322
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
perjanjian internasional itu juga pernah digugat di Australia pada tahun 1995, di mana banyak kritik dari unsur masyarakat
yang menilai bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Australia tidak melibatkan parlemen, karena
memang Konstitusi Australia tidak memberikan kewenangan khusus kepada parlemen untuk terlibat dalam prosen pem-
buatan perjanjian internasional. Setelah itu muncullah usulan perbaikan sebagai hasil diskusi yang diadakan oleh The Senante
Legal and Constitutional References Committee
, dengan sebuah laporannya yang berjudul ‘Trick or Treaty? Commonwealth
Power to Make and Implement T reaties’. Ternyata Negara Bagian
dan Teritory juga mendukung reformasi proses pembuatan perjanjian internasional tersebut melalui ‘Position Paper on
Reform of the treaties process’ yang disampaikan kepada the
Council of Australian Governments pada tahun itu pula.
Untuk merespons tuntutan tersebut, Pemerintah Commonwealth Australia pada tanggal 2 Mei 1996 di depan
parlemen, atas usulan Menteri Luar negeri Alexander Downer dan Jaksa Agung Australia waktu itu, mengajukan beberapa
proses yang dimaksudkan untuk menjamin agar pembuatan perjanjian internasional di Australia berjalan secara demokratis
dan terbuka. Proses itu antara lain, perjanjian internasional akan disampaikan kepada Dua Kamar Parlemen both Houses
of Parliament
paling tidak 15 hari sidang sitting days. Perjanjian disampaikan setelah penandatanganan dan sebelum langkah
pengikatan hukum treaty action dilakukan. Yang dimaksud ‘treaty action’ ini adalah bisa berupa ratifikasi, amandemen,
ataupun justru pembatalan, bila tidak disetujui oleh parlemen. Sebagai kelengkapan dokumen, maka perjanjian internasional
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
323
yang diajukan ke parlemen tersebut harus dilampiri dengan ‘National Interest Analysis’
atau NIA.
211
Dalam praktek kenegaraan di Amerika Serikat, klasifikasi materi perjanjian internasional apa saja yang presiden harus
meminta persetujuan Senat atau Kongress, atau tidak sama sekali, diatur dalam Konstitusi dan Act. Sebagai contoh, ber-
dasarkan Pasal 1, bagian 8 klausul 1 dan 3 dari Konstitusi, menyatakan bahwa Kongress adalah Lembaga yang memiliki
wewenang perihal masalah perpajakan dan bea cukai, serta perdagangan dengan Negara-negara lain. Dengan demikian,
perjanjian internasional yang terkait masalah ini harus dengan persetujuan Kongress.
212
Jika di Indonesia, maka ketentuan ini akan mewajibkan pemerintah untuk meminta persetujuan DPR
RI dalam menandatangani seluruh agreements terkait dengan Free Trade Area,
dan tidak seperti yang telah berlangsung saat ini, pemerintah melakukannya sendiri tanpa memandang
perlunya persetujuan DPR RI. Meski demikian, Konstitusi Amerika Serikat juga mem-
berikan kewenangan kepada Presiden untuk melangsungkan atau mengesahkan perjanjian internasional atas dasar wewe-
nangnya sendiri Sole Executive Agreements, yaitu yang berkaitan dengan perjanjian internasional diluar ‘tractaat atau
Treaty’
, yakni; 1. Perjanjian internasional yang berkaitan dengan wewenang
Presiden selaku Kepala Eksekutif; 2. Perjanjian internasional yang berkaitan dengan wewenang
Presiden selaku Commander-in-Chief;
211
Pratomo, Eddy, DR, S.H., MA., Hukum Perjanjian Internasional, hal. 204-205, PT. ALUMNI, Bandung, 2011
212
Lihat pula Konstitusi Amerika Serikat, National Treaty Law and Prac- tices
, hal. 772-774, lihat pula National Law of Treaty Implementation, hal. 15
324
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
3. Kekuasaan dalam menerima Duta Besar dan Pejabat Publik
213
Perbedaan praktek kenegaraan dalam persetujuan terhadap perjanjian internasional merupakan bagian dari sistem hukum
negara tersebut, dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika per- kembangan sistem hukum di dunia internasional yang mem-
pengaruhinya. Negara–negara seperti Inggris mereformasi sistem dan proses pembuatan perjanjian internasionalnya
secara lebih kokoh dengan memasukkan Ponsoby Rule Tahun 1924 ke dalam Constitutional Reform Act and Government Act
Tahun 2010. Republik Rakyat China juga telah mereformasi proses perjanjian internasionalnya dalam Undang-Undang
Prosedur Pembuatan Traktat pada tahun 1990. Sebagai sebuah ciri dinamis dari perkembangan hukum, baik hukum nasional
maupun hukum internasional, atau hukum internasional yang ‘dinasionalisasi’ melalui proses ratifikasi, maka penyesuaian
kebijakan di bidang hukum ini merupakan gejala yang sehat.
