Catatan Sudut Pandang PARADIPLOMACY KERJASAMA LUAR NEGERI OLEH PEMDA DI INDONESIA

62 PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia in the task of building a more peaceful and prosperous world community’. 61 Tampaknya, Nixon melihat bahwa organisasi ini telah memberikan dampak positifnya dalam menciptakan perdamaian dunia, tentu dalam peran-peran yang masih dalam jangkauan kewenangan para anggotanya selaku aktor ‘sub-states’.

E. Catatan Sudut Pandang

Hubungan transnasional yang mewarnai sistem interaksi masyarakat dunia pasca regim Westphalia memiliki karakter yang lebih partisipatif bagi semua aktor internasional, baik pada tingkat Negara maupun lokal, institusional ataupun individual. Spirit ‘positive sum’ dan ‘pure colaboration’, yang diajukan sebagai ‘transnational values’, akan lebih memberikan pengharapan bagi terciptanya dunia yang lebih beradap. Interaksi transnasional menandai sebuah perubahan sistem dan era kebangkitan masyarakat internasional, di mana interaksi ini memunculkan aktor-aktor ‘sub state’ dan ‘societies’ dalam men jalin aktivitas paradiplomasi. Hubungan transnasional tidak serta merta menghapuskan sendi utama ‘kedaulatan’ Negara, namun melahirkan sebuah tuntutan untuk pengaturan lebih lanjut tentang komitmen Negara untuk melakukan ‘share’ kedaulatan dalam batas-batas konstitusinya. Di sinilah, pada praktek paradiplomasi di Negara-negara maju, fakta tentang tarik ulur pembagian kedaulatan itu terjadi. Dalam kerangka ASEAN, sangat penting untuk segera upayakan terbentuknya sebuah organisasi jalinan pemerintah daerah atau pemerintah regionalprovinsi yang akan dapat berfungsi sebagai jembatan yang akan mendekatkan peng- 61 www.sister-cities.orghistory-us-presidents-support Interaksi Transnasional dan Paradiplomasi 63 ambilan keputusan pada tingkat Negara dengan masyarakat di tiap-tiap Negara anggota ASEAN. Belajar dari perkembangan penyatuan Uni Eropa, maka penyatuan pasar, kebijakan dan proyek-proyek antar Negara itu jauh lebih efektif jika Negaralah yang ‘mengikuti’ kemauan gerak masyarakat di kawasan itu, di mana aktor-aktor ‘sub-states’ dan ‘privat sectors’, ‘MNCs’, ‘societies’ memainkan peran yang sangat penting, dan bukan sebaliknya, Negara yang ‘memformat’ kerja sama dalam suatu kawasan, lalu rakyat mengikutinya. Jika Negara-negara terlalu memaksakan inisiasi penyatuan sebuah kawasan untuk menjadi ‘free trade area’ atau semacamnya, namun masyarakat sasaran atau aktor- aktor lokal belum siap untuk terlibat karena memang kurang dilibatkan, atau tidak sama sekali, maka yang terjadi adalah Negara-negara itu hanyalah akan memproduksi segala macam aturan yang membebaskan batasan-batasan perdagangan lintas Negara, termasuk pembebasan pajak dan kuota, yang hanya akan menguntungkan para pemain ekonomi multinasional saja, dan bukan rakyatnya sendiri. Pola kebijakan semacam ini dapat dikatakan sebagai ‘penyatuan pasar’ antarnegara, namun dengan memisahkan masyarakatnya. Sangat berbahaya kalau sampai terjadi. Dalam konteks Indonesia, hubungan transnasional dan paradiplomasi masih merupakan praktek berpemerintahan yang baru sehingga memerlukan perangkat yuridis yang jelas di tengah pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah saat ini. Pemerintah pusat melalui Kementerian Luar Negeri dan kementerian Dalam Negeri perlu mengarahkan orientasi kerja sama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia. Sebab dalam praktek selama ini, pemerintah daerah terlalu leluasa menentukan partner kerja sama dengan pemerintah daerah dari Negara asing, sehingga sering nilai kemanfaatanya kurang jelas. 