E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Pengelola Industri
Hasil  penelitian  diharapkan  dapat  menambah  pengetahuan  serta pemahaman  pekerja  atau  pengelola  industri  mengenai  faktor-faktor  yang
dapat  mengakibatkan  MSDs  di  tempat  kerja  di  Industri  Sepatu,  sehingga pengelola  secara  mandiri  dapat  melakukan  upaya-upaya  perlindungan
terhadap kesehatan pekerja dan meningkatkan produktivitas kerja.
2. Manfaat Bagi Peneliti
Meningkatkan  pengetahuan  dan  memberikan  pengalaman  khususnya dalam  hal  kajian  faktor  risiko  MSDs,  dan  sebagai  bentuk  penerapan  teori
identifikasi risiko penyakit akibat kerja serta  sebagai pemantapan keilmuan yang diperoleh selama ini.
3. Manfaat Bagi  Institusi Pendidikan
Diharapkan  hasil  penelitian  ini  dapat  dijadikan  referensi  mengenai kejadian  musculoskeletal disorders MSDs pada pekerja, khususnya pekerja
pembuatan sepatu.
F. Ruang Lingkup
Penelitian  ini  merupakan  penilaian  untuk  mengetahui  faktor-faktor  yang dapat  mengakibatkan  MSDs  yang  dilakukan  pada  pengrajin  sepatu  di  daerah
Perkampungan Industri Kecil PIK Penggilingan Kecamatan Cakung. Penelitian dilakukan  pada  bulan  Mei-Juli  2013  dengan  menggunakan  metode  observasi,
wawancara  menggunakan  kuesioner  Nordic  Body  Map serta  alat  bantu  kamera
dan  handycam  untuk  merekam  pergerakan  yang  dilakukan  pekerja.  Analisis faktor risiko Ergonomi dengan metode REBA  untuk mendapatkan tingkat risiko
MSDs  yang  dipengaruhi  oleh  faktor  pekerjaan  postur  Kerja,  Durasi,  Beban
Kerja, Gerakan Repatitif dan genggaman.
12
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Ergonomi
1. Definisi Ergonomi
Kata  Ergonomi  berasal  dari  bahasa  yunani:  ergon  kerja  dan  nomos
peraturan, hukum. Pada  berbagai negara digunakan istilah yang berbeda seperti Arbeitswissenchaft
di  Jerman,  Human  Factors  Engineering  atau  personal Research
di  Amerika  Utara.  Ergonomi  adalah  penerapan  ilmu  biologis  tentang manusia  bersama-sama  dengan  ilmu-ilmu  teknik  dan  teknologi  untuk  mencapai
penyesuaian  satu  sama  lain  secara  optimal  dari  manusia  terhadap  pekerjaannya, yang  manfaat  dari  padanya  diukur  dengan  efisiensi  dan  kesejahteraan  kerja
Suma‟mur, 2009. Menurut OSHA 2000 Ergonomi didefinisikan sebagai suatu ilmu dalam
merancang peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan postur dan kapabilitas pekerja  dengan  tujuan  untuk  mencegah  dan  menimalisir  cidera  pada  pekerja.
Selain  itu,  International  Ergonomic  Association  IEA  menyebutkan  bahwa Ergonomi merupakan  ilmu yang mempelajari anatomi dan aspek psikologi dari
manusia  dalam  lingkungan  kerja,  dimana  hal  tersebut  bertujuan  untuk mendapatkan  efisiensi,  kesehatan,  keselamatan  dan  kenyamanan  untuk  orang,
baik saat bekerja, di rumah, ataupun saat bermain. Intinya, ilmu ini mempelajari interaksi manusia dengan elemen lainnya di dalam sebuah sistem, dan profesi
yang  mengaplikasikan  prinsip-prinsip  teori,  data  dan  metode  untuk  mendesain kerja  yang  mengoptimalkan  kesejahteraan  manusia  dan  kinerja  sistem  secara
keseluruhan.  ilmu  ini  mempelajari  tentang  interaksi  antara  manusia,  mesin  dan lingkungan serta efek yang diakibatkan oleh interaksi tersebut.
2. Manfaat Ergonomi
Tujuan  atau  manfaat  dari  ilmu  Ergonomik  adalah  membuat  pekerjaan menjadi  aman  bagi  pekerjamanusia  dan  meningkatkan  efisiensi  kerja  untuk
mencapai  kesejahteraan  manusia.  Keberhasilan  aplikasi  ilmu  Ergonomik  dilihat dari  adanya  perbaikan  produktivitas,  efisiensi,  keselamatan  dan  dapat
diterimanya  sistem  disain  yang  dihasilkan  mudah,  nyaman,  dan  sebagainya Pheasant,  2003.  Keuntungan  yang  dapat  diperoleh  jika  memanfaatkan  ilmu
Ergonomi adalah Pheasant, 2003: a.  Menurunnya probabilitas terjadinya kecelakaan, yang berarti:
1 Dapat mengurangi biaya pengobatan yang tinggi. Hal ini cukup berarti karena biaya untuk pengobatan lebih besar daripada biaya untuk
pencegahan. 2 Dapat mengurangi penyediaan kapasitas untuk keadaan gawat darurat
b.  Dengan menggunakan antropometri dapat direncanakan didesain: 1 Pakaian kerja
2 Workspace 3 Lingkungan kerja
4  Peralatan mesin
5 Consumer product c.  Peningkatan hasil produksi, yang berarti menguntungkan secara ekonomi.
Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1 Efisiensi waktu kerja yang meningkat
2 Meningkatnya kualitas kerja 3 Kecepatan pergantian pegawai labour turnover yang relatif rendah
Di sisi lain, jika kita mengabaikan faktor Ergonomik, maka akan timbul beberapa masalah dan kerugian, antara lain Pulat  1997:
a.  Tingginya biaya material b.  Peningkatan angka absensi
c.  Kualitas kerja yang rendah d.  Meningkatnya probabilitas terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan injury
to personal e.  Penurunan hasil produksi
f.  Meningkatnya kecepatan pergantian pegawai labour turnover g.  Dibutuhkan kapasitas waktu, tempat, tenaga medis, dll yang lebih banyak
untuk menanggulangi masalah emergency gawat darurat. h.  Banyaknya waktu kerja yang terbuang
i. Tingginya biaya pengobatan medis
j. Meningkatnya kecepatan pergantian pegawai labour turnover
k.  Dibutuhkan kapasitas waktu, tempat, tenaga medis, dll yang lebih banyak untuk menanggulangi masalah emergency gawat darurat.