Dari pemikiran di atas, maka diajukan beberapa masukan sebagai berikut:
1. Penegasan Pengertian tentang Perjanjian Internasional PI yang dibuat oleh pemerintah, yang wajib memperoleh
persetujuan DPR RI. 2. Penambahan pengertian tentang perjanjian perdagangan
internasional yang dilakukan oleh pemerintah, yang bersifat hukum publik.
3. Penambahan pengaturan mengenai apa saja Materi Perjanjian Perdagangan Internasional yang Presiden
Pemerintah diwajibkan mendapatkan persetujuan DPR RI,
213
Op.Cit. Pratomo, Eddy, hal. 197
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
325
dan mana yang tidak Model Persetujuan Senate Amerika Serikat.
C. Masukan Kepada TIM SETJEN DPR RI
Bagaimana Perlindungan Warga Negara akan diatur dalam UU tentang Hubungan Luar Negeri?
Jawaban:
Pasal 18, 19 dan 20 dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, Bab
V mengenai Perlindungan Kepada WNI adalah tetap diper- tahankan, dengan menambah 1 satu ayat Baru, pada Pasal
19 yang memandatkan bahwa, ‘Pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan WNI di luar negeri ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah’
. Bunyi keseluruhan Pasal 19 yang telah ada menjadi ayat 1, dan tambahan baru ini menjadi ayat 2.
Pertimbangan diperlukannya pengaturan yang lebih mendetail mengenai perlindungan terhadap WNI di luar negeri
melalui PP ini didasarkan pada kenyataan adanya kebutuhan hukum bagi belasan juta WNI yang beraktivitas di luar negeri.
Berbagai aktivitas WNI di luar negeri antara lain sebagai tenaga kerja Indonesia TKI, pelajarmahasiswa, penelitian, pekerja
professional yang menetap maupun yang sedang magang di luar negeri, aktivitas kunjungan sosial dan budaya termasuk
berwisata dan aktivitas kesenian, dan kegiatan haji.
Dipilihnya format Peraturan Pemerintah ini mengingat urgensi segera diperlukannya aturan itu terwujud, maka PP
proses penyusunannya lebih simple, dan berkekuatan hukum yang mengikat bagi penyelenggara Negara. Dan apabila di ke-
mudian hari, PP tersebut akan ditingkatkan menjadi Undang- Undang, maka telah memiliki ‘best practice’ pelaksanaannya
sehingga lebih mudah dan komprehensif.
326
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
Bagaimana pengaturan mengenai hubungan antara pemda dengan pihak asing pemerintah maupun swasta asing
dalam kerangka otonomi daerah?
Jawaban:
UU tentang Hubungan Luar Negeri idealnya memberikan kewenangan terbatas kepada Pemerintah Daerah, terutama
provinsi, untuk menjalin kerja sama luar negeri dengan pemerintah atau pun badan swasta asing, mengingat semakin
pentingnya kerja sama di antara ‘sub-state actors’ ini dalam meningkatkan laju pembangunan melalui perdagangan dan
investasi.
Pentingnya memberi ruang yang lebih luas bagi pemda untuk menjalin kerja sama luar negeri ini telah menjadi per-
hatian yang serius bagi para peneliti dalam sebuah kajian yang mereka sebut sebagai ‘paradiplomcy’. Paradiplomasi mengacu
pada perilaku dan kapasitas melakukan hubungan luar negeri dengan pihak asing yang dilakukan oleh entitas ‘sub-state’,
dalam rangka kepentingan mereka secara spesifik.
214
Istilah ‘paradiplomacy’ pertama kali diluncurkan dalam per debatan akademik oleh ilmuwan asal Basque, Panayotis
Soldatos tahun 1980-an sebagai penggabungan istilah ‘parallel diplomacy’
menjadi ‘paradiplomacy’, yang mengacu pada makna ‘the foreign policy of non-central governments’, menurut Aldecoa,
Keating dan Boyer. Istilah lain yang pernah dilontarkan oleh Ivo Duchacek New York, tahun 1990 untuk konsep ini adalah
‘micro-diplomacy’.
215
214
Wol ff , Stefan, ‘Paradiplomacy: Scope, Opportunities and Challenges’,
hal. 1-2, dan 13, University of No t ingham, 2009
215
Criekemans, David, ‘Are The Boundaries between Paradiplomacy and Diplomacy Watering Down
?’, hal. 34, University of Anwerp and Flemish Centre for International Policy, Belgium, July 2008
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
327
Dalam konteks ini, aktor sub Negara diperankan oleh pemerintahan regional atau lokal yang secara tradisional ber-
tindak sebagai aktor dalam negeri. Namun, pada era trans- nasional, pemerintah regional juga melakukan interaksi yang
melintasi batas-batas negera mereka, dan dalam taraf tertentu, mereka juga menyusun kebijakan kerjasama luar negerinya,
yang dalam banyak kasus, tidak selalu berkonsultasi secara baik dengan pemerintah pusat. Fenomena pemerintah regional
membangun hubungan internasional ini sangat tampak di Negara-negara industri maju di Barat, seperti di Flander-Belgia,
Catalonia-Spanyol, the Basque Country, Quebec-Canada.