64 PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia Referensi Criekemans, David, ‘Are The Boundaries between Paradiplomacy and Diplomacy Watering Down ?’, hal. 12-13, University of Anwerp and Flemish Centre for International Policy, Belgium, July 2008 Dougherty, James E. dan Pfaltzgraff, Robert L., Jr., ‘Contending Theories of International Relations’ , hal. 527, Harper and Row, Publishers, New York, 1982 Inanc, Hüsamettin dan Ozler, Hayrettin, dalam, ‘Democratic Deficit in EU: Is there an institutional solution to over- institutionalization? ’ Alternatives: Turkish Journal of International Relations, Vol. 6, No.12, hal. 127, Turkey, Spring Summer 2007 Jackson Robert, dan Sorenson, Georg dalam, ‘Introduction to International Relations’ , Oxford University Press Inc., New York, 1999. Dalam edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2009 Keating, Michael, Paradiplomacy and Regional Networking, hal. 3-4, Forum of Federations: an International Federalism, Hanover, October 2000. Keohane, Robert, ‘Power and Governance in a Partially Globalized World’ , hal 2-40, Rouledge, London, 2002 Keohane, Robert, and Nye, Joseph S. Jr., ‘Transnational Relations and World Politics’, hal. 337-341, Summer 1971. Published by International Organization Vol. 3, No. 3, JSTOR, USA, 2003 Keohane, Robert, ‘Theory of World Politics: Structural Realism and Beyond ’, hal. 165, dan hal. 195-196, International Organization, JSTOR, 2003 Interaksi Transnasional dan Paradiplomasi 65 Keohane, Robert, Anne-Marie Slaughter, ‘Legalized Dispute Resolution: Interstate and Transnational’, International Organization 54, 3, hal. 457-460, The IO Foundation and Massachusetts Institute of Technology, USA, Summers 2000 Lecours, André, ‘Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World’ , Hal. 1, Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’, December 2008, Moravcsik, Robert, ‘Robert Keohane: Political Theorist’,dalam ‘Power, Interdependence, and Nonstate Actors in World Politics’, Helen V. Milner dan Andrew Moravcsik Editor, Chapter 3, hal 244, Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2009 Osiander, Andreas, ‘Sovereignty, International Relations and Westphalian Myth’ , International Organization 55, hal. 251, The IO Foundation and Massachusetts Institute of Technology, USA, Spring 2001 Stefan Wolff, ‘Paradiplomacy: Scope, Opportunities and Challenges’, hal. 1-2, dan 13, University of Nottingham, 2009 Takdir Ali Mukti, ‘Pelaksanaan Kerjasama Luar Negeri Pemda Provinsi DIY 2008-2012’ , Februari-April 2013, atas beaya LP3M, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2013 Watson, sebagaimana dikutip oleh Robert Jackson dan Georg Sorenson dalam, ‘Introduction to International Relations’, Oxford University Press Inc., New York, 1999. Dalam edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2009 Wright, Quincy, ‘The Study of International relations’, seperti dikutip dalam bukunya Suwardi Wiriaatmaja, Pengantar 66 PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia Ilmu Hubungan Internasional, Penerbit Pustaka Tinta Mas, Bandung, 1988 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Internasional, SETNEG, 2000 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, SETNEG, 2001 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, SETNEG, 2004 https:www.bayern.deEnglish-.594index.htm https:www.bayern.deThe-State-of-Bavaria-.633index.htm http:english.shaanxi.gov.cnlistsistercitiesprovinciallevel1 cateinfoScity.html http:www.flanders.been http:www.gb.go.krengpage.jsp?largeCode=businessmedi umCode=tradesmallCode=English http:www.gencat.catindex_eng.htm http:www.nato.intdocuspeech1998s981112a.htm http:www.neargov.orgenpage.jsp?mnu_uid=2597 http:www.sister-cities.org http:www.sister-cities.orghistory-us-presidents-support http:en.wikipedia.orgwikiCatalan_Statute_of_Autonomy http:www.theory-talks.org200805theory-talk-7.html. Theory Talks is an initiative by Peer Schouten and is registered as ISSN 2001-4732 | 2008-2012. Beberapa wawancara Theory Talks telah diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Theory