perpindahan kepemilikan aren ini merupakan salah satu upaya awal yang dilakukan untuk mengatur alokasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agar
lebih efisien. Pemilik pohon menilai bahwa pohon aren yang masih berproduksi lebih baik dijual kepada pihak lain yang memang dapat memanfaatkan pohon aren
tersebut daripada hanya didiamkan saja tumbuh di kebun talunnya. Begitu pula dengan pemilik pohon yang memarokan pohonnya epada orang lain. Mereka lebih
memilih pohonnya disadap orang lain dan menghasilkan untuk orang lain daripada pohon tersebut didiamkan begitu saja padahal pohon tersebut berpotensi
menghasilkan banyak gula aren.
6.3 Peranan Aren bagi Pendapatan Rumahtangga
Aren termasuk salah satu tanaman yang multiguna karena semua bagian dari tanaman ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan. Dari satu
tanaman aren dapat menghasilkan gula aren nira, injuk dari serabutnya, kolang-kaling buah aren, dan sagu aren aci kawung dari batangnya. Sejak
dahulu, pemanfaatan aren yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan merupakan bentuk usaha yang dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi
kebutuhan rumahtangga sehari-hari. yaitu dengan menggunakan gula aren sebagai bumbu masak dan bahan pemanis untuk minuman. Pemanfaatan aren ini
dilakukan dalam skala rumahtangga, dimana masing-masing keluarga yang memiliki pohon aren di lahan mereka dan mengolah hasil dari pohon aren
tersebut. Semua bagian dari pohon aren dapat dimanfaatkan. Hanya saja, dari masing-masing bagian pohon aren tersebut tidak semua dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan seperti air nira. Misalnya untuk buah aren atau kolang-kaling yang hanya dijual ketika bulan Ramadhan tiba. Ketika pohon sudah tidak memproduksi
air nira maka pohon ditebang dan dimanfaatkan batangnya sebagai bahan baku untuk membuat sagu aren.
Dalam membagi alokasi tenaga kerja untuk menyadap pohon aren ini, hanya dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki saja, baik bapak sebagai kepala
keluarga, atau anak laki-laki atau sanak saudara lain yang memang tinggal bersama dalam satu rumahtangga, dan tentu saja memiliki ‘keahlian‘ dalam
menyadap. Semua proses pembuatan gula aren dilakukan oleh satu orang saja. Dari mulai meninggur, menyadap, dan memasak gula aren dilakukan langsung
oleh penyadap tersebut tanpa melibatkan anggota keluarga lain. Biasanya setelah mengambil lodong yang telah berisi air nira dengan memanjat pohon aren, para
penyadap tersebut langsung memasaknya di imah gula atau sebuah rumah kayu yang memang merupakan tempat khusus untuk memasak air nira untuk diolah
menjadi gula aren. Seorang penyadap aren biasanya menyadap aren di pagi hari. Setelah
memasaknya menjadi gula aren, mereka akan pergi ke sawah atau ke huma untuk bertani, yang merupakan mata pencaharian utama mereka, baik petani yang
memiliki lahan sendiri maupun hanya sebagai buruh tani atau maro sawah milik orang lain. Sore harinya mereka akan menyadap aren kembali. Untuk
pengambilan nira di sore hari, tidak semua penyadap langsung memasak nira tersebut. Biasanya nira dimasak sebentar atau diwedangkeun, baru dimasak dan
diolah menjadi gula aren bersama hasil nira yang diambil keesokan paginya, tanpa ada campur tangan anggota keluarga lain.
Dari hasil pembuatan gula cetak atau kojor biasanya masyarakat menggunakannya sebagai bumbu masak dan bahan pemanis untuk makanan dan
minuman. Selain itu, gula cetak juga dijual per kojor ke pasar terdekat dan ke tetangga sekitar. Setelah adanya pengembangan produk gula aren menjadi gula
semut dari Pemerintah Daerah setempat, masyarakat mulai beralih untuk mengolah nira menjadi gula semut. Terlebih lagi dengan adanya pengumpul gula
semut di desa, membuat para penyadap lebih mudah untuk menjual hasil gula semutnya ke luar desa. Pembuatan gula cetak pun semakin jarang karena
masyarakat lebih memilih membuat gula semut setiap harinya untuk memperoleh pendapatan berupa uang. Sedangkan pembuatan gula cetak hanya dilakukan
apabila ada pesanan. Masyarakat Kasepuhan sangat menggantungkan hidupnya dari hasil
bercocok tanam, terutama pada yang ditanam di huma dan sawah. Huma termasuk ke dalam lahan kering yang digunakan masyarakat untuk menanam padi di
ladang, tanaman palawija dan tanaman keras seperti kayu-kayuan. Karena bentuk awalnya adalah reuma, sehingga apabila akan digarap dan ditanami, lahan ini
harus dibuka dan dibersihkan dulu. Kepemilikan lahan huma berdasarkan garis keturunan yang jelas. Rata-rata setiap kepala keluarga memiliki huma sebesar 1
patok atau setara dengan 400 m
2
atau 0,04 ha. Biasanya sebelum menanam padi di sawah, masyarakat Kasepuhan menanam padi terlebih dahulu di huma.
