Solusi Kerja Sama Luar Negeri Oleh Provinsi Jawa Timur206
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
319
masyarakat setelah penandatangan perjanjian itu, baik itu dampak lingkungan, marginalisasi masyarakatpenduduk asli,
dan kemiskinan structural yang melingkungi proyek-proyek vital tersebut.
Pada sisi yang lain, kalangan DPR RI mensinyalir perjanjian atau kesepakatan pasar bebas antar Negara yang ditandatangani
oleh pemerintah Indonesia tanpa persetujuan dewan banyak merugikan rakyat. Berbagai perjanjian perdagangan bebas telah
dibuat oleh Pemerintah baik secara bilateral maupun multi- lateral seperti ASEAN-China Free Trade Area ACFTA, ASEAN
Free Trade Area AFTA, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-
Japan Partnership
.
209
Dalam konteks perjanjian perdagangan internasional ini, Prof. DR. Hikmahanto, menegaskan bahwa;
‘Hukum perdagangan internasional yang mengatur aturan-aturan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan
di bidang perdagangan yang menjadi subyek hukum adalah subyek hukum internasional. Dalam hukum perdagangan
internasional, orang dan badan hukum bukanlah subyek hukumnya. Di sinilah harus dipahami bahwa hukum
perdagangan internasional masuk dalam katagori hukum internasional publik, dan sama sekali bukan hukum perdata
internasional’.
210
209
Naskah Akademik DPRRI atas RUU tentang Perjanjian Internasi- onal 2012 , hal. 3
210
Prof. Hikmahanto Juwana, Ph.D, dalam Kata Pengantar dalam Buku, Pengantar Hukum WTO, karangan Peter Van den Bossche, Daniar
Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Universitas Indonesia, Okto- ber 2009, sebagaimana dipublikasikan dalam h
t p:www.jwklawoffi ce. comsiteimagesstoriespengantar-hukum-wto.pdf
320
PARADIPLOMACY Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemda di Indonesia
Memang, dari tinjauan subyek hukum perdata inter- nasional, pemerintah tidak bisa serta merta digolongkan sama
dengan subyek hukum lain, seperti sebuah perusahaan swasta asing atau pun Multinational Corporation MNC, dari sisi
pertanggungjawaban publiknya. Pertanggungjawaban publik inilah makna sesungguhnya dari dimensi ‘publik’ dari subyek
hukum yang bernama ‘pemerintah’ itu. Publik bagi pemerintah Indonesia saat ini adalah seluruh warga Negara yang berjumlah
lebih dari 245 juta jiwa, sedangkan makna ‘publik’ bagi perusahaan asing atau pun MNCs, adalah mereka yang membeli
dan memiliki saham pada saat ‘go public’ atau Initial Public Offer IPO,
ataupun membeli saham di pasar sekunder. Dengan kata lain, pertanggungjawaban publik perusahaan adalah sangat
terbatas maknanya, dan itu sudah wakili oleh komisaris atau dalam rapat umum pemegang saham. Peran komisaris atau
pemegang saham sebagai ‘owner’ inilah yang diperankan oleh DPR RI. ‘Owner’ perusahaan pasti akan menanyakan,
me nilai secara detail dan menyetujui atau menolak rencana ‘corporate actions’
yang akan diambil oleh managemen. Hak inilah yang ditagih oleh DPR RI kepada pemerintah sebagai
managemen dalam melakukan ‘government actions’ yang dalam hal ini kebijakan pemerintah untuk ikut dalam suatu perjanjian
perdata internasional.
Jika substansi di atas dapat dipahamkan bersama, terutama tentang dimensi publik pada hukum perjanjian perdata inter-
nasionalkontrak, maka tersisa 3 pilihan pokok, yakni, pertama, apakah akan memperluas jangkauan pengertian ‘perjanjian
internasional’ pada undang-undang baru nantinya, atau tetap pada pengertian yang standard seperti yang sekarang ini
berlaku. Pilihan ini tampak beresiko secara disiplin ilmu hukum internasional, sebab memperluas makna perjanjian internasional
yang mencakup tidak hanya hukum internasional publik, tapi
Masukan Pemikiran dalam Rangka Perubahan UU Nomor 37 Tahun 1999...
321
juga hukum perdata internasional dalam satu undang-undang adalah tidak lazim. Pilihan kedua, adalah apakah hak DPR RI
untuk menjalankan kontrol terhadap pemerintah dalam me- lakukan perjanjiankontrak internasional bidang perdata
sebagai bagian dari pelaksanaan kedaulatan rakyat itu harus dimasukkan dalam undang-undang lainnya seperti UU tentang
Hubungan Luar Negeri, atau UU tentang migas, atau semua undang-undang yang memuat tentang perikatan perdata. Sebab,
jika penekanannya hanya pada undang-undang tentang migas, maka persetujuan-persetujuan pemerintah agreement tentang
free trade area
dan kejasama ekonomi lain yang berdampak luas bagi masyarakat, dan menghendaki penyesuaian undang-
undang di berbagai bidang, tidak dapat dijangkau oleh DPR RI. Pilihan ketiga, DPR RI meminta fatwa Mahkamah Konstitusi ten-
tang tafsir UUD 1945 hasil amandemen, Pasal 11 ayat 2, yakni, ‘Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, danatau mengharuskan
perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR
’. Fatwa tersebut terkait dengan apa yang dimaksud dengan
‘perjanjian internasional lainnya’ ini sehingga presiden harus meminta persetujuan dengan DPR RI. Jika telah jelas domain
hukumnya, maka kepastian hukum serta pengaturan turun- annya akan menjadi jelas pula. Dengan fatwa MK ini diharapkan
dapat dengan jelas diidentifikasi bidang atau materi apa saja yang harus dengan persetujuan DPR RI, atau cukup dengan
persetujuan Presidenpemerintah saja, atau yang biasa disebut sebagai ‘executif agreement’ itu.
Dalam praktik di beberapa Negara terkait dengan penge- sahan atau pun penyusunan suatu perjanjian internasional
ini, menunjukkan fakta yang sangat beragam. Sebagai catatan bahwa kekuasaan eksekutif yang begitu kuat dalam pembuatan