Pola Penguasaan Aren dan Akses Terhadap Pohon Aren

untuk dijadikan gula aren dalam bentuk gula cetakkojor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai mengolah gula aren dalam bentuk gula semut. Awalnya aren merupakan salah satu hasil hutan atau kebun yang dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu hasil aren pun ternyata memiliki nilai ekonomis sehingga masyaarakat Kasepuhan pun mulai memanfatkan aren sebagai sumber pendapatan bagi rumah tangga. Mata pencaharian utama masyarakat Kasepuhan yang umumnya adalah petani padi, baik sawah maupun huma. Oleh karena itu, menyadap aren merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan untuk menambah pendapatan mereka berupa uang. Selain itu, mereka juga memperoleh pendapatan dari menjual hasil kebun lain seperti sayur, buah- buahan, dan kayu serta pekerjaan lainnya sebagai tukang ojek dan kuli. Penyadap aren di Sirna Resmi menyadap aren di pagi dan sore hari. Penyadapan dilakukan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki yang memang memiliki ‗keahlian‘ karena dalam penyadapan nira aren tidak hanya keahlian teknis yang diperlukan oleh setiap penyadap nira dalam pengelolaan pohon aren agar menghasilkan nira, tetapi juga penguasaan keahlian spiritual. Setelah disadap, nira dimasak di atas tungku kayu. Untuk tugas memasak nira agar menjadi gula aren dilakukan oleh para istri. Gula aren lalu dicetak dengan menggunakan cetak kelapa dan dibungkus dengan pelepah daun aren atau daun kelapa, dan gula disimpan di atap rumah atau para. Dari dua gula cetak yang dijadikan satu, akan membentuk satu hulu atau satu kepala, dan dari lima hulu gula akan membentuk satu kojor gula. Gula cetak ini akan bertahan lama sampai dua tahun. Jika gula cetak tersebut disimpan dalam jangka waktu yang lama, maka dari satu hulu atau satu kepala gula cetak akan muncul telur gula di dalamnya. Telur gula ini merupakan gula berwarna putih yang terbentuk dari hasil endapan gula cetak.

