136
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
1. Perjanjian internasional yang berkaitan dengan wewe- nang presiden selaku Kepala Eksekutif;
2. Perjanjian internasional yang berkaitan dengan wewe- nang presiden selaku Commander-in-Chief;
3. Kekuasaan dalam menerima Duta Besar dan Pejabat Publik
114
Perbedaan praktek kenegaraan dalam persetujuan terhadap perjanjian internasional merupakan bagian dari sistem hukum
negara tersebut, dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika per- kembangan sistem hukum di dunia internasional yang mem-
pengaruhinya. Negara–negara seperti Inggris mereformasi sistem dan proses pembuatan perjanjian internasionalnya secara
lebih kokoh dengan memasukkan Ponsoby Rule Tahun 1924 ke dalam Constitutional Reform Act and Government Act Tahun
2010. Republik Rakyat China RRC juga telah mereformasi proses perjanjian internasionalnya dalam Undang-Undang
Prosedur Pembuatan Traktat pada tahun 1990. Sebagai sebuah ciri dinamis dari perkembangan hukum, baik hukum nasional
maupun hukum internasional, atau hukum internasional yang ‘dinasionalisasi’ melalui proses ratifikasi, maka penyesuaian
kebijakan di bidang hukum ini merupakan gejala yang sehat.
B. Paradiplomasi dan UU Tentang Perjanjian Internasional PI
Merespon keinginan pemerintah daerah terkait dengan pelaksanaan dan pembuatan PI, dalam Bab II Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan :
‘Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, di tingkat pusat
114
Ibid. Pratomo, Eddy, hal. 197
Paradiplomasi dalam Hukum Perjanjian Internasional
137
dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, ter1ebih dahulu melakukan
konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri’.
Dalam pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah, kewenangan atau yang menjadi pihak dalam
perundingan rancangan suatu perjanjian tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 5 ayat 4 adalah Menteri atau pejabat
lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewe nangan masing-masing. Selain itu, dari aspek hukum inter nasional,
Subyek Hukum Internasional adalah Negara. Pemerintah Daerah meskipun dapat melaksanakan perjanjian atau kerja
sama internasional, tetapi kedudukannya tidak bisa dipan- dang sebagaimana layaknya subjek hukum internasional.
Tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat. Dalam konteks hukum internasional, beban
pertanggungjawaban perjanjian internasional tetap berada di Pemerintah Pusat.
Terkait dengan keinginan daerah untuk dilibatkan dalam pembuatan PI, dari hasil pengumpulan data yang dilakukan
beberapa universitas, menyatakan, perlu ada kehati-hatian jika hendak mengakomodir keinginan daerah tersebut dalam
UU PI karena daerah bukan subyek hukum yang memiliki kewenangan untuk membuat PI treaty making power. Daerah
tidak bisa dilibatkan secara langsung dalam pembuatan PI. Namun peran daerah perlu diatur secara jelas agar tidak terjadi
lagi pengalaman kasus yang telah lalu, misalnya, rencana Kalimantan Barat untuk mendatangkan mobil bekas dari
Malaysia yang dituangkan dalam Perda dimentahkan oleh SK Menteri Perdagangan yang mengakibatkan Perda tidak berlaku.
Kasus sejenis yang lebih baru adalah mengenai tata gula, meskipun dibatalkan oleh eksekutif SK Menteri Perdagangan,
138
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
yang seharusnya pembatalan Perda dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Perlu ditegaskan bahwa, dalam pembuatan PI,
dunia internasional negara pihak akan melihat konstitusi, sebab berdasarkan konvensi Montivideo yang mengatur hak
dan kewajiban negara, jika negara berbentuk negara ke satuan, maka yang memiliki kewenangankemampuan untuk melaku-
kan hubungan ke luar adalah pemerintah pusat. Oleh karena itu, jika daerah hendak membuat PI maka harus melibatkan
pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan negara yang berbentuk federal, di mana negara bagian ada yang diberi we-
wenang untuk membuat PI. Untuk itu, ke depan agar tidak ada permasalahan lagi, maka dalam kerangka NKRI, perlu ada
dialog dengan daerah dalam pembuatan PI agar kebutuhan keinginan daerah dapat terakomodasi.
