tegang pada otot sehingga otot yang tegang pun merasakan relaksasi, dan yang lebih menarik lagi kegiatan ini juga tidak membutuhkan biaya sama
sekali.
2. Hubungan antara Faktor Jumlah Konsumsi Rokok dengan MSDs.
Menurut Terwaka 2011, kebiasaan merokok sangat erat kaitannya dengan lama dan tingkat kebiasaan rokok. Semakin lama dan semakin
tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Penelitian yang dilakukan oleh Boshuizen 1993 menemukan
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot.
Berdasarkan Annuals of Rheumatic Diseases Croasmun, 2003 melaporkan bahwa dari hasil studi yang dilakukan terhadap 13.000
perokok dan non perokok dengan rentang usia antara 16 s.d 64 tahun, bahwa perokok memiliki risiko 50 lebih besar untuk mengalami
MSDs. Hal ini dikarenakan efek rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau sebagai permulaan rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium
pada tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena osteoporosis, menghambat penyembuhan luka patah tulang serta menghambat
degenerasi tulang. Selain itu, efek rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau sebagai permulaan rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium
pada tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena osteoporosis.
Berdasarkan tabel analisis 5.10 dengan menggunakan uji mann whitney
, diperoleh nilai rata-rata rangking banyaknya batang rokok yang dikonsumsi dengan MSDs berat adalah 35,03 dan rata-rata rangking
banyaknya batang rokok yang dikonsumsi dengan MSDs ringan adalah 29.41. Adapun nilai probabilitas P value sebesar 0,191 P value 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada α 5 tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah batang rokok yang dikonsumsi dengan MSDs
pada pengrajin sepatu di Perkampungan Industri Kecil PIK Penggilingan Kecamatan Cakung 2013. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Said 2012 pada pekerja mekanik di Electric Truck Section
PT. Kaltim Prima Coal. Tidak sesuainya antara teori dengan fakta yang ada, dimungkinkan
karena banyaknya pengrajin yang masuk pada katagori tidak merokok atau prokok ringan juga mengalami MSDs berat. Kondisi ruang kerja
yang sempit dan kurangnya ventilasi ruangan, memungkinkan setatus pekerja yang tidak merokok menjadi prokok pasif. Menurut Tarwaka
2011 Kondisi ini juga dapat mengakibatkan penurunan kapasitas paru- paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan
sebagai akibatnya, daya tahan tubuh juga menurun, hal ini akan mengakibatkan pekerja mudah lelah sehingga terjadi penumpukan asam
laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri pada otot.
Gambar 6.4
Kondisi ruang kerja pengrajin Sepatu di Perkampungan Industri Kecil PIK
Selain itu penururnan kapasitas paru-paru kemungkinan juga dipengaruhi oleh paparan zat iritan yang terkandung dalam lem yang
digunakan pengrajin sebagai perekat bahan sepatu, dimana zat perekat yang digunakan kemungkinan besar mengandung benzen, keton dan
senyawa lainnya yang apabila terpapar secara terus menerus akan berakibat pada penurunan kapasitas paru-paru, batuk-batuk dan lain
sebagainya. Batuk yang terus menerus kemungkinan akan menyebabkan tekanan di tulang belakang meningkat, sehingga terjadi kelelahan otot
punggung yang mungkin akan berakibat pada keluahan MSDs.
3. Hubungan antara Faktor Usia dengan MSDs