5.2 Pola Penguasaan Aren dan Akses Terhadap Pohon Aren

Pohon aren yang tumbuh di kebun atau talun milik masyarakat Kasepuhan bukan merupakan hasil budidaya, melainkan tumbuh dengan sendirinya karena bantuan musang. Umumnya kepemilikan lahan di masyarakat adat merupakan lahan yang dimiliki oleh komunitas adat berupa lahan komunal, sehingga setiap anggota komunitas memiliki hak untuk menguasai dan mengelola lahan. Begitu juga dengan kepemilikan lahan yang ada di Kasepuhan. Lahan yang ada di wilayah Kasepuhan bersifat komunal dan sebagian anggota komunitas berhak untuk menggarap lahan Mardiyaningsih, 2010. Dalam pola pengelolaannya harus tetap menuruti aturan adat, dimana hak garap yang dimiliki anggota komunitas dapat dialihkan kepada anggota komunitas lain dengan sistem bagi hasil. Anggota komunitas berhak menggarap lahan tersebut dan dapat mengaksesnya, asalkan ia masih mengelolanya dengan baik. Wilayah desa yang sebagian besar berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini menyebabkan akses masyarakat atas lahan tersebut mulai terbatas. Masyarakat yang ingin menggarap lahan sulit untuk mendapat akses karena ada batas-batas yang telah ditetapkan oleh pihak Taman Nasional, terutama setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 175 Tahun 2003 tentang perubahan fungsi kawasan Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGHS, termasuk di dalamnya pemukiman dan lahan garapan penduduk Desa Sirna Resmi, terutama di Dusun Cicemet. Surat Keputusan perluasan kawasan taman nasional ini menyebabkan hilangnya akses masyarakat Kasepuhan untuk menggarap lahan pertanian. Sebelum tahun 2003, masyarakat Kasepuhan menggarap lahan di kawasan Perhutani. Ketika itu, mereka masih memiliki akses untuk menggarap lahan meskipun harus membayar pajak kepada Perhutani sebesar 10 dari hasil tani. Masyarakat yang ingin menggarap lahan harus mendapatkan izin dari Negara dengan memiliki SPPT atau Surat Peringatan Pajak Terhutang, yang berfungsi sebagai surat untuk membayar pajak tanah. Biaya pajak SPPT ini dibagi menjadi dua kelas berdasarkan luasan lahan, yaitu Rp 25000 per 10000 meter persegi dan Rp 15000 per 10000 per meter persegi. Setelah memiliki SPPT, maka warga dapat menggarap lahan tersebut dan berhak atas lahan tersebut dan dapat menggarapnya secara individu. Hak garap individu ini berlaku untuk semua lahan garapan, baik sawah, huma, dan talun. Hak garap lahan ini dapat diwariskan turun temurun. Terkadang SPPT digunakan oleh masyarakat sebagai alat transaksi keuangan. Surat pajak ini biasanya dijadikan jaminan dalam mendapatkan kredit motor. Pohon aren yang dimanfaatkan oleh penduduk adalah pohon aren tumbuh di kebun talun milik penduduk. Aturan kepemilikan pohon aren sendiri didasarkan pada kepemilikan lahan dimana pohon aren tersebut tumbuh. Jadi dapat dikatakan, ketika pohon aren tersebut tumbuh di lahan atau kebun milik salah satu warga, berarti kepemilikan pohon aren tersebut dimiki oleh warga yang bersangkutan dan pemilik lahan tersebut berhak untuk memanfaatkan pohon aren itu. Sistem kepemilikan pohon aren dapat diwariskan bersamaan dengan diwariskannya lahan talun. Kepemilikan atas pohon aren hanya dapat dialihkan dengan cara menjual pohon tersebut kepada pihak lain. Tidak semua pemilik aren menyadap arennya sendiri. Hal ini terkait dengan aturan adat dalam pemanfaatan aren yang menyatakan bahwa aren tidak bisa disadap oleh sembarang orang. Ketika pemilik pohon tersebut tidak memiliki ‘keahlian‘ untuk menyadap aren, maka pemilik tersebut akan memberikan hak penyadapan aren tersebut kepada pihak lain, baik keluarga atau kerabat yang memang memiliki keahlian dalam menyadap aren melalui sistem bagi hasil atau maro. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden, Bapak AD 35 tahun: ”Saya mah tidak bisa nyadap aren. Pohonnya banyak di talun, tapi disadap ku batur disadap orang lain. Paling saya dapat gula 5 kg dalam seminggu buat di rumah.” Sistem bagi hasil atau maro dalam pemanfaatan aren banyak ditemukan di lokasi penelitian. Pemilik dan penyadap aren sudah memiliki perjanjian dalam pembagian hasil dari pengolahan nira menjadi gula aren. Berdasarkan informasi yang didapat, pemilik dan penyadap aren biasanya membagi hasil arennya dengan membagi hasil yang didapat dalam satuan hari. Ada beragam bentuk bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik pohon aren dan penyadap, antara lain:  Bagi hasil 6:1 yaitu dalam tujuh hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama enam hari dan pemilik pohon hanya satu hari,  bagi hasil 4:1 yaitu dalam lima hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama empat hari dan pemilik pohon hanya satu hari,  bagi hasil 3:1 yaitu dalam empat hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama tiga hari dan pemilik pohon hanya satu hari,  dan bagi hasil berselang dua hari sekali atau 2:1 yaitu dalam tiga hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama dua hari dan pemilik pohon hanya satu hari. Sebenarnya tidak ada latar belakang tertentu dari pembagian hasil tersebut. Pemilik pohon hanya ingin pohon arennya dapat dimanfaatkan, meskipun oleh kerabat maupun orang lain. Oleh karena itu, para pemilik pohon yang tidak dapat menyadap aren lebih baik membiarkan pohonnya disadap orang lain agar lebih bermanfaat, sesuai dengan keyakinan masyarakat yang memposisikan pohon aren sebagai pohon yang istimewa karena manfaatnya yang banyak. Selain itu, rasa kekeluargaan masyarakat yang cukup tinggi dengan sesama anggota komunitas membuat para pemilik pohon aren memberikan seluruh hasil pohon arennya kepada penyadap dan mereka hanya mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Namun, pemilik pohon justru merasa senang jika pohon yang mereka miliki disadap orang lain daripada dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa memanfatkan hasil dari pohon aren tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak ZA 40 tahun: ”Pohon kawung aren saya banyak di talun, ratusan malah. Ada yang masih kecil dan ada yang sudah besar. Tapi pohon banyak gitu mah susah nyadapnya, mending diparo saja ke orang, biar lebih bermanfaat. Kalau bagi hasilnya mah ga seberapa, paling 3 sampai 5 kg, yang penting gula cukup untuk di rumah buat masak sama ngopi.” Kepemilikan pohon aren dapat dialihkan dengan dua cara. Pertama, karena warisan dari keluarga secara turun temurun sesuai dengan kepemilikan lahan kebun yang digarap, dan kedua karena adanya jual beli pohon aren. Sebenarnya menurut aturan adat yang berlaku, pohon aren tidak dapat diperjualbelikan kecuali jika pohon aren tersebut tidak lagi memproduksi nira. Pohon aren yang sudah tidak memproduksi nira tersebut biasanya dijual untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku sagu aren. Akan tetapi, pada kenyataannya beberapa pemilik aren menjual pohon arennya, bahkan yang masih muda dan belum mengeluarkan nira. Pohon tersebut dijual karena alasan bahwa pemiliknya tidak bisa menyadap pohon tersebut, sehingga ia menjualnya kepada orang lain. Alasan lainnya yaitu karena lokasi pohon aren tersebut jauh dari tempat tinggal si pemilik. Seperti yang dikemukakan oleh Pak JT 60 tahun: “Sebenarnya saya mempunyai banyak pohon aren yang tumbuh sendiri di kebun milik saya. Hanya saja, saya tidak menyadap pohon aren tersebut sehingga saya menyuruh adik saya untuk menyadap pohon tersebut. Lagipula pohonnya ada di kampung sebelah, jadi saya suruh adik saya saja yang nyadap. ”

5.3 Aturan-Aturan dalam Pemanfaatan Sumberdaya

Dokumen yang terkait

Analisis Kelayakan Usaha Gula Aren (StudiKasus :Desa Mancang, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat)

42 190 67

Adaptasi lingkungan masyarakat kasepuhan dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan (Studi kasus Kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)

0 8 180

Analisis ekonomi alokasi waktu, pendapatan dan kemiskinan rumahtangga nelayan di Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi

0 6 203

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi (Studi Kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

2 18 275

Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi: studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

0 21 260

Kepemimpinan Adat Dalam Kepatuhan Masyarakat Pada Norma Adat (Studi Kasus Di Kasepuhan SRI Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat).

8 67 147

Etnozoologi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

4 20 50

View of Proses Pembuatan dan Pendapatan Petani Gula Aren di Desa Elusan Kecamatan Amurang Barat

0 0 9

Total Pendapatan Hasil Aren (RpTahun) Gula Merah Tuak

0 0 12