Posisi Politik Hukum UU tentang Hubungan Luar Negeri
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
321
juga hukum perdata internasional dalam satu undang-undang adalah tidak lazim. Pilihan kedua, adalah apakah hak DPR RI
untuk menjalankan kontrol terhadap pemerintah dalam me- lakukan perjanjiankontrak internasional bidang perdata
sebagai bagian dari pelaksanaan kedaulatan rakyat itu harus dimasukkan dalam undang-undang lainnya seperti UU tentang
Hubungan Luar Negeri, atau UU tentang migas, atau semua undang-undang yang memuat tentang perikatan perdata. Sebab,
jika penekanannya hanya pada undang-undang tentang migas, maka persetujuan-persetujuan pemerintah agreement tentang
free trade area
dan kejasama ekonomi lain yang berdampak luas bagi masyarakat, dan menghendaki penyesuaian undang-
undang di berbagai bidang, tidak dapat dijangkau oleh DPR RI. Pilihan ketiga, DPR RI meminta fatwa Mahkamah Konstitusi ten-
tang tafsir UUD 1945 hasil amandemen, Pasal 11 ayat 2, yakni, ‘Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, danatau mengharuskan
perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR
’. Fatwa tersebut terkait dengan apa yang dimaksud dengan
‘perjanjian internasional lainnya’ ini sehingga presiden harus meminta persetujuan dengan DPR RI. Jika telah jelas domain
hukumnya, maka kepastian hukum serta pengaturan turun- annya akan menjadi jelas pula. Dengan fatwa MK ini diharapkan
dapat dengan jelas diidentifikasi bidang atau materi apa saja yang harus dengan persetujuan DPR RI, atau cukup dengan
persetujuan Presidenpemerintah saja, atau yang biasa disebut sebagai ‘executif agreement’ itu.
Dalam praktik di beberapa Negara terkait dengan penge- sahan atau pun penyusunan suatu perjanjian internasional
ini, menunjukkan fakta yang sangat beragam. Sebagai catatan bahwa kekuasaan eksekutif yang begitu kuat dalam pembuatan
322
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
perjanjian internasional itu juga pernah digugat di Australia pada tahun 1995, di mana banyak kritik dari unsur masyarakat
yang menilai bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Australia tidak melibatkan parlemen, karena
memang Konstitusi Australia tidak memberikan kewenangan khusus kepada parlemen untuk terlibat dalam prosen pem-
buatan perjanjian internasional. Setelah itu muncullah usulan perbaikan sebagai hasil diskusi yang diadakan oleh The Senante
Legal and Constitutional References Committee
, dengan sebuah laporannya yang berjudul ‘Trick or Treaty? Commonwealth
Power to Make and Implement T reaties’. Ternyata Negara Bagian
dan Teritory juga mendukung reformasi proses pembuatan perjanjian internasional tersebut melalui ‘Position Paper on
Reform of the treaties process’ yang disampaikan kepada the
Council of Australian Governments pada tahun itu pula.
Untuk merespons tuntutan tersebut, Pemerintah Commonwealth Australia pada tanggal 2 Mei 1996 di depan
parlemen, atas usulan Menteri Luar negeri Alexander Downer dan Jaksa Agung Australia waktu itu, mengajukan beberapa
proses yang dimaksudkan untuk menjamin agar pembuatan perjanjian internasional di Australia berjalan secara demokratis
dan terbuka. Proses itu antara lain, perjanjian internasional akan disampaikan kepada Dua Kamar Parlemen both Houses
of Parliament
paling tidak 15 hari sidang sitting days. Perjanjian disampaikan setelah penandatanganan dan sebelum langkah
pengikatan hukum treaty action dilakukan. Yang dimaksud ‘treaty action’ ini adalah bisa berupa ratifikasi, amandemen,
ataupun justru pembatalan, bila tidak disetujui oleh parlemen. Sebagai kelengkapan dokumen, maka perjanjian internasional