Pengelolaannya dan pemanfaatan hasil pertanian baik dari huma maupun sawah dilakukan dalam suatu kelembagaan yang dikenal dengan sistem leuit atau
lumbung padi. Hasil padi yang diperoleh dari sawah tersebut biasanya disimpan di dalam
leuit untuk kebutuhan makan selama satu tahun. Bahkan banyak masyarakat yang merasa bahwa simpanan padi mereka lebih dari cukup dan biasanya sisa dari
panen sebelumnya tetap disimpan dan diakumulasikan hasilnya dengan hasil tahun yang sekarang. Masing-masing kepala keluarga memiliki minimal 1 buah
leuit untuk menyimpan padi mereka. Pengelolaan talun tidak seintensif sawah atau huma dan biasanya letaknya di dekat perkampungan dengan hak kepemilikan
yang jelas dan tetap. Pemilik talun baru datang ke talun apabila akan memanfaatkan atau memanen buah atau kayu yang tumbuh di talun tersebut. Jenis
tumbuhan yang tumbuh di talun umumnya terdiri dari pohon kayu dan pohon buah. Beberapa tumbuhan hasil talun dapat dijual dan cukup untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi sehari-hari seperti hasil dari aren berupa gula aren dan kapulaga atau masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan kapol yang
dijual melalui pengumpul. Sedangkan tanaman kayu yang ada di talun biasanya adalah
mani’i, jengjeng, manglid, tisuk, dan lain-lain. Data primer dalam penelitian ini pendapatan yang diperoleh dipilih dari
komoditi pertanian yaitu hasil padi, baik dari hasil padi sawah maupun huma, serta hasil kebun talun yaitu kapulaga kapol dan aren. Kapol sendiri dipilih
karena waktu produksi dari tanaman kapol ini tidak memakan waktu lama, yaitu dapat dipanen sebulan sekali sampai tiga bulan sekali. Sedangkan hasil kebun
talun lainnya seperti kayu, sayur dan buah-buahan waktu panennya tidak tentu dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh pendapatan dari
komoditi tersebut. Sumber pendapatan lain diperoleh dari pekerjaan sampingan responden yang di luar pertanian. Luasan lahan yang digarap dan pendapatan yang
diperoleh responden dari masing-masing komoditi dapat ditunjukkan dalam tabel yang terdapat dalam lampiran.