B. Metode Pengukuran Ergonomi
Ada  beberapa  cara  yang  telah  diperkenalkan  dalam  melakukan  evaluasi Ergonomi untuk mengetahui hubungan antara postur tubuh saat bekerja dengan resiko
keluhan  otot  skeletal.  Metode  tersebut  diantaranya  adalah  :  OWASOvako  Working Postural  Analysis  system,  Ergonomic  Assesment  Survey  Method  EASY,  Metode
Survey  Baseline  risk  Identification  of  Ergonomic  Factors  BRIEF, Metode  Rapid
Upper Limb Assesment  RULA dan Metode Rapid Entire Body Assesment REBA.
Pada  penelitian  ini,  dalam  menganalisis  postur  kerja,  peneliti  menggunakan  metode REBA. Berikut ini akan dibahas tentang metode REBA.
1. Metode Rapid Entire Body Assesment REBA
Rapid  Entire  Body  Assesment
REBA  dikembangkan  untuk  mengkaji postur  bekerja  yang  dapat  ditemukan  pada  industri  pelayanan  kesehatan  dan
industri  pelayanan  lainnya  Highnett  and  McAtamney,  2000.  Sistem  penilaian REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang dapat terjadi sehubungan
dengan  pekerjaan  yang  dapat  menyebabkan  MSDs  dengan  menampilkan serangkaian  tabel-tabel  untuk  melakukan  penilaian  berdasarkan  postur-postur
yang  terjadi  dari  beberapa  bagian  tubuh  dan  melihat  beban  atau  tenaga  yang dikeluarkan serta aktivitasnya.
Pada  penelitian  ini,  peneliti  akan  menggunakan  metode  REBA  untuk menilai risiko pekerjaan yang dilakukan oleh pengrajin sepatu di Perkampungan
Industri  Kecil  PIK  Penggilingan  Kecamatan  Cakung,  selain  pengukuran
menggunakan  metode  REBA  cukup  mudah  dan  tidak  membutuhkan  alat  lain selain  kamera  dan  busur  MB-Ruler  hal  ini  juga  dikarenakan  Metode  REBA
merupakan metode yang menerapkan pengukuran pada seluruh titik besar bagian pergerakan  tubuh  saat  pekerja  melakukan  aktifitas  pekerjaannya.  Pekerjaan
membuat  sepatu  merupakan  pekerjaan  yang  membutuhkan  pergerakan  hampir seluruh  tubuh,  hal  inilah  yang  menjadikan  metode  REBA  sesuai  dengan
pekerjaan membuat sepatu.
a. Aplikasi REBA
Metode REBA dapat digunakan pada penilaian Ergonomi tempat kerja yang memiliki postur kerja seperti :
1  Seluruh anggota tubuh digunakandigerakkan 2  Postur dinamis, mobilitas tinggi atau postur yang tidak stabil, postur
janggal dan ekstrim terutama ketika menggunakan gaya yang dikeluarkan sekuat-kuatnya.
3  Postur yang paling sering diulang-ulang repetitif 4  Postur yang dipertahankan paling lamastatis
5  Postur yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja. 6  Mengangkat beban barangbenda mati maupun makhluk hidup
manusia, hewan dan tumbuhan, baik sering dilakukan maupun jarang.
7  Untuk memonitormembandingkan posturperilaku pekerja yang berisiko sebelum dan sesudah adanya modifikasi tempat kerja,
peralatan dan pelatihan Ergonomi.
b. Prosedur Penilaian REBA
Langkah-langkah  penilaian  postur  tubuh,  metode  REBA  membagi penilaian postur tubuh menjadi 2 kelompok, kelompok A dan B. Kelompok
A terdiri dari anggota tubuh punggung, leher dan kaki. Sedangkan kelompok B terdiri dari anggota tubuh bagian kiri dan kanan pada lengan atas, lengan
bawah  dan  pergelangan  tangan.  Berikut  ini  adalah  langkah-langkah penilaiannya, yaitu:
1.  Kelompok A a  Observasi  dan  tentukan  postur  punggung  sesuai  dengan  katagori
metode REBA: 1  Skor  1,  posisi  punggung  yang  baik  adalah  pada  posisi  tegak
karena posisi ini memiliki skor terendah 2  Skor  2,  posisi  punggung  yang  berisiko  terkena  MSDs  adalah
pada saat fleksiekstensi 0-20 3  Skor  3,  posisi  punggung  fleksi  20-60
dan  ekstensi  lebih  dari 20
4  Skor 4 skor tertinggi, posisi punggung fleksi 60 .
5  Skor  ini  bertambah  nilai  1  bila  punggung  miring  ke sampingberputar.  Semakin  besar  skor  yang  didapat  maka
semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs. b Observasi dan tentukan postur leher sesuai dengan katagori metode
REBA: 1  Skor  1,  posisi  leher  yang  baik  adalah  saat  fleksi  0-20
karena posisi ini memiliki skor terendah
2  Skor 2 skor tertinggi, posisi leher fleksiekstensi 20 .
3  Skor  ini  bertambah  nilai  1  bila  leher  miring  ke sampingberputar.  Semakin  besar  skor  yang  didapat  maka
semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs. c  Observasi dan tentukan  postur kaki sesuai dengan katagori metode
REBA: 1  Skor  1,  posisi  kaki  yang  baik  adalah  ketika  kedua  kaki
menopang tubuh karena posisi ini memiliki skor terendah 2  Skor 2, posisi tubuh yang ditopang dengan salah satu kaki atau
tidak stabil 3  Skor  ini  dapat  bertambah  nilai  1  bila  lutut  fleksi  30-60
o
atau ditambah  nilai  2  bila  lutut  fleksi  60
o
hanya  untuk  postur berdiri. Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar
postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs.
d Masukkan setiap skor yang didapat skor punggung, leher dan kaki ke dalam tabel A untuk mendapatkan Skor Kelompok A.
e  Observasi  dan  tentukan  skor  gayabeban  yang  dikeluarkan  untuk mengangkatmendorong  objek  kerja  yang  sesuai  dengan  katagori
tabel gayabeban metode REBA: 1  Skor 0, pada gayabeban 5 kg
2  Skor 1, pada gayabeban 5-10 kg 3  Skor 2, pada gayabeban 10 kg.
4  Skor  ini  dapat  bertambah  nilai  1  bila  gayabeban  yang digunakan secara cepatterdesak.
f  Jumlahkan  Skor  tabel  A  dengan  skor  gayabeban  yang  didapat sehingga didapatkan Skor A.