216
Terkait bangkitnya geliat partisipasi pemerintah lokal atau daerah otonom untuk berkiprah secara initernasional ini, Stefan
Wolff, lebih lanjut mengatakan; ‘The participation of autonomous entities in the international
arena indicates that the very notion of sovereignty has fundamentally changed. It can no longer be conceptualised
in the exclusive state-only terms of the Westphalian system. For states to enjoy sovereignty to its fullest possible extent
and for their populations to benefit from it, states have to share their powers with other players in the international
arena. The example of paradiplomacy, however, also clearly indicates that states remain the ultimate bearers of
sovereignty: paradiplomacy is, at best, a competence devolved to autonomous entities and hence it is the sovereign state that
decides how much of its power it shares.’
217
216
Lecours, André, ‘Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World’
, hal. 1, Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’, December 2008,
217
Op.Cit. Wol ff
328
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
Dengan terlibatnya pemerintah lokal dalam melaksanakan hubungan dengan pihak luar negeri, maka itu mengindikasikan
bahwa pemikiran paling mendasar tentang kedaulatan Negara telah berubah secara fundamental. Sistem Westphalia yang
me letakkan kedaulatan secara penuh pada pemerintah pusat, harus rela ‘share’ dengan pemerintah daerah dalam aktivitas
internasionalnya. Seberapa besar ‘share’ kedaulatan itu, tentu akan berbeda-beda tiap Negara.
Studi yang dilakukan oleh David Criekemans menunjukkan bahwa di Negara-negara maju, hubungan pusat dan daerah
dalam ‘share’ kedaulatan di bidang hubungan internasional ini ada 2 dua kecenderungan, yakni ada yang bersifat ko-
operatif dan ada pula yang konfliktual. Paradiplomasi yang dipraktekkan oleh Flanders, Wallonia, dan Bavaria cenderung
kooperatif dengan pemerintah pusat, meski masih ada kesan kompetitif, sedangkan interaksi luar negeri yang dilaksanakan
oleh Scotland dan Catalonia cenderung konfliktual. Ada 4 empat pandangan mengenai sebab terjadinya kecenderungan
konflik atau kooperatifnya antara hubungan pusat dan daerah dalam urusan luar negeri ini, yakni, pertama, perbedaan paham
politik mayoritas di pemerintahan regional dengan pemerintah pusat akan cenderung untuk konflik, atau sebaliknya, jika
kekuatan politik mayoritas di pusat dan di daerah sama, maka akan cenderung kooperatif. Kedua, keberadaan para aktivis
pergerakan nasionalis radikal di daerah akan cenderung men- ciptakan konflik dengan pemerintah pusat dalam hu bungan
luar negerinya, atau sebaliknya, ketiadaan para aktivis radikal ini akan di daerah akan mendorong kearah kooperatif. Ketiga,
pemerintah regional yang memiliki kekuatan ekonomi yang tinggikokoh akan cenderung berani untuk berseberangan
secara konfliktual dengan pemerintah pusat, atau sebaliknya, pemerintah daerah yang miskin akan sangat diuntungkan
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
329
dengan berkooperasi dengan pemerintah pusat untuk me- minta asistensinya. Keempat, keberadaan institusi formal yang
melaksanakan fungsi koordinasi dan konsultasi antara pusat dan daerah untuk urusan luar negeri akan berpengaruh terhadap
terjadinya hubungan yang konfliktual atau pun koordinatif, meskipun yang terakhir ini tampat tidak konsisten di Eropa.
218
Dari pemikiran di atas, maka direkomendasikan bahwa; 1. Bunyi Pasal 1, poin 1 UU Nomor 37 tahun 1999 adalah
tetap. 2. Dalam RUU dimasukkan Bab Baru mengenai ‘Kerja Sama
Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah’, yang mengatur tentang kewenangan pemda dalam menjalin hubungan
dan kerja sama luar negeri, serta koordinasi antara Kemlu dengan instansi terkait.
3. Materi kewenangan yang diberikan kepada pemda dalam menjalin hubungan dan kerja sama luar negeri adalah;
a. Pemerintah daerah dapat menjalin kerjasama luar negeri dengan pemerintah dan badan swasta asing
yang bertujuan untuk peningkatan pembangunan daerah.
b. Pemerintah daerah dalam melaksanakan kerja sama luar negeri wajib mempedomasi prinsip-prinsip politik
luar negeri yang bebas aktif dalam kerangka NKRI. c. Pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan
melakukan kerja sama dengan pihak asing berkonsultasi dengan Kementerian luar negeri dan instansi terkait.
d. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri melakukan tugas pembinaan kepada pemerintah
218
Op.Cit., Criekemans, hal. 13-14