E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Pengelola Industri
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan serta pemahaman pekerja atau pengelola industri mengenai faktor-faktor yang
dapat mengakibatkan MSDs di tempat kerja di Industri Sepatu, sehingga pengelola secara mandiri dapat melakukan upaya-upaya perlindungan
terhadap kesehatan pekerja dan meningkatkan produktivitas kerja.
2. Manfaat Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman khususnya dalam hal kajian faktor risiko MSDs, dan sebagai bentuk penerapan teori
identifikasi risiko penyakit akibat kerja serta sebagai pemantapan keilmuan yang diperoleh selama ini.
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi mengenai kejadian musculoskeletal disorders MSDs pada pekerja, khususnya pekerja
pembuatan sepatu.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penilaian untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mengakibatkan MSDs yang dilakukan pada pengrajin sepatu di daerah
Perkampungan Industri Kecil PIK Penggilingan Kecamatan Cakung. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2013 dengan menggunakan metode observasi,
wawancara menggunakan kuesioner Nordic Body Map serta alat bantu kamera
dan handycam untuk merekam pergerakan yang dilakukan pekerja. Analisis faktor risiko Ergonomi dengan metode REBA untuk mendapatkan tingkat risiko
MSDs yang dipengaruhi oleh faktor pekerjaan postur Kerja, Durasi, Beban
Kerja, Gerakan Repatitif dan genggaman.
12
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Ergonomi
1. Definisi Ergonomi
Kata Ergonomi berasal dari bahasa yunani: ergon kerja dan nomos
peraturan, hukum. Pada berbagai negara digunakan istilah yang berbeda seperti Arbeitswissenchaft
di Jerman, Human Factors Engineering atau personal Research
di Amerika Utara. Ergonomi adalah penerapan ilmu biologis tentang manusia bersama-sama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai
penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya, yang manfaat dari padanya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja
Suma‟mur, 2009. Menurut OSHA 2000 Ergonomi didefinisikan sebagai suatu ilmu dalam
merancang peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan postur dan kapabilitas pekerja dengan tujuan untuk mencegah dan menimalisir cidera pada pekerja.
Selain itu, International Ergonomic Association IEA menyebutkan bahwa Ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari anatomi dan aspek psikologi dari
manusia dalam lingkungan kerja, dimana hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan untuk orang,
baik saat bekerja, di rumah, ataupun saat bermain. Intinya, ilmu ini mempelajari interaksi manusia dengan elemen lainnya di dalam sebuah sistem, dan profesi
yang mengaplikasikan prinsip-prinsip teori, data dan metode untuk mendesain kerja yang mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara
keseluruhan. ilmu ini mempelajari tentang interaksi antara manusia, mesin dan lingkungan serta efek yang diakibatkan oleh interaksi tersebut.
2. Manfaat Ergonomi
Tujuan atau manfaat dari ilmu Ergonomik adalah membuat pekerjaan menjadi aman bagi pekerjamanusia dan meningkatkan efisiensi kerja untuk
mencapai kesejahteraan manusia. Keberhasilan aplikasi ilmu Ergonomik dilihat dari adanya perbaikan produktivitas, efisiensi, keselamatan dan dapat
diterimanya sistem disain yang dihasilkan mudah, nyaman, dan sebagainya Pheasant, 2003. Keuntungan yang dapat diperoleh jika memanfaatkan ilmu
Ergonomi adalah Pheasant, 2003: a. Menurunnya probabilitas terjadinya kecelakaan, yang berarti:
1 Dapat mengurangi biaya pengobatan yang tinggi. Hal ini cukup berarti karena biaya untuk pengobatan lebih besar daripada biaya untuk
pencegahan. 2 Dapat mengurangi penyediaan kapasitas untuk keadaan gawat darurat
b. Dengan menggunakan antropometri dapat direncanakan didesain: 1 Pakaian kerja
2 Workspace 3 Lingkungan kerja
4 Peralatan mesin
5 Consumer product c. Peningkatan hasil produksi, yang berarti menguntungkan secara ekonomi.
Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1 Efisiensi waktu kerja yang meningkat
2 Meningkatnya kualitas kerja 3 Kecepatan pergantian pegawai labour turnover yang relatif rendah
Di sisi lain, jika kita mengabaikan faktor Ergonomik, maka akan timbul beberapa masalah dan kerugian, antara lain Pulat 1997:
a. Tingginya biaya material b. Peningkatan angka absensi
c. Kualitas kerja yang rendah d. Meningkatnya probabilitas terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan injury
to personal e. Penurunan hasil produksi
f. Meningkatnya kecepatan pergantian pegawai labour turnover g. Dibutuhkan kapasitas waktu, tempat, tenaga medis, dll yang lebih banyak
untuk menanggulangi masalah emergency gawat darurat. h. Banyaknya waktu kerja yang terbuang
i. Tingginya biaya pengobatan medis
j. Meningkatnya kecepatan pergantian pegawai labour turnover
k. Dibutuhkan kapasitas waktu, tempat, tenaga medis, dll yang lebih banyak untuk menanggulangi masalah emergency gawat darurat.