2.  Kelompok B a  Observasi  dan  tentukan  postur  lengan  atas  bagian  kanan  dan  kiri
sesuai dengan katagori metode REBA: 1  Skor 1, posisi lengan atas yang baik adalah saat fleksiekstensi
0-20 karena posisi ini memiliki skor terendah
2  Skor 2, posisi lengan atas saat fleksi 20-45 atau ekstensi 20
. 3  Skor 3, posisi lengan atas saat fleksi 45-90
. 4  Skor 4, posisi lengan atas saat fleksi 90
5  Skor ini dapat bertambah nilai 1 bila lengan abduksirotasi dan bertambah  nilai  1  lagi  bila  bahu  terangkat.  Namun  dapat
berkurang nilai 1 bila terdapat penopang lengan. Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar postur tersebut berisiko
menimbulkan MSDs. b Observasi dan tentukan postur lengan bawah bagian kanan dan kiri
sesuai dengan katagori metode REBA: 1  Skor 1, posisi lengan bawah saat fleksi 60-100
2  Skor 2, posisi lengan bawah saat fleksi 60 atau 100
. Semakin  besar  skor  yang  didapat  maka  semakin  besar  postur  tersebut
berisiko menimbulkan MSDs. c  Observasi  dan  tentukan  postur  pergelangan  tangan  bagian  kanan
dan kiri sesuai dengan katagori metode REBA: 1  Skor 1, posisi pergelangan tangan saat fleksiekstensi 0-15
2   Skor 2, posisi pergelangan tangan saat fleksiekstensi 15 3  Skor  ini  dapat  bertambah  nilai  1  bila  pergelangan  tangan
miringberputar.  Semakin  besar  skor  yang  didapat  maka semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs.
d Masukkan setiap skor yang didapat Skor lengan atas, lengan bawah dan  pergelangan  tangan  bagian  kanan  dan  kiri  ke  dalam  tabel  B
untuk mendapatkan Skor Kelompok B. e  Observasi  dan  tentukan  besar  skor  coupling  genggaman  tangan
bagian  kanan  dan  kiri  yang  sesuai  dengan  katagori  tabel  coupling metode REBA:
1  Skor  0,  genggaman  tangan  yang  terasa  nyaman  dan memerlukan tenaga yang sedang
2  Skor 1, genggaman tangan yang dapat diterima atau dilakukan tapi tidak ideal, nyaman atau genggaman hanya dapat diterima
oleh bagian tubuh lainnya 3  Skor  2,  genggaman  tangan  yang  kurang  dapat  dilakukan
meskipun masih mungkin dilakukan 4  Skor  3,  genggaman  tangan  yang  janggal,  tidak  aman,  tidak
berpegangan  atau  genggaman  tidak  dapat  dilakukan  oleh bagian tubuh lainnya
5  Semakin  besar  skor  yang  didapat  maka  semakin  besar  postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs.
6  Jumlahkan  Skor  Kelompok  B  dengan  skor  coupling  yang didapat  sehingga  didapatkan  Skor  B  bagian  kanan  dan  kiri
anggota tubuh. 3.  Masukkan  Skor  A  dan  B  pada  tabel  C  sehingga  didapatkan  Skor  C
bagian kanan dan kiri anggota tubuh. 4.  Observasi  dan  tentukan  skor  aktivitas  kerja  bagian  kanan  dan  kiri
anggota tubuh dengan tabel aktivitas metode REBA: a  Skor  1,  bila  satu  atau  lebih  anggota  tubuh  mengalami  postur  statis
selama lebih dari 1 menit
b Skor  ini  dapat  bertambah  nilai  1  lagi  bila  terdapat  postur  repetitif yang sedang sebanyak 4 xmenit tidak termasuk berjalan
c  Skor    ini  dapat  bertambah  nilai  1  lagi  bila  terdapat  posturgerakan yang  dilakukan  secara  cepattidak  beraturan.  Sehingga  Skor
aktivitas kerja memiliki nilai maksimal 3. d Jumlahkan Skor C dengan Skor aktivitas sehingga didapatkan Skor
REBA.
e Setelah mendapatkan nilai akhir Skor REBA, masukkkan nilai pada
katagori  risiko  untuk  mengetahui  tingkat  risikonya  dan  level
perubahan untuk menentukan pengendalian yang akan diterapkan. C.
Pengendalian Bahaya Ergonomi
Berdasarkan rekomendasi dari National Institute for Occupational Safety  and Health
NIOSH,  ada  beberapa  cara  untuk  mengendalikan  bahaya  Ergonomi    yang terjadi  selama  pelaksanaan  tugas  secara  manual.  Dari  sudut  pandang  Ergonomi,
penekanan  pertama  menghilangkan  atau  mengurangi  risiko  elimination,  design control
, pengendalian administratif rotasi kerja, dan penggunaan alat pelindung diri Janet Torma et al. 2009.
1. Elimination,
yaitu  menentukan  apakah  salah  satu  pekerjaan  dengan  faktor risiko  Ergonomi  dapat  dihilangkan.  Jika  ini  mungkin,  cara  yang  paling  efektif
ialah  dengan  memeriksamengatur  proses  produksi  dan  mengurangi  adanya penanganan ganda.
2. Substitution,
yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan baru yang  aman  dan  Ergonomis,  menyempurnakan  proses  produksi  dan  prosedur
penggunaan peralatan  Tarwaka et al, 2004.
3. Design  control
atau  engineering  control,  yaitu  dengan  memodifikasi  desain kerja.  Langkah  ini  paling  efektif  apabila  dilakukan  diskusi  terlebih  dahulu
dengan  pekerja.  Hal  ini  dengan  dilakukan  dengan  mempertimbangkan  area kerja, beban atau tugas, dan peralatan yang digunakan pekerja.
4. Administrative  control
mengandalkan  perilaku  pekerja  dan  pengawasan. Administrative  control
meliputi  perawatan  peralatan  secara  rutin,  pengaturan durasi  kerja  atau  shift  kerja,  rotasi  kerja  dan  variasi  tugas,  mengangkat  beban
dengan  tim  atau  berkelompok.  Selain  itu  dengan  mengadakan  pendidikan  dan training berupa teknik manual handling, design tempat kerja, identifikasi faktor
risiko  Ergonomi,  bagaimana  menggunakan  perlengkapan  dan  peralatan  masak dengan    aman  dan  sesuai  kaidah  Ergonomi,  bagaimana  menggunakan  alat
pelindung diri.