Seluruh responden yang ditemui di lapang memiliki pohon aren sendiri. Setiap rumahtangga yang ada di masyarakat Kasepuhan memiliki lahan masing-
masing. Meski tidak semua memiliki lahan yang luas, tetapi dalam satu rumahtangga setidaknya memiliki lahan yang dapat ditanami. Jumlah pohon yang
dimiliki oleh responden beragam, baik yang belum berproduksi maupun yang sudah berproduksi niranya. Tabel 6 menunjukkan jumlah pohon aren yang
dimiliki responden dari tiga dusun yang ada Desa Sirna Resmi. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Pemilik Pohon Aren Menurut Proses Penyadapan
dan Kategori Jumlah Pohon Aren
Proses Penyadapan Jumlah Pohon Aren
batang Total
≤5 6-10
10 Tidak
terhitung Disadap Sendiri
15 68.18 2 50 2 66.67 2 40
21 61.76
Disadap Orang
Lain Anggota
Keluarga 3 13.64 1 25
1 33.33 2 40 7 20.59
Diparokan 4 18.18 1 25 -
1 20 6 17.65
Total 22 100
4 100 3 100 5 100
34 100
Sumber: Data Primer 2011
Secara umum, dari 34 responden terdapat 21 orang atau 61.76 yang menyadap sendiri pohon arennya, 7 responden atau 20.59 yang pohon arennya
disadap oleh anggota keluarga, dan sisanya 6 responden atau 17.65 diparokan kepada orang lain. Dari jumlah keseluruhan pohon yang dimiliki, tidak seluruhnya
disadap karena bergantung dari usia pohon dan jumlah nira yang dihasilkan pohon tersebut. Selain itu, kemampuan menyadap dari penyadap dan usia pemilik pohon
juga mempengaruhi jumlah pohon yang disadap. Kategori responden yang
menjawab tidak terhitung jumlah pohon arennya merupakan responden yang
jumlah pohonnya arennya banyak dan tidak terhitung. Dari total 5 responden, hanya 3 responden yang menyatakan jumlah pohon yang disadap, sedangkan 2
responden lain tidak menyebutkan jumlah pohon yang disadap secara pasti. Dari 3 responden yang menyebutkan jumlah pohon yang disadap, 1 responden menyadap
2 pohon miliknya sendiri. Sedangkan 2 responden lainnya memiliki pohon aren yang disadap oleh orang lain, 1 responden diparo dengan sistem bagi 2:5 dari 4
pohon aren dan satu yang lainnya tidak dengan bagi hasil —melainkan 5 pohon
dibiarkan disadap oleh keponakannya yang memang ada hubungan keluarga. Namun secara keseluruhan, dari kelima responden yang memiliki banyak pohon
aren yang jumlahnya tidak terhitung, terdapat 3 orang yang pohon arennya disadap orang lain dan 2 orang lainnya disadap sendiri.
Untuk responden yang memiliki lebih dari 10 pohon aren terdapat 3 orang. Salah satu responden memiliki 40 pohon aren yang usianya masih muda dan
hanya beberapa yang dapat disadapnya sendiri responden tidak menyebutkan jumlahnya, sedangkan 2 responden lain memiliki 12 pohon aren yang disadap
oleh anaknya tanpa sistem bagi hasil dan 15 pohon aren yang disadap sendiri oleh pemiliknya. Responden yang memiliki pohon aren kurang dari sama dengan lima
≤5 pohon hampir seluruhnya disadap niranya, baik disadap sendiri, disadap anggota keluarga lain, maupun diparokan kepada orang lain. Empat responden
yang memiliki jumlah pohon aren 6 sampai 10 pohon terdiri dari 2 responden yang menyadap pohonnya sendiri dan 2 responden yang pohonnya disadap orang
lain. Sedangkan yang memiliki pohon kurang dari sama dengan 5 terdapat 16 responden yang menyadap pohonnya sendiri dan 6 responden lainnya memarokan
pohonnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh pada Tabel 6, dapat dikemukakan
bahwa semakin banyak pohon yang dimiliki, maka semakin banyak responden yang membiarkan pohonnya disadap atau diusahakan oleh pihak lain dan semakin
sedikit jumlah pohon aren yang dimiliki, maka semakin banyak responden yang menyadap pohonnya sendiri. Dalam hal pihak lain yang mengusahakan atau ikut
menyadap, maka persentase responden yang penyadapan pohonnya dilakukan oleh kerabat memiliki nilai yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan masih mempunyai peranan besar bagi responden di dalam memberikan akses sumberdaya, khususnya terhadap
sumberdaya pertanian. Aturan antara kepemilikan pohon dan tanah saling berhubungan, namun
dalam sistem maro tidak terlalu dipermasalahkan. Pohon yang sengaja disadap
orang lain atau diparokan oleh pemiliknya bertujuan agar pohon tersebut dapat dimanfaatkan baik oleh penyadap yang memang tidak memiliki pohon maupun
anggota keluarga yang meneruskan usaha gula aren keluarga. Kepemilikan baru akan berpindah apabila ada transaksi jual-beli pohon aren. Meskipun begitu, dari
seluruh responden tidak ditemukan responden yang memperoleh pohon aren dari hasil jual-beli dengan pihak lain. Selain itu, banyaknya pohon yang disadap
bergantung pada kemampuan fisik penyadap dan kemampuan berproduksi dari pohon aren itu sendiri. Oleh karena itu, komersialisasi pada produk gula aren tidak
terlalu berpengaruh pada ritual dalam penyadapan nira. Berdasarkan hasil yang didapat di lapangan, peranan hasil gula aren bagi
pendapatan rumahtangga dapat ditentukan dari dua faktor. Pertama, dari segi kepemilikan pohon aren serta orang yang menyadapnya, dan kedua seberapa
banyak pohon aren yang disadap. Namun, jika dibandingkan dengan sumber pendapatan lain yang diperoleh, pendapatan rumahtangga penyadap aren lebih
bertumpu pada hasil gula aren dibanding hasil kebun lainnya yang berupa tanaman buah-buahan atau sayuran. Hal ini dikarenakan aren tetap bisa dipanen
setiap hari meskipun bergantung jumlah air nira yang keluar. Untuk hasil tanaman lain yang diperoleh dari kebun talun seperti buah-buahan dan sayuran sifatnya
memang yang lebih cepat panen dan waktu produksinya tidak memakan waktu yang lama, namun berkala. Kayu yang ditanam di talun pun baru bisa dipanen jika
umur tanaman kayu sudah 6 tahun, dan dijual dengan harga Rp 400
.
