Penutup PARADIPLOMACY KERJASAMA LUAR NEGERI OLEH PEMDA DI INDONESIA

348 PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia perjanjian dengan pihak asing tidak memerlukan persetujuan legislative, namun untuk kerja sama luar negeri yang dilaku- kan oleh pemerintah daerah dengan Badan Swasta Asing diharuskan mendapat persetujuan DPRD provinsikabupaten kota. Padahal, DPRD itu bukanlah pemegang fungsi legislasi yang kuat dalam pemda karena kedudukannya selaku ‘mitra’ atau ‘teman’ dari pemda yang secara bersama-sama bertindak sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Pertanyaanya adalah, mengapa DPR RI yang memegang fungsi legislasi secara kuat justru tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol secara langsung rencana pinjaman luar negeri yang akan dinegosiasikan oleh pemerintah? Kewenangan inilah yang mestinya dikuatkan melalui undang-undang. Pembangunan fondasi hukum dalam hubungan dan kerja sama luar negeri akan kokoh apabila telah jelas posisi politik hukum atas apa yang menjadi kegelisahan para anggota DPR RI terkait dengan ‘loan agreement’ yang tidak masuk dalam ranah UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kemudian perdebatan tentang wilayah hukum perdagangan internasional yang memiliki karakter publik harus ditempatkan dalam ranah hukum publik juga, sehingga persetujuan pemerintah atas perdagangan bebas antar Negara atau pasar bebas wajib mendapatkan persetujuan DPR RI. Ranah ini harus tegas dibedakan dengan hukum kontrak internasional yang bersifat hukum privat. Pada tataran inilah maka sangat perlu dilakukannya peru- bahan sejumlah Undang-Undang yang satu sama lainnya saling terkait erat, dan menginduk pada satu undang-undang, yakni Undang-Undang tentang Hubungan Internasional. Undang- Undang ini harus segera direvisi sebab akan menjadi acuan bagi pengaturan pada produk UU lainnya, seperti UU tentang Perjanjian Internasional, yang sedang dibahas di Komisi I DPR E p i l o g 349 RI, UU tentang Perdagangan Internasional, yang sedang dibahas di Komisi VI DPR RI, UU tentang Pe merintahan Daerah, yang sedang dibahas di Komisi V DPR RI, dan produk perundang- undangan lainnya. Terkait dengan nama undang-undang tentang hubungan ‘internasional’ ini, memang seyogyanya diganti saja dengan judul undang-undang tentang hubungan luar negeri, sebab kata ‘international’ tidak lagi mensifatkan hubungan antar aktor dalam ‘world politics’ saat ini yang lebih bercorak hubungan ‘transnational’. Anehnya, ketika DPR RI membahas perubahan UU tentang perjanjian internasional, perubahan UU tentang perdagangan internasional dan perubahan UU tentang pemerintahan daerah, namun justru perubahan UU tentang Hubungan Internasional yang menjadi induk dari ketiga UU tersebut dalam urusan luar negeri, belum disentuh sama sekali. Mengapa?

C. Membangun Konstruksi Tata Kelola dan Koordinasi Pusat dan Daerah dalam Kerja Sama Luar Negeri

Terbukanya peluang kerja sama luar negeri oleh daerah otonom kabupatenkota dan propinsi menyisakan beberapa problem dalam pelaksanaan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, di samping problem tentang ketersediaan sumber daya manusia dan dana. Di samping itu, menurut praktik yang telah terjadi di beb- erapa daerah, ada potensi konflik antara daerah otonom dengan pemerintah pusat, antara pemda dengan pihak asing, maupun antar sesama daerah otonom di Indonesia, dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri, yang disebabkan oleh perbedaan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan yang berlaku di beberapa Negara asing. Celah hukum itu sampai saat ini belum terantisipasi secara memadahi dalam Panduan pelaksanaan kerja sama Luar Negeri yang dikeluarkan oleh Kementerian