5. Personal Protective Equipment
, yaitu menggunakan alat pelindung diri APD untuk mengurangi paparan faktor  risiko. Namun, APD hanya penghalang yang
digunakan  ketika  pengendalian  sebelumnya  tidak  dapat  digunakan  secara efektif untuk menghilangkan risiko Ergonomi. Contoh nya seperti safety shoes,
celemek, masker, pakaian anti dingin, dan sarung tangan
D. Musculoskeletal Disorders MSDs
1. Definisi
Musculoskeletal Disorders MSDs
Studi  tentang  MSDs  pada  berbagai  macam  jenis  industri  telah  banyak dilakukan,  beberapa  studi  tersebut  menunjukkan  bahwa  otot  yang  sering  kali
dikeluhkan  adalah  otot  rangka  skeletal  yang  meliputi  otot-otot  leher,  bahu, lengan  ,  tangan,  pinggang,  jari,  punggung  dan  otot-otot  bagian  bawah  tubuh
lainnya Tarwaka et al, 2004. Menurut  NIOSH  1997  yang  dimaksud  dengan  Musculoskeletal
Disorders MSDs  adalah  sekelompok  kondisi  patologis  yang  mempengaruhi
fungsi  normal  dari  jaringan  halus  sistem  musculoskeletal  yang  mencakup syaraf, tendon, otot, dan struktur penunjang seperti discus intervertebral. Istilah
Musculoskeletal  Disorders MSDs  pada  beberapa  negara  mempunyai  sebutan
berbeda,  misalnya  di  Amerika  istilah  ini  dikenal  dengan    nama  Cumulative Trauma  Disorders
CTDs,  di  Inggris  dan  Australia  disebut    dengan  nama Repetitif  Strain  Injury
RSI,  sedangkan  di  Jepang  dan  Skandinavia  dikenal dengan  sebutan  Occupational  Cervicubrachial  Disorders    OCD.  Istilah  lain
yang beredar Overuse Syndrome Pheasant, 1991. Fokus penelitian dari MSDs adalah leher, bahu, punggung, lengan atas,
lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. MSDs pada awalnya menyebabkan gangguan  tidur;  mati  rasasensasi  terbakar  pada  tangan,  kekakuan  atau
bengkak,  nyeri  pada  pergelangan  tangan,  lengan,  siku,  leher  atau  punggung yang diikuti dengan rasa tidak nyaman, rasa tegang yang menekan rasa sakit di
kepala dan yang berhubungan dengan penyakit, kering, gatal atau nyeri di mata, penglihatan  yang  buramganda,  rasa  nyeri  atau  kaku,  kram,  kesemutan,
gemetar,  lemah  dan  pucatnya  daerah  yang  terserang;  menurunnya  daya genggam  tangan  dan  gerakan  pada  bahu,  leherpunggung,  yang  pada  akhirnya
mengakibatkan  ketidakmampuan  seseorang  untuk  melakukan  pergerakan  dan koordinasi  gerakan  anggota  tubuh    atau  ekstrimitas  sehingga  dapat  dilihat
bahwa  MSDs  akan  mengakibatkan  efisiensi  kerja  berkurang  dan  produktifitas kerja  menurun  Humantech,  1995  ,  hal  ini  akan  berakibat  pada
ketidakmampuan  seseorang  untuk  melakukan  gerakan  dan  koordinasi  gerakan anggota  tubuh  sehingga  berakibat  buruk  pada  efisiensi  kerja  dan  produktivitas
kerjapun menurun.
2. Keluhan
Musculoskeletal Disorders MSDs
Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat
sakit.  Apabila  otot  menerima  beban  statis  secara  berulang  dan  dalam  waktu yang  lama,  akan  dapat    menyebabkan  keluhan  berupa  kerusakan  pada  sendi,
ligament,  dan  tendon.  Keluhan    hingga  kerusakan  inilah  yang  biasanya diistilahkan  dengan  keluhan  Musculoskeletal  Disorders  MSDs  atau  cidera
pada sistem musculoskeletal Tarwaka et al, 2004. Secara  garis  besar  keluhan  muskuloskeletal  dapat  dikelompokkan
menjadi dua, yaitu ;
a.  Keluhan  sementara  reversible,  yaitu  keluhan  otot  yang  terjadi  pada  saat otot  menerima  beban  statis,  namun  demikian  keluhan  tersebut  akan  segera
hilang  apabila pembebanan dihentikan, dan b.  Keluhan  menetap  persistent,  yaitu  keluhan  otot  yang  bersifat  menetap.
Walaupun  pembebanan  kerja  telah  dihentikan,  namun  rasa  sakit  pada  otot masih  terus berlanjut Tarwaka et al, 2004.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena konstraksi oto yang berlebihan  akibat  pemberian  beban  kerja  yang  terlalu  berat  dengan  durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila  konstraksi  otot  hanya  berkisar  antara  15-20  dari  kekuatan  oto
maksimum. Namon apabila kontraksi otot melebihi 20, maka peredaran darah ke  otot  berkurang  menurut  kontraksi  yang  dipengaruhi  oleh  besarnya  tenaga
yang  diperlukan.  Suplai  oksigen  ke  otot  menurun,  proses  metabolisme karbohidrat  terhambat  dan  sebagai  akibatnya  terjadi  penimbunan  asam  laktat
yang  menyebabkan  timbulnya  rasa  nyeri  otot  suma‟mur,2009;  Garandjean, 1993.
3. Gejala
Musculoskeletal Disorders MSDs
Gejala  Musculoskeletal  disorders  MSDs dapat  menyerang secara cepat maupun  lambat  berangsur-angsur,  menurut  Kromer  1989,  ada  3  tahap
terjadinya MSDs yang dapat diidentifikasi yaitu:
a.  Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini  biasanya  menghilang  setelah  waktu  kerja  dalam  satu  malam.  Tidak
berpengaruh pada performance kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat. b.  Tahap  2  :   Gejala  ini  tetap  ada  setelah  melewati  waktu  satu  malam  setelah
bekerja.  Tidak  mungkin  terganggu.  Kadang-kadang  menyebabkan berkurangnya performance kerja;
c.  Tahap  3  :   Gejala  ini  tetap   ada  walaupun  setelah  istirahat,  nyeri  terjadi ketika bergerak secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan
pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
4. Dampak
Musculoskeletal Disorders MSDs
Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek ekonomi perusahaan yaitu Pheasant, 1991 :
a.  Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material, produk yang  akhirnya  menyebabkan  tidak  terpenuhinya  deadline  produksi,
pelayanan yang tidak memuaskan, dll b.  Biaya  yang  timbul  akibat  absensi  pekerja  yang  akan  menyebabkan
penurunan  keuntungan,  biaya  untuk  pelatihan  karyawan  baru  yang menggantikan  karyawan  yang  sakit,  biaya  untuk  menyewa  jasa  konsultan
atau agensi c.  Biaya pergantian karyawan turn over untuk recruitment dan pelatihan
d.  Biaya asuransi e.   Biaya lainnya opportunity cost.