115
Sebagaimana telah disinggung dalam dalam BAB III sebe- lumnya, bahwa pada tataran hukum internasional, Negara di
satu sisi menjadi subyek hukum internasional yang utama, di sisi lain peningkatan peran subyek-subyek hukum bukan Nega-
ra, memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum internasional. Hal ini juga dapat dilihat dari defi nisi hu-
kum internasional yang dinyatakan oleh Mochtar Kusuma At- madja bahwa hukum internasional adalah keseluruhan kaidah
dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melin- tasi batas Negara antara Negara dengan Negara dan antara
Negara dengan subyek hukum lain bukan Negara, atau subyek hukum bukan Negara satu sama lain. Jelaslah bahwa hukum
internasional dapat dibentuk tidak hanya oleh Negara, tetapi juga oleh subyek hukum lain bukan Negara. Pemerintah daerah
atau Negara bagian hingga saat ini memang belum tercakup dalam subyek hukum lain bukan Negara, sehingga menyisakan
115
Op.Cit. Naskah Akademik DPRRI, hal. 22-23, et.all
Paradiplomasi dalam Hukum Perjanjian Internasional
139
pertanyaan terkait dengan pertanggungjawaban apabila terjadi pelanggaran norma-norma dalam hukum internasional dalam
kerangka kesepakatan kerja sama atau perjanjian internasional mereka.
116
Pemerintah daerah dalam bertindak melakukan perjanjian dengan pihak asing wajib mengantongi surat kuasa Full Power
dari menteri Luar Negeri, sebab dalam konteks ini, pemerintah daerah tidak bisa melangkahi kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah pusat dalam masalah pengaturan dan pelaksanaan keb
ij akan dan politik luar negeri RI. Dalam Pasal 7, ayat 1, UU Nomor 24 Tahun 2000, dinyatakan bahwa seseorang yang
mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau
mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa. Sedangkan, dalam ayat 2, disebutkan bahwa
Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 adalah: a. Presiden; dan b.
Menteri.
117
Dengan surat kuasa ini menegaskan bahwa jika ada sengketa atau konfl ik dalam perjanjian internasional yang
ditandatangani oleh pemda, maka otomatis Negara, dalam arti pemerintah pusat, akan terlibat langsung melalui aparat
diplomatiknya untuk menangani masalah tersebut. Namun, sejauh ini, Damos Dumoli Agusman menyatakan bahwa dalam
praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa
atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional.
118
116
Op.Cit., Jemmy Remungan, Hal. 240.
