166 pelatihan menyangkut pengusahaan nursery, rehabilitasi mangrove, reklamasi
lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya. Untuk mengetahui luasan mangrove dan tingkat effort optimal yang dapat
diterapkan sebagai suatu kebijakan di Provinsi NAD digunakan model Fozin-2 persamaan 3.58. Hasil analisis dengan menggunakan software GAMS diperoleh
nilai-nilai seperti terlihat pada Tabel 45. Tabel 45. Luas Mangrove dan effort aktual dan optimal di Provinsi NAD
Mangrove Effort
Lokasi aktual
optimal aktual
optimal Pantai Timur
43 710.00 100 946.70
87 226.06 105 950.00
Pantai Barat 415.80
13 029.91 64 024.20
74 456.00
Philips dan Budhiman 2005
4.14. Integrasi Analisis Bio-ekonomi Perikanan di NAD
Seperti dijelaskan pada sub bab terdahulu bahwa produksi aktual perikanan pelagis di Provinsi NAD menunjukkan trend yang meningkat, bahkan
pada tahun-tahun tertentu selama periode pengamatan telah melebihi produksi lestari, terutama pada akhir-akhir dari periode pengamatan. Peningkatan hasil
tangkapan ini dipicu driven oleh peningkatan input, penambahan jumlah trip atau penambahan jumlah armada fleet, yang sangat signifikan dari tahun ke
tahun. Untuk Pantai Timur, peningkatan effort cukup tajam setelah periode pertengahan 90-an atau setelah tahun 1995. Penyebabnya adalah banyaknya
sifting tenaga kerja dan investasi dari perikanan budidaya ke perikanan tangkap,
akibat wabah virus yang melanda pertambakan di Provinsi NAD. Sedangkan di Pantai Barat, tingkat effort terus meningkat dari awal periode pengamatan.
Peningkatan input yang tidak terkendali akan mengarah kepada overfishing
, terutama economic overfishing, seperti yang dikemukakan oleh Gordon 1954, diacu dalam Fauzi 2004 bahwa pada perikanan open access
akan terjadi economic overfishing dimana upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besar-besaran, namun
hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat sub
167 optimum lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan.
Keseimbangan akan terjadi pada saat Total Revenue TR sama dengan Total Cost TC dan ketika itu pelaku perikanan sudah tidak mendapatkan rente ekonomi dari
usahanya. Sementara rente ekonomi maksimum terjadi ketika selisih antara TR dan TC terbesar dan hal itu terjadi pada effort yang jauh lebih kecil daripada effort
open access . Kelebihan input ini merupakan opportunity cost yang seharusnya
dapat diinvestasi pada kegiatan produktif lainnya yang memberikan rente ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku perikanan.
Model Gordon-Schaefer GS melihat bahwa menurunnya rente ekonomi П, jumlah tangkapan h, dan biomas x terbatas karena kelebihan excess
effort , padahal menurunnya variabel-variabel ini juga dapat disebabkan oleh
degradasi dan depresiasi sumber daya ikan di Provinsi NAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun-tahun tertentu selama periode pengamatan telah
terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan ke di Provinsi NAD ke depan harus dilakukan dengan hati-
hati melalui rasionalisasi terhadap input. Jika tidak, maka peluang overfishing akan terbuka lebar seperti yang terjadi pada perikanan di Pantura Jawa Barat
Sofyan 2006. Model bio-ekonomi GS dilakukan pada kondisi perikanan dalam
equilibrium dengan kurva yield-effortnya adalah : 1
E r
q qKE
h −
= Namun kenyataannya kondisi perikanan tidak selalu equilibrium. Terjadinya
shock , seperti tsunami di Provinsi NAD, menyebabkan kondisi sumber daya
menjadi disequilibrium. Kurva yield-effort dengan tsunami dihitung dengan menggunakan model Fozin-1, persamaan 3.16, dengan menggunakan Software
Maple 9.5 adalah sebagai berikut :
168
a b
Keterangan: TS = Tanpa Tsunami
DS = Dengan Tsunami
Gambar 51. Yield-effort curves tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur a dan Pantai Barat b.