5. Faktor Risiko
Musculoskeletal Disorders MSDs
Faktor-  Faktor    penyebab  dari  timbulnya  MSDs  memang  sulit  untuk untuk  dijelaskan  secara  pasti.  Namun  penelitian-penelitian  sebelumnya
memaparka  beberapa  faktor  risiko  yang  tertentu  selalu  ada  dan  berhubungan atau turut berperan dalam menimbulkan  MSDs. Diantara Faktor-faktor tersebut
diklasifikasikan  dalam  tiga  katagori  yaitu  pekerjaan,  manusia  atau  pekerja, lingkungan  Pheasant,  1991;  Oborne,  1995  dan  ditambah  lagi  dengan  faktor
psikososial Susan Stock, et al, 2005.
a. Faktor Pekerjaan
1. Postur Kerja
Posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal  saat  melakukan  pekerjaan  dapat  menyebabkan  stress  mekanik
lokal pada otot, ligamen, dan persendian. Hal ini mengakibatkan cidera pada  leher,  tulang  belakang,  bahu,  pergelangan  tangan,  dan  lain-lain.
Sikap  kerja  tidak  alamiah    menyebabkan  bagian  tubuh  bergerak menjauhi  posisi  alamiahnya.    Semakin  jauh  posisi  bagian  tubuh  dari
pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja  tidak  alamiah  pada  umumnya  karena  ketidaksesuaian  pekerjaan
dengan kemampuan pekerja Grandjen, 1993.
Namun  di  lain  hal,  meskipun  postur  terlihat  nyaman  dalam bekerja,  dapat  berisiko  juga  jika  mereka  bekerja  dalam  jangka  waktu
yang  lama.  Pekerjaan  yang  dikerjakan  dengan  duduk  dan  berdiri,
seperti  pada  pekerja  kantoran  dapat  mengakibatkan  masalah  pada punggung, leher dan bahu serta terjadi penumpukan darah di kaki jika
kehilangan kontrol yang tepat.
Postur  janggal  adalah  posisi  tubuh  yang  menyimpang  secara signifikan  terhadap  posisi  normal  saat  melakukan  pekerjaan
Department of EHS,  Iowa State University, 2002. Bekerja dengan posisi  janggal  meningkatkan  jumlah  energi  yang  dibutuhkan  untuk
bekerja.  Posis  janggal  menyebabkan  kondisi  dimana  transfer  tenaga dari  otot  ke  jaringan  rangka  tidak  efisien  sehingga  mudah
menimbulkan  lelah.  Termasuk  ke  dalam  postur  janggal  adalah pengulangan  atau  waktu  lama  dalam  posisi  menggapai,  berputar
twisting,  memiringkan  badan,  berlutut,  jongkok,  memegang  dalam kondisi  statis,  dan  menjepit  dengan  tangan.  Postur  ini  melibatkan
beberapa  area  tubuh  seperti  bahu,  punggung  dan  lutut,  karena  bagian inilah  yang  paling  sering  mengalami  cidera  Straker,  2000.  Diantara
Postur Junggal tersebut dapat dilihat dari gambar-gambar berikut : a  Postur janggal pada punggung
Membungkuk          Memutar                    Miring
Gambar 2.1 Postur Janggal Pada punggung
Humantech 1989, 1995
1  Membungkuk, postur punggung yang merupakan faktor risiko adalah  membungkukkan  badan  sehingga  membentuk  sudut
fleksi 20 terhadap vertikal dan berputar.
2  Rotasi  badan  atau  berputar  twisting  adalah  adanya  rotasi atau    torsi  pada  tulang  punggung  gerakan,  postur,  posisi
badan  yang    berputar  baik  ke  arah  kiri  maupun  kanan  di mana  garis  vertikal    menjadi  sumbu  tanpa  memperhitungkan
beberapa  derajat    besarnya  sudut  yang  dibentuk,  biasanya dalam arah ke depan  atau ke samping.
3  Miring  :  memiringkan  badan  bending  dapat  didefinisikan sebagai  fleksi  dari  tulang  punggung,  deviasi  bidang  median
badan  dari  garis  vertikal  tanpa  memperhitungkan  besarnya sudut  yang  dibentuk,  biasanya  dalam  arah  ke  depan  atau
samping Cohen et al, 1997. b  Postur janggal pada leher
1  Menunduk,  menunduk  ke  arah  depan  sehingga  sudut  yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher
15 Bridger, 1995.
2  Tengadah,  setiap  postur  dari  leher  yang  mendongak  ke  atas atau ekstensi.
3  Miring, setiap gerakan dari leher  yang miring, baik ke kanan maupun  ke  kiri,  tanpa  melihat  besarnya  sudut  yang  dibentuk
oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. 4  Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan
dan atau ke kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
Menunduk Menoleh      Menekukkan Kepala       Menengadah
Gambar 2.2 Postur Janggal Pada Leher
Humantech 1989, 1995
2. Beban Kerja
Beban  merupakan  salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Berat beban  yang direkomendasikan
adalah  23-25  kg,  sedangkan  menurut  Departemen  Kesehatan  2009 mengangkat beban sebaiknya tidak melebihi dari aturan yaitu laki-laki
dewasa sebesar 15-20 kg dan wanita 16-18 tahun sebesar 12-15 kg. Berdasarkan
studi oleh
European Campaign
On Musculoskeletal  Disordezs
terhadap  235  juta  pekerja  di  beberapa negara  Eropa  pada  tahun  2008,  diperoleh  18  pekerja  telah
mengalami  MSDs  diakibatkan  pekerjaan  memindahkan  benda  berat dari container setiap harinya.
3. Durasi
Durasi adalah lamanya pajanan dari faktor risiko. Durasi selama bekerja  akan  berpengaruh  terhadap  tingkat  kelelahan.  Kelelahan  akan
menurunkan  kinerja,  kenyamanan  dan  konsentrasi  sehingga  dapat menyebabkan  kecelakaan  kerja.  Durasi  didefinisikan  sebagai  durasi
singkat jika  1 jam per hari, durasi sedang yaitu 1-2 jam per hari, dan durasi  lama  yaitu    2  jam  per  hari.  Durasi  terjadinya  postur  janggal
yang  berisiko  bila  postur  tersebut  dipertahankan  lebih  dari  10  detik Brief Survey Methode dalam Humantech, 2003.