B. Metode Pengukuran Ergonomi
Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi Ergonomi untuk mengetahui hubungan antara postur tubuh saat bekerja dengan resiko
keluhan otot skeletal. Metode tersebut diantaranya adalah : OWASOvako Working Postural Analysis system, Ergonomic Assesment Survey Method EASY, Metode
Survey Baseline risk Identification of Ergonomic Factors BRIEF, Metode Rapid
Upper Limb Assesment RULA dan Metode Rapid Entire Body Assesment REBA.
Pada penelitian ini, dalam menganalisis postur kerja, peneliti menggunakan metode REBA. Berikut ini akan dibahas tentang metode REBA.
1. Metode Rapid Entire Body Assesment REBA
Rapid Entire Body Assesment
REBA dikembangkan untuk mengkaji postur bekerja yang dapat ditemukan pada industri pelayanan kesehatan dan
industri pelayanan lainnya Highnett and McAtamney, 2000. Sistem penilaian REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang dapat terjadi sehubungan
dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan MSDs dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian berdasarkan postur-postur
yang terjadi dari beberapa bagian tubuh dan melihat beban atau tenaga yang dikeluarkan serta aktivitasnya.
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode REBA untuk menilai risiko pekerjaan yang dilakukan oleh pengrajin sepatu di Perkampungan
Industri Kecil PIK Penggilingan Kecamatan Cakung, selain pengukuran
menggunakan metode REBA cukup mudah dan tidak membutuhkan alat lain selain kamera dan busur MB-Ruler hal ini juga dikarenakan Metode REBA
merupakan metode yang menerapkan pengukuran pada seluruh titik besar bagian pergerakan tubuh saat pekerja melakukan aktifitas pekerjaannya. Pekerjaan
membuat sepatu merupakan pekerjaan yang membutuhkan pergerakan hampir seluruh tubuh, hal inilah yang menjadikan metode REBA sesuai dengan
pekerjaan membuat sepatu.
a. Aplikasi REBA
Metode REBA dapat digunakan pada penilaian Ergonomi tempat kerja yang memiliki postur kerja seperti :
1 Seluruh anggota tubuh digunakandigerakkan 2 Postur dinamis, mobilitas tinggi atau postur yang tidak stabil, postur
janggal dan ekstrim terutama ketika menggunakan gaya yang dikeluarkan sekuat-kuatnya.
3 Postur yang paling sering diulang-ulang repetitif 4 Postur yang dipertahankan paling lamastatis
5 Postur yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja. 6 Mengangkat beban barangbenda mati maupun makhluk hidup
manusia, hewan dan tumbuhan, baik sering dilakukan maupun jarang.
7 Untuk memonitormembandingkan posturperilaku pekerja yang berisiko sebelum dan sesudah adanya modifikasi tempat kerja,
peralatan dan pelatihan Ergonomi.
b. Prosedur Penilaian REBA
Langkah-langkah penilaian postur tubuh, metode REBA membagi penilaian postur tubuh menjadi 2 kelompok, kelompok A dan B. Kelompok
A terdiri dari anggota tubuh punggung, leher dan kaki. Sedangkan kelompok B terdiri dari anggota tubuh bagian kiri dan kanan pada lengan atas, lengan
bawah dan pergelangan tangan. Berikut ini adalah langkah-langkah penilaiannya, yaitu:
1. Kelompok A a Observasi dan tentukan postur punggung sesuai dengan katagori
metode REBA: 1 Skor 1, posisi punggung yang baik adalah pada posisi tegak
karena posisi ini memiliki skor terendah 2 Skor 2, posisi punggung yang berisiko terkena MSDs adalah
pada saat fleksiekstensi 0-20 3 Skor 3, posisi punggung fleksi 20-60
dan ekstensi lebih dari 20
4 Skor 4 skor tertinggi, posisi punggung fleksi 60 .
5 Skor ini bertambah nilai 1 bila punggung miring ke sampingberputar. Semakin besar skor yang didapat maka
semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs. b Observasi dan tentukan postur leher sesuai dengan katagori metode
REBA: 1 Skor 1, posisi leher yang baik adalah saat fleksi 0-20
karena posisi ini memiliki skor terendah
2 Skor 2 skor tertinggi, posisi leher fleksiekstensi 20 .
3 Skor ini bertambah nilai 1 bila leher miring ke sampingberputar. Semakin besar skor yang didapat maka
semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs. c Observasi dan tentukan postur kaki sesuai dengan katagori metode
REBA: 1 Skor 1, posisi kaki yang baik adalah ketika kedua kaki
menopang tubuh karena posisi ini memiliki skor terendah 2 Skor 2, posisi tubuh yang ditopang dengan salah satu kaki atau
tidak stabil 3 Skor ini dapat bertambah nilai 1 bila lutut fleksi 30-60
o
atau ditambah nilai 2 bila lutut fleksi 60
o
hanya untuk postur berdiri. Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar
postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs.
d Masukkan setiap skor yang didapat skor punggung, leher dan kaki ke dalam tabel A untuk mendapatkan Skor Kelompok A.
e Observasi dan tentukan skor gayabeban yang dikeluarkan untuk mengangkatmendorong objek kerja yang sesuai dengan katagori
tabel gayabeban metode REBA: 1 Skor 0, pada gayabeban 5 kg
2 Skor 1, pada gayabeban 5-10 kg 3 Skor 2, pada gayabeban 10 kg.
4 Skor ini dapat bertambah nilai 1 bila gayabeban yang digunakan secara cepatterdesak.
f Jumlahkan Skor tabel A dengan skor gayabeban yang didapat sehingga didapatkan Skor A.