Dari Gambar 51 terlihat bahwa setelah tsunami telah terjadi penurunan effort
E sebesar 32 – 36, sehingga telah menyusutkan shrinking kurva yield
-effort, namun tingkat MSY tetap tidak berubah yaitu 214.32 ribu ton untuk Pantai Timur dan 193.45 ribu ton untuk Pantai Barat. Penurunan effort tersebut
disebabkan oleh hilangrusaknya sebagian armada karena tsunami yang diperkirakan mencapai 11 124 unit armada atau 54.24 dari total armada sebelum
tsunami di Provinsi NAD FAO 2005a. Jika dilihat dalam bentuk moneter, dampak tsunami juga telah menyusutkan shrinking kurva total penerimaan TR
dan total biaya TC ke kiri seperti terlihat pada Model GS Gambar 52. Berdasarkan Gambar 52 dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Akibat tsunami telah menyusutkan shrinking kurva total penerimaan TR ke kiri karena penurunan tingkat effort, baik untuk Pantai Timur maupun Pantai
Barat. Sebaliknya telah terjadi peningkatan total biaya TC dari TCt ke TCd dengan tingkat kenaikan hampir 100 persen.
• Pada pengelolaan open access, untuk Pantai Timur Gambar 52a, telah terjadi penurunan produksi ikan dari 59.48 ribu ton sebelum tsunami menjadi 58.74
ribu ton setelah tsunami. Penurunan produksi disebabkan oleh penurunan effort
setelah tsunami sebesar 32.0. Namun dari sisi penerimaan revenue
TS DS
TS DS
169 telah terjadi kenaikan TR dari adalah Rp. 77.33 milyar tanpa tsunami menjadi
Rp.105.19 milyar dengan tsunami. Kenaikan penerimaan setelah tsunami ini dipicu oleh kenaikan harga output ikan yang mencapai 38.5, bukan karena
kenaikan hasil tangkapan. Sama seperti Pantai Timur, Untuk Pantai Barat Gambar 52b juga terjadi penurunan produksi dari 36.71 ribu ton sebelum
tsunami menjadi 35.23 ribu ton setelah tsunami, yang disebabkan driven oleh penurunan effort hingga 33.6, yaitu dari 68.18 ribu trip sebelum
tsunami menjadi 45.29 ribu trip setelah tsunami. Dari sisi penerimaan revenue juga telah terjadi kenaikan TR dari Rp. 47.73 milyar sebelum
tsunami menjadi 63.41 milyar setelah tsunami. Kenaikan penerimaan ini juga disebabkan oleh naiknya harga output pasca tsunami.
a b
Keterangan : TRts = total penerimaan tanpa tsunami TRds = total penerimaan dengan tsunami
TCts = total biaya tanpa tsunami TCds = total biaya dengan tsunami
Gambar 52. Model Gordon-Schaefer GS tanpa dan dengan tsunami di Pantai Timur a dan Pantai Barat b.
• Meskipun terjadi kenaikan revenue dengan tsunami, namun rente ekonomi pada pengelolaan sumber daya yang open access ini mendekati nol driven to
zerro dimana keseimbangan terjadi ketika TR = TC yang oleh Gordon 1954
disebut sebagai “Bioeconomic Equilibrium of Open access Fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka Fauzi 2004. Tingkat
TCds TRts
TRds
TCts TRds
TRts TCds
TCts
170 effort
atau input pada rezim open access ini cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena selama masih ada rente ekonomi atau TRTC, maka pelaku perikanan
akan terus masuk dalam industri ini dan penambahan input akan berhenti ketika TR = TC, dimana pelaku perikanan sudah tidak memperoleh rente
ekonomi dari usaha mereka. • Pada pengelolaan Maximum Sustainable Yield MSY terjadi penurunan
effort yang sama yaitu 35.9 baik di Pantai Timur maupun Barat, namun
penurunan effort ini tidak dibarengi dengan turunnya produksi sustainable sebelum dan setelah tsunami, yang tetap sebesar 214.32 ribu ton di Pantai
Timur dan 193.45 ribu ton di Pantai Barat. Dari sisi penerimaan, terjadi kenaikan rente ekonomi dari Rp. 232.23 milyar menjadi Rp. 326.31 milyar
untuk Pantai Timur dan 224.78 milyar menjadi Rp. 313.98 milyar untuk Pantai Barat.