Suma‟mur  1989  mengungkapkan  bahwa  durasi  berkaitan dengan  keadaan  fisik  tubuhpekerja.  Pekerjaan  fisik  yang  berat  akan
mempengaruhi  kerja  otot,  kardiovaskular,  system  pernapasan  dan lainnya.  Jika  pekerjaan  berlangsung  dalam  waktu  yang  lama  tanpa
istirahat,  kemampuan  tubuh  akan  menurun  dan  dapat  menyebabkan kesakitan  pada  anggota  tubuh.  Durasi  atau  lamanya  waktu  bekerja
dibagi  menjadi  durasi  singkat  yaitu  kurang  dari  1  jamhari,  durasi sedang  yaitu  antara  1-2  jamhari  dan  durasi  lama  yaitu  lebih  dari  2
jamhari.
4. Gerakan Repetitifberulang
Pengulangan  gerakan  kerja  dengan  pola  yang  sama,  hal  ini  bisa terlihat pada dimana frekuensi pekerjaan yang harus dikerjakan tinggi,
sehingga pekerja harus terus menerus bekerja agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem.
Kekuatan  beban  dapat  menyebabkan  peregangan  otot  dan ligamen  serta  tekanan  pada  tulang  dan  sendi
– sendi sehingga terjadi kerusakan mekanik badan vertebrata, diskus invertebrate, ligamen, dan
bagian belakang vertebrata. Kerusakan karena beban berat secara tiba –  tiba  atau  kelelahan  akibat  mengangkat  beban  berat  yang    ilakakn
secara  berulang –  ulang.  Mikrotrauma  yang  berulang  dapat
menyebabkan degenerasi tulang punggung daerah lumbal. Riihiimaki, 1988
5. Genggaman
Terjadinya  tekanan  langsung  pada  jaringan  otot  yang  lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan
otot  tangan  yang  lunak  akan  menerima  tekanan  langsung  dari pegangan  alat,  dan  apabila  hal  ini  sering  terjadi,  dapat  menyebabkan
rasa  nyeri  otot  yang  menetap  Tarwaka  et  al,  2004.  Menurut Suma‟mur  1989  memegang  diusahakan  dengan  tangan  penuh  dan
memegang  dengan  hanya  beberapa  jari  yang  dapat  menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari tersebut harus dihindarkan.
b. Faktor  Pekerja
1. Usia
Gangguan  muskuloskeletal  adalah  salah  satu  masalah  kesehatan yang  paling  umum  dan  dialami  oleh  usia  menengah  ke  atas
Buckwalter  et  al.  1993.  Beberapa  studi  menemukan  usia  menjadi faktor penting terkait dengan MSDS Guo al. 1995, Biering-Sorensen
1983 Prevalensi MSDs meningkat ketika orang memasuki masa kerja mereka.  Pada  usia  35,  kebanyakan  orang  mulai  merasakan  peristiwa
atau pengalaman  pertama mereka dari sakit punggung tersebut. Guo et al. 1995, Chaffin 1979 Meskipun demikian, kelompok usia dengan
tingkat  tertinggi  dari  nyeri  punggung  adalah  kelompok  usia  20-24 untuk pria, dan 30-34 kelompok usia bagi perempuan.
Penelitian  rowe  1969  dan  snook  1978,  memperlihatkan kelompok  yang  rentan  terhadap  nyeri  punggung  bawah  adalah
kolompok  dengan  usia  31-40  tahun  stover  H,  2000.Berdasarkan penelitian  yang  dilakukan  Winda  2012    pada  pekerja  angkat-angkut
industri    pemecahan  batu  di  kecamatan  karangnongko  kabupaten klaten,  menyatakan  bahwa
Ada  hubungan  antara  kebiasaan  merokok dengan  keluhan  muskuloskeletal.  Usia  merupakan  faktor  risiko  keluhan
muskuloskeletal.  Pekerja  dengan  usia  =  30  memiliki  risiko  4,4  kali mengalami keluhan muskuloskeletal tingkat tinggi dibanding pekerja dengan
usia  30 tahun.
2. Masa Kerja
Penentuan  waktu  dapat  diartikan  sebagai  teknik  pengukuran kerja  untuk  mencatat  jangka  waktu  dan  perbandingan  kerja  mengenai
suatu  unsur  pekerjaan  tertentu  yang  dilaksanakan  dalam  keadaan tertentu pula serta untuk menganalisa keterangan itu hingga ditemukan
waktu  yang  diperlukan  untuk  pelaksanaan  pekerjaan  itu  pada  tingkat prestasi  tertentu.  Berdasarkan  penelitian  Taufik  2010,  dituliskan
bahwa  ada  hubungan  antara  masa  kerja  dengan  MSDs  yang  dialami oleh pekerja welder di bagian Fabrikasi.
3. Kebiasaan Merokok
Beberapa  penelitian  telah  menyajikan  bukti  bahwa  riwayat merokok  positif  dikaitkan  dengan  MSDs  seperti  nyeri  pinggang,  linu
panggul, atau
intervertebral disc
hernia Tarwaka,
2004. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan
tingkat  kebiasaan  merokok.  Semakin  lama  dan  semakin  tinggi frekuensi  merokok,  semakin  tinggi  pula  tingkat  keluhan  otot  yang
dirasakan.  Deyo  dan  Bass  1989  mengamati  bahwa  prevalensi  nyeri punggung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah Pack-rokok
per tahun dan dengan tingkat merokok terberat. Pekerja yang memiliki kebiasaan  merokok  berisiko  2,84  kali  mengalami  keluhan
muskuloskeletal  dibanding  dengan  pekerja  yang  tidak  memiliki kebiasaan merokok .Winda 2012
Selain  itu  efek  rokok  akan  menciptakan  respon  rasa  sakit, mengganggu  penyerapan  kalsium  pada  tubuh  sehingga  meningkatkan
risiko  tekanan  osteoporosis  menghambat  penyembuhan  luka  patah tulang serta menghambat degenerasi tulang. Adapun katagori merokok
dibagi  menjadi  4  katagori  yaitu  :  perokok  berat20  batang  per  hari, perokok sedang 10-20 batang per hari, perokok ringan  10 batang
per hari dan tidak merokok Bustan 2010.