000
,00
per satuan ukuran m
3
kayu yang ada di lahan kebun talun. Ekonomi uang sudah menjadi bagian dominan dari kehidupan ekonomi
rumahtangga bagi masyarakat Kasepuhan. Komersialisasi pertanian meningkat, baik dari aren maupun kapol. Bila dulu ciri ekonomi pertanian rumahtangga
petani lebih subsisten, dengan sedikit sumberdaya yang disisihkan untuk produksi untuk pasar. Kini, produksi untuk pasar
– setidaknya untuk sebagian penduduk desa
– sudah menempati posisi dominan. Persentase pendapatan yang diperoleh oleh responden dari hasil sawah dan huma, kapol, aren, dan non pertanian secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pendapatan Terbesar dari Beragam Sumber Pertanian dan Non Pertanian dari Petani Gula Aren
Persentase Pendapatan Terbesar Jumlah Responden
Padi 2
5.9 Aren
29 85.3
Kapol 1
2.9 Non Pertanian
2 5.9
Total 34
100
Sumber: Data Primer 2011
Faktor kepemilikan serta orang yang menyadap pohon aren berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh responden. Baik pemilik pohon yang
memarokan pohonnya maupun pemilik pohon yang menyadap pohonnya sendiri memiliki pendapatan terbesar dari aren. Pemilik pohon yang memarokan pohon
arennya sebesar 84.6 dari 13 responden dan sedangkan yang menyadapnya sendiri sebesar 85.7 dari 21 responden. Secara keseluruhan, para pemilik pohon
aren memiliki persentase pendapatan terbesar dari hasil gula aren, yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 85.3. Responden lainnya memperoleh persentase
pendapatan terbesar dari padi dan non pertanian masing-masing sebanyak 2 responden yaitu sebesar 5.9, dan dari hasil kapol sebesar 2.9. Berdasarkan
faktor kepemilikan dan penyadapannya pohon aren, pendapatan yang diperoleh responden dari hasil gula aren sangat berkontribusi bagi pendapatan rumahtangga.
Tabel 8 menunjukkan bahwa pola penyadapan pohon aren mempengaruhi jumlah pendapatan yang diperoleh dari gula aren. Pemilik pohon yang menyadap
pohonnya sendiri memperoleh pendapatan terbesar dari aren sebanyak 62.1. Sedangkan pemilik pohon yang memarokan pohon arennya hanya sebanyak
37.9. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah pendapatan aren yang diperoleh dari memarokan tersebut dipengaruhi sistem bagi hasil yang ditentukan
pemilik dan penyadap. Dalam banyak kasus bagi-hasil, penyadap mendapat bagian yang lebih besar daripada pemilik pohon. Namun, hal ini tidak
berpengaruh banyak. Karena meskipun mendapat bagian sedikit, perolehan persentase pendapatan dari gula aren tersebut tetap menjadi yang terbesar
dibandingkan hasil pendapatan dari komoditi lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penguasaan pohon aren
—khususnya dalam proses penyadapan mempengaruhi jumlah pendapatan responden.