• Pada pengelolaan Maximum Economic Yield MEY atau disebut juga sole owner
, dampak tsunami terhadap perikanan tangkap adalah terjadi penurunan effort
32.8 di Pantai Timur dan 34.0 di Pantai Barat Provinsi NAD. Penurunan effort ini dibarengi dengan penurunan produksi ikan dari 212.84
ribu ton sebelum tsunami menjadi 182.77 ribu ton setelah tsunami di Pantai Timur dan 192.91 ribu ton sebelum tsunami menjadi 166.28 ribu ton setelah
tsunami di Pantai Barat. Namun, sebaliknya terjadi kenaikan rente ekonomi dari Rp. 234.17 milyar sebelum tsunami menjadi Rp. 271.82 milyar setelah
tsunami di Pantai Timur dan Rp. 225.50 milyar sebelum tsunami menjadi Rp. 265.93 milyar setelah tsunami di Pantai Barat.
• Meningkatnya rente ekonomi perikanan tangkap lebih disebabkan karena kenaikan harga output dan penurunan effort pasca tsunami. Meningkatnya
rente ekonomi setelah tsunami ini tidak berarti memberikan dampak positif kepada nelayan, karena kenaikan ini dipicu oleh kenaikan harga input dan
tingginya harga barang kebutuhan sehari-hari lainnya pasca tsunami di Provinsi NAD.
• Pasca tsunami telah terjadi peningkatan biomas 28 – 56 yang disebabkan karena penurunan effort yang cukup tinggi, mencapai 32 – 36, akibat
171 dampak tsunami yang menewaskan ribuan nelayan dan merusak ribuan
armada. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan input effort 1 telah mampu meningkatkan biomas sekitar 1.24 di Provinsi NAD dengan asumsi
faktor tsunami tidak mempengaruhi stok biomas dan faktor lainnya yang mempengaruhi stok biomas dianggap tetap. Hubungan antara tingkat effort
dan biomas dapat dilihat pada cerminan model GS dalam effort dan model GS dalam biomas pada Gambar 53.
Gambar 53. Korelasi antara effort dan biomas dari model GS
Dari Gambar 53 terlihat bahwa pada kondisi open access, keseimbangan terjadi pada tingkat effort E
∞
dimana TR = TC. Ketika itu tingkat biomas paling sedikit yaitu sebesar OX
∞
. Hal ini menunjukkan konsistensi teori Gordon bahwa keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit
biomas, yang dikenal dengan istilah ”too many boats chasing too few fish”. Hal ini terjadi karena sifat akses terbuka, menjadikan stok sumber daya x akan
diekstraksi sampai titik terlalu banyak, namun keseimbangan biomas diperoleh pada tingkat yang lebih tinggi Fauzi 2004. Sebaliknya pada kondisi MEY,
tingkat effort paling sedikit yaitu sebesar Ox
∞
, namun tingkat biomas paling tinggi yaitu sebesar Oxo.
Secara rinci hasil perhitungan model bio-ekonomi tanpa dan dengan tsunami dengan menggunakan model GS dan Fozin-1 di Provinsi NAD dapat
dilihat pada Tabel 46.
Effort E Biomas x
E ∞
Emsy Eo
x ∞
xmsy xo Rp
TR , TC
TC TC
TR TR
O
172 Tabel 46. Hasil perhitungan bio-ekonomi perikanan di Provinsi NAD
Pantai Timur Pantai Barat
Tolok ukur Tanpa
tsunami Dengan
tsunami Persentase
Tanpa tsunami
Dengan tsunami
Persentase
Open access
E ribu trip 110.47
75.13 -32.0
68.18 45.29
-33.6 h
ribu ton
59.48 58.74 -1.8 36.71 35.23 -4.0 x ribu ton
16.87 24.31
30.8 71.79
103.70 30.8
Rente Rp.milyar
0.00 0.00 0.0 0.00 0.00 0.0 ∆ rente
0.00 0.0
0.00 0.0
MSY
E ribu trip 66.27
42.48 -35.9
38.14 24.45
-35.9 h
ribu ton
214.32 214.32 0.0 193.45 193.45
0.0 x
ribu ton
1010.72 1576.73 35.9 676.28 1054.98
35.9 Rente
Rp.milyar 232.24 326.31 28.8 224.79 313.98 28.4
∆ rente -94.08
-89.19
MEY
E ribu trip 60.75
40.84 -32.8
36.12 23.85
-34.0 h
ribu ton
212.84 182.77 -14.1 192.90 166.29 -13.8 x ribu ton
1094.86 1398.52
21.7 712.17
929.67 23.4
Rente Rp.milyar
234.17 271.82 13.9 225.50 265.93 15.2 ∆ rente
-37.65 -40.43
Rezim pengelolaan sumber daya perikanan akan berpengaruh pada ketersediaan biomas x, jumlah effort E, hasil tangkapanpanenproduksi h,
dan rente ekonomi. Ada tiga rezim pengelolaan yang di maksud dalam penelitian ini, yaitu : rezim pengelolaan sumber daya perikanan pada kondisi Maximum
Economic Yield MEY, Maximum Sustainable Yield MSY dan Open access OA
. Untuk menduga tingkat biomas dari ketiga rezim tersebut digunakan persamaan 3.43, 3.47, 3.51 dengan bantuan software maple 9.5. Perbedaan
biomas dari ketiga rezim OA, MSY dan MEY secara jelas dapat dilihat pada Gambar 54.