Talks, Perbincangan Pakar Sedunia Tentang Teori Hubungan Internasional Abad Ke-21”, Editor: Bambang Wahyu Nugroho dan Hanafi Rais, PPSK dan LP3M UMY, Yogyakarta, 2012 Paradiplomasi dalam Bingkai Hukum Nasional 67 BAB III PARADIPLOMASI DALAM BINGKAI HUKUM NASIONAL Tinjauan Yuridis Kerja Sama Luar Negeri oleh Pemda H al mendasar yang menjadi kajian pokok pada tinjau- an yuridis ini adalah berkaitaan dengan sumber ke- wenangan yang diperoleh pemerintah daerah selaku daerah otonom dalam bertindak selaku aktor dalam hubungan dan kerja sama luar negeri, dan pengaturan lanjutan yang bersifat lebih teknis dari Kementerian Luar Negeri KEMLU, dulu Deplu dan Kementerian Dalam Negeri KEMENDAGRI dulu Depdagri. Sebelum era otonomi daerah pasca reformasi tahun 1998, pemerintah pusat telah memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kemungkinan hubungan kerja sama antara peme- rintah daerah dengan pihak asing, meskipun belum dalam bentuk aturan hukum yang kokoh karena bukan berbentuk undang-undang, namun masih dalam format peraturan menteri dalam negeri, yakni Permendagri Nomor 1 Tahun 1992 tentang 68 PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia penyelenggaraan hubungan dan kerja sama luar negeri di jaja- ran Departemen Dalam Negeri. Perangkat inilah yang menjadi dasar bagi beberapa daerah untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan luar negeri, antara lain, kerja sama ‘sister city’ an- tara Pemda Kota Surabaya dengan Kota Perth, Australia, Tahun 1992an, ‘sister province’ antara Provinsi DIY dengan Provinsi Tyrol, Austria, Tahun 1999, dan sebelumnya kerja sama dengan California, USA, Tahun 1997, ‘sister city’ antara provinsi Suma- tera Utara dengan Vermont, Amerika Serikat, Tahun 1997, Kota Ambon dengan Darwin, Australia, Kota Padang dengan Kota Hildesheim, Jerman tahun 1998, serta ‘sister province’ antara Provinsi Jawa Timur dengan Australia Barat. Sebelumnya telah pula terjadi hubungan kerja sama antara pemda provinsi den- gan pihak luar negeri yang diawali dengan kedekatan indivi- du diantara para pemimpin masing-masing provinsi, misalnya antara Provinsi D.I. Yogyakarta dengan Kyoto Perfecture tahun 1985 karena hubungan historis antara Gubernur Kyoto dengan Sri Sultan Hamengku Buwana IX, yakni pada saat Mr. Hayashi- da Yukio bertugas sebagai bala tentara Jepang di Yogyakarta selama Perang Dunia II. 62 Praktik ‘sister city’ di Indonesia tercatat yang paling awal adalah kerja sama antara Pemerintah Kota Bandung dengan Pe- merinatah Kota Braunschwieg, Jerman pada 2 Juni 1960. Kerja sama tersebut kemudian diperbaharui hingga saat ini. Secara umum kerja sama antar Kota atau antarwilayah di negara yang berlainan itu terbentuk karena adanya persamaan-persamaan tingkat administrasinya, kesamaan masalah yang dihadapi, adanya sumber daya yang berlainan dan bersifat komplemen- ter di bidang sosial, budaya dan ekonomi dan pendidikan, atau 62 Biro Kerjasama Prov. DIY, ‘Bunga Rampai Kerjasama Luar Ne- geri Provinsi D.I. Yogyakarta’, Hal. 21, 2006 Paradiplomasi dalam Bingkai Hukum Nasional 69 peningkatan sumber daya para pejabat daerahnya masing-ma- sing, atau pun dapat meningkatkan arus aliran barang dan jasa di antara kedua belah pihak. 63 Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1992 ter- sebut di atas, termasuk Peraturan Menteri yang umurnya cukup panjang, sebab baru diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerja Sama Daerah dengan Pihak Luar Negeri. Telaah berikut akan menguraikan tentang dasar-dasar hu- kum kewenangan melakukan hubungan dan kerja sama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang berlaku saat ini, baik yang berupa undang-undang, Peraturan Menteri Luar Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

A. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubung- an Luar Negeri