4. Indeks Masa Tubuh
Walaupun  pengaruhnya  relatif    keci,  berat  badan,  tinggi  badan, dan masa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
keluhan  sistem  muskuloskeletal  Tarwaka,  2013.  Menurut  werner 1994  dalam  Terwaka  2004,  menyatakan  bahwa  bagi  pasien  yang
gemuk  obesitas  dengan  masa  tubuh  29  kg  mempunyai  resiko  2,5 lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  yang  kurus  masa  tubuh  20,
khususnya untuk otot kaki. Indeks  masa  tubuh  merupakan  indikator  yang  digunakan  untuk
melihat  status  gizi  pekerja.  Adapun  rumus  yang  digunakan  yaitu  BB berat  badan
tinggi  badan  m
2
,  dari  hasil  hasil  perhitungan  rumus tersebut menurut WHO 2005 dikatagorikan menjadi tiga yaitu kurus
18,5  normal  18,5-25  dan  gemuk  25-30  serta  obesitas    30. Semakin  gemuk  seseorang  maka  akan  semakin  berisiko  untuk
mengalami keluhan muskuloskeletal.
Penelitian  lain  menyatakan  bahwa  pada  tubuh  yang  tinggi umumnya  sering  mengalami  keluhan  sakit  punggung,  tatapi  tubuh
tinggi  tidak  mempunyai  pengaruh  terhadap  keluhan  pada  leher,  bahu dan  pergelangan  tangan.  Selain  itu  tubuh  yang  tinggi  umumnya
mempunyai  bentuk  tulang  yang  langsing  sehingga  secara  biomekanik rentan  terhadap  beban  tekan  dan  rentan  terhadapan  tekukan,  oleh
karena  itu  mempunyai  resiko  yang  lebih  tinggi  terhadap  terjadinya keluhan otot skeletal Tarwak, 2004.
c. Faktor Lingkungan
1. Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan meyebabkan kontraksi otot bertambah,  kontraksi  statis  ini  akan  menyebabkan  peredaran  darah
tidak  lancar,  penimbunan  asam  laktat  meningkat  dan  akibatnya menimbulkan rasa nyeri otot Suma‟mur, 1982. Paparan dari getaran
lokal  terjadi  ketika  bagian  tubuh  tertentu  kontak  dengan  objek  yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan. Paparan
getaran  seluruh  tubuh  terjadi  ketika  berdiri  atau  duduk  dalam lingkungan  atau  objek  yang  bergetar,  seperti  ketika  mengoperasikan
kendaraan mesin yang besar Cohen et al, 1997.
Respon  organ  atau  jaringan  tubuh  terhadap  getaran  vertikal diantaranya:  3-4  Hz  resonansi  kuat  pada  membran  vertebra
cervicalis, 4 Hz resonansi pada vertebra lumbalis, 4-5 Hz resonansi
pada  tangan,  dan  4-5  Hz  resonansi  sangat  kuat  pada  sendi  bahu Pulat, 1997.
Tabel 2.1
Nilai Ambang Batas Getaran untuk Pemajanan Lengan dan Tangan Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51KEP1999
2. Suhu
Beda  suhu  lingkungan  dengan  suhu  tubuh  mengakibatkan sebagian  energi  di  dalam  tubuh  dihabiskan  untuk  mengadaptasikan
suhu tubuh terhadap lingkungan. Apabila tidak disertai  pasokan energi yang  cukup  akan  terjadi  kekurangan  suplai  energi  ke  otot  Tarwaka,
2004. Paparan  suhu  dingin  yang  berlebihan  dapat  menurunkan
kelincahan,  kepekaan  dan  kekuatan  pekerja,  sehingga  gerakannya menjadi  lamban,  sulit  bergerak  yang  disertai  dengan  menurunnya
kekuatan  otot  NIOSH,  1997.  Menurut  Manuaba  1983  mengatakan bahwa Keadaan temperatur yang nyaman bagi orang indonesia adalah
22°-28°  C.  Bila  temperatur  di  ruang  kerja  jauh  di  bawah  atau  di  atas
Jumlah waktu per hari kerja Nilai percepatan pada frekuensi dominan
Jumlah waktu per hari kerja mdet
2
Gram
1 2
3 4 jam dan kurang dari 8 jam
2 jam dan kurang dari 4 jam 1 jam dan kurang dari 2 jam
kurang dari 1 jam 4
6 8
12 0,4
0,61 0,81
1,22
dari suhu normal tersebut, maka akan mengganggu kinerja dari pekerja yang berada di ruangan tersebut Charlotte, 2010.
3. Pencahayaan
Pencahayaan  akan  mempengaruhi  ketelitian  dan  performa kerja. Bekerja dalam kondisi cahaya yang buruk, akan membuat tubuh
beradaptasi  untuk  mendekati  cahaya.  Jika  hal  tersebut  terjadi  dalam waktu  yang  lama  meningkatkan  tekanan  pada  otot  bagian  atas  tubuh
Bridger,  1995.  Intensitas  cahaya  untuk  membaca  sekitar  300-700 luks,  pekerjaan  di  kantor  400-600  luks,  pekerjaan  yang  memerlukan
ketelitian  800-1200  luks  dan  pekerjaan  di  gudang  80-170  luks NIOSH, 1997.
Standar  penerangan  di  Indonesia  telah  ditetapkan  seperti tersebut  dalam  Peraturan  Menteri  Perburuhan  PMP  No.  7  Tahun
1964,  Tentang  syarat-syarat  kesehatan,  kebersihan  dan  penerangan  di tempat  kerja.  Standar  penerangan  yang  ditetapkan  untuk  di  Indonesia
tersebut secara  garis besar hampir sama dengan  standar internasional. Sebagai  contoh  di  Australia  menggunakan  standar  AS  1680  untuk
Interior  Lighting  yang  mengatur  intensitas  penerangan  sesuai  dengan jenis  dan  sifat  pekerjaannya.  Secara  ringkas  intensitas  penerangan
yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut Tarwaka, 2013 :
a.  Penerangan  untuk  halaman  dan  jalan-jalan  di  lingkungan perusahaan  harus  mempunyai  intensitas  penerangan  paling  sedikit
20 luks. b.  Penerangan  untuk  pekerjaan-pekerjaan  yang  hanya  membedakan
barang  kasar  dan  besar  paling  sedikit  mempunyai  intensitas penerangan 50 luks.
c.  Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membedakan barang- barang  kecil  secara  sepintas  lalu  paling  sedikit  mempunyai
intensitas penerangan 100 luks. d.  Penerangan  untuk  pekerjaan  yang  membeda-bedakan  barang  kecil
agak  teliti  Paling  sedikit  mempunyai  intensitas  penerangan  200 luks.