173
20 40
60 80
100 120
140 160
180
OA MSY
MEY
Re z im pe nge lolaan B
iom as
r ib
u t
o n
X tanpa tsunami X dengan tsunami
20 40
60 80
100 120
OA MSY
MEY
Re z im Pe nge lolaan B
io m
a s r
ib u
to n
X tanpa tsunami X dengan tsunami
a b Gambar 54. Rezim pengelolaan biomas di Pantai Timur a dan Pantai
Barat b.
Dari Gambar 54 terlihat bahwa tingkat biomas paling tinggi terjadi pada rezim MEY, kemudian MSY dan OA. Artinya, pada rezim pengelolaan MEY
relatif lebih conservative dibandingkan dengan yang lainnya, karena pada rezim ini tidak menguras sumber daya ikan secara besar-besaran, namun yang dituju dari
rezim ini adalah tingkat panen tangkap yang optimum sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimum. Namun, pada kondisi disequilibrium setelah
tsunami tingkat biomas yang paling tinggi terjadi pada rezim MSY, kemudian MEY dan OA. Hal ini sesuai dengan model keseimbangan Gordon-Schaefer GS
yang melihat dari sisi hubungan penerimaan dan biaya dengan biomas x, seperti terlihat pada Gambar 55 Fauzi 2004. Gambar tersebut menunjukkan bahwa
tingkat biomas pada kondisi MEY lebih tinggi dari MSY dan OA atau X
o
X
msy
X
oa
.
174
Dari Gambar 56 menunjukkan bahwa, untuk Pantai Timur, input effort pada kondisi Maximum Economic Yield MEY adalah 60.75 ribu trip, jauh lebih
rendah dari effort pada rezim open access 110.47 ribu trip serta maximum sustainable yield
MSY 66.27 ribu trip. Namun sebaliknya, rente ekonomi pada kondisi MEY, Rp 234.166 milyar, adalah lebih tinggi dibandingkan rente
ekonomi pada kondisi MSY, yaitu Rp 232.236 milyar, sedangkan pada kondisi open access
nilai rentenya hampir mendekati nol. Hal yang sama terjadi di Pantai Barat, input pada kondisi MEY, 36.12 ribu trip jauh lebih rendah dari effort pada
kondisi open access 68.18 ribu trip dan MSY 38.14 ribu trip. Sedangkan rente ekonomi pada kondisi MEY yaitu Rp 225.495 milyar lebih tinggi dari rente
ekonomi pada kondisi MEY yaitu Rp 224.786 milyar dan open access dengan rente ekonomi mendekati nol.
Gambar 57. Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomas TC
TR
Xo X
∞ Xmsy
Rp
Biaya, Pene
rimaan
K Biomas x
175
20 40
60 80
100 120
MEY MSY
OA
Rezim pegelolaan P
ro duk
s i
ri bu t
on
50 100
150 200
250
R e
nt e
e k
onom i
R p.
jut a
effort produksi ribu ton
rente ekonomi 10
20 30
40 50
60 70
80
MEY MSY
OA
Rezim pengelolaan P
roduk s
i ri
bu ton
50 100
150 200
250 300
350
R en
te eko n
o m
i R
p j
u ta
effort produksi ribu ton
rente ekonomi
a b
10 20
30 40
50 60
70 80
MEY MSY
OA
Rezim pengelolaan pr
oduk s
i ri
bu t
on
50 100
150 200
250
R e
nt e
e k
o nom
i R
p .j
ut a
effort produksi ribu ton
rente ekonomi 5
10 15
20 25
30 35
40 45
50
MEY MSY
OA
Rezim pengelolaan P
ro duk
s i
R ibu t
on
50 100
150 200
250 300
350
R e
nt e
e k
onom i
R p.
jut a
effort produksi ribu ton
rente ekonomi
c d Gambar 56. Perbedaan effort, produksi, dan rente berdasarkan rezim
pengelolaan di Pantai Timur tanpa tsunami a, dengan tsunami b dan Pantai Barat tanpa tsunami c dan dengan tsunami d.