2. Kelompok B a Observasi dan tentukan postur lengan atas bagian kanan dan kiri
sesuai dengan katagori metode REBA: 1 Skor 1, posisi lengan atas yang baik adalah saat fleksiekstensi
0-20 karena posisi ini memiliki skor terendah
2 Skor 2, posisi lengan atas saat fleksi 20-45 atau ekstensi 20
. 3 Skor 3, posisi lengan atas saat fleksi 45-90
. 4 Skor 4, posisi lengan atas saat fleksi 90
5 Skor ini dapat bertambah nilai 1 bila lengan abduksirotasi dan bertambah nilai 1 lagi bila bahu terangkat. Namun dapat
berkurang nilai 1 bila terdapat penopang lengan. Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar postur tersebut berisiko
menimbulkan MSDs. b Observasi dan tentukan postur lengan bawah bagian kanan dan kiri
sesuai dengan katagori metode REBA: 1 Skor 1, posisi lengan bawah saat fleksi 60-100
2 Skor 2, posisi lengan bawah saat fleksi 60 atau 100
. Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar postur tersebut
berisiko menimbulkan MSDs. c Observasi dan tentukan postur pergelangan tangan bagian kanan
dan kiri sesuai dengan katagori metode REBA: 1 Skor 1, posisi pergelangan tangan saat fleksiekstensi 0-15
2 Skor 2, posisi pergelangan tangan saat fleksiekstensi 15 3 Skor ini dapat bertambah nilai 1 bila pergelangan tangan
miringberputar. Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs.
d Masukkan setiap skor yang didapat Skor lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan bagian kanan dan kiri ke dalam tabel B
untuk mendapatkan Skor Kelompok B. e Observasi dan tentukan besar skor coupling genggaman tangan
bagian kanan dan kiri yang sesuai dengan katagori tabel coupling metode REBA:
1 Skor 0, genggaman tangan yang terasa nyaman dan memerlukan tenaga yang sedang
2 Skor 1, genggaman tangan yang dapat diterima atau dilakukan tapi tidak ideal, nyaman atau genggaman hanya dapat diterima
oleh bagian tubuh lainnya 3 Skor 2, genggaman tangan yang kurang dapat dilakukan
meskipun masih mungkin dilakukan 4 Skor 3, genggaman tangan yang janggal, tidak aman, tidak
berpegangan atau genggaman tidak dapat dilakukan oleh bagian tubuh lainnya
5 Semakin besar skor yang didapat maka semakin besar postur tersebut berisiko menimbulkan MSDs.
6 Jumlahkan Skor Kelompok B dengan skor coupling yang didapat sehingga didapatkan Skor B bagian kanan dan kiri
anggota tubuh. 3. Masukkan Skor A dan B pada tabel C sehingga didapatkan Skor C
bagian kanan dan kiri anggota tubuh. 4. Observasi dan tentukan skor aktivitas kerja bagian kanan dan kiri
anggota tubuh dengan tabel aktivitas metode REBA: a Skor 1, bila satu atau lebih anggota tubuh mengalami postur statis
selama lebih dari 1 menit
b Skor ini dapat bertambah nilai 1 lagi bila terdapat postur repetitif yang sedang sebanyak 4 xmenit tidak termasuk berjalan
c Skor ini dapat bertambah nilai 1 lagi bila terdapat posturgerakan yang dilakukan secara cepattidak beraturan. Sehingga Skor
aktivitas kerja memiliki nilai maksimal 3. d Jumlahkan Skor C dengan Skor aktivitas sehingga didapatkan Skor
REBA.
e Setelah mendapatkan nilai akhir Skor REBA, masukkkan nilai pada
katagori risiko untuk mengetahui tingkat risikonya dan level
perubahan untuk menentukan pengendalian yang akan diterapkan. C.
Pengendalian Bahaya Ergonomi
Berdasarkan rekomendasi dari National Institute for Occupational Safety and Health
NIOSH, ada beberapa cara untuk mengendalikan bahaya Ergonomi yang terjadi selama pelaksanaan tugas secara manual. Dari sudut pandang Ergonomi,
penekanan pertama menghilangkan atau mengurangi risiko elimination, design control
, pengendalian administratif rotasi kerja, dan penggunaan alat pelindung diri Janet Torma et al. 2009.
1. Elimination,
yaitu menentukan apakah salah satu pekerjaan dengan faktor risiko Ergonomi dapat dihilangkan. Jika ini mungkin, cara yang paling efektif
ialah dengan memeriksamengatur proses produksi dan mengurangi adanya penanganan ganda.