e.  Penerangan  untuk  pekerjaan  yang  membedakan  dengan  teliti  dari barang  barang  yang  kecil  dan  halus,  paling  sedikit  mempunyai
intensitas penerangan 300 luks. f.  Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang
halus  dengan  kontras  yang  sedang  dalam  waktu  yang  lama,  harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 500 - 1.000 luks.
d. Faktor Psikososial
Faktor  psikososial  yaitu  kepuasan  kerja,  stress  mental,  organisasi kerja  shift  kerja,  waktu  istirahat  Dinardi,  1997.  Organisasi  kerja
didefinisikan  sebagai  distribusi  dari  tugas  kerja  tiap  waktu  dan  diantara
para pekerja, durasi dari tugas kerja dan durasi serta distribusi dari periode istirahat.  Durasi  kerja  dan  periode  istirahat  memiliki  pengaruh  pada
kelelahan jaringan dan pemulihan. Studi khusus pada pengaruh  organisasi kerja  pada  gangguan  leher  telah  dilakukan.  Ditemukan  bahwa  kerja  VDU
yang  melebihi  empat  jam  per  hari  berhubungan  dengan  gejala  pada  leher Riihimaki,  1998.
E. Kerangka Teori
Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa ada berbagai faktor risiko Ergonomi yang dapat menyebabkan terjadinya musculoskeletal disorders yaitu,
faktor  pekerjaan  seperti  postur  kerja,  Beban  Kerja,  Durasi,  Gerakan  Repatitif, Genggaman  Grandjen,  1993;  Kuorinka  et  al,  1995,  Cohen  et.  Al,  1997;  NIOSH,
1997;  Susan  Stock  et.al,  2005.  Faktor  Karakteristik  individu  atau  pekerja  seperti usia,  masa  kerja,  jenis  kelamin,  status  merokok,  aktifitas  fisik  Tarwaka,  2013;
Pheasant,  1995;  Oborne,1995.  Faktor  lingkungan  kerja  seperti  Getaran,  Suhu, Pencahayaan dan faktor psikososial Tarwaka, 2013; Susan Stock et.al, 2005.
Bagan 2.1 Skema Kerangka teori : Tarwaka, 2013; Grandjen, 1993; Kuorinka et al, 1995,
Cohen et. Al, 1997; NIOSH, 1997; Pheasant, 1995; Oborne,1995; Susan Stock et.al, 2005.
Faktor Pekerjaan
  Postur kerja   Beban Kerja
  Durasi   Gerakan Repatitif
  genggaman
Musculoskeletal Disorders MSDs
Faktor Psikososial Karakteristik
Pekerja   Usia
  Masa kerja   Status merokok
  Aktifitas fisik
Lingkunga Kerja
  Suhu   Getaran
  pencahayaan
43
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Tujuan  Kerangka  konsep  ini  dibuat  untuk  menjelaskan  kaitan  antara  variabel MSDs  Dependen  dengan  faktor  pekerjaan,  faktor  Pekerja  Usia,  Masa  kerja,status
merokok,  Indeks  Masa  Tubuh  IMT    dan    Faktor  lingkungan  kerja  suhu,  dan pencahayaan.  Dalam  penelitian  ini  tidak  semua  variabel  diteliti,  karena  peneliti
hanya  memasukkan  faktor-faktor  yang  penting  dan  perlu  diketahui  terlebih  dahulu sebagai penyebab MSDs pada pengrajin sepatu di Perkampungan Industri Kecil PIK
Penggilingan Kecamatan Cakung. Adapun variabel-variabel yang diteliti dan variabel yang tidak diteliti adalah sebagai berikut :
1.  Faktor    usia  perlu  diteliti  karena  beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa kekuatan  otot  maksimal  terjadi  pada  saat  usia  antara  20-29  tahun.  Selanjutnya
terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya usia. Pada saat mencapai 60 tahun  kekuatan  otot  menurun  sampai  20  dan  risiko  keluhan  otot  akan
meningkat. 2.  Setatus  merokok  perlu  diteliti  karena  orang  yang  merokok  akan  merasa  cepat
lelah saat melakukan aktivitas yang disebabkan kandungan oksigen didalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukkan asam laktat dan
akhirnya timbul rasa nyei otot.
3.  Faktor  pekerjaan  perlu  diteliti  karena  pada  saat  melakukan  aktifitas  kerja,  tanpa disadari pekerja telah mengalami posisi atau postur kerja  yang tidak Ergonomis,
gerakan  berulang  dan  statis,  hal  ini  cendrung  membawa  pekerja  untuk mengalamin nyeri pada otot.
4.  Suhu  lingkungan  juga  berpengaruh,  paparan  suhu  dingin  yang  berlebihan  dapat menurunkan  kelincahan,  kepekaan  dan  kekuatan  pekerja  sehingga  gerakan
pakerja  menjadi  lamban,  sulit  bergerak  yang  disertai  dengan  menurunnya kekuatan otot.
5.  Pencahayaan    perlu  diteliti  karena  akan    mempengaruhi  ketelitian  dan  performa kerja.  Bekerja  dalam  kondisi  cahaya  yang  buruk,  akan  membuat  tubuh
beradaptasi  untuk  mendekati  cahaya.  Jika  hal  tersebut  terjadi  dalam  waktu  yang lama akan meningkatkan tekanan pada otot bagian atas tubuh.
6.  Faktor  aktifitas fisik  olahraga  tidak diteliti karena hampir semua pekerja tidak melakukan olah raga khusus.
7.  Untuk faktor lingkungan seperti getaran tidak diteliti karena sulit untuk dilakukan pengukuran,  selain  itu  perlu  tenaga  ahli  yang  dapat  mengukur  besarnya  getaran
yang diterima pekerja sehingga diperoleh nilai yang valid. 8.  Untuk faktor psikososial seperti kepuasan kerja, stres mental dan organisasi kerja
tidak  diteliti  karena  penelitian  ini  hanya  terfokus  terhadap  pengukuran  postur kerja  pekerjaan,  faktor  individu  pekerja  dan  lingkungan  kerja  saja.  Faktor
psikososial  tidak  diteliti  karena  beberapa  penelitian  menyatakan  bahwa  fakor psikososial hanya memiliki hubungan yang lemah dengan MSDs. Selain itu perlu
dilakukan  penelitian  terlebih  dahulu  terkait  dengan  faktor  yang  menyebabkan pekerja stress sehingga membutuhkan waktu yang lama.  Adapun skema kerangka
konsep dapat  digambarkan sebagai berikut :
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Musculoskeletal Disorders MSDs
Pencahayaan Suhu
Status Merokok IMT
Masa Kerja Faktor Pekerjaan
Berdasarkan Skor Reba
usia
B. Definisi Operasional