Model GS dibangun dengan asumsi keseimbangan jangka panjang long run equilibrium
. Perhitungan efek kesejahteraan welfare affect dalam penelitian dilakukan dengan pendekatan surplus produsen persamaan 3.62,
dimana produksi lestarinya dihitung dengan model GS tanpa ada “shock”, dan berada dalam keseimbangan equilibrium dan dengan “shock”, yaitu tsunami dan
berada dalam disequilibrium. Hasil perhitungan efek kesejahteraan pada kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 56.
176
197.21 100.44
416.18
220.72
50 100
150 200
250 300
350 400
450
P.Timur P.Barat
Rezim pengelolaan S
u r
p lu
s pr o
d u
se n
Rp. juta
SP-tanpa shock SP-dengan shock
Gambar 57. Surplus Produsen tanpa “shock” dan dengan ”shock” Dari Gambar 57 terlihat bahwa nilai surplus produsen di Pantai Timur
lebih tinggi dari surplus produsen di Pantai Barat. Satu hal yang menarik adalah bahwa nilai surplus produsen dengan shock lebih tinggi dibandingkan dengan
tanpa shock. Hal ini sejalan dengan pembahasan di atas bahwa nilai rente ekonomi pasca tsunami dengan shock lebih tinggi dibandingkan dengan rente
ekonomi tanpa tsunami tanpa shock. Hal ini berkaitan dengan tingkat penggunaan setelah tsunami relatif kecil, turun 32 – 36 persen dibanding dengan
penggunaan input sebelum tsunami, yang sudah mendekati keseimbangan TR = TC, dimana rente ekonomi mendekati nol driven to zero. Ketika tingkat input
dikurangi, maka akan mengarah kepada kapasitas optimal, biaya opportunitas dan inefisiensi dapat dikurangi, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan
rente ekonomi sumber daya. Kondisi seperti inilah sebenarnya yang diinginkan dapat berlaku di Provinsi NAD, yaitu mengurangi input menuju kapasitas optimal.
Rehabilitasi armada yang rusakhilang karena tsunami seharusnya berpedoman pada konsep kapasitas perikanan, bukan kepada hal-hal lain.
Melihat kepada nilai surplus produsen yang cukup tinggi seharusnya mencerminkan tingkat kesejahteraan nelayan. Namun, ironisnya kondisi sosial
ekonomi masyarakat nelayan di lokasi penelitian sepertinya tidak menjadi lebih baik dari tahun ke tahun, penyebabnya adalah : 1 para nelayan pandega hanya
177 pekerja yang menerima bagi hasil seadanya. Sebaliknya yang diuntungkan adalah
pemilik modal pemilik kapal, “Toke Bangku” lembaga pemasaran dan “Pawang”, 2 nilai surplus produsen di atas merupakan potensial surplus
produsen, artinya nilai tersebut dapat dinikmati oleh nelayan apabila rezim pengelolaan perikanan tangkap dapat dikelola dengan benar. Sebagai gambaran
perbandingan pendapatan dari alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Tabel 47.
Tabel 47. Rata-rata share pendapatan bersih dari alat tangkap pukat cincin dan pancing tonda di lokasi penelitian, Tahun 2004.
Alat Tangkap Share
Pendapatan Per Trip
Rp Per Bulan
Rp Per Tahun
Rp Pemilik Kapal
374 047 4 114 517
49 374 204 Pawang
538 931 5 928 241
71 138 892 Pandega ABK
80 473 885 203
10 622 436 ABK + Penjaga
Kapal 137 803
1 515 833 18 189 996
Pukat Cincin
Toke Bangku 280 000
3 080 000 36 960 000
Pemilik Kapal 42 830
942 249 10 985 428
Pawang 51 683
1 137 029 13 374 231
Pandega ABK 33 641
740 096 8 705 331
Aneuk Itek 30 625
673 750 7 931 875
Pancing Tonda
Toke Bangku 31 500
693 000 8 158 500
one day fishing, trip adalah 2 hari, jumlah hari melaut 22 haribulan, dan 259 haritahun
Sumber :
Indra et al.