2. Substitution,
yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan baru yang aman dan Ergonomis, menyempurnakan proses produksi dan prosedur
penggunaan peralatan Tarwaka et al, 2004.
3. Design control
atau engineering control, yaitu dengan memodifikasi desain kerja. Langkah ini paling efektif apabila dilakukan diskusi terlebih dahulu
dengan pekerja. Hal ini dengan dilakukan dengan mempertimbangkan area kerja, beban atau tugas, dan peralatan yang digunakan pekerja.
4. Administrative control
mengandalkan perilaku pekerja dan pengawasan. Administrative control
meliputi perawatan peralatan secara rutin, pengaturan durasi kerja atau shift kerja, rotasi kerja dan variasi tugas, mengangkat beban
dengan tim atau berkelompok. Selain itu dengan mengadakan pendidikan dan training berupa teknik manual handling, design tempat kerja, identifikasi faktor
risiko Ergonomi, bagaimana menggunakan perlengkapan dan peralatan masak dengan aman dan sesuai kaidah Ergonomi, bagaimana menggunakan alat
pelindung diri.
5. Personal Protective Equipment
, yaitu menggunakan alat pelindung diri APD untuk mengurangi paparan faktor risiko. Namun, APD hanya penghalang yang
digunakan ketika pengendalian sebelumnya tidak dapat digunakan secara efektif untuk menghilangkan risiko Ergonomi. Contoh nya seperti safety shoes,
celemek, masker, pakaian anti dingin, dan sarung tangan
D. Musculoskeletal Disorders MSDs
1. Definisi
Musculoskeletal Disorders MSDs
Studi tentang MSDs pada berbagai macam jenis industri telah banyak dilakukan, beberapa studi tersebut menunjukkan bahwa otot yang sering kali
dikeluhkan adalah otot rangka skeletal yang meliputi otot-otot leher, bahu, lengan , tangan, pinggang, jari, punggung dan otot-otot bagian bawah tubuh
lainnya Tarwaka et al, 2004. Menurut NIOSH 1997 yang dimaksud dengan Musculoskeletal
Disorders MSDs adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi
fungsi normal dari jaringan halus sistem musculoskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan struktur penunjang seperti discus intervertebral. Istilah
Musculoskeletal Disorders MSDs pada beberapa negara mempunyai sebutan
berbeda, misalnya di Amerika istilah ini dikenal dengan nama Cumulative Trauma Disorders
CTDs, di Inggris dan Australia disebut dengan nama Repetitif Strain Injury
RSI, sedangkan di Jepang dan Skandinavia dikenal dengan sebutan Occupational Cervicubrachial Disorders OCD. Istilah lain
yang beredar Overuse Syndrome Pheasant, 1991. Fokus penelitian dari MSDs adalah leher, bahu, punggung, lengan atas,
lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. MSDs pada awalnya menyebabkan gangguan tidur; mati rasasensasi terbakar pada tangan, kekakuan atau
bengkak, nyeri pada pergelangan tangan, lengan, siku, leher atau punggung yang diikuti dengan rasa tidak nyaman, rasa tegang yang menekan rasa sakit di
kepala dan yang berhubungan dengan penyakit, kering, gatal atau nyeri di mata, penglihatan yang buramganda, rasa nyeri atau kaku, kram, kesemutan,
gemetar, lemah dan pucatnya daerah yang terserang; menurunnya daya genggam tangan dan gerakan pada bahu, leherpunggung, yang pada akhirnya
mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau ekstrimitas sehingga dapat dilihat
bahwa MSDs akan mengakibatkan efisiensi kerja berkurang dan produktifitas kerja menurun Humantech, 1995 , hal ini akan berakibat pada
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan gerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh sehingga berakibat buruk pada efisiensi kerja dan produktivitas
kerjapun menurun.
2. Keluhan
Musculoskeletal Disorders MSDs
Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat
sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi,
ligament, dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan Musculoskeletal Disorders MSDs atau cidera
pada sistem musculoskeletal Tarwaka et al, 2004. Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu ;
a. Keluhan sementara reversible, yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera
hilang apabila pembebanan dihentikan, dan b. Keluhan menetap persistent, yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut Tarwaka et al, 2004.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena konstraksi oto yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila konstraksi otot hanya berkisar antara 15-20 dari kekuatan oto
maksimum. Namon apabila kontraksi otot melebihi 20, maka peredaran darah ke otot berkurang menurut kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga
yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat
yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot suma‟mur,2009; Garandjean, 1993.
3. Gejala
Musculoskeletal Disorders MSDs
Gejala Musculoskeletal disorders MSDs dapat menyerang secara cepat maupun lambat berangsur-angsur, menurut Kromer 1989, ada 3 tahap
terjadinya MSDs yang dapat diidentifikasi yaitu:
a. Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini biasanya menghilang setelah waktu kerja dalam satu malam. Tidak
berpengaruh pada performance kerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat. b. Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah
bekerja. Tidak mungkin terganggu. Kadang-kadang menyebabkan berkurangnya performance kerja;
c. Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika bergerak secara repetitive. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan
pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja.
