masyarakat dari hutan sampalan atau hutan garapan. Lahan dibuka ketika masyarakat akan membuka huma. Namun apabila sumber air dirasa cukup banyak
untuk mengairi lahan mereka, biasanya masyarakat akan membuka sawah. Sawah yang banyak ditemukan di Kasepuhan adalah sawah tadah hujan.
4.4.1 Huma
Huma merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pertanian di masyarakat Kasepuhan. Di dalam hal huma, masyarakat menggunakan lahan
kering atau ladang untuk budidaya padi dan dicampur dengan tanaman palawija atau sayuran tumpangsari dan tanaman kayu-kayuan yang dilakukan secara
bergilir dalam jangka waktu tertentu. Bagi masyarakat Kasepuhan kegiatan ngahuma ini merupakan suatu hal yang penting dalam perjuangan hidup mereka
sebagai suatu kelompok sosial. Selain itu, ngahuma juga merupakan suatu tradisi untuk melanjutkan tatali paranti karuhun.
Umumnya huma dikelola untuk jangka waktu satu sampai tiga tahun. Setelah jangka waktu tersebut, biasanya petani membuka huma baru atau
membuka kembali huma yang telah lama ditinggalkan selama beberapa tahun sebelumnya ICRAF 2003. Siklus ngahuma melibatkan beberapa bentuk
penggunaan ladang, yaitu huma, jami, reuma, kebun atau talun, dan masa istirahat atau kosong Suharjito dan Saputro 2008. Siklus tersebut dapat dilihat pada
gambar sebagai berikut.
Sumber: Suharjito dan Saputro 2008
Gambar 6. Rangkaian Bentuk Pemanfaatan Lahan dalam Siklus Ngahuma
Kebun atau talun
5-8 tahun
Pembukaan kebun untuk huma
Reuma sekitar dua
tahun
Istirahat selama satu tahun untuk
membusukkan kayu
Jami sekitar 1-2
tahun Huma
Hutan atau semak yang ditebang dan dibersihkan untuk dijadikan huma atau ladang. Huma tersebut ditanami padi varietas lokal dan juga jenis tanaman
lain yang ditumpangsarikan dengan jagung, singkong, ubi jalar, dan kacang- kacangan. Padi dipanen satu tahun sekali sedangkan sayur-sayuran dipanen sekitar
3-4 kali setahun. Setelah panen, masyarakat memutuskan untuk berladang kembali atau tidak dengan melihat kondisi tanah dan air yang ada. Apabila air mencukupi,
maka masyarakat akan mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Namun, apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan diubah menjadi jami untuk satu atau dua
tahun dengan menanam tanaman tahunan. Setelah digunakan sebagai jami, ada dua alternatif yang dipakai, pertama
dengan membiarkan lahan tidak dipotong dan dibersihkan sehingga semak dibiarkan tumbuh. Semak belukar yang dibiarkan selam 3-4 tahun disebut dengan
reuma ngora, sedangkan semak yang dibiarkan lebih dari 4 tahun disebut reuma kolot hutan sekunder. Lahan akan tertutup secara alami sebagai hutan sekunder
dengan pepohonan tinggi. Alternatif yang kedua yaitu dengan menggunakan lahan untuk kebun
setelah jami dipanen. Di kebun ini tanaman tahunan ditanam untuk kebutuhan sehari-hari, seperti buah-buahan dan pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat
seperti bambu dan rotan. Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohon-pohon yang ditanam semakin tinggi. Pada lapisan
bawah dari talun terus ditanami tanaman tahunan sehingga dengan adanya pohon- pohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut dengan
talun. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang, durian, juga menyadap air nira dari pohon aren. Pengambilan air nira ini tidak hanya
dikonsumsi sendiri, tetapi juga untuk dijual ke pasar.
4.4.2 Hutan
Bagi masyarakat Kasepuhan, pemanfaatan hutan diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu leuweung tutupan atau leuweung kolot, leuweung titipan dan
leuweung sampalan Adimihardja 1992 dalam ICRAF 2003. Leuweung tutupan atau leuweung kolot adalah hutan tua yang biasa dicirikan oleh hutan yang masih
lebat dengan berbagai jenis pohon besar dan kecil yang tumbuh secara alami dan rimbun. Leuweung tutupan merupakan kawasan yang berada pada dataran paling
tinggi dan memiliki lereng yang cukup curam. Kawasan ini juga berfungsi sebagai daerah resapan air serta merupakan penyedia air bagi masyarakat Kasepuhan.
Leuweung titipan merupakan hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat Kasepuhan. Masyarakat tidak boleh memungut hasilnya dan
memanfaatkannya kecuali atas izin sesepuh girang yang sebelumnya telah mendapatkan wangsit atau ilapat dari nenek moyang atau karuhun. Pemanfaatan
hutan ini dapat dibuka untuk dicadangkan menjadi pemukiman atau lahan garapan
3
. Bagi masyarakat Kasepuhan, leuweung titipan ini merupakan titipan dari para nenek moyang atau karuhun yang harus dijaga kelestarian dan
keasliannya. Di dalam leuweung titipan biasanya terdapat tempat keramat. Leuweung sampalan adalah hutan yang dapat dipungut hasilnya dan
dimanfaatkan oleh masyarakat, namun tetap dalam batas-batas aturan adat. Masyarakat dapat membuka lahan untuk huma, sawah, kebun atau talun,
menggembala ternak, atau mengambil kayu bakar. Biasanya hutan ini letaknya tidak jauh dari pemukiman penduduk.
4.4.3 Kebun atau Talun