117
Op.Cit., UU No. 24 Tahun 2000
118
Op.Cit., Agusman, Damos Dumoli
140
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
Surat kuasa, atau dalam istilah Konvensi Jeneva 1969 disebut dengan full power tersebut, dimaknai sebagai mandat yang di-
berikan oleh pemerintah pusat melalui Menteri Luar Negeri, untuk melakukan sebahagian kewenangan pemerintah pusat
yang diserahkan kepada daerah dalam bidang kerja sama luar negeri sesuai dengan prinsip-prisip penyerahan urusan kepada
daerah otonom. Dalam konteks ini, kekhawatiran terjadinya singgungan antara pelaksanaan kerja sama luar negeri daerah
otonom atau pemda dengan kerangka konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan terjadi. Untuk menjaga
serta mengantisipasi, UU nomor 24 Tahun 2000 dalam Pasal 12, ayat 2, dinyatakan bahwa Lembaga pemrakarsa, yang terdiri
atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, mengkoordinasikan pembahasan
rancangan danatau materi permasalahan dimaksud dalam ayat 1 yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan pihak-
pihak terkait. Di sinilah, Kementerian Luar Negeri bertindak sebagai satu-satunya pintu, atau semacam ‘one gate policy”,
yang harus dilalui dalam membuat perjanjian internasional, sekalipun itu dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kementerian Luar Negeri RI dalam mendampingi atau pun ikut menyusunkan draft kerja sama Pemerintah Daerah dengan
pihak asing, terutama dalam kerja sama ‘sister city’ hampir selalu menggunakan judul dengan istilah ‘Memorandum of
Understanding’
MoU. Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan
judul atau nomenklatur, namun praktek di Indonesia pada umumnya tanpa disengaja telah mengarah pada kristalisasi
penggunaan nomenklatur tertentu untuk ruang lingkup materi tertentu, misalnya lebih cenderung menggunakan
“Agreement” sebagai instrumen payung dan kemudian MOU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan
Paradiplomasi dalam Hukum Perjanjian Internasional
141
ini dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak mengurangi atau melarang Indonesia untuk
menentukan bentuk lain berdasarkan asas kebebasan ber- kontrak sepanjang kedua pihak menyepakatinya. Selain itu,
terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek Indonesia bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian yang bersifat teknis
antar sektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian payung, seperti Perjanjian Kerja Sama Ekonomi dan Teknik.
Pendekatan ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan conveniences dan bukan merupakan suatu
aturan yang mengikat.
Dalam hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja dibuat untuk masalah yang teknis dan
konkrit tanpa adanya perjanjian payung. Memorandum Saling Pengertian Memorandum of Understanding merupakan salah
satu model dokumen yang memiliki sifat khastypical. Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law
system
, yang berpandangan bahwa MOU adalah non-legally binding
dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain termasuk Indonesia menekankan prinsip
bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara termasuk MOU
memiliki daya mengikat seperti Treaties. Para ahli berpendapat bahwa istilah MOU digunakan
dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari peng gunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan meng-
ikat. Adanya pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara akan menimbulkan suatu
situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain
menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik dan moral. Pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum
memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian
142
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat meng- enforce
isi MOU melalui jalur peradilan internasional atau jalur kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian
internasional. Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara common law, pengertian non-legally binding
memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam
praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa atas
suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional. Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi
concern
yang berarti bagi Indonesia. Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan se-
bagai bentuk yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”per- janjian” dalam hubungan perdata nasional. Dalam rangka
menarik dan memberikan jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah mulai menggunakan
format MOU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan investasi di
daerah itu. Status hukum MOU semacam ini masih menjadi perdebatan. Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi
instrumen yang digunakan dalam hubungan kerja sama antar wilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia.
Pengertian MOU oleh otonomi daerah merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan dituangkan dalam
bentuk “Perjanjian Kerja Sama” yang bersifat mengikat. Metode yang digunakan dalam praktek Indonesia untuk menentukan
apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional masih belum konsisten. Hal ini terlihat dari pola sistem penyimpanan
perjanjian depository system yang ternyata menyimpan pada Treaty Room Departemen Luar Negeri semua dokumen
sepanjang ditandatangani oleh Pemerintah RI tanpa melihat
Paradiplomasi dalam Hukum Perjanjian Internasional
143
apakah dokumen tersebut memenuhi semua elemen sebagai suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang
tersimpan pada Treaty Room berdasarkan materi perjanjian the merits of the documents,
maka pada hakekatnya dapat dilakukan klasifikasi sebagai berikut:
a. Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh Vienna Con- vention on the Law of Treaties 1969
dan Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Multilateral Convention, Border
Treaties, Extradition, Agreement, MOU’s, Exchange of Notes, etc
; b. Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi
tidak tunduk pada hukum internasional publik loan agreements, procurement contracts, etc
; c.
Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum joint statements, declarations, agreed
minutes, etc.
119
C. Pengesahan Perjanjian Internasional dengan UU di Indonesia