Tabel 8. Kontribusi pendapatan Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Berdasarkan Penguasaan Aren
Persentase Pendapatan
Penguasaan pohon aren Total
Pemilik pohon aren
Pemilik dan Penyadap
Padi -
2 9.5 2 5.9
Aren 11 84.6
18 85.7 29 85.3
Kapol 1 7.7
- 1 2.9
Non Pertanian 1 7.7
1 4.8 2 5.9
Total 13 100
21 100 34 100
Sumber: Data Primer 2011
Faktor yang kedua adalah jumlah pohon aren yang dimiliki. Besarnya pengaruh dari jumlah pohon aren terhadap kontribusi pendapatan dari gula aren
terhadap total pendapatan, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah pohon tidak mempengaruhi banyaknya pendapatan
yang diperoleh. Dari total 29 responden yang memperoleh pendapatan terbesar dari hasil gula aren, sebanyak 21 responden atau 74.4 hanya memiliki pohon
aren kurang dari lima dan atau memiliki 5 pohon. Sedangkan sisanya memiliki lebih dari enam pohon, bahkan tak terhitung jumlah pohon arennya. Hal ini
disebabkan hasil yang diperoleh dari gula aren bergantung pada beberapa hal, yaitu berproduksi atau tidaknya nira, umur pohon, dan jumlah nira yang
dihasilkan dari tiap-tiap pohon. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jumlah pohon aren yang disadap tidak selalu mempengaruhi hasil pendapatan gula aren
yang diperoleh responden. Jumlah pohon aren yang sedikit ini juga berkorelasi
dengan sedikitnya jumlah sumber lain yang dimiliki oleh responden. Dengan kata lain, mereka hanya memiliki sedikit sumberdaya lain yang dapat dimanfaatkan
untuk memperoleh pendapatan berupa uang sehingga pendapatan utama rumahtangga mereka diperoleh dari hasil gula aren.
Tabel 9. Jumlah Petani Gula Aren Berdasarkan Pendapatan yang Diperoleh dari Tiap Komoditi dan Jumlah Pohon Aren yang Dimiliki
Pendapatan dari Komoditi
Jumlah pohon aren yang dimiliki Total
≤5 6-10
10 Tak
terhitung Padi
2 8 -
- -
2 5.9 Aren
21 84 4 100 2 100
2 66.7 29 85.3
Kapol -
- -
1 33.3 1 2.9
Non Pertanian 2 8 -
- -
2 5.9 Total
25 100 4 100 2 100 3 100
34 100
Sumber: Data Primer 2011
Faktor kepemilikan dan siapa yang menyadap aren sangat berpengaruh pada pendapatan rumahtangga yang diperoleh masyarakat. Berdasarkan hasil dari
data yang diperoleh, pendapatan yang diterima dari gula aren lebih berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga pada responden yang menyadap pohon arennya
sendiri. Ketika seseorang menyadap pohon aren miliknya sendiri dan pohon yang berproduksi jumlahnya banyak, maka pendapatan yang diperoleh dari hasil
penjualan aren memiliki persentase yang besar. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki pohon aren dalam jumlah banyak, namun penyadapannya
diserahkan kepada orang lain. Karena adanya pembagian hasil yang lebih menguntungkan bagi penyadap, maka pemilik pohon aren tidak seberapa
mendapatkan hasil penjualan gula arennya. Meskipun jumlahnya pohon yang banyak, namun keuntungan hasil penjualan gula aren lebih banyak didapat oleh
penyadap aren dibandingkan pemilik pohon aren. Hal ini juga dikarenakan perbandingan pembagian hasil gula aren yang diperoleh lebih besar didapat
penyadap aren dibanding pemilik pohon aren. Jika pembagian hasil antara pemilik pohon aren dan penyadap aren 1 : 6, maka dalam satu bulan pemilik pohon hanya
mendapatkan hasil penjualan gula aren selama 4-5 hari saja, sedangkan sisanya menjadi hak penyadap aren tersebut. Tidak semua pemilik pohon aren tersebut
menjual hasil gula aren kepada pengumpul, karena jumlah yang diperoleh sedikit atau tidak seberapa sehingga mereka lebih memilih untuk mengkonsumsinya
untuk kebutuhan sehari-hari. Pendapatan yang diperoleh dari hasil gula aren lebih berpengaruh terhadap
pendapatan harian masyarakat. Meskipun hasil gula aren yang diperoleh berbeda- beda setiap harinya, namun penyadap aren selalu memiliki pendapatan dari hasil
penjualan gula aren tersebut. Jika dibandingkan dengan hasil pendapatan lainnya dari talun yaitu kayu dan buah-buahan seperti pisang dan kapol, hasil dari aren
lebih berkontribusi dalam pendapatan rumahtangga yang diperoleh penyadap aren.
6.5 Ikhtisar