4. Dampak
Musculoskeletal Disorders MSDs
Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek ekonomi perusahaan yaitu Pheasant, 1991 :
a. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material, produk yang akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi,
pelayanan yang tidak memuaskan, dll b. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan
penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan
atau agensi c. Biaya pergantian karyawan turn over untuk recruitment dan pelatihan
d. Biaya asuransi e. Biaya lainnya opportunity cost.
5. Faktor Risiko
Musculoskeletal Disorders MSDs
Faktor- Faktor penyebab dari timbulnya MSDs memang sulit untuk untuk dijelaskan secara pasti. Namun penelitian-penelitian sebelumnya
memaparka beberapa faktor risiko yang tertentu selalu ada dan berhubungan atau turut berperan dalam menimbulkan MSDs. Diantara Faktor-faktor tersebut
diklasifikasikan dalam tiga katagori yaitu pekerjaan, manusia atau pekerja, lingkungan Pheasant, 1991; Oborne, 1995 dan ditambah lagi dengan faktor
psikososial Susan Stock, et al, 2005.
a. Faktor Pekerjaan
1. Postur Kerja
Posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan dapat menyebabkan stress mekanik
lokal pada otot, ligamen, dan persendian. Hal ini mengakibatkan cidera pada leher, tulang belakang, bahu, pergelangan tangan, dan lain-lain.
Sikap kerja tidak alamiah menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari
pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena ketidaksesuaian pekerjaan
dengan kemampuan pekerja Grandjen, 1993.
Namun di lain hal, meskipun postur terlihat nyaman dalam bekerja, dapat berisiko juga jika mereka bekerja dalam jangka waktu
yang lama. Pekerjaan yang dikerjakan dengan duduk dan berdiri,
seperti pada pekerja kantoran dapat mengakibatkan masalah pada punggung, leher dan bahu serta terjadi penumpukan darah di kaki jika
kehilangan kontrol yang tepat.
Postur janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat melakukan pekerjaan
Department of EHS, Iowa State University, 2002. Bekerja dengan posisi janggal meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk
bekerja. Posis janggal menyebabkan kondisi dimana transfer tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien sehingga mudah
menimbulkan lelah. Termasuk ke dalam postur janggal adalah pengulangan atau waktu lama dalam posisi menggapai, berputar
twisting, memiringkan badan, berlutut, jongkok, memegang dalam kondisi statis, dan menjepit dengan tangan. Postur ini melibatkan
beberapa area tubuh seperti bahu, punggung dan lutut, karena bagian inilah yang paling sering mengalami cidera Straker, 2000. Diantara
Postur Junggal tersebut dapat dilihat dari gambar-gambar berikut : a Postur janggal pada punggung
Membungkuk Memutar Miring
Gambar 2.1 Postur Janggal Pada punggung
Humantech 1989, 1995
1 Membungkuk, postur punggung yang merupakan faktor risiko adalah membungkukkan badan sehingga membentuk sudut
fleksi 20 terhadap vertikal dan berputar.
2 Rotasi badan atau berputar twisting adalah adanya rotasi atau torsi pada tulang punggung gerakan, postur, posisi
badan yang berputar baik ke arah kiri maupun kanan di mana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan
beberapa derajat besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam arah ke depan atau ke samping.
3 Miring : memiringkan badan bending dapat didefinisikan sebagai fleksi dari tulang punggung, deviasi bidang median
badan dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam arah ke depan atau
samping Cohen et al, 1997. b Postur janggal pada leher
1 Menunduk, menunduk ke arah depan sehingga sudut yang dibentuk oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher
15 Bridger, 1995.
2 Tengadah, setiap postur dari leher yang mendongak ke atas atau ekstensi.
3 Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk
oleh garis vertikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. 4 Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan
dan atau ke kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
Menunduk Menoleh Menekukkan Kepala Menengadah
Gambar 2.2 Postur Janggal Pada Leher
Humantech 1989, 1995
2. Beban Kerja
Beban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Berat beban yang direkomendasikan
adalah 23-25 kg, sedangkan menurut Departemen Kesehatan 2009 mengangkat beban sebaiknya tidak melebihi dari aturan yaitu laki-laki
dewasa sebesar 15-20 kg dan wanita 16-18 tahun sebesar 12-15 kg. Berdasarkan
studi oleh
European Campaign
On Musculoskeletal Disordezs
terhadap 235 juta pekerja di beberapa negara Eropa pada tahun 2008, diperoleh 18 pekerja telah
mengalami MSDs diakibatkan pekerjaan memindahkan benda berat dari container setiap harinya.
3. Durasi
Durasi adalah lamanya pajanan dari faktor risiko. Durasi selama bekerja akan berpengaruh terhadap tingkat kelelahan. Kelelahan akan
menurunkan kinerja, kenyamanan dan konsentrasi sehingga dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Durasi didefinisikan sebagai durasi
singkat jika 1 jam per hari, durasi sedang yaitu 1-2 jam per hari, dan durasi lama yaitu 2 jam per hari. Durasi terjadinya postur janggal
yang berisiko bila postur tersebut dipertahankan lebih dari 10 detik Brief Survey Methode dalam Humantech, 2003.
