan terbentuk, sehingga pemanfaatan aren sendiri tumbuh bersamaan dengan munculnya masyarakat Kasepuhan.
Masyarakat memposisikan pohon aren sebagai pohon yang cukup istimewa karena seluruh bagian dari pohon aren bermanfaat. Karena manfaat yang
banyak inilah, orangtua atau kolot di masyarakat Kasepuhan menanamkan nilai- nilai yang baik pada anak-anaknya yaitu
‗hirup kudu siga tangkal kawung’ yang artinya
‗sebagai manusia hidup harus seperti pohon aren yang memiliki banyak manfaat dan dapat berguna bagi orang lain
‘. Secara turun temurun kokolot kampung memberikan wejangannya agar selalu melestarikan pohon-pohon aren
yang ada di kampung mereka. ‗Jeujeuhken kaung tina kahirupan urang, eweuh kaung
– eweung kaberkahan jeung kahirupan urang ka hareup‘ yang artinya ‗jadikan pohon aren sebagai bagian dari kehidupan, jika tidak ada pohon aren
maka tidak ada pula berkah di masa yang akan datang, demikian ungkapan yang selalu disampaikan kepada generasi mendatang di Desa Sirna Resmi.
Semua bagian pohon aren dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, antara lain air nira untuk gula aren dan cuka, buah aren kolang kaling untuk
dikonsumsi sebagai makanan, akarnya untuk obat tradisional, daun mudajanur untuk pembungkus kertas rokok, dan batangnya untuk membuat sagu aren serta
berbagai macam peralatan dan bangunan. Masyarakat memanfaatkan air niranya