2006
Dari Tabel 47 terlihat bahwa share pendapatan terbesar, pada alat tangkap pukat cincin, adalah untuk pawang dan terkecil adalah pandega ABK. Dari total
penghasilan per trip, pawang memperoleh 38.19, pemilik kapal 26.50, toke bangku 19.84, pandega merangkap penjagaperawat kapal 9.76, pandega
ABK 5.70. Pada alat tangkap pancing tonda, pandega ABK mendapatkan 17.16 dari total penghasilan per trip, pawang memperoleh 27.16, pemilik
kapal 22.51, ”toke bangku” lembaga pemasaran 16.55, dan ”aneuk itek” penjaga dan pembersih kapal 16.09.
Seperti disebutkan di atas, sampai April 2006 pemerintah BRR dan NGOs telah mendistribusikan 6.160 unit kapal baru kepada nelayan Aceh. Hal
positif yang terjadi akibat banyaknya bantuan kapalboat adalah telah terjadi
178 perubahan sistem bagi hasil. Sebelum tsunami, sistem bagi hasil yang berlaku
adalah ½ - ¾ bagian hasil tangkapan harus dibagikan kepada pemilik, pemodal, dan toke bangku, namun sekarang dengan memiliki kapalboat sendiri para
nelayan tidak perlu membagikan hasil tangkapan mereka. Artinya, hasil tangkapan nelayan hari itu, mutlak menjadi milik mereka tanpa harus dibagikan
kepada orang lain, nelayan mengelola kapalboatnya sendiri. Dalam jangka pendek, hal di atas dapat terjadi, namun dalam jangka panjang dikhawatirkan akan
terjadi pemiskinan struktural nelayan. Nelayan yang biasanya hanya sebagai pekerjaburuh kini harus mengelola sendiri kapal mereka, mulai dari
mempersiapkan kapal sebelum melaut, mempersiapkan biaya operasional, memasarkan ikan, mengatur keuangan usaha dan rumah tangga, dan lain-lain.
Pekerjaan tersebut bukan suatu pekerjaan yang mudah dan diduga tidak semua nelayan mampu melakukannya. Oleh karena itu, dalam jangka panjang,
diperkirakan para nelayan yang tidak mampu mengelola, akan menjual kapal mereka kepada pengusaha atau toke dan kemudian mereka bekerja pada
pengusaha tersebut atau bekerja pada kapal sendiri.
179
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
• Trajektori produksi aktual, baik di Pantai Timur maupun Barat, menunjukkan pola yang terus meningkat, dalam beberapa tahun terakhir tingkat produksi
aktual sudah melebihi produksi lestari dan produksi optimal. Telah terjadi degradasi dan depresiasi sumber daya ikan di NAD juga dengan pola yang
meningkat. • Hasil perhitungan dengan model GS dan Fozin-1 menunjukkan bahwa
dampak tsunami, secara fisik telah menurunkan effort E 32.0 - 35.9, produksi h 1.8 – 14.1 dan meningkatkan biomas x 21.7 – 35.9.
Sebaliknya, dari segi moneter telah meningkatkan total revenue TR 18.9 – 38.5, rente ekonomi naik 13.9 – 28.8.
• Dalam jangka pendek, dampak tsunami telah meningkatkan surplus produsen naik 111 di Pantai Timur dan 120 di Pantai Barat.
• Pengelolaan perikanan di NAD semakin akhir periode pengamatan semakin tidak efisien. Untuk mencapai efisiensi, tidak ada lagi peluang baik untuk
Pantai Timur maupun Barat untuk menambah input menambah trip atau menambah jumlah kapal yang beroperasi, justru yang perlu dilakukan adalah
mengurangi effort 0 – 34.0 di Pantai Timur dan 0 – 46.3 di Pantai Barat
• Telah terjadi over kapasitas perikanan tangkap selama periode pengamatan di Pantai Timur antara 0 – 29 650.59 trip dengan opportunity cost 0 – Rp. 38.9
milyar dan di Pantai Barat antara 0 – 29 395 trip dengan opportunity cost 0 – Rp. 37.3 milyar.
• Jumlah armada baru yang optimal untuk menggantikan armada yang rusakhilang karena tsunami berkisar antara 3 570 – 5 131 unit, jauh lebih
sedikit dibanding target BRR 7 000 unit. • Ada interaksi positif antara hutan mangrove dengan tingkat produksi
perikanan tangkap di daerah penelitian, dimana ekosistem hutan mangrove memberikan kontribusi 27,21 persen terhadap total produksi perikanan.
Estimasi luas mangrove optimal di Pantai Timur 100 946.70 ha dan Pantai