Suma‟mur 1989 mengungkapkan bahwa durasi berkaitan dengan keadaan fisik tubuhpekerja. Pekerjaan fisik yang berat akan
mempengaruhi kerja otot, kardiovaskular, system pernapasan dan lainnya. Jika pekerjaan berlangsung dalam waktu yang lama tanpa
istirahat, kemampuan tubuh akan menurun dan dapat menyebabkan kesakitan pada anggota tubuh. Durasi atau lamanya waktu bekerja
dibagi menjadi durasi singkat yaitu kurang dari 1 jamhari, durasi sedang yaitu antara 1-2 jamhari dan durasi lama yaitu lebih dari 2
jamhari.
4. Gerakan Repetitifberulang
Pengulangan gerakan kerja dengan pola yang sama, hal ini bisa terlihat pada dimana frekuensi pekerjaan yang harus dikerjakan tinggi,
sehingga pekerja harus terus menerus bekerja agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem.
Kekuatan beban dapat menyebabkan peregangan otot dan ligamen serta tekanan pada tulang dan sendi
– sendi sehingga terjadi kerusakan mekanik badan vertebrata, diskus invertebrate, ligamen, dan
bagian belakang vertebrata. Kerusakan karena beban berat secara tiba – tiba atau kelelahan akibat mengangkat beban berat yang ilakakn
secara berulang – ulang. Mikrotrauma yang berulang dapat
menyebabkan degenerasi tulang punggung daerah lumbal. Riihiimaki, 1988
5. Genggaman
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan
otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan
rasa nyeri otot yang menetap Tarwaka et al, 2004. Menurut Suma‟mur 1989 memegang diusahakan dengan tangan penuh dan
memegang dengan hanya beberapa jari yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari tersebut harus dihindarkan.
b. Faktor Pekerja
1. Usia
Gangguan muskuloskeletal adalah salah satu masalah kesehatan yang paling umum dan dialami oleh usia menengah ke atas
Buckwalter et al. 1993. Beberapa studi menemukan usia menjadi faktor penting terkait dengan MSDS Guo al. 1995, Biering-Sorensen
1983 Prevalensi MSDs meningkat ketika orang memasuki masa kerja mereka. Pada usia 35, kebanyakan orang mulai merasakan peristiwa
atau pengalaman pertama mereka dari sakit punggung tersebut. Guo et al. 1995, Chaffin 1979 Meskipun demikian, kelompok usia dengan
tingkat tertinggi dari nyeri punggung adalah kelompok usia 20-24 untuk pria, dan 30-34 kelompok usia bagi perempuan.
Penelitian rowe 1969 dan snook 1978, memperlihatkan kelompok yang rentan terhadap nyeri punggung bawah adalah
kolompok dengan usia 31-40 tahun stover H, 2000.Berdasarkan penelitian yang dilakukan Winda 2012 pada pekerja angkat-angkut
industri pemecahan batu di kecamatan karangnongko kabupaten klaten, menyatakan bahwa
Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan muskuloskeletal. Usia merupakan faktor risiko keluhan
muskuloskeletal. Pekerja dengan usia = 30 memiliki risiko 4,4 kali mengalami keluhan muskuloskeletal tingkat tinggi dibanding pekerja dengan
usia 30 tahun.
2. Masa Kerja
Penentuan waktu dapat diartikan sebagai teknik pengukuran kerja untuk mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja mengenai
suatu unsur pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu pula serta untuk menganalisa keterangan itu hingga ditemukan
waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan itu pada tingkat prestasi tertentu. Berdasarkan penelitian Taufik 2010, dituliskan
bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan MSDs yang dialami oleh pekerja welder di bagian Fabrikasi.
3. Kebiasaan Merokok
Beberapa penelitian telah menyajikan bukti bahwa riwayat merokok positif dikaitkan dengan MSDs seperti nyeri pinggang, linu
panggul, atau
intervertebral disc
hernia Tarwaka,
2004. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan
tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang
dirasakan. Deyo dan Bass 1989 mengamati bahwa prevalensi nyeri punggung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah Pack-rokok
per tahun dan dengan tingkat merokok terberat. Pekerja yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,84 kali mengalami keluhan
muskuloskeletal dibanding dengan pekerja yang tidak memiliki kebiasaan merokok .Winda 2012
Selain itu efek rokok akan menciptakan respon rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium pada tubuh sehingga meningkatkan
risiko tekanan osteoporosis menghambat penyembuhan luka patah tulang serta menghambat degenerasi tulang. Adapun katagori merokok
dibagi menjadi 4 katagori yaitu : perokok berat20 batang per hari, perokok sedang 10-20 batang per hari, perokok ringan 10 batang
per hari dan tidak merokok Bustan 2010.
4. Indeks Masa Tubuh
Walaupun pengaruhnya relatif keci, berat badan, tinggi badan, dan masa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
keluhan sistem muskuloskeletal Tarwaka, 2013. Menurut werner 1994 dalam Terwaka 2004, menyatakan bahwa bagi pasien yang
gemuk obesitas dengan masa tubuh 29 kg mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus masa tubuh 20,
khususnya untuk otot kaki. Indeks masa tubuh merupakan indikator yang digunakan untuk
melihat status gizi pekerja. Adapun rumus yang digunakan yaitu BB berat badan
tinggi badan m
2
, dari hasil hasil perhitungan rumus tersebut menurut WHO 2005 dikatagorikan menjadi tiga yaitu kurus
18,5 normal 18,5-25 dan gemuk 25-30 serta obesitas 30. Semakin gemuk seseorang maka akan semakin berisiko untuk
mengalami keluhan muskuloskeletal.
Penelitian lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering mengalami keluhan sakit punggung, tatapi tubuh
tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan. Selain itu tubuh yang tinggi umumnya
mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentan terhadapan tekukan, oleh
karena itu mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal Tarwak, 2004.
c. Faktor Lingkungan
1. Getaran
Getaran dengan frekuensi tinggi akan meyebabkan kontraksi otot bertambah, kontraksi statis ini akan menyebabkan peredaran darah
tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akibatnya menimbulkan rasa nyeri otot Suma‟mur, 1982. Paparan dari getaran
lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan. Paparan
getaran seluruh tubuh terjadi ketika berdiri atau duduk dalam lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan
kendaraan mesin yang besar Cohen et al, 1997.
Respon organ atau jaringan tubuh terhadap getaran vertikal diantaranya: 3-4 Hz resonansi kuat pada membran vertebra
cervicalis, 4 Hz resonansi pada vertebra lumbalis, 4-5 Hz resonansi
pada tangan, dan 4-5 Hz resonansi sangat kuat pada sendi bahu Pulat, 1997.
Tabel 2.1
Nilai Ambang Batas Getaran untuk Pemajanan Lengan dan Tangan Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51KEP1999
2. Suhu
Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh mengakibatkan sebagian energi di dalam tubuh dihabiskan untuk mengadaptasikan
suhu tubuh terhadap lingkungan. Apabila tidak disertai pasokan energi yang cukup akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot Tarwaka,
2004. Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja, sehingga gerakannya menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya
kekuatan otot NIOSH, 1997. Menurut Manuaba 1983 mengatakan bahwa Keadaan temperatur yang nyaman bagi orang indonesia adalah
22°-28° C. Bila temperatur di ruang kerja jauh di bawah atau di atas
Jumlah waktu per hari kerja Nilai percepatan pada frekuensi dominan
Jumlah waktu per hari kerja mdet
2
Gram
1 2
3 4 jam dan kurang dari 8 jam
2 jam dan kurang dari 4 jam 1 jam dan kurang dari 2 jam
kurang dari 1 jam 4
6 8
12 0,4
0,61 0,81
1,22
dari suhu normal tersebut, maka akan mengganggu kinerja dari pekerja yang berada di ruangan tersebut Charlotte, 2010.
3. Pencahayaan
Pencahayaan akan mempengaruhi ketelitian dan performa kerja. Bekerja dalam kondisi cahaya yang buruk, akan membuat tubuh
beradaptasi untuk mendekati cahaya. Jika hal tersebut terjadi dalam waktu yang lama meningkatkan tekanan pada otot bagian atas tubuh
Bridger, 1995. Intensitas cahaya untuk membaca sekitar 300-700 luks, pekerjaan di kantor 400-600 luks, pekerjaan yang memerlukan
ketelitian 800-1200 luks dan pekerjaan di gudang 80-170 luks NIOSH, 1997.
Standar penerangan di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam Peraturan Menteri Perburuhan PMP No. 7 Tahun
1964, Tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja. Standar penerangan yang ditetapkan untuk di Indonesia
tersebut secara garis besar hampir sama dengan standar internasional. Sebagai contoh di Australia menggunakan standar AS 1680 untuk
Interior Lighting yang mengatur intensitas penerangan sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Secara ringkas intensitas penerangan
yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut Tarwaka, 2013 :
a. Penerangan untuk halaman dan jalan-jalan di lingkungan perusahaan harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit
20 luks. b. Penerangan untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya membedakan
barang kasar dan besar paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 50 luks.
c. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membedakan barang- barang kecil secara sepintas lalu paling sedikit mempunyai
intensitas penerangan 100 luks. d. Penerangan untuk pekerjaan yang membeda-bedakan barang kecil
agak teliti Paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 200 luks.
e. Penerangan untuk pekerjaan yang membedakan dengan teliti dari barang barang yang kecil dan halus, paling sedikit mempunyai
intensitas penerangan 300 luks. f. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang
halus dengan kontras yang sedang dalam waktu yang lama, harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 500 - 1.000 luks.
d. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yaitu kepuasan kerja, stress mental, organisasi kerja shift kerja, waktu istirahat Dinardi, 1997. Organisasi kerja
didefinisikan sebagai distribusi dari tugas kerja tiap waktu dan diantara
para pekerja, durasi dari tugas kerja dan durasi serta distribusi dari periode istirahat. Durasi kerja dan periode istirahat memiliki pengaruh pada
kelelahan jaringan dan pemulihan. Studi khusus pada pengaruh organisasi kerja pada gangguan leher telah dilakukan. Ditemukan bahwa kerja VDU
yang melebihi empat jam per hari berhubungan dengan gejala pada leher Riihimaki, 1998.
E. Kerangka Teori
Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa ada berbagai faktor risiko Ergonomi yang dapat menyebabkan terjadinya musculoskeletal disorders yaitu,
faktor pekerjaan seperti postur kerja, Beban Kerja, Durasi, Gerakan Repatitif, Genggaman Grandjen, 1993; Kuorinka et al, 1995, Cohen et. Al, 1997; NIOSH,
1997; Susan Stock et.al, 2005. Faktor Karakteristik individu atau pekerja seperti usia, masa kerja, jenis kelamin, status merokok, aktifitas fisik Tarwaka, 2013;
Pheasant, 1995; Oborne,1995. Faktor lingkungan kerja seperti Getaran, Suhu, Pencahayaan dan faktor psikososial Tarwaka, 2013; Susan Stock et.al, 2005.
Bagan 2.1 Skema Kerangka teori : Tarwaka, 2013; Grandjen, 1993; Kuorinka et al, 1995,
Cohen et. Al, 1997; NIOSH, 1997; Pheasant, 1995; Oborne,1995; Susan Stock et.al, 2005.
Faktor Pekerjaan
Postur kerja Beban Kerja
Durasi Gerakan Repatitif
genggaman
Musculoskeletal Disorders MSDs
Faktor Psikososial Karakteristik
Pekerja Usia
Masa kerja Status merokok
Aktifitas fisik
Lingkunga Kerja
Suhu Getaran
pencahayaan
43
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Tujuan Kerangka konsep ini dibuat untuk menjelaskan kaitan antara variabel MSDs Dependen dengan faktor pekerjaan, faktor Pekerja Usia, Masa kerja,status
merokok, Indeks Masa Tubuh IMT dan Faktor lingkungan kerja suhu, dan pencahayaan. Dalam penelitian ini tidak semua variabel diteliti, karena peneliti
hanya memasukkan faktor-faktor yang penting dan perlu diketahui terlebih dahulu sebagai penyebab MSDs pada pengrajin sepatu di Perkampungan Industri Kecil PIK
Penggilingan Kecamatan Cakung. Adapun variabel-variabel yang diteliti dan variabel yang tidak diteliti adalah sebagai berikut :
1. Faktor usia perlu diteliti karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat usia antara 20-29 tahun. Selanjutnya
terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya usia. Pada saat mencapai 60 tahun kekuatan otot menurun sampai 20 dan risiko keluhan otot akan
meningkat. 2. Setatus merokok perlu diteliti karena orang yang merokok akan merasa cepat
lelah saat melakukan aktivitas yang disebabkan kandungan oksigen didalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukkan asam laktat dan
akhirnya timbul rasa nyei otot.
3. Faktor pekerjaan perlu diteliti karena pada saat melakukan aktifitas kerja, tanpa disadari pekerja telah mengalami posisi atau postur kerja yang tidak Ergonomis,
gerakan berulang dan statis, hal ini cendrung membawa pekerja untuk mengalamin nyeri pada otot.
4. Suhu lingkungan juga berpengaruh, paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan
pakerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot.
5. Pencahayaan perlu diteliti karena akan mempengaruhi ketelitian dan performa kerja. Bekerja dalam kondisi cahaya yang buruk, akan membuat tubuh
beradaptasi untuk mendekati cahaya. Jika hal tersebut terjadi dalam waktu yang lama akan meningkatkan tekanan pada otot bagian atas tubuh.
6. Faktor aktifitas fisik olahraga tidak diteliti karena hampir semua pekerja tidak melakukan olah raga khusus.
7. Untuk faktor lingkungan seperti getaran tidak diteliti karena sulit untuk dilakukan pengukuran, selain itu perlu tenaga ahli yang dapat mengukur besarnya getaran
yang diterima pekerja sehingga diperoleh nilai yang valid. 8. Untuk faktor psikososial seperti kepuasan kerja, stres mental dan organisasi kerja
tidak diteliti karena penelitian ini hanya terfokus terhadap pengukuran postur kerja pekerjaan, faktor individu pekerja dan lingkungan kerja saja. Faktor
psikososial tidak diteliti karena beberapa penelitian menyatakan bahwa fakor psikososial hanya memiliki hubungan yang lemah dengan MSDs. Selain itu perlu
dilakukan penelitian terlebih dahulu terkait dengan faktor yang menyebabkan pekerja stress sehingga membutuhkan waktu yang lama. Adapun skema kerangka
konsep dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Musculoskeletal Disorders MSDs
Pencahayaan Suhu
Status Merokok IMT
Masa Kerja Faktor Pekerjaan
Berdasarkan Skor Reba
usia
